Minggu, 31 Oktober 2021

Pertalian antara Ikhtiar, Do’a, Law of Attration, dan Hajat yang terkabul: Sebuah refleksi

 


Sebelumnya aku ingin menyampaikan disclaimer dulu, bahwa tulisan ini hanya relevan bagi orang-orang yang percaya akan adanya Tuhan. Pemikiran dalam tulisan ini tidak akan selaras dengan logika para agnostic atau atheis.

Oke, mari kita mulai!

Ceritanya, minggu kemarin aku merasa kecewa akan suatu hal. Kecewa terhadap keadaan, diri sendiri, ndak mungkin aku kecewa terhadap Tuhan (meski kadang hati terbersit untuk melakukan hal demikian). Aku telah menjalani semester ke-tiga untuk program Master of Education dari The University of Adelaide, Australia. Menjalani kuliah daring seperti ini menjadi sebuah kelaziman di masa Pandemi Covid-19. Terlebih Australia adalah Negara super strict yang sangat ketat dalam membuat kebijakan yang mengutamakan keselamatan warganya. Meski kuliah daring seperti ini lazim, namun aku merasa kecewa karena tidak kunjung berangkat ke Negara tujuan studi untuk waktu yang entah sampai kapan. Sementara, Negara-negara lain yang menjadi tujuan favorit studi sudah lama membuka border bagi mahasiswa internasional.

Sebenarnya ada kesempatan untuk bisa masuk ke Australia, yaitu melalui program pilot project dan Exemption. Andai aku masuk ke dalam pilot project atau mendapatkan exemption, maka aku sudah sedari awal masa perkuliahan sudah bisa terbang ke Australia. Masalahnya adalah, persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah Australia untuk lolos mengikuti kedua program tersebut sangat lah mustahil untuk aku penuhi. Aku bukan mahasiswa yang mengambil jurusan kedokteran yang topic penelitiannya bersinggungan dengan program strategis pemerintah Australia terkait penanganan covid-19. Jangankan aku yang merupakan warga non-australia. Warga Australia yang berada di luar negeri pun tidak serta merta diberi kemudahan untuk masuk ke Australia selama pandemi. Hal itu semata-mata karena pemerintah Australia ingin memastikan bahwa kasus kovid di sana sangat terkendali. Dari kacamata warga Australia yang berada di Australia, pemerintah Australia adalah pahlawan, atas kebijakan tersebut. Namun bagi orang yang dirugikan seperti aku, yang sudah bayar biaya kuliah full (beasiswa LPDP) namun tidak bisa menikmati fasilitas kampus sepenuhnya, yang dilakukan oleh pemerintah Australia adalah hal bangsat yang tak henti-hentinya memaksaku untuk bersumpah-serapah.

Slow, Dahlan!

Tarik nafas!

Sabra, dan positif thinking!

 

Okay..

Prolognya terlalu panjang. Langsung saja ke intinya. Jadi, ada salah seorang temanku yang ternyata mendapatkan pilot project untuk masuk ke Australia. Padahal secara kualifikasi akademik, dia semestinya tidak termasuk mahasiswa yang mendapatkan prioritas untuk memperoleh program tersebut. Teman ku memulai studinya satu semester lebih lambat dari saya. Namun sekarang dia mendapatkan kepastian duluan untuk keberangkatan, dengan tiket pesawat yang sudah dia genggam tertanggal 5 Desember 2021.

Jujur aku shock, senang, sedih, dan kecewa. Namun aku jadi melakukan refleksi. Kebetulan di semester ini aku ada mata kuliah yang membahas reflective practice. Aku bertanya pada diri sendiri mengapa temanku yang satu ini beruntung banget. Dalam sebuah percakapan melalui aplikasi Whatsapp aku mendapatkan sebuah kata-kata dari lawan chatting. Kata-kata tersebut sangat menghentak pikiranku. Dia menyebut istilah “pola-pola pertolongan Alloh’. Dia mengelaborasi bahwa pertolongan Alloh pada hambaNya biasanya bisa dilihat polanya. Salah satu polanya adalah Alloh akan mengabulkan permintaan hambaNya yang meminta secara sungguh-sungguh. Meminta secara konsisten, melalui panjatan doa yang tak kenal henti.

Sontak aku jadi refleksi diri. Jangan-jangan yang aku lakukan selama ini menunjukkan ketidaksungguhan dalam berharap pada Alloh SWT. Sebenarnya aku sudah lama membuktikan bahwa doa-doaku banyak yang dikabulkan olehNya ketika aku benar-benar berharap padaNya untuk Ia kabulkan melalui ikhtiar doa yang tak putus. Ternyata benar, selama ini, aku terperangkap oleh logika manusia, bahwa sulit bagiku untuk berangkat ke Australia dengan alasan-alasan rasional yang diciptakan oleh manusia tadi. Padahal, sebagai orang yang mengimani keberadaan Tuhan, aku semestinya tetap berada pada garis keyakinan bahwa taka da yang tidak mungkin untuk Alloh kabulkan, sesulit apa pun hal tersebut aku kira.

Untuk urusan duniawi, Alloh SWT adalah yang maha mewujudkan hajat manusia, terlepas apapun keyakinan ketuhanan mereka. Temanku yang kebetulan beragama non-muslim yang mendapatkan exemption tadi memang menunjukkan harapan yang besar untuk bisa masuk Australia. Mungkin dia panjatkan selalu harapan tersebut dalam ibadahnya. Mungkin dia selalu tanamkan dalam pikiran bahwa dia yakin bisa berangkat. Keinginan untuk berangkat terus menggebu dalam batin dan pikirannya. Di situlah law of attraction bekerja. Sementara aku, karena terjebak mengikuti logika manusia, cenderung pasrah sama keadaan, dan berharap bahwa Tuhan puna akan membiarkan keadaan sejalan dengan logika manusia. Padahal Tuhan punya kuasa untuk membelokkan alur cerita kehidupan.

Dalma proses refleksi ini, aku teringat kembali tentang pola-pola bagaimana doa-doa dan harapanku terwujud selama ini. Juga pola-pola bagaimana beberapa harapanku belum kunjung terwujud. Ternyata selama ini aku telah membuktikan sendiri bagaimana pola-pola tersebut terwujud. Saat aku mendaftar beberapa program pengembangan profesionalitas di luar negeri dulu, aku selalu berdoa secara terus-menerus tanpa putus hingga terkabulnya doa. Aku juga melibatkan orang-orang terkasih, terutama ibuku, untuk sama-sama mendoakan. Aku tanamkan pikiran tentang apa yang aku inginkan setiaphari setiap saat. Benar-benar pertalian antara usaha, do’a dan affirmasi positif begitu selaras dan kuat waktu itu. Lalu, kenapa untuk hajatku yang lain belum juga terwujud. Ternyata semua itu karena aku sering terjebak pada logika manusia, dan mengabaikan logika Tuhan.

Banyak hal yang akhirnya aku renungkan, setelah melakukan refleksi diri. Dulu aku tidak mendapatkan orang yang aku dambakan untuk menjadi pendamping hidup karena aku mengikuti logika manusia. Perasaan minder karena aku tidak kaya, tidak rupawan, tidak menarik, dan logika-logika lainnya mungkin telah menjadi penghalang bagi terkabulnya keinginanku untuk meminangnya. Padahal yang harus dilakukan oleh seorang hamba adalah ikhtiar, berdoa penuh keyakinan bahwa apa yang diharapkan bisa terkabul. Kalimat “sesungguhnya Alloh beserta prasangka hambanya” bukan lah kaleng-kaleng. Ia bukan kata-kata klise yang hanya dipakai sebagai pemanis retorika. Ia benar adanya.

Selama ini keinginanku untuk menjadi orang se-sukses tokoh panutanku juga karena aku terjebak pada logika manusia. Ternyata fixed mindset-ku selama ini mendominasiku. Aku merasa tidak layak mendapatkan hajat ku untuk menjadi seorang yang terkenal dan bisa memberi dampak luas karena, karena aku berpikir bahwa aku tidak memiliki privilege sebagaimana yang mereka miliki. Padahal dunia sudah membuktikan bahwa banyak orang telah mematahkan mitos privilege melalui kerja keras, cerdas, focus dan tuntas.

