Selasa, 27 September 2022

Menyiasati Terbatasnya Alokasi Waktu Pembelajaran Bahasa Asing


Dengan alokasi waktu yang hanya dua jam pelajaran setiap minggu, rasanya hampir mustahil untuk mengandalkan pembelajaran di kelas supaya siswa bisa cakap berbahasa asing. Jika kita menilik berbagai studi tentang keberhasilan pembelajaran bahasa asing, ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya belajar bahasa asing. Ada faktor motivasi pembelajar, lingkungan, keterlibatan orang tua, dan sarana serta prasarana. Di beberapa sekolah, ada banyak siswa yang lancar berbahasa asing. Mereka mendapatkan materi belajar bahasa asing tersebut di kelas formal di sekolah. Namun bukan itu faktor utama yang menentukan kelancaran berbahasa asing mereka, melainkan ada effort ekstra yang mereka lakukan seperti mengikuti kursus, baik online maupun offline. Sebagian dari mereka juga memiliki faktor pendukung berupa support dari lingkungan terdekat seperti keluarga. Terlepas dari efektif tidaknya pembelajaran bahasa asing di kelas formal, mereka tetap bisa lancar berbahasa asing.

Jika alokasi waktu belajar bahasa asing di sekolah begitu terbatas, lantas bagaimana supaya guru bisa membantu siswa menguasai bahasa asing? Ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh guru to make the most of the learning process. Yang pertama adalah memanfaatkan waktu yang terbatas di kelas untuk mendorong peserta didik agar menjadi autonomous learner. Menjadikan mereka autonomous learner memang sangat menantang. Hal itu akan berkaitan dengan menumbuhkan motivasi belajar. Bagaimana caranya agar siswa merasa butuh untuk belajar bahasa asing. Menurut Bobby DePorter, pengarang buku Quantum Learning, ketika seorang individu memiliki motivasi untuk mempelajari sesuatu, maka tidak perlu banyak arahan untuk dia secara sadar dan sukarela melakukan aktivitas belajar secara mandiri.

Membangkitkan motivasi, atau menumbuhkan rasa butuh terhadap bahasa asing masuk ke dalam ranah ilmu psikologi belajar. Membangkitkan motivasi adalah ahal yang cukup menantang, karena cara orang mendapatkan motivasi begitu beragam. Ada yang termotivasi untuk belajar bahasa asing karena ingin memiliki pengalaman studi lanjut di luar negeri. Ada yang ingin bisa jalan-jalan di luar negeri. Ada yang sekedar ingin bisa berinteraksi dengan artis idola mereka. Ada yang ingin bekerja di luar negeri. Ada yang termotivasi belajar bahasa asing karena melihat role model berbahasa asing yang bagus dari seorang guru. Ada juga yang hanya sekedar ingin bisa memahami komik berbahasa asing. Begitu beragam motivasi individu dalam mempelajari bahasa asing. Ini adalah PR besar bagi guru bahasa asing dalam upaya membangkitkan motivasi siswa.

Hal kedua yang bisa dilakukan oleh guru adalah mengupayakan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan. Mungkin guru tidak bisa sepenuhnya menjadikan proses pembelajaran yang relatif singkat di kelas sebagai faktor penentu keberhasilan siswa dalam belajar. Namun setidaknya guru menyuguhkan desain pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan. Setidaknya para siswa merasa enjoy dengan proses belajar yang mereka jalani di kelas. Untuk bisa mewujudkan pembelajaran yang menyenangkan, dibutuhkan kompetensi pedagogi, pemahaman psikologi, dan keterampilan profesional seorang guru. Supaya memiliki semua kompetensi tersebut, guru perlu terus mengupdate diri. Belajar sepanjang hayat adalah hal yang menjadi keniscayaan, supaya guru bisa menyelenggarakan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan.

