Senin, 24 Mei 2021

Tak pernah hatiku se-patah ini

 

Belum pernah aku merasakan hatiku se-patah ini. Rasanya sungguh kecewa, ingin marah, namun helpless. Siapa pun yang berkesempatan untuk studi di sebuah perguruan tinggi di luar negeri pasti menginginkan untuk merasakan pengalaman nyata belajar di Negara tujuan. Namun saat ini aku tak kuasa untuk menerima keadaan yang mengharuskanku untuk menjadi mahasiswa dari sebuah universitas di luar negeri tapi tak dapat berangkat ke Negara tujuanku studi.

Aku berusaha untuk mendamaikan diri. Meyakinkan diri bahwa hal ini harus diterima karena memang sekarang sedang dalam situasi pandemi. Namun susah untuk meyakinkan diri tentang hal ini, ketika mengetahui teman-temanku sudah pada berangkat ke Negara pilihan mereka masing-masing. Australia memang membuat keputusan yang berbeda dari Negara-negara lain dalam menyikapi pandemi. Orang luar tidak diijinkan masuk ke wilayah Australia, tak terkecuali mahasiswa asing. Jangankan mahasiswa asing, warganya sendiri yang terdampar di luar negeri banyak yang tidak diijinkan untuk kembali. Hanya mereka yang benar-benar memiliki kualifikasi tertentu yang dibolehkan untuk masuk ke Negara ini, pejabat Negara, misalnya.

Aku sering kena mental, ketika melihat dan mendengar segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas teman-temanku yang begitu normal di Australia sekarang ini. Tak ada masker tak ada jaga jarak maupun hand-sanitizer. Smua berjalan normal layaknya kehidupan sebelum pandemi. Aku punya hak untuk hadir di sana, karena aku bayar lunas, melalui dana beasiswa yang disediakan oleh negeriku. Rasanya aku ingin marah, tapi apa daya. Kenapa mereka tidak menggunakan skema karantina saja, untuk mahasiswa asing yang mau datang kesana. Kami siap bayar sendiri. Kalo mau, tempatkan kami di pusat-pusat karantina yang letaknya jauh dari pemukiman selama sebulan penuh. Kami masih mampu bayar. Tetapi si Scott Morrison terlalu bangs*t! Nafsu politiknya membuat dia menutup mata terhadap nasib kami.

Memang, belajar bisa dilakukan dengan tanpa tatap muka. Namun lain cerita, jika sedari awal hati ini sudah meniatkan diri untuk belajar secara tatap muka di universitas yang dipilih. Hal lain yang bikin kecewa adalah bahwa banyak pilihan lain yang sudah terlanjur diabaikan, demi pilihan untuk studi di Negara Australia bangs*t ini. Kewajiban sudah kami tunaikan, dengan bayar visa dan tuition fee. Namun hak-hak kami tidak dipenuhi. Aku yang sebelumnya begitu mengagumi Negara ini jadi ill-feel sejadi-jadinya. Muak tak terkira. Mungkin seperti ini rasanya dipenjara. Dipenjara oleh perlakuan sebuah Negara yang dulunya adalah penjara.

Ku kecewa tiada terkira.

Mengapa aku terobsesi untuk meraih pendidikan tinggi?

 

Ada pertanyaan yang muncul beberapa kali dari teman, saudara, dan rekan kerja tentang apa sebenarnya tujuanku kuliah tinggi-tinggi. Sebagian berpikir bahwa aku ingin mengejar karir yang tinggi. Sebagian berpikir bahwa dengan sekolah tinggi-tinggi hingga ke luar negeri, aku ingin menaikkan pendapatanku. Sebagian lagi berpikir bahwa aku sekolah tinggi-tinggi hanya karena ingin mencapai kepuasan diri. Hal ini membuatku berpikir dan memutuskan bahwa aku harus memiliki statement yang jelas tentang roadmap hidupku. Kemudian aku merangkum target-target yang ingin aku capai, serta tindakan yang harus aku lakukan.

Ini adalah statement untuk diriku sendiri. Kesannya klise, namun tujuan aku meniti pendidikan tinggi memang harus dinyatakan secara jelas. Dengan begini, aku bisa memiliki guideline yang jelas, dan tahu bagian mana yang harus aku perbaiki agar proses yang aku jalani benar-benar mengarah pada pencapaian target.

Aku memang haus akan belajar. Aku ingin berkontribusi lebih pada upaya peningkatan kemajuan pendidikan di Indonesia. Aku harus berperan banyak secara signifikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Agar bisa berperan banyak, aku harus mendapatkan pengakuan sebagai orang yang ahli dalam pengembangan pendidikan. Untuk mencapai pengakuan tersebut, maka pengetahuan dan kompetensiku harus sangat memadai. Untuk itu lah aku berusaha meraih pendidikan tertinggi, dan di luar negeri. Kenapa harus mendapatkan pendidikan tinggi di Luar Negeri? Karena banyak hal yang bisa aku dapatkan dari pendidikan di Luar Negeri. Keberagaman ilmu pengetahuan, jejaring relasi sesama pendidik dan dengan para ahli pendidikan dari berbagai Negara, kekayaan perspektif yang menunjang banyaknya ide, dan lainnya.

Apa saja langkah-langkah nyata yang harus aku lakukan agar aku bisa berkontribusi lebih?

Yang pertama, adalah melakukan personal branding yang sekaligus berdampak bagi kemajuan pendidikan. Aku harus berkarya menciptakan banyak karya tulis, baik berupa buku maupun karya tulis lain yang manfaatnya bisa diakses oleh orang banyak.