Mengacu pada hasil refleksi ini, aku memutuskan untuk merumuskan sebuah action plan. Aku harus terus berada pada track yang benar, mengikuti logika ketuhanan, bahwa segala hajat bisa diwujudkan olehNya melalui konsistensi keselarasan antara ikhtiar, do’a, dan law of attraction yang positif. Itu polanya. Dengan demikian, insya Alloh hajat-hajat ku terkabul. Amiin

Terimakasih, ya Alloh, telah mengingatkanku akan pola-pola pertolonganmu ini!

 

Jumat, 29 Oktober 2021

Mengasah Ketahanan terhadap Ketidaknyamanan dan Menumbuhkan Harapan

 

 

Susah untuk menyangkal bahwa segala sesuatu yang bernilai biasanya diraih dengan cara yang tidak nyaman. Apa jadinya jika emas mudah didapat, layaknya daun yang bisa dengan mudah kita petik? Apa jadinya jika berlian mudah kita ambil, layaknya kerikil yang bisa dengan mudah kita ambil. Apa jadinya jika permata dihasilkan oleh semua kerang dengan cara yang mudah. Semua itu, sekalipun indah dilihat, pasti akan jauh lebih rendah nilainya jika didapatkan dengan cara yang mudah.

Untuk meraih emas, ada tanah di kedalaman tertentu yang harus kita gali. Untuk meraih emas, kadang diperlukan berbagai alat berat, tenaga manusia yang banyak dan terlatih, bahan peledak, pabrik smelter, dan sebagainya. Kenapa orang mau menggali tanah yang begitu dalam untuk mendapatkan emas? Jawabannya adalah karena ada harapan besar akan diraihnya emas. Konon, William Tanuwijaya, pendiri Tokopedia rela untuk hanya tidur 3 jam sehari dan menangani berbagai posisi kerjaan saat di awal perintisan Tokopedia. Sepertinya di balik suksesnya orang-orang besar, selalu ada kisah pengorbanan diri mengarungi situasi tidak nyaman.

Harapan selalu menjadi penyebab orang bertahan dengan proses yang tidak nyaman. Mungkin benar bahwa harapan jua lah yang menjadi alasan orang mengalami kekecewaan. Namun jika kita memiliki harapan, kita ada kesempatan untuk meraih hal bernilai. Jika kita tidak memiliki harapan, mungkin kita tidak akan mendapati kekecewaan. Namun apalah artinya tak mendapati kekecewaan, jika di saat yang sama kita juga tak meraih hal-hal yang sangat bernilai dalam hidup.

Memiliki harapan adalah hal yang murah. Kita tidak perlu membayar apa-apa hanya untuk memiliki harapan. Namun nyatanya, banyak orang yang merasa tidak mudah untuk memiliki harapan. Banyak yang takut berharap dengan dalih takut kecewa atau gagal. Banyak yang takut berharap karena rasa inferioritas mereka bahwa mereka tidak layak memiliki suatu harapan tertentu. Ternyata meskipun berharap itu murah dan mudah, hal itu tidak mudah dilakukan oleh banyak orang. Padahal harapan adalah pemicu semangat untuk bertahan berada dalam proses yang penuh dengan ketidaknyamanan. Padahal harapan adalah factor yang mendorong orang mau bersusah payah menggali terowongan untuk menambang emas.

Manusia adalah makhluk yang rasional. Mereka seringkali butuh memiliki suatu alasan kenapa mereka harus melakukan sesuatu. Seorang guru harus bisa membantu murid menemukan harapan yang menjadi alasan kenapa mereka harus belajar bahasa asing, matematika, sains, dan aktivitas akademik lainnya. Tanpa adanya harapan yang menjadi alasan para siswa melakukan sesuatu, mereka hanya akan terjebak menjadi budak rutinitas. Mungkin terlihat melakukan aktivitas belajar. Namun upaya itu hanya dilakukan sebatas sebagai pemenuhan kewajiban.

Pendidikan semestinya menjadi tempat untuk menumbuhkan harapan. Guru perlu membantu para siswa untuk memiliki harapan. Apa harapan yang mereka ingin raih dengan belajar mata pelajaran tertentu? Lebih bagus lagi jika harapan tersebut dipersonalisasi. Pendidikan juga semestinya menjadi tempat untuk melatih dan meyakinkan para siswa untuk memiliki ketahanan dalam belajar. Ketahanan dalam belajar itu sangat penting, dan menjadi skill yang akan sangat berguna bagi kehidupan seseorang. Mungkin sangat susah untuk para siswa menguasai semua ilmu yang mereka pelajari di sekolah, karena hal tersebut memang hardly possible. Apalagi setiap individu memiliki interestnya masing-masing. Namun setidaknya jika mereka memiliki skill ketahanan belajar, maka hal tersebut akan sangat berguna bagi kehidupan mereka setelahnya.

Senin, 25 Oktober 2021

Catatan Dahlan: Hidup Sebulan di Bali (24 Maret-26 April 2021)

 

 

Landing dan hari pertama

Alhamdulillah, akhirnya landing dengan selamat. Jujur, sebelum memutuskan untuk naik pesawat, hatiku bergulat dengan rasa cemas dan keraguan. Cerita akan jatuhnya pesawat sriwijaya Air yang masih hangat di ingatan makin menambah rasa cemas itu.

Sampai di Bandara I Gusti Ngurah Rai, langsung terasa Vibe nya. Alunan music tradisional Khas Bali di lorong lorong ruang bandara menyambutku begitu akrabnya. Ini adalah kali ke-enam aku berkunjung ke Bali. Pertama kali aku berkunjung ke Bali adalah Study Tour saat aku masih SMA. Dari setiap kunjunganku ke Bali, aku merasa selalu saja ada yang baru di Bali. Suasananya selalu baru. Hingga terbersit rasa untuk berkunjung lagi, setiap kali beranjak pulang dari Bali.

Kali ini, kebaruan tersebut dipengaruhi oleh situasi pandemi. Bali yang sebelumnya selalu padat dengan pengunjung, kini cukup lengang. Sesekali berbicara dengan warga local tentang dampak pandemic, selalu saja yang kudapatkan adalah keluhan. Betapa besarnya dampak adanya pandemic terhadap kehidupan warga yang hidup di Bali. Hal tersebut aku maklumi, karena memang pandemic menghantam kehidupan semua orang di seluruh negeri hamper tanpa terkecuali. Hanya saja sebagian bertahan, sementara sebagian lainnya hancur terhantam. Pariwisata menjadi sector yang paling terpuruk. Begitu pun Bali yang mengandalkannya sebagai sector utama penopang kehidupan ekonomi.

Di Bali, aku tinggal di sebuah kos-kosan. Kos-kosan tersebut dahulunya adalah sebuah hotel. Di masa normal, rate per kamar per malam kurang lebih adalah 250-350 ribuan. Kini kamar-kamar tersebut disewakan secara bulanan dengan tariff 1-600.000 per bulan, sudah include smuanya kecuali listrik. Berbekal media social, aku berselancar di dunia maya mecari informasi tentang kos yang menarik. Kos yang cukup terjangkau,` namun nyaman untuk mendukung aktivitasku selama di Bali. Kos-kosanku ini namanya Lowcost. Meski secara harfiah ia bermakna “berbiaya rendah”, namun fasilitas yang ia tawarkan sangat luar biasa. Kondisi kamar yang persis seperti hotel bintang 3 atau empat membuatku nyaman beradadi dalamnya. Ada roof top yang dari sana aku bisa melihat langsung Graha Wisnu kencana (GWK). Dari rooftop pula aku bisa bersantai sambil menikmati panorama indah tenggelamnya matahari. Matahari terlihat begitu cantik sekali di sore hari.