Bayangkan jika para siswa merasakan flow dalam pembelajaran. Mereka menikmati setiap proses belajar. Assessment for learning terasa seperti bermain, padahal sesungguhnya mereka sedang dinilai untuk tujuan pembelajaran. Bayangkan mereka menonton video berbahasa asing, padahal di waktu yang bersamaan mereka belajar tentang listening dan vocabulary. Bayangkan mereka seperti sedang bermain-main dengan tebak kata dalam lirik lagu, padahal mereka sedang belajar tentang listening. Bayangkan mereka merasa sedang bermain-main dengan memberikan instruksi kepada teman mereka untuk menggambarkan sesuatu berdasarkan instruksi yang mereka sampaikan, padahal sejatinya mereka sedang berlatih listening dan speaking. Bayangkan mereka berlomba untuk memuncaki klasemen dalam test yang diselenggarakan menggunakan media Kahoot atau Quiziz, padahal mereka sedang menjalani formative assessment.

Hal ketiga yang guru bisa upayakan untuk menyiasati terbatasnya waktu pembelajaran bahasa asing di kelas adalah menciptakan atmosfir positif dan supportive di kelas. Banyak siswa yang insecure dengan level kemampuan bahasa asing mereka yang masih rendah. Hal tersebut biasanya membuat mereka ragu untuk tampil sekedar mencoba menjawab pertanyaan pemantik dari guru. Apalagi, verbal bullying seringkali efektif meruntuhkan mental siswa untuk unjuk gigi. Masih banyak kita temui dalam berbagai kelas bahwa siswa ditertawakan oleh rekan-rekannya atas kesalahan yang dia lakukan dalam menjawab pertanyaan, atau atas kekeliruan dalam menampilkan performance di depan kelas. Guru perlu memastikan bahwa siswa secara psikologis aman dari ketakutan akan bullyan atau kondisi yang meruntuhkan mental mereka. Guru perlu memastikan bahwa semua individu yang ada di kelas saling dukung satu sama lain. Situasi yang penuh dukungan biasanya akan meninggalkan kesan yang mendalam bagi siswa.  

Semua kebermaknaan dan keasyikan yang tersaji dalam pembelajaran memang membutuhkan effort guru. Menyajikan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan juga merupakan sebuah seni. Cara yang dilakukan oleh seorang guru dalam menyajikan pembelajaran bermakna dan menyenangkan mungkin berbeda dengan cara yang dilakukan oleh guru lain. Jika ketiga hal di atas dipraktikkan, maka guru bisa dikatakan making the most of the limited learning time.

Kita semua perlu belajar untuk bisa memaksimalkan waktu pembelajaran bahasa asing yang terbatas tersebut agar.

Sabtu, 24 September 2022

Jabatan STrategis: Jalan mewujudkan ide-ide brilian

 

Dulu aku berpikir bahwa aku tidak perlu terobsesi untuk menjadi seorang pejabat, cukup jadi guru biasa saja sudah cukup. Menjadi seorang guru memang hal yang self-rewarding. Melihat para siswa berubah karakternya menjadi positif, wawasannya menjadi luas, pikirannya menjadi semakin maju dan cerdas, serta berubah cara pandangnya tentang berbagai hal dalam hidup, merupakan hal yang rewarding, bagiku. Jangankan melihat para siswa mencapai semua hal itu, sekedar melihat mereka menikmati proses pembelajaran yang aku desain saja rasanya sangat menyenangkan dan memuaskan.

Pikiranku berubah saat aku menyadari bahwa berbagai ide yang aku punya tentang pengembangan penyelenggaraan pendidikan di sekolah tidak terwujudkan hanya karena pemilik otoritas tertinggi di sekolah tidak sejalan dengan pemikiranku. Ide-ideku besar dan berdampak bagi para siswa, namun tidak didukung oleh keberpihakan kebijakan yang berkesinambungan. Contohnya, aku sempat merintis program reading community. Sudah jalan sekian bulan, namun aku tidak mendapatkan dukungan dari orang-orang yang seharusnya mendukung ide tersebut. Aku pernah merintis program mengundang tamu dari Negara luar ke sekolah untuk mengenalkan budaya, bahasa, dan memberi nuansa pembelajaran baru bagi para siswa. Banyak yang secara moril mendukung program tersebut. Namun, tidak adanya dukungan pendanaan membuat program tersebut tidak berjalan secara rutin dan berkesinambungan.