Yang kedua, aku harus aktif melakukan riset dalam dunia pendidikan. Aku membuat sebuah organisasi riset yang anggotanya terdiri dari para pakar pendidikan yang memahami riset, baik secara teori maupun praktik. Produk-produk riset kami harus terpublikasikan, dan bisa dijadikan rujukan oleh para pemangku kebijakan.

Yang ketiga, aku harus aktif memberikan kuliah pengembangan profesi guru. Banyak ide yang harus aku diseminasikan untuk dipraktikkan oleh para guru. Peran guru sangat sentral dalam kemajuan pendidikan. Oleh karena itu, aku harus berperan dalam upaya peningkatan kompetensi mereka.

Yang ke empat, aku harus membangun relasi dengan orang-orang yang memiliki akses kekuasaan. Dulu aku sempat berpikir untuk menghindari segala hal yang berhubungan dengan kekuasaan dan politik. Namun, belakangan aku menyadari, bahwa I have to embrace it. Untuk bisa mendapatkan wadah penyaluran ide kemajuan, aku harus punya akses terhadap kekuasaan. Karena hanya dengan itu lah aku bisa berperan dalam pembuatan berbagai kebijakan.

Ini adalah statement diriku.

Kamis, 20 Mei 2021

Refleksi Pendidikan di Sekolah: Things we often take for granted

 


Satu hal penting yang guru maupun komunitas sekolah secara umum sering abaikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah adalah mengajarkan peserta didik tentang cara belajar. Istilah dalam bahasa inggrisnya adalah “take it for granted”. Kita menganggap itu hal yang tidak perlu mendapat perhatian, karena dianggap sudah lumrah. Padahal, para peserta didik merupakan individu-individu yang hadir di sekolah dengan multi kondisi yang beragam. Ada sebagian peserta didik yang sudah memiliki motivasi belajar yang tinggi, ada pula yang tidak memiliki motivasi belajar sama sekali. Ada yang sudah mengetahui tentang gaya belajarnya, ada pula yang tak tau gaya belajar yang sesuai itu seperti apa. Ada yang sudah memiliki kemampuan manajemen waktu belajar, ada pula yang belum memiliki kemampuan itu.

Faktanya, pendekatan belajar untuk mata pelajaran satu berbeda dengan mata pelajaran lainnya. Misalnya, untuk mempelajari rumpun mata pelajaran bahasa tentu berbeda dari cara belajar mata pelajaran eksakta, ilmu sosial, seni, olahraga, dan lainnya. Masing-masing pelajaran membutuhkan pendekatan tertentu. Gaya belajar masing-masing individu pun kadang berbeda. Ada yang memiliki kecenderungan visual, auditori, kinestetik, atau gabungan di antaranya. Sekolah punya tanggungjawab besar untuk membantu peserta didik untuk memahami hal-hal penting tersebut.  

Peserta didik memiliki kondisi latar belakang social ekonomi dan budaya yang beragam. Ada yang lahir di keluarga yang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, sehingga ada fasilitas dan dorongan untuk belajar yang memadai. Ada pula peserta didik yang tinggal di lingkungan keluarga yang kurang memiliki kesadaran dan wawasan tentang cara mendukung belajar anak. Sekolah memiliki andil besar untuk membangun sinergi dengan para orang tua dalam memberhasilkan proses belajar peserta didik. Ide tentang sekolah untuk orang tua sepertinya perlu diimplementasikan. Sekolah perlu memberi pemahaman kepada orang tua tentang bagaimana keterlibatan orang tua dalam mendukung keberhasilan belajar anak. Di negara-negara yang pendidikannya sudah maju, peran orang tua (parental involvement) dalam keberhasilan belajar anak benar-benar mendapat perhatian baik dari sekolah maupun dari pembuat kebijakan pada otoritas yang lebih tinggi. Sinergi antara sekolah dengan orang tua tidak hanya terjalin dalam hal pembiayaan sekolah, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan keberhasilan belajar anak.

Sekolah sejatinya juga memiliki kewajiban untuk mengkomunikasikan konten kurikulum terhadap peserta didik. Peserta didik perlu diberi pemahaman tentang kenapa mereka harus terlatih kemampuan Higher-order thinking nya, yang berdasarkan teori Taksonomi Bloom mencakup menganalisa, mengevaluasi dan mencipta. Mereka perlu memahami kenapa mereka harus mengasah keterampilan abad 21 yang mencakup kolaborasi, kreativitas, komunikasi berpikir kritis, karakter dan kewarganegaraan. Apa korelasinya dengan kehidupan mereka.

Dengan pemahaman tentang hal-hal di atas, peserta didik akan menyadari bahwa sekolah bukanlah sekedar rutinitas mengerjakan tugas dan mengejar nilai hingga mencapai kelulusan. Jauh lebih dari itu, sekolah akan dipahami sebagai proses penempaan diri untuk menumbuhkan kualitas diri, sehingga memiliki kompetensi dalam menghadapi tantangan kehidupan. Hal ini yang akan membuat proses pembelajaran di sekolah terasa bermakna. Kita bisa berpikir dan membayangkan berada pada posisi peserta didik. Tanpa pemahaman tentang kurikulum, cara belajar, dan pentingnya hal-hal yang dipelajari di sekolah, maka aktivitas-aktivitas yang ada di sekolah hanya akan terasa sebagai rutinitas tanpa makna yang menjemukan. Tugas-tugas yang harus diselesaikan akan terasa sebagai sebuah perbudakan. Mungkin terkesan terlalu berlebihan untuk mengatakan ini sebagai perbudakan. Namun kata apalagi yang bisa menggambarkan perasaan orang yang harus melakukan suatu rutinitas tanpa tau maknanya selain kata perbudakan?