Di pagi pertama, setelah subuh, aku berjalan kaki ke arah barat menuju pantai Jimbaran. Sampai di pantai, ku lihat orang-orang sibuk bertransaksi jual beli hasil tangkapan laut. Tak jauh dari pantai, ada pasar ikan yang menjual ikan-ikan segar. Pantai, ikan, dan pemandangan orang-orang yang sedang memancing di dermaga adalah hal-hal yang membuat ku lupa akan rasa lapar.

Oiya, sebenarnya apa sih tujuanku ke Bali? Apakah untuk liburan? Kalo liburan, durasi sebulan relative kelamaan. Memang aku menjadikan kunjungan ke Bali kali ini sebagai liburan. Namun tujuan utama sebenarnya adalah untuk mencari suasana baru yang mendukung aktivitas kuliah online ku. Menunggu jadwal keberangkatan yang tak kunjung tiba itu sungguh melelahkan hati dan pikiran. Tapi aku bisa apa, ketika pemerintah Australia tetap ngotot untuk menutup perbatasan. Mereka berhak untuk membuat kebijakan demi rakyat mereka, dengan cara mereka. Awalnya, aku terjebak rasa marah tak karuan. Merasa ada ketidakadilan yang diberikan oleh Australia. Namun aku sudah mulai berdamai dengan situasi ini.

Menjalani kuliah Online di rumah, tepatnya meja dekat dapur yang signal internetnya paling bagus, aku merasa jenuh. Hamper satu tahun kujalani mode perkuliahan seperti ini. Tentu banyak kendala yang kuhadapi. Terkadang signal internet hilang. Terkadang suara dosen yang terdengar melalui aplikasi Zoom kurang jelas, sehingga mempengaruhi pemahamanku akan materi. Terkadang ada kendala komunikasi dengan teman grup presentasi, yang mana mereka berasal dari negeri Tiongkok yang menggunakan platform media komunikasi yang berbeda dari Indonesia. Dan sederet Kendala lainnya. Namun aku bersyukur pada Alloh, sang Murah Hati, overall aku bisa melewati semester satu dengan cukup baik. Targetku tidak mulu-muluk, minimal bisa survive saja aku sudah bersyukur.

 

Bismillah…aku mengerjakan assignment kuliah dulu ya.

 

Hari kedua hingga ke lima

Ini adalah kali ke-enam aku berkunjung ke Bali. Pada kunjungan-kunjungan sebelumnya, aku selalu memiliki keterbatasan waktu untuk benar-benar menikmati Bali, karena singkatnya kunjungan. Maklum, kunjunganku pada waktu itu bukan murni untuk berwisata, melainkan karena mengikuti kegiatan seperti seminar dan short course yang terjadwal. Sempat dulu aku bayangkan, bilakah aku bisa menikmati waktu lama di Bali. Berjalan menyusuri jalan dan gang di Bali, melihat lokalitas yang ada di dalamnya. Sepertinya asik jika bisa berlama-lama berada di pantai, menikmati tenggelamnya matahari sambil berenang di tepian laut dan bercengkerama dengan teman.

Kali ini, impianku terwujud. Sekarang aku tinggal di Bali untuk waktu yang cukup untuk memberikanku kesempatan mengeksplorasi Bali. Aku adalah pecinta jalan kaki. Sempat aku berjalan di sekitar Kuta, mampir ke berbagai tempat ikonik seperti Pabrik kata-kata Joger, pusat oleh-oleh Krishna, monument tragedy Bom Bali, pantai Kuta, dan menyusuri jalan-jalan sempit yang kanan kirinya penuh dengan took pernak-pernik khas Bali. Senang rasanya, karena apa yang aku bayangkan dahulu itu kini terwujud.

Kemarin, aku berjalan dari tempat ku tinggal menuju pantai Jimbaran. Sampai di sana, matahari mulai tenggelam. Bergegas aku menuju pantai untuk berenang sambil menikmati masa peralihan dari sore ke malam. Langit Bali terlihat begitu indah, cerah. Sempat aku ragu untuk berenang, karena aku bingung dimana aku bisa meletakkan barang-barangku dengan aman. Seorang warga local menyarankan untuk meletakkannya saja di tepian pantai, dan itu akan aman. Ternyata benar, aman.

Aku biasanya suka kuliner, setiap kali berkunjung ke suatu tempat. Namun, aku belum mendapati kuliner khas yang bisa aku nikmati di Bali ini. Ada kuliner khas Bali yang ikonik, Babi Guling. Namun tentu aku tidak bisa menyantapnya.

Hari-hariku di Bali terisi dengan aktivitas mengerjakan tugas, membaca artikel terkait mata kuliah yang aku ambil, korespondensi dengan teman kelas, baik dari sesame Indonesia maupun dari Negara lain, menonton video, dan eksplorasi tempat-tempat yang mudah dijangkau. Smeentara ini, aku hanya bisa mengeksplorasi daerah Denpasar, karena cukup dekat dengan tempat tinggalku. Ada keinginan untuk mengunjungi tempat-tempat keren yang hideaway. Namun itu akan butuh usaha dan biaya ekstra.  

Di Bali ini, aku berjanji pada diri sendiri untuk bisa produktif. Tinggal di Bali ini tentu menghabiskan biaya yang cukup banyak. Aku anggap ini sebagai investasi. Karena investasi, maka aku harus menghasilkan sesuatu secara produktif.

Tugas kuliah begitu banyak. Sementara aku sendiri merasa rugi jika selama di Bali ini, hanya tugas kuliahku saja yang selesai. Aku harus mendapatkan hal lain. Begitu banyak ilmu yang ingin aku pelajari dan praktikkan. Untuk bisa meraihnya, aku harus memiliki waktu luang yang cukup banyak. Agar waktu lunagku cukup banyak, maka manajemen waktuku harus bagus. Kecepatanku dalam menyelesaikan tugas-tugas harus mantab.

Begitu banyak bahan bacaan yang ingin aku selesaikan. Butuh kecepatan membaca yang luar biasa. Bukan hanya kecepatan membaca, melainkan juga kecepatan memahami bacaan. Rugi rasanya jika berlama-lama membaca. Sementara, yang paling penting adalah mampu mempraktikkan ilmu, bukan semata membaca atau mendapatkan ilmu.

Belajar,bekerja, dan having fun harus balance selama di sini. Ini adalah kesempatan pembuktian bahwa aku pandai mengelola waktu, dan produktif dalam berkarya.

 

Hari ke-6 dan 7

Tak terasa, genap sudah seminggu aku berada di Bali. Waktu berlalu begitu cepatnya. Biasanya, terasa cepatnya waktu itu dikarenakan adanya rasa bahagia. Memang, jujur aku betah tinggal di sini. Andai saja semua pekerjaanku bisa dilakukan dari sini, mungkin hidup akan terasa indah. Mungkin ini yang membuat para digital nomad dari berbagai Negara betah berlama-lama menetap di Bali. Lingkungannya cukup bersih, dan yang terpenting lagi adalah aman. Bali tak semata menampilkan hedonism, sebagaimana yang seringkali dicitrakan oleh banyak orang. Maklum, citra tersebut melekat, karena posisi Bali sebagai destinasi wisata internasional. Orang berbondong-bondong dating ke Bali untuk bersenang-senang. Dan Bali menawarkan berbagai pilihan kesenangan.

Hampir tak ada tantangan berarti untuk hidup di Bali, asalkan urusan keuangan aman. Banyak potensi yang dimiliki Bali. Sayangnya, justru acap kali orang luar yang jeli melihat dan memanfaatkan potensi tersebut.