Sementara, aku menyaksikan sendiri betapa mereka yang memiliki otoritas untuk membuat kebijakan begitu mudah mewujudkan ide. Contoh sederhana dan nyata, di suatu sekolah, ada beberapa ruang kelas yang tidak memiliki jam dinding. Hal tersebut dikeluhkan oleh banyak guru, namun wakil kepala sekolah yang mengurus sarana prasarana tidak bergeming. Begitu kepala sekolah berbicara kepada waka sarpras tersebut untuk segera melakukan pengadaan jam dinding, langsung direspon, dan tak lama kemudian terbeli lah jam dinding untuk dipasang di setiap ruang kelas. Berbagai kebijakan di sector pendidikan, baik yang berdampak positif maupun negative juga berasal dari ide seseorang yang memiliki otoritas.

Kepala dinas pendidikan provinsi merubah cara pegawai membuktikan kehadirannya, dari yang semula hanya dengan tandatangan di lembar kehadiran menjadi menggunakan mesin finger print. Setelah itu, berubah lagi menggunakan aplikasi. Jam belajar siswa di sekolah yang semula hanya 6.5 jam perhari menjadi 8.5 jam perhari juga berakar dari ide seseorang yang punya otoritas. Saegala peraturan yang diberlakukan untuk mendukung pelaksanaan ide-ide tersebut juga berasal dari pemikiran seseorang yang memiliki otoritas. Kesimpulannya apa? Memiliki otoritas adalah jalan realistis untuk seseorang mewujudkan ide-ide briliannya untuk memberi dampak tertentu pada komunitas/organisasi dimana dia berada.

Semua contoh tersebut menyadarkanku betapa menjadi pejabat yang memiliki otoritas itu perlu. Wewenang pembuatan kebijakan yang dipegang oleh orang yang tidak baik, akan berdampak negative terhadap banyak orang. Sementara wewenang pembuatan kebijakan yang dipegang oleh orang yang tepat akan berdampak kebaikan. Jika yang aku urus hanyalah praktik pembelajaran di kelas semata, maka dampak positif yang aku berikan hanya berkutat terbatas pada kelas yang aku kelola. Namun jika aku memiliki akses terhadap pembuatan kebijakan public, maka aku bisa mewujudkan ide-ide brilianku menjadi nyata. Itulah yang menyadarkanku arti pentingnya menjadi seorang pembuat kebijakan publik.

Kini, aku berfikir bahwa aku perlu suatu saat menjadi seorang yang memegang otoritas dalam manajemen pendidikan di negeri ini. Entah di level sekolah, wilayah kabupaten, provinsi, atau pun dalam skup nasional. Kadang aku mengamati bagaimana orang-orang di sekitarku meniti karir dan mencapai posisi menjadi seseorang yang memiliki otoritas. Sebagian ada yang mencapainya dengan jalan yang normative, sesuai aturan yang berlaku. Namun aku dapati pula fakta bahwa banyak praktik campur tangan politik dalam proses titian karir untuk mencapai posisi tertentu dalam struktur manajemen pendidikan di negeri ini.

Aku berpikir bahwa menjadi kepala dinas pendidikan provinsi adalah hal yang bisa mengantarkanku mewujudkan ide-ideku. Namun aku lihat bahwa jabatan tersebut adalah jabatan politis. Agak susah untuk dicapai jika jabatan yang aku idamkan adalah jabatan politis. Namun hal pasti yang aku harus lakukan adalah terus belajar dan memantaskan diri. Who knows pepatah masih berlaku bahwa hasil tidak menghianati proses.

 

Kamis, 22 September 2022

Guru, dedikasi, dan sudah selesai dengan diri sendiri

 

Selama aku menjalani karir sebagai guru, aku menemui beberapa rekan guru yang menunjukkan dedikasi yang tinggi terhadap dunia pekerjaan yang mereka geluti. Aku benar-benar salut dengan mereka. Sebagian dari mereka menunjukkan tingginya dedikasi dengan wujud sikap terus belajar memperbaiki kualitas pembelajaran. Meskipun hal tersebut lumrah dan sewajarnya dilakukan oleh guru, namun nyatanya tidak mudah untuk mengupayakan pengembangan diri di saat dalam waktu bersamaam guru memiliki tuntutan kerja yang cukup besar. Sebagian menunjukkan dedikasinya dengan cara doing all good things for the sake of their students. Ada beberapa guru yang mengupauyakan supaya banyak dari siswa mereka meraih kesempatan studi di perguruan tinggi dengan beasiswa. Mereka melakukan pendampingan secara terstruktur, terencana dan berkesinambungan, hingga para siswa banyak yang meraih kesempatan studi lanjut ke perguruan tinggi. Ini adalah pekerjaan ekstra, di luar pekerjaan pokok sebagai pengajar atau pendidik.

