Rabu, 23 Oktober 2019

Sekolah Favorit: antara faktor kualitas proses pembelajaran dan intake yang bagus



Setelah sebulan melaksanakan program lokakarya, berupa kuliah tatap muka di ruang kelas klasikal, tibalah saatnya saya melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). PPL in merupakan bagian dari rangkaian program Pendidikan Profesi Guru Dalam Jabatan (PPG Daljab) yang saya laksanakan. Sebetulnya agak nyeri sih mengetahui bahwa saya yang sudah mengajar hampir sepuluh tahun ini harus melaksanakan PPL, selayaknya mahasiswa calon guru yang hampir selesai studinya. Namun, saya tetap berpikir positif bahwa akan ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari program PPL ini.

Sebelum pelaksanaan PPL, semua mahasiswa program PPG Daljab diberi kebebasan untuk memilih salah satu dari sekian sekolah mitra kampus untuk menjadi tempat PPL. Saya memilih SMA X (sensor), sekolah yangs erring diceritakan oleh banyak orang sebagai sekolah paling favorit di kota tempat saya melaksanakan program PPG ini. Bukan tanpa alas an saya memilih sekolah tersebut. Bukan pula karena biar terkesan keren ngajar di sekolah favorit. Tujuanku satu, yaitu saya ingin mengobati rasa penasaran yang sedari dulu ada. Ada satu rasa penasaran yang tinggi tentang konsep sekolah favorit. Saya ingin tahu faktor lain apa yang menjadikan sebuah sekolah diberi label favorit, selain faktor intake yang memang sudah bagus.

Dua kali saya melaksanakan PPL di tahun yang berbeda, dan di program yang berbeda pula. PPL pertama saya lsayakan pada tahun 2006, di sebuah sekolah paling favorit di ibukota Jawa Tengah. PPL kedua ini saya laksanakan di sebuah kota besar di provinsi lain. Di kedua PPL tersebut, kebetulan saya mendapatkan sekolah favorit. Sebenarnya saya ingin mendapatkan gambaran tentang manajemen yang bagus sebuah sekolah favorit, standard pengelolaan pembelajaran yang bagus yang menjadikan standard kelulusan tercapai maksimal hingga menjadikan sekolah tersebut layak dilabeli favorit. Namun, yang saya dapatkan di luar ekspektasiku. Tidak ada “faktor X” dalam proses pembelajaran yang menjadikan mutu lulusan bagus, sehingga menjadikan sekolah tersebut favorit. Yang ada adalah bahwa sekolah-sekolah favrit tersebut memang memiliki intake peserta didik yang bagus. Mereka sebagian besar sudah memiliki motivasi belajar yang bagus, mendapat dukungan belajar yang baik dari orang tua mereka, bahkan sebagian besar memiliki akses belajar suplementer seperti mengikuti bimbingan belajar dan atau les privat di rumah. Saya sempat tanya kepada beberapa peserta didik di sekolah tersebut tentang kualitas pembelajaran yang ada di kelas mereka. Jawaban mereka mengejutkan. Banyak guru yang masih mengajar dengan nuansa teacher-centered, minim inovasi dan kreativitas, bahkan ada kelas yang sering kosong tanpa guru, namun pembelajaran masih berjalan karena peserta didik memiliki kesadaran mandiri untuk tetap belajar.

Gambaran berbeda akan muncul di sekolah yang berlabel sebaliknya, tidak/ kurang favorit, dimana faktor-faktor pendukung seperti yang disebutkan di atas masih menjadi masalah. Betapa besar tantangan mengajar di sekolah non-favorit, dimana peserta didik masih harus berjuang untuk memiliki motivasi belajar. Jangankan mengikuti kegiatan belajar suplementer, kesadaran untuk meluangkan waktu belajar saja masih minim. Jangan berharap jam kosong akan terisi dengan diskusi-diskusi mandiri peserta didik, karena yang ada adalah euforia kosongnya jam yang diekspresikan dengan aktivitas-aktivitas yang tak berhubungan dengan belajar sama sekali seperti bermain game, ngerumpi, tiduran, dan lainnya.
Andai kualitas sekolah bukan disebabkan oleh faktor bagusnya intake semata, melainkan faktor penyelenggaraan pembelajaran yang bagus, maka ia akan mudah untuk dijadikan prototipe yang bisa diaplikasikan di sekolah-sekolah lain yang masih membutuhkan penataan agar menjadi sekolah yang bagus mutunya. Sekolah-sekolah yang memiliki kualitas proses pembelajaran tersebut bisa dijadikan rujukan untuk sekolah lainya. Hal ini bisa menjadi sebuah Lesson Study level sekolah. Ini yang saya harapkan dari PPL di sekolah favorit, sebenarnya. Sayangnya, ekspektasiku belum pernah terwujud. Seperti itukah tipikal sekolah favorit di Indonesia? Saya belum bisa menyimpulkan, karena untuk mendapatkan jawaban itu perlu ada kajian lebih luas dan dalam.

Gambaran sekolah favorit yang layak menjadi rujukan pernah saya dapatkan saat melsayakan observasi pembelajaran di sebuah sekolah di Queensland, Australia. Nama sekolah tersebut adalah Harristown State High School. Saya benar-benar melihat bukti bahwa sekolah tersebut layak dilabeli sekolah favorit karena kualitas lulusannya memang dipengaruhi oleh keren-nya proses pembelajaran yang dilaksanakan. Saya menyaksikan sendiri beberapa kali proses pembelajaran bahasa Inggris yang dikhususkan bagi anak-anak imigran dari timur tengah. Proses pembelajaran yang dilaksanakan bisa membuat anak-anak imigran yang awalnya memiliki kemampuan berbahasa Inggris persis nol hingga benar-benar bisa berbahasa Inggris secara komunikatif. Tak ayal, sekolah tersebut sering dijadikan tempat studi banding bagi sekolah-sekolah lain di sekitar Queensland. Dengan demikian, kualitas pendidikan yang ada pada sekolah tersebut bisa menular ke sekolah lain. Seperti itulah semestinya profil sekolah favorit yang ada di negeri kita.