Kemarin, aku jalan-jalan ke Kintamani dan Penglipuran world’s cleanest village. Keduanya berada relatif jauh dari Denpasar. Di Kintamani, aku disuguhi pemandangan gunung Batur dan danau Batur yang begitu mempesona. Bagi penyuka tempat yang tak begitu ramai seperti aku, kemarin adalah momen yang sangat tepat untuk berkunjung ke kedua tempat tersebut. Kintamani begitu sepi. Begitu pula Desa Penglipuran. Hamper dua jam aku duduk di sebuah restoran, bercengkerama sambil menikmati makan siang dengan menu ikan Nyet-Nyet khas Bali. Selama itu, tak ada pengunjung lain yang dating. Terbayangkan betapa dahsyatnya hantaman pandemic terhadap para pelaku Bisnis. Konon, restoran tersebut mampu meraih omzet puluhan juta rupiah dalam sehari di masa-masa normal. Namun, di masa pandemic, sehari dapet ratusan ribu saja belum tentu. Hanya dua orang karyawan yang nampak berjaga di restoran yang cukup besar tersebut. Terbayang berapa banyak karyawan yang harus dirumahkan.

Hal tersebut menyadarkanku untuk terus bersyukur dan bersyukur. Tak ada alasan untuk mengeluh atas keadaan apa pun. Sedikit saja ketidaknyamanan yang aku rasakan, tak layak untuk dikeluhkan. Di luar sana masih banyak orang yang sekedar membeli nasi pun tak bisa, karena limitnya pendapatan. Ada pula cerita seorang mantan pegawai hotel yang banting setir menjadi tukang ojek. Secara penampilan, orang tersebut lebih Nampak seperti seorang manajer hotel, atau bahkan pemilik hotel. Perawakannya berwibawa, rapi, cara bicaranya santun, klimis, bersih. Sama sekali tak Nampak seperti orang yang berkesibukan di jalanan. Lagi-lagi pandemic membuat orang seperti dia tak punya pilihan, selain melakukan aktivitas apapun untuk bisa survive menghidupi keluarganya.

Oiya…aku pergi ke kedua tempat tersebut dengan diantar oleh seorang teman. Teman kelas, tepatnya. Dia adalah mahasiswa The University of Adelaide juga. Usianya terpaut cukup jauh lebih muda dari ku. Dia cerdas, ramah sikap dan tutur katanya, berwasasan luas dan toleran. Kami berbeda dalam hal keyakinan beragama. Dia Hindu, aku Islam. Namun justru dia yang begitu concern untuk mengingatkanku melakukan kewajiban sholat lima waktu. Dia ingatkanku untuk membawa perlengka[an sholat, jika diperlukan. Dia juga mengantarkanku ke masjid saat waktu sholat tiba di tengah-tengah perjalanan. Indah rasanya ketika toleransi seperti itu terwujud dalam persahabatan. Aku belajar banyak dari dia tentang berbagai filosofi yang ada dalam adat budaya masyarakat Bali. Hal tersebut cukup menambah wawasanku.

 

Menjadi digital nomad

Berada di Bali ini, aku jadi terpikir tentang menjadi Digital Nomad. Tinggal di Bali memang nyaman, namun terwujudnya kenyamanan tersebut karena ditopang oleh keterjaminan finansial. Aku mulai berandai-andai, bilakah aku tinggal menjadi digital nomad, mendapatkan penghasilan tanpa harus terikat jadwal ngantor pagi hingga petang. Ini pertanyaan menarik yang cukup mengusik dan memprovokasi pikiranku. Rasanya sulit, jika aku harus secara jujur jawab sekarang. Namun itu bukan tidak mungkin. Buktinya, banyak orang-orang yang menjadi digital nomad, meraih pendapatan besar dan menetap di Bali.  

Pikiranku mulai berselancar, menerawang berbagai hal tentang apa yang aku bisa lakukan untuk bisa menjadi digital nomad yang sukses. Aku mulai dengan melihat potensi-potensi yang ada pada diriku sendiri. Aku data, dan hasilnya adalah;

-       Aku lancer berbahasa inggris

-       Aku cukup bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang, meski masih harus terus belajar

-       Wawasanku cukup luas

-       Aku pandai berkomunikasi

-       Secara fisik dan psikis aku sehat wal afiat

-       Aku memiliki orang tua yang selalu mendukung dan mendoakanku

-       Aku memiliki rasa percaya diri yang tinggi saat berinteraksi dengan orang lain, sekalipun baru bertemu

-       Aku cepat belajar

-       Aku adalah orang yang open-minded

-       Aku suka bersinggungan dengan hal-hal baru

-       Aku memiliki keyakinan spiritual

-       Aku memiliki modal yang cukup untuk memulai sesuatu dari yang kecil

-       Aku memiliki aura ramah

Setidaknya, itu potensiku, yang bisa kukapitalisasi untuk mewujudkan mimpi.

Jadi, aku musti memulai dari mana?

Aku harus memulai dari hal yang paling terjangkau. Menjadi dropshipper atau reseller sepertinya akan menjadi kick-start yang bagus. Aku sudah memiliki beberapa jaringan supplier. Tinggal aktifkat starter enginenya. Tak perlu cepat-cepat menaikkan gigi, yang penting stabil percepatannya. Toh nanti juga akan melaju juga. Saat sudah melaju, tinggal menaikkan gigi sesuai dengan kemauanku.

Aku harus konsisten dalam menjalankan usaha dropship. Seperti apapun progress atas usaha yang kujalani, yang penting aku sudah berada pada right track. Aku harus terus konsisten menjalankan dropship hingga titik menghasilkan dan bisa berjalan secara autopilot. Apakah aku bisa? Aku yakin, atas izin Alloh SWT, aku BISA!!

 Setelah dropship berjalan, aku mencoba untuk merambah ke dunia ekspor dan impor. Dunia ekspor menjadi prioritasku, karena itu adalah impianku sejak lama. Ada kesempatan untuk itu. Aku harus memulainya dengan bergabung dengan kelompok belajar ekspor. Tentu aku harus mengeluarkan uang untuk bergabung dengan kelompok eksportir tersebut. Namun itu adalah investasi. Aku PASTI BISA!!!

Target awalku adalah berhasil mengekspor satu produk. Produk apapun itu, dan seberapa pun volumenya. Yang penting aku melakukan kick-start dengan sukses. Seterusnya, aku harus mulai menata bisnis eksporku. Semua harus berujung pada terwujudnya system yang autopilot. Bisnis berjalan, dan terus berkembang secara autopilot. AKU PASTI BISA!!!

Hasil yang kuraih, harus aku belanjakan dengan prioritas untuk kegiatan filantropi. Ini bukan supaya aku mendapatkan balasan atas amal baik ku kepada Alloh SWT, melainkan ini adalah wujud syukurku kepada Alloh SWT.

 Aku harus focus focus dan terus focus terhadap upayaku ini untuk menjadi digital nomad. Saat berhasil, ada keluarga yang harus aku cukupi kebutuhan-kebutuhannya. Ada kaum dhuafa yang harus aku bantu. Ada warga palestina yang harus aku santuni. ada ekonomi kerakyatan yang aku harus berkontribusi untuk mengembangkannya.

Alloh…hati dan pikiranku bergetar saat aku menulis ini. Terasa begitu nyata. Aku yakin ini adalah signal positif bahwa Alloh akan mewujudkannya untukku. Alloh SWT akan memudahkannya. Aku pendosa, namun Alloh SWT maha besar dan maha welas asih terhadap hambaNya. AKU BISA!!

 

Hari ke-delapan hingga sebelas

Hari-hari di Bali ini terasa begitu cepat. Orang berkata, rasa cepat berlalunya waktu menyiratkan kebahagiaan. Artinya, aku bahagia dan betah berada di sini. Jujur, memang benar. Aku betah tinggal di sini. Impian yang dulu pernah terbersit dalam pikiran terasa terwujud nyata. Aktivitasku di sini yang paling utama adalah seputar belajar dan mengerjakan tugas perkuliahan. Ketika ada rasa bosan, aku tinggal bergegas menuju pantai di sore hari untuk berenang di sana. Atau sekedar jalan kaki menyusuri trotoar di seputaran Jimbaran. Itu sudah membuatku senang.

Kemarin, aku sempatkan mengunjungi Uluwatu. Sebuah tempat yang sangat indah untuk dikunjungi, terutama bagi para pecinta panorama birunya air laut, deburan ombak yang menghantam dinding tebing pantai dan sunset. Soal adanya spot-spot yang bagus untuk foto tak perlu diragukan lagi.