Ada pula guru yang sering berlama-lama tinggal di sekolah. Bukan karena tidak ada urusan lain yang berarti, melainkan mereka ingin memastikan bahwa para siswa terlayani dengan baik. Mereka sengaja menunda waktu pulang supaya bisa focus mempersiapkan pembelajaran yang efektif dan bermakna bagi para siswa. Ada pula guru yang menjadi pembina banyak kegiatan ekstrakurikuler. Bukan karena berharap mendapatkan vakasi tambahan sebagai pembina ekstra, namun karena mereka menyadari bahwa bakat dan minat siswa harus diasah melalui pendampingan guru. Dalam kasus tersebut, biasanya guru tersebut memiliki kompetensi lebih, sementara guru lain, entah karena kurang kompeten atau karena keengganan, tidak menjadi pembina kegiatan ekstrakurikuler.

Aku merasa salut dengan guru-guru semacam itu. Lebih salut lagi, guru-guru tersebut adalah yang mengajar di Indonesia, terutama di sekolah negeri. Jika dedikasi tersebut ditunjukkan oleh para guru yang mengajar di sekolah-sekolah di Negara maju, maka rasanya aku tidak merasa salut, alias biasa saja, karena menjadi guru di Negara-negara maju biasanya ada keseimbangan antara tuntutan kerja dengan reward yang diterima guru. Dengan kata lain, tingginya gaji yang diterima oleh guru di sana bisa menjadi stimulus maksimalnya kinerja guru. di Negara-negara maju, guru tidak perlu memikirkan hal lain selain focus memberikan pelayanan pembelajaran yang maksimal. Mereka tidak perlu memikirkan tentang mencari tambahan pendapatan, karena gaji yang mereka cukup untuk menguatkan daya beli mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Di negeri kita, jangankan guru yang masih mengabdi, guru yang sudah pegawai negeri dengan tunjangan sertifikasi pun bertekuk lutut pada inflasi. Gaji yang mereka terima jumlahnya semakin naik dari tahun ke tahun, memang. Namun value dari gaji mereka melemah seiring dengan naiknya inflasi. Di Australia, gaji sebulan guru bisa dipakai untuk membeli tiga hingga enam Macbook. Sementara gaji guru di Indonesia untuk membeli satu buah macbook saja harus mengumpulkan gaji beberapa bulan.

Orang yang berdedikasi tinggi di bidang yang digelutinya biasanya adalah orang yang sudah selesai dengan diri sendiri. Selesai dengan diri sendiri artinya sudah merasa tercukupi akan segala kebutuhan hidup. Baik kebutuhan pokok maupun kebutuhan sekunder dan tersier. Selain itu, mereka memiliki integritas yang tinggi, serta menunjukkan tanggungjawab moral yang besar. Menunjukkan dedikasi tinggi di saat seorang guru belum selesai dengan dirinya sendiri adalah hal yang mungkin bisa terjadi, namun seandainya ada maka layak untuk kita angkat topi. Karena sulit! Bayangkan, focus memikirkan pelayanan maksimal dalam mendidik siswa, sementara kebutuhan pokok seperti sandang, pangan dan papan saja masih belum sepenuhnya tercukupi. Belum lagi kebutuhan akan kesehatan mental, psikologis dan emosional. Bisa, memang, namun berat. Itu lah kenapa aku salut dengan para guru yang penuh dedikasi seperti itu.

Ini artinya aku salut juga pada diri sendiri.

:-D

 

Senin, 12 September 2022

Siswa ini biasa terlambat masuk sekolah, tapi...

 

Pagi ini, ada satu siswa terlambat masuk sekolah. Berdasarkan catatan kedisiplinannya yang dirangkum oleh BK, siswa ini termasuk sering terlambat. Sesuai dengan kebijakan penegakan kedisiplinan yang diberlakukan di sekolah ini, siswa yang terlambat melebihi batas toleransi harus dikarantina di ruangan khusus. Proses belajar dilakukan secara mandiri, melalui pengarahan dari guru mapel yang bersangkutan. Belajar sendiri, bagi sebagian siswa, terutama siswa yang ebrkepribadian introvert, mungkin akan terasa menyenangkan. Namun ketika belajar sendiri tersebut dilakukan dalam konteks sebagai sebuah hukuman, maka tentu kurang terasa menyenangkan.

Sistem karantina tersebut dilakukan sebagai kebijakan sekolah untuk menciptakan efek jera. Terbukti, cara tersebut cukup efektif mengurangi angka keterlambatan siswa. Sebelum aturan tersebut diberlakukan, angka keterlambatan siswa cukup signifikan. Dalam satu hari, bisa ada 20-an lebih siswa yang terlambat masuk sekolah. Sebagian siswa terlambat karena faktor jarak dan sarana transportasi. Maklum, sekolah ini berada di wilayah pegunungan dimana sarana transportasi masih jauh dari kata memadai. Namun sebagian lainnya murni karena faktor perilaku negatif (negative behavior).

Kembali ke topik tentang satu siswa yang terlambat di pagi ini. Sebut saja namanya adalah MZ. Karena catatan kedisiplinannya yang negatif, anak ini sering menjadi topik pembahasan di kalangan guru saat jam istirahat. Sebagian besar guru berkomentar negatif tentang perilaku siswa ini. Di antara mereka, jarang ada yang menyorot soal kebiasaan, kondisi keluarga, kondisi lingkungan dan segala hal yang menjadi faktor di balik perilaku keterlambatannya. Yang dibahas adalah apa yang nampak di luar, bahwa siswa tersebut sering terlambat dan itu adalah perilaku negatif. Namun ternyata ada hal-hal yang para guru sebaiknya tahu mengenai siswa tersebut. Dengan mengetahui berbagai faktor yang berpengaruh terhadap perilaku siswa tersebut, maka para guru bisa memandang dan menilai secara objektif tentang siswa tersebut.

Berdasarkan penelusuran yang aku lakukan, MZ ternyata memiliki kebiasaan begadang sampe malam. Dia tidak bisa tidur hingga pagi, jika sampai pukul 10 malam dia tidak tidur. Ketika hendak tidur sebelum jam 10, dia sering mendapatkan chat dari para calon buyer. Nah, ini yang menarik. MZ ini ternyata bergulat dengan kegiatan ekspor ikan hias ke berbagai negara. Perbedaan zona waktu sering memaksa dia untuk begadang hingga tengah malam bahkan pagi untuk menjalin komunikasi dengan para calon pembeli. Dia bercerita bahwa ada beberapa pembeli dari amerika, jerman, argentina, meksiko, prancis, dan beberapa negara lain yang memiliki zona waktu yang jauh berbeda dari indonesia. Dia merasa harus memberikan respon cepat setiap kali ada chat masuk dari calon buyer. Hal tersebut dilakukan agar calon buyer tidak kecewa, sehingga mengurungkan niatnya untuk membeli produk ikan hiasnya.

Di balik kebiasaan negatif berupa seringnya terlambat masuk sekolah, anak ini bisa dikatakan istimewa. Masih di usia yang relatif belia, namun aktivitasnya keren. Mendulang dolar dari berbisnis dengan orang dari mancanegara. Sayangnya, ekses negatif dari aktivitas ekspornya adalah keterlambatan masuk sekolah yang frekuensinya lumayan tinggi.

MZ hanya butuh pemahaman tentang manajemen waktu. Dia memiliki kegiatan yang keren. Aktivitas bisnis ekspornya membuatnya mampu membiayai kebutuhan sendiri. Bahkan orang tuanya sudah lama tidak memberinya uang jajan, semenjak dia bergulat dengan bisnis ekspor ikan hias.