Berada di Bali di masa pandemic ini, aku merasa privilege banget. Betapa tidak, tempat-tempat wisata yang ku kunjungi semuanya lengang. Jarang ada pengunjung. Ada pun hanya beberapa. Jadi merasa bebas untuk menikmati tempat wisata secara penuh. Jarang-jarang ada orang bisa berswafoto di fesa Penglipuran tanpa di belakangnya ada penampakan manusia, kecuali di masa pandemic ini. Jarang ada kesempatan untuk berfoto ria di Uluwatu dengan background alam murni tanpa ada penampakan manusia lain, kecuali di masa pandemic ini.

 Tapi ada satu tempat yang secara tak kuduga begitu ramai. Pantai Melasti. Posisinya persis di bagian paling selatan pulau Bali. Tak ada panorama sunset maupun sunrise, karena posisi pantainya yang menghadap ke selatan. Namun tempat ini menjadi destinasi yang sangat favorit. Mungkin orang sudah mulai bosan dengan pantai2 yang mainstream seperti Kuta, Sanur, Jimbaran, Legian, Dreamland, Tanjung Benoa, maupun Nusa DUa. Bukan hanya Melasti, deretan pantai di ujung selatan Pulai Bali memang akhir-akhir ini seperti sedang hype-hype nya.

Coincidence banget, di pantai Melasti aku bertemu dengan 4 orang yang mereka purely digital nomad. Precakapan yang kami lakukan sambil berendam di pantai Melasti begitu mengesankan. Aku begitu “khusyuk” mendengar cerita perjalanan mereka menjadi digital nomad. Mereka bisa sesuka hati tinggal di manapun seberapa lama, asalkan terjangkau. Dan untuk di Bali ini, dua dari mereka yang merupakan sepasang suami-istri tinggal selama dua minggu. Sementara sepasang lainnya, yang mana si pria adalah orang Nigeria dan si wanita adalah orang Kalimantan, berencana untuk memperpanjang masa tinggalnya di Bali sampai satu tahun.

Mereka bisa sesuka hati menentukan durasi liburan mereka karena mereka adalah digital nomad. Orang yang tidak terikat dengan pekerjaan yang mengatur ritme dan waktu kerja mereka. Mereka earn money atau bahkan make money dari bisnis berbasis digital. Digital nomad belakangan menjadi trend gaya hidup yang semakin popular. Dulu, orang berbangga diri ketika memiliki pekerjaan tetap. Sekarang, terutama generasi muda, banyak justru bangga dengan berpendapatan besar namun tidak perlu terpaku dengan waktu dan tempat dalam bekerja. Dengan demikian, mereka bisa memiliki waktu yang fleksibel untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang sesuai dengan kehendak hati mereka.

Cerita-cerita tentang digital nomad banyak ku dengar melalui kanal youtube. Kebanyakan dari cerita tersebut mengisahkan gaya hidup digital nomad orang dari luar negeri. Belum banyak yang mengulas cerita digital nomad orang Indonesia. Namun, aku mendapatkan langsung cerita dengan bertemu langsung dengan mereka saat menikmati senja dan suasana di Pantai Melasti.

Berada di Bali ini, aku merasa seperti me-recharge mindset dan kesadaran diri. Ada banyak hal yang menjadi bahan renungan dan pelajaran buat hidupku. Memang benar perkataan bahwa busur panah tak aka nada gunanya ketika dia tidak dilesakkan untuk meluncur melalui busur. Biarlah orang memandang bahwa pelancongan ini adalah sikap hedon. Apalagi ini pelancongan ke Bali, yang nota benenya adalah tempat untuk banyak orang bersenang-senang. Namun hanya aku yang tau, apa yang aku dapatkan dari perjalanan ini.

 

Genap dua minggu di Bali

Tak terasa, staycationku di Bali sudah genap dua minggu. Kata orang, jika kita merasa waktu cepat berlalu, maka itu tandanya kita bahagia dan menikmati keadaan. Memang benar. Berada di Bali bukan hanya menjadi moment pelepas kepenatan pikiran, melainkann juga momen untuk refleksi diri. Refleksi untuk mengukur melihat sejauh mana diriku melangkah, apakah aku sedang berada di jalur yang tepat, dan apa yang aku rencanakan. Benar adanya bahwa terkadang kita perlu menjauh sesaat atau beberapa lama, untuk bisa mengevaluasi dan menata ulang jalan hidup yang kita tempuh.

I came across a very insightful book. Buku berjudul YOU DO YOU, ditulis oleh seorang anak muda yang memiliki pemikiran yang reflektif banget. Banyak hal dalam bukunya yang seperti menyadarkanku akan banyak hal. Hidup harus ada road map nya. Jika tidak, maka ia hanya akan berjalan hampa tanpa kejelasan makna. Ada tahapan-tahapan yang semestinya dilalui. Masa usia 20an musti dijalani secara berbeda dengan masa 30an dan masa-masa selanjutnya.

Another message adalah bahwa aku tak perlu mengukur pencapaianku dengan pencapaian orang lain. Setiap orang memiliki garis start yang berbeda-beda. Garis startnya Ardi Bakrie berbeda dengan titik nolnya aku. Begitu pula garis startnya anak yang lahir di kampong pelosok berbeda dengan garis startnya anak yang lahir di kota dari keluarga berada.

Tinggal di bali selama waktu yang sesuka hatiku memberi gambaran jelas tentang gaya hidup yang pernah aku dambakan, dan masih aku dambakan, digital nomad. Rasanya bebas indah dan sempurna memiliki hidup penuh kebebasan. Namun kebebasanku ini masih belum sepenuhnya berada di dalam kendaliku. Sekarang aku memiliki kebebasan waktu karena kebetulan aku sedang cuti belajar dan situasi belum memungkinkanku untuk berangkat ke Negara tempat belajar, Australia. Kebebasanku masih ditopang oleh sumber pendapatan aktif income, dari gaji. Kebebasan sesungguhnya adalah ketika aku sudah tidak terikat waktu dan active income. Asalkan sehat, aku bisa melakukan hal-hal keren dan penuh manfaat sesukaku.  

Namun satu hal yang aku belum perbaiki selama di Bali ini adalah produktivitas finansialku. Sebenarnya ada banyak jalan, ada banyak informasi tentang cara menuju bebas finansial. Namun sepertinya aku masih belum kuasa penuh untuk mendisiplinkan diri. Aku harus mencoba, selama berada di Bali ini. Aku tak boleh menunggu situasi penuh pressure untuk memulai dan menjalaninya.


 

Catatan di hari ke-15 tinggal di Bali

Ada notifikasi di MyUni bahwa nilaiku keluar untuk kelas Curriculum Development and Innovation. MyUni adalah platform Learning Management System yang digunakan oleh kampusku, The University of Adelaide. Buru-buru aku melihatnya, dan ternyata mendapati kekecewaan. Kecewa bukan hanya karena nilaiku jauh dari target, melainkan juga karena ada temanku yang sepertinya effortnya tidak sebesar effort ku tapi perolehan nilainya lebih tinggi. Temanku ini hanya dua hari mengerjakan assignment tersebut. Sementara aku lebih dari itu. Tak pernah aku secara intensif mengerjakan assignment tersebut. Namun jika dilihat dari rentang waktu pengerjaan, kurang lebih seminggu.

Aku jadi belajar dan mengevaluasi diri. Kuantitas tidak selalu selaras dengan output maksimal. Lamanya pengerjaan assignment tidak selalu berkorelasi positif dengan hasil maksimal. Itu buktinya temenku. Waktu pengerjaannya hanya dua hari, namun hasilnya maksimal. Namun aku belum tau juga the key factors behind her incredible performance. Mungkin saja dia sebenarnya mengerjakannya jauh2 hari. Dalam arti, jauh-jauh hari dia merumuskan konsep. Dua hari dia gunakan untuk menuangkan konsep tersebut dalam kerja nyata. Atau barangkali factor intelegensia yang menjadi penentu. Mungkin dia memang cerdas. Mungkin  dia memahami konsep menyelesaikan pekerjaan secara maksimal dan sempurna.