Kebiasaan terlambat masuk sekolah memang perilaku negatif yang harus diluruskan. Namun para guru semestinya memandang dan menyelesaikan maslaah perilaku siswa dengan pendekatan yang holistik. Anak ini sbeenarnya juga merasa tidak nyaman dengan keterlambatan yang ia sering lakukan. Dia ingin merubah kebiasaan tersebut, namun dia belum menemukan formulanya agar bisa menjalani hari dan hidup secara seimbang, tertib dan efektif. Menangani anak ini, tidak perlu judgment tentang perilaku negatifnya. Yang dibutuhkan adalah pengarahan tentang manajemen waktu serta kerjasama antara sekolah dengan orang tuanya.

Aku mencoba mendekati MZ, dan menjalin komunikasi dengan anak ini. Cukup sering kami berkomunikasi. Bahkan, kadang MZ meminjam uang padaku untuk membeli produk dari supplier, dan ia segera melunasinya sesaat setelah buyer mentransfer uangnya. Komunikasi terjalin dengan topik-topik seputar kedisiplinan pula. Aku tanyakan segala hal tentang kesehariannya. Sehingga aku bisa menemukan berbagai fakta tentang dia. Anak ini spesial. Dia memiliki aktivitas yang keren, yang perlu dukungan. Soal kedisiplinan siswa memang harus ditangani. Namun mengetahui sisi lain dari kehidupan siswa tersebut yang berdampak pada perilakunya juga perlu dilakukan oleh guru. Pada dasarnya semua siwa yang berperilaku negatif membutuhkan bantuan orang dewasa dengan pendekatan komprehensif, bukan semata judgement tentang perilakunya.

Siapa sangka, anak yang sering terlambat dan menunjukan perilaku melanggar aturan sekolah justru di masa depan menjadi pribadi sukses yang berdampak positif bagi banyak orang. Dan faktanya, itu yang sering terjadi.

Kamis, 08 September 2022

Agar Guru Bisa Meraih Respek Dari Siswa


 

Ada banyak faktor yang berpengaruh terhadap efektivitas belajar siswa yang diselenggarakan oleh guru. Salah satu faktor yang cukup berpengaruh secara signifikan adalah ketika guru merupakan seseorang yang respectable dalam pandangan siswa.  

Guru memang memiliki otoritas penuh atas para siswa di lingkungan pembelajaran di sekolah. Mereka memiliki kuasa untuk mendesain dan mengarahkan proses pembelajaran. Namun, tidak semua guru memiliki kualitas respectable. Ada guru yang dipandang respectable, ada pula yang dipandang remeh oleh siswa. Kualitas respectable seorang guru berpengaruh terhadap efektivitas pembelajaran. Seorang guru yang dipandang respectable akan mampu membuat para siswa melaksanakan instruksi atau saran apa pun yang terkait dengan pembelajaran. Seorang guru yangr respectable akan didengar kata-katanya, nasihat-nasihatnya, quotation-quotationnya oleh para siswa. Sementara, guru yang kurang/tidak respectable akan diacuhkan begitu saja oleh para siswa.

Lantas, bagaimana caranya agar seorang guru dipandang respectable oleh para siswa?

Menjadi pribadi yang respectable merupakan hasil dari akumulasi berbagai aspek kualitas. Berbagai aspek kualitas yang menjadikan guru respectable adalah penguasaan bidang yang diajarkan, kemampuan pedagogis yang mumpuni, keteladanan, kemampuan berkomunikasi, penampilan yang menumbuhkan rasa percaya diri, serta karakter positif.

Aspek yang pertama adalah kualitas penguasaan materi. Siswa cenderung respek dengan para guru yang sangat mendalami bidang yang mereka ajarkan. Meskipun sumber belajar begitu banyak, seiring dengan semakin mudahnya akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi, siswa sering mengandalkan guru untuk menanyakan suatu materi yang mereka masih belum pahami. Ketika seorang guru mampu menunjukkan kedalaman penguasaan materi, siswa cenderung akan respek terhadap guru tersebut. Sementara, kegagalan dalam menunjukkan kedalam penguasaan materi akan cenderung membuat siswa kurang yakin terhadap kemampuan guru tersebut.