Aku jadi teringat istilah metakognisi, atau metacognitive skill. Sebuah skill kognitif yang oleh banyak literature disebut sebagai slkill yang sangat-sangat berguna bagi hidup seseorang, namun seringkali orang take it for granted. Bahkan para guru yang semestinya mengetahui hal tersebut saja mungkin banyak yang tidak begitu familiar dengan istilah tersebut. Mungkin metakognisiku yang perlu diasah. Agar semua hal bisa aku handel dengan tuntas, tatas, titis, tetes.

Ada banyak assignment dengan deadline yang cukup meresahkan jiwa-jiwa santuy. Ada banyak tuntutan yang cukup membuat tidak nyaman untuk berlama-lama rebahan. Dari pengalaman study master ini, aku justru belajar tentang cara terbaik untuk belajar yang sesuai dengan segala variable yang ada padaku. Performa membacaku harus cepat dan efektif. Kerjaku harus cepat, cerdas dan tuntas. Efektifitas dan efisiensi menjadi keharusan.

 

Catatan hari ke-enam belas

Berbekal tiket yang kupesan di sebuah situs pemesanan akomodasi online, aku menikmati pengalaman tinggal di sebuah resort berbintang lima di kawasan Kuta. Seperti halnya resort-resort yang ada di Bali pada umumnya, Resort ini tidak memiliki bangunan yang tinggi. Tidak ada pembangunan gedung yang menjulang ke atas, semuanya melebar dan “makan tempat”.

Aku mendapatkan kamar di area paling belakang, dengan nuansa taman yang begitu asri nan menyejukkan. Namun di malam hari, terlebih waktu itu adalah malam Jum’at Kliwon, suasana terasa begitu angker. Di dalam kamar, aku menyendiri menikmati segala fasilitas, sambil mengerjakan tugas kuliah yang harus dikumpulkan di hari berikutnya.

Ada pemandangan yang cukup memilukan di dalma Resort sebesar dan seluas itu. Tidak banyak tamu yang menginap di sana. Dari sekian ratus kamar/villa, sepertinya tidak lebih dari 5 kamar yang terisi. Dampak pandemic terlihat sekali di Resort ini. Jejeran vila mewah nampak sepi tanpa penghuni. Sempat aku berbincang-bincang dengan pegawai Resort tersebut. Namanya Ratna dan Wilan. Mereka asli orang Bali. Setahun terakhir, Resort tersebut memang sepi. Biaya maintenance begitu besar, hingga pemilik Resort tentu mengalami kerugian yang begitu besar. Para pegawai di Resort tersebut sebagian besar adalah anak-anak magang, yang merupakan mahsiswa akademi pariwisata. Hanya beberapa orang yang merupakan pegawai tetap.

Dari sini bisa dipahami kenapa begitu banyak hotel yang On Sale akhir-akhir ini. Barangkali kengerian dampak pandemic seperti ini sudah jauh hari terbayang jelas oleh Jerinx SID yang kini dipenjara karena menyerukan bahwa semua ini adalah konspirasi. Entah benar bahwa di balik pandemic ini konspirasi atau memang nyata, yang jelas dampaknya sudah terasa nyata. Dampak ekonomi yang akhirnya merambat ke berbagai dampak lainnya.

Di masa sebelum pandemi, orang bisa dengan leluasa memarkir kendaraannya di sembarang tempat. Namun sekarang banyak orang yang merasa was-was, kalau-kalau kendaraan mereka tidak aman jika diparkir secara tidak aman. Angka kasus pencurian kendaraan cukup signifikan, dibandingkan masa-masa sebelum pandemi.

Catatan hari ke tujuh belas hingga dua puluh dua

Ini adalah catatan untuk rentang hari yang paling panjang. Catatan ini sengaja dibuat rapelan. Kesibukan menyelesaikan tugas kuliah segera membuatku tak sempat menhisi catatan ini untuk tiap hari. Catatan kali ini aku isi dengan tema procrastination dan syukur.  

Sudah menjadi kebiasaan bahwa aku menyelesaikan tugas mepet-mepet. Sudah lama aku menjadi seorang deadliner. Sebenarnya bisa saja aku menjadi on-time-er. Namun seringkali ada bisikan syaitan yang membuatku mengulur-ulur waktu penyelesaian tugas. Akhirnya, dampaknya seperti yang ku alamai saat menyelesaikan tugas dua mata kuliah kemarin.

Rentang waktu yang tersedia untuk penyelesaian tugas tersebut sebenarnya ada 3 mingguan. Namun karena berbagai kesibukan lain, dan juga dorongan kebiasaan menunda, membuatku persis melakukan upaya efektif tidak lebih dari 2 hari. Otak terforsir, begitu pula tenaga. Jatah tidur malam ditunda, berharap bisa diganti dengan waktu tidur di siang hari. Kepanikan sempat melanda, apalagi saat mata ini melirik waktu yang menandakan semakin dekatnya deadline. Tibalah saatnya aku submit tugas, hanya beberapa menit sebelum deadline.

Qodarulloh…laptop yang ku pakai nge-hang. Semakin menjadi-jadi lah kepanikanku. Sementara waktu tinggal 2 menit. Akhirnya terkirim sudah tugasku. Namun di situ ada keterangan “Late” berwarna merah. “Apes!!!”, batinku berkata. Keterlambatan pengiriman tugas memiliki konsekuensi pengurangan nilai sebanyak 2% per jumlah hari keterlambatan. Cukup signifikan. beberapa jam sebelumnya, aku sempat menghubungi dosen untuk diberikannya aku submission extension. Upaya ini semestinya aku lakukan paling tidak sehari sebelumnya, dengan memberikan excuse yang making sense tentunya. Aku sudah pasrah, biarlah ada pengurangan nilai. Ternyata…ada notifikasi email dari dosen. Kubuka, dan  isinya adalah dosenku menyetujui untuk memberikan submission extension. Artinya aku bisa telat mengirimkan tugas dengan tanpa dikurangi poin nilainya.

Senang rasanya, namun aku sudah terlanjur mengirimkan tugas. Tak apa lah. Selesai mengerjakan tugas, aku bergegas menuju kasur. Merebahkan badan yang sudah berjam-jam diforsir untuk bekerja. Entah kenapa, sesaat setelahnya, ada rasa untuk segera menyelesaikan tugas selanjutnya. Padahal deadline nya masih cukup panjang. Selesainya tugas ini menimbulkan efek psikologis berupa sense of accomplishment. Efek ini yang memicu keinginan untuk segera menyelesaikan tugas-tugas selanjutnya. Ada rasa puas saat pekerjaan selesai. Mungkin lebih puas lagi jika pekerjaan selesai jauh hari sebelum tanggal deadline nya.

Selanjutnya, aku akan bercerita tentang rasa syukur. Di kosan tempat aku tinggal, ada seorang caretaker, namanya adalah Flo, asli NTT. Dia berada di Bali sudah cukup lama, bertahun-tahun. Dia mulai merantau semenjak masih seusia anak SMP. Negeri perantauan pertama yang ia singgahi adalah Jogjakarta. Dia habiskan masa SMP dan SMA di sana. Selanjutnya dia berpindah ke Bali, dengan harapan ada kesempatan untuk membuat hidupnya lebih baik. Setidkanya itu yang aku tangkap dari ceritanya.

Flo ini hidup di Bali dengan istri dan anaknya yang masih belia. Di masa pandemic ini, Flo hanya bekerja di satu tempat, yaitu kosan dimana aku tinggal. Jam kerjanya tidak menentu. Kadang dia dating, kadang dia tidak datang. Ternyata itu memang kebijakan dari sang pemilik kosan. Kosan ini dulunya adlaah hotel. Karena pandemic, yang berimbas pada sedikitnya tingkat okupansi, maka ia disulap menjadi kosan. Tentunya harganya jauh lebih murah.