Kemampuan guru dalam menciptakan pembelajaran yang dinamis, menyenangkan, engaging, kreatif, inovatif, dan bermakna juga bisa meningkatkan respek siswa terhadap guru. Kemampuan tersebut berkaitan dengan kompetensi pedagogis guru. Guru yang pembelajar akan terus berupaya meningkatkan kemampuan pedagogisnya melalui proses belajar sepanjang hayat. Mereka akan mendapatkan respek dari siswa karena kemampuan mereka dalam mengorganisir kelas. Sementara, guru yang tidak mumpuni kompetensi pedagogisnya hanya menjalankan pembelajaran ala kadarnya dan membuat siswa tidak tertarik untuk menjalankan proses pembelajaran.

Aspek ketiga adalah keteladanan. Seorang guru akan dipandang respectable ketika ia mampu menunjukkan keteladanan dalam sikap dan tutur kata. Perlu keselarasan antara apa yang diucapkan dengan apa yang diperbuat, agar guru mendapatkan respek dari siswa. Ketika guru menyarankan siswa untuk akrab dengan dunia literasi, maka guru tersebut sendiri harus sudah akrab dengan literasi. Ketika guru menyarankan siswa untuk melestarikan lingkungan sekitar, maka ia sendiri harus sudah menunjukkan contoh dalam melestarikan lingkungan. Aksi nyata memungut sampah dan menempatkannya di tempat sampah akan menguatkan nasihat guru terhadap siswa tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Seorang guru yang menyarankan siswa untuk belajar, maka ia sendiri harus menunjukkan sifat sebagai seorang pembelajar sepanjang hayat (lifelong learner). Ketika seorang guru bahasa asing menyarankan siswa untuk belajar bahasa asing, maka ia harus menunjukkan kemahirannya dalam berbahasa asing, serta menunjukkan manfaat apa yang ia peroleh dari belajar bahasa asing tersebut. Singkatnya, keteladanan akan menimbulkan respek siswa terhadap guru.

Aspek selanjutnya adalah kemampuan dalam berkomunikasi. Sepertinya semua orang sepakat bahwa kemampuan komunikasi adalah hal yang bisa mendongkrak citra seseorang. Memiliki kemampuan retorika yang bagus akan membuat siswa dengan sukarela mendengarkan apa yang disampaikan oleh guru. Suatu konsep mungkin sulit untuk dipahami oleh sebagian ssiwa. Namun ketika guru mampu menjelaskan konsep tersebut dengan bahasa yang mudah dimengerti, dengan kemampuan retorika yang mempesona, maka siswa akan respek terhadap guru tersebut. Kemampuan berkomunikasi harus terus diasah. Kemampuan komunikasi yang bagus biasanya merupakan hasil dari luasnya wawasan, dalamnya pemikiran, serta terlatihnya retorika.

Penampilan merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh guru. Seorang guru mungkin memilih untuk berpenampilan sederhana. Namun ketika kesederhanaan penampilan tersebut membuat guru tersebut merasa kurang percaya diri, maka berarti penerapan prinsip sederhana dalam berpenampilan kurang tepat. Pepatah jawa mengatakan “ ajining raga saka busana”. Maknanya adalah penampilan kita akan mempengaruhi penilaian orang lain terhadap diri kita. Minimal, penampilan bisa menentukan kesan pertama orang terhadap kita. Penampilan yang baik juga akan membuat seorang guru percaya diri. Penampilan tidak harus mewah, asalkan bisa menunjang rasa percaya diri, maka hal tersebut sudah cukup. Siswa cenderung respek terhadap guru yang well-groomed, karena hal tersebut dinilai sebagai kemampuan individu seorang guru untuk menghargai diri sendiri.

Aspek terakhir adalah konsistensi terhadap karakter positif. Seperti apa pun bagusnya penampilan, dalamnya penguasaan materi, mumpuninya kemampuan pedagogis dan  kerennya kemampuan berkomunikasi, jika seorang guru tidak konsisiten dalam menunjukkan karakter positif maka ia tidak akan mendapatkan respek dari siswa. Siswa adalah individu yang sudah bisa menilai baik dan buruk, serta benar dan salah. Maka memastikan diri konsisten untuk berkarakter positif sangatlah penting bagi guru agar bisa mendapatkan respek dari para siswa. Kualitas respectable yg dimiliki guru bukan hanya menunjang citra diri mereka, namun juga berpengaruh terhadap efektifitas pembelajaran yang mereka selenggarakan untuk siswa.