Aku bayangka, Flo harus menghidupi anak dan istrinya di Bali yang notabenenya berbiaya hidup tinggi, dengan hanya mengandalkan kerja paruh waktu. Tapi dia masih bisa survive. Aku jadi refleksi diri. Kadang aku yang masih hanya mengurus diri sendiri saja masih mengeluh ketika ada sedikit saja keterbatasan. Pandemic jelas menghantam kehidupan banyak orang. Kisah hidup orang orang seperti Flo harus aku jadikan sebagai pemicu rasa syukur. Setidkanya, kondisiku jauh lebih baik dari Flo. Aku masih bisa memilih makanan. Aku masih bisa nonton bioskop kapanpun aku mau. Aku masih bisa memesan makaan via ojek daring. Aku masih bisa mengunjungi tempat indah saat aku merasa bosan. Aku masih bisa menikmati rebahan sambil nonton video yang bagus melalui perangkat gadget yang kupunya. Aku masih bisa mengirim duit ke orang tua. Aku masih bisa memberikan orang makanan.

Kurang alasan apalagi untuk aku bersyukur?

 

Catatan hari ke-23 hingga 25

Sabtu minggu kemarin aku gunakan untuk mengeksplorasi daerah Bali sebelah utara. Ada beberapa tempat hidden gem yang sempat aku kunjungi. Diantaranya adalah Taman Ujung, Penataran Lempuyang (meski akhirnya tidak diperkenankan masuk, karena sedang ada upacara peribadatan), Tirta Gangga, dan Pura Besakih (pura terbesar di Bali). Di antara tempat-tempat tersebut, ada satu hal menarik yang menambah wawasnku tentang konsep ketuhanan dalam agama Hindu. Di Pura Besakih, ada beberapa komplek pura dewa seperti pura Dewa Wisnu, Dewa Siwa, dan Dewa Brahmana. Yang menarik adalah, ternyata dalam agama Hindu, ada yang disebut Sang Yang Widi Wase, atau Tuhan Yang Maha Esa.

Pura untuk Yang Widi Wase ini paling besar dan luas diantara komplek pura-pura yang ada di kawasan tersebut. Dijelaskan oleh seorang guide, Sang Yang Widi Wase adalah pencipta alam semesta, termasuk pencipta para Dewa. Ini menarik. Ini menyiratkan bahwa ada irisan konsep ketuhanan antara Islam, Kristiani, dan Hindu. Aku belum tau tentang agam selain itu, apakah ada konsep ketuhanan yang beririsan.

Jadi, pada dasarnya dalam keyakinan Hindu ada Tuhan yang Maha Tunggal. Namun entah kenapa, selama ini aku belum pernah mendengarnya. Tuhan, dalam agama Hindu, sejauh yang kuketahui, adalah Dewa-dewa yang jamak terdengar seperti dewa wisnu, dewa siswa, dan dewa brahmana.

 

Hari ke-26-30

Tugas begitu banyak, dengan deadline yang cukup berdekatan. Aku cukup merasa tertekan secara psikologis. Ada  rasa bahwa ini adalah beban. Ada pikiran bahwa kegiatan mengerjakan tugas online ini mengurangi kekhidmatan menjalani hidup sebulan hidup di Bali. Tiba-tiba aku merasa jadi budak tugas. Kuliah ini serasa tumpukan beban di tengah depresinya aku yang tak kunjung jua berangkat ke Australia. Hingga suatu malam aku tersadar akan suatu hal.

Sekian lama aku merenung. Kenapa ini semua terasa beban. Ada dialog batin yang cukup seru. Logikaku meyakinkan positif, bahwa kuliah ini semestinya tidak jadi beban. Karena apa? Karena rasa adanya beban adalah indicator bahwa aku harus terus belajar. Bahwa masih banyak hal yang aku harus pelajari. Ada banyak missing things yang aku belum pahami tentang kuliah ini. Ada ilmu-ilmu yang aku harus mulai mempelajarinya dari dasar sekali, ilmu statistic contohnya. Ada hal-hala yang aku harus akui secara jujur bahwa aku harus belajar lagi. Ilmu tentang Academic Writing, contohnya. Ada banyak materi yang begitu detil dan beragam pada satu mata kuliah yang aku anggap mudah. Ragam materi pada ilmu Leadership, contohnya. Begitu pula dengan Educational policy course, yang ternyata membutuhkan upaya belajar yang besar.

Beban ini jadi indicator bahwa aku masih harus terus belajar. Belajar dengan tanpa hitung-hitungan. Kadang ada perasaan bahwa aku sudah belajar banyak, namun kenapa tidak kunjung jua aku memahaminya. Di titik ini aku harus menerima kenyataan bahwa performa daya piker manusia semakin menurun, seiring dengan bertambahnya usia. Dengan kesadaran ini, aku jadi harus menerima kenyataan bahwa aku harus belajar lebih lama untuk sampai pada titik pemahaman. Berbeda dengan anak yang masih belia yang otaknya masih dalam fase golden period.

Satu hal lagi yang jadi buah renunganku. Rencanaku begitu banyak, dan besar-besar. Saat manusia memutuskan untuk membuat rencana yang banyak, apalagi rencana besar, alam bawah sadar secara otomatis merekamnya. Dia membuat semacam alarm pengingat bagi manusia untuk bergegas mewujudkannya. Aku jadi ingat, kadang saat aku berbaring rebahan kepalaku terasa pusing. Pusing karena mengingat begitu banyaknya hal. Overthinking. Pada saat terebut, sebenarnya alam bawah sadarku sedang mengingatkanku bahwa aku tidak boleh santai-santai. Rencana dalam waiting list sedang menunggu untuk diwujudkan. Tidak boleh lekar-lekor.

Sadar akan hal ini, kini aku tak tertekan lagi dengan adanya tugas kuliah. Aku merasa bahwa tugas-tugas ini adalah hal lumrah. Rangkaian reading list untuk semua mata kuliah yang aku ambil harus dibaca semua. Ini adalah konsekuensiku mengambil keputusan untuk kuliah lagi. Dan ingat, aku harus menghasilkan output. Outputnya berupa 3 atau 4 buku yang berkaitan dengan gagasan pengembangan praktik pembelajaran.

 

Lewat Sebulan di Bali

Jujur, kuliah online yang ku jalani ini terasa cukup menjadi beban. Bukan karena aku cengeng tidak konsekuen dengan keputusan untuk kuliah. Beban ini terasa karena ada ekspektasi yang tak terwujud. Aku mengharap bisa menikmati kegiatan perkuliahan secara normal dengan hadir di kampus dan berkomunikasi langsung dengan dosen dan teman kelas. Aku mengharapkan pengalaman menikmati me-time di perpustakaan untuk sekedar baca-baca buku atau menulis. Aku mengharapkan untuk berkesempatan bertanya langsung kepada dosen saat ada bagian dari materi kuliah yang aku belum pahami. Namun semua itu belum juga terwujud, padahal kegiatan perkuliahanku sudah berjalan hamper satu tahun.

Aku mencoba berpositif diri. Berpikir positif, berperasaan positif, dan bersikap positif. Namun siapalah aku si manusia biasa yang kadang tak dapat menghindar dari mengeluh. Mungkin orang lain akan berkata, “sabar saja. Memang kondisi pandemic seperti ini membuat situasi tidak menyenangkan”. Andai semua teman-teman seangkatanku sesame awardee LPDP mengalami hal yang sama dengan yang kualami mungkin tidak kana ada protes hati. Namun nyatanya banyak dari mereka yang sudah bisa berangkat ke luar negeri tujuan studi. Australia benar-benar memupus harapanku untuk menikmati pendidikan kualitas tinggi. Jujur, aku benci!

Kini, aku sangat sensitive dengan guyonan teman yang menyinggung belum berangkatnya aku. Guyonan semacam “Dahlan kuliah di Australia cabang Pekalongan” sudah terasa sebagai sebuah bullyan, alih-alih candaan. Benci pula dengan mereka yang sok menanyakan kabar kuliahku, namun memberi tanggapan yang tak bijak saat mengetahui aku masih belum bisa berangkat ke Oz. “Kamu sih mas, kenapa dulu milih Australia sih”, celetuk teman melalui pesan di WA. “Ini orang ndak pernah belajar tentang empati”, batinku. Dia pintar secara akademik, namun tolol dalam menjalin komuikasi interpersonal. Auto-delete dari circle interaksiku.

Aku sudah berusaha membijakkan diri. Siapa lagi yang bisa mengarahkanku untuk berpikir dan bersikap bijak dalam menghadapi situasi ini kalo bukan aku sendiri. Aku tak perlu risau dan mengeluh.

Apa pun kondisinya, kamu harus terus tetap bersyukur. Memang menyedihkan ketika tidak bisa berangkat ke Negara tujuan kuliah, dan menjalani studi secara online. Namun itu masih harus disyukuri. Setidaknya kamu masih bisa dapet kesempatan belajar, cuti bekerja, menikmati waktu bersama orang tua, men-setting ulang roadmap hidupmu, dan lainnya. Masih banyak orang yang ingin mendapatkan kesempatan meraih beasiswa kuliah, namun tidak kesampaian. Masih banyak orang yang tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan impian studi lanjut. Namun kamu mendapatkannya”

Yang terpenting, sekarang yang harus aku fokuskan adalah menjalani studi ini sebaik dan semaksimal mungkin. Usahakan agar aku benar-benar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Usahakan bahwa aku memiliki bekal dan mampu berkontribusi bagi kemajuan negeri ini dalam dunia pendidikan. Orang pada akhirnya akan melihat hasil yang aku tunjukkan, bukan prosesnya. Terlepas apapun penilaian orang, yang terpenting adalah kamu memiliki kepuasan diri. Puas karena kamu bisa memiliki dampak positif yang besar bagi negeri. Siap untuk selalu berkarya!

 

Hari ke-32 di Bali

Penting sekali bagi guru untuk terus mendalami ilmu tentang psikologi. Penting sekali bagi guru untuk memahami tentang perkembangan karakter peserta didik. Saya sering mendapati banyak guru yang memiliki sudut pandang yang kurang luas perihal memandang perilaku peserta didik. Peserta didik yang kurang/tidak aktif dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas pembelajaran seringkali dilabeli stigma negative. Mereka seringkali dianggap sebagai siswa bermasalah yang harus dihukum. Padahal, seringkali “kenakalan” peserta didik disebabkan oleh berbagai factor yang justru membutuhkan empati dan peran guru dalam mengatasinya.

Perlu diketahui bahwa para peserta didik hadir di sekolah dengan membawa level motivasi yang beragam. Ada peserta didik yang sudah memiliki motivasi yang jelas terkait untuk apa mereka ke sekolah. Ada yang sudah memiliki keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan manfaat dari apa yang mereka pelajari di sekolah. Peserta didik semacam itu pada umumnya cenderung nurut pada system yang berlaku di sekolah. Mereka sangat jarang memiliki atau menciptakan masalah di sekolah. Di sisi lain, ada peserta didik yang bahkan tidak tahu untuk apa mereka ke sekolah. Mereka tidak bisa sepenuhnya disalahkan atas hal tersebut, karena hal itu mungkin dipengaruhi oleh berbagai factor.

Ada banyak factor yang mempengaruhi sikap/perilaku belajar peserta didik di sekolah. Satu di antaranya adalah Socio-economic status. Latar belakang social ekonomi sudah terbukti merupakan factor penting yang mempengaruhi perilaku peserta didik dalam belajar. Hal tersebut seringkali dijadikan objek kajian penelitian oleh OECD, sebuah lembaga yang menyelenggarakan test PISA. Tidak semua peserta didik beruntung memiliki lingkungan keluarga maupun social yang memotivasi dan mendorong mereka untuk memahami apa arti belajar. Tidak semua peserta didik beruntung memiliki fasilitas yang menjunjang proses belajar mereka. Tidak semua peserta didik beruntung memiliki wellbeing yang bagus. Untuk para peserta didik yang tidak memiliki keberuntungan tersebut, guru semestinya hadir memberikan pendampingan.

Di Australia, tidak ada siswa yang tidak naik kelas. Semua siswa baik di level sekolah Dasar maupun menengah naik kelas semua. Kebijakan tersebut sudah berlangsung sejak lama. Ada consensus di antara para stakeholder bahwa pengulangan kelas tidak bisa menjadi solusi atas permasalahan apapun yang berkaitan dengan peserta didik di sekolah. Jika itu dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera, oleh mereka hal tersebut dianggap tidak efektif. Yang terjadi di Australia adalah setiap siswa pasti naik kelas, dan guru dengan system yang ada di sekolah bekerja untuk memastikan bahwa siswa mendapatkan pelayanan pendidikan yang maksimal.

Guru harus memahami bahwa siswa rentan mengalami stress yang cukup tinggi. Di sekolah menengah, para siswa rata-rata harus mempelajari lebih dari 10 mata pelajaran. Di sekolah swasta bahkan kadang lebih banyak lagi mata pelajaran yang harus diambil oleh para siswa. Bayangkan seandainya semua atau sebagaian besar dari mata pelajaran tersebut memberikan tugas untuk dikerjakan dalam satu minggu. Memang hal tersebut memungkinkan. Namun tidak semua siswa memiliki metacognitive strategies yang memudahkan mereka mengatur penyelesaian tugas-tugas tersebut dengan baik. Bahkan banyak di antara mereka yang belum memiliki pemahaman tentang bagaimana cara yang baik untuk mereka belajar. Padahal, keragaman gaya belajar itu pasti. Seseorang mungkin bisa memahami suatu pengetahuan hanya dengan mendengarkan penjelasan dari guru. Namun sebagian lainnya mungkin lebih paham jika mempelajarinya melalui media visual, seperti catatan yang menarik, atau video. Berapa banyak guru yang membantu siswa untuk memahami gaya belajar mereka di awal semester? Jika ada, mungkin jumlahnya kalah jauh dari jumlah guru yang sama sekali tidak memberikan pemahaman tentang gaya belajar pada siswa.

Saat ada masalah terkait dengan perilaku siswa dalam belajar, guru semestinya lebih mengedepankan pendekatan refleksi diri. Sebelum memberikan vonis terhadap siswa bahwa mereka salah, semestinya guru melakukan refleksi untuk menemukan apa saja hal yang mereka lakukan yang belum berjalan dengan maksimal. Tidak dikerjakannya suatu tugas/proyek oleh siswa belum tentu berarti bahwa itu adalah sebuah kemalasan. Barangkali itu adalah sebuah pemberontakan karena mereka tidak memahami apa yang semestinya mereka lakukan, sementara mereka tidak memiliki keberanian untuk bertanya.

Sayangnya, kadang ada guru yang lebih suka mengedepankan ego diri. Misalnya, siswa tidak mengerjakan tugas diartikan sebagai sikap tidak menghargai guru, alih-alih berpikir bahwa barangkali hal tersebut justru disebabkan karena guru itu sendiri yang belum memberikan pelayanan maksimal dalam mendidik siswa. Kurikulum pendidikan guru biasanya menyisipkan mata kuliah psikologi belajar, psikologi perkembangan serta mata kuliah aspek pedagogis lainnya untuk dipelajari oleh mahasiswa calon guru. hal tersebut menyiratkan akan pentingnya memahami psikologi individu dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Namun, belajar psikologi semasa kuliah saja tidak lah cukup. Ilmu psikologi berkembang begitu cepat. Ada banyak dinamika tentang perilaku manusia yang dipengaruhi oleh berubahnya peradaban dan pola hidup manusia. Oleh karena itu, guru perlu terus meng-update pemahaman mereka tentang ilmu psikologi.

 

Selesai

Alhamdulllah…selesai sudah catatan sebulan hidup di Bali. Aku sudah kembali ke rumah. Nuansa ramadhan begitu terasa. Siklus Sahur-Aktivitas-Buka Puasa-Tarawih-Tadarus lebih terasa. Masih ada setengah bulan untuk jalani puasa, insya Alloh.