Minggu, 31 Desember 2023

2024, The New Version of Me

 


So, what is your plan for your new version in the upcoming new year?

I will be more committed to explore and exploit the most of me. I will take risk bigger than I would do. I will be more optimistic more than I thought I could. I will take every minute every second as precious as I can. I never mean to be greedy, but I am craving for achieving big.

I will surely sometimes question myself, if I can be that determined. But every time I doubt on myself, I will try to convince myself. Every time I am down, I will awaken myself.

2024 is the year of me becoming financially independent. It will be the year of me making most of my competencies. I will strive for being the best version of me.

2024 is the year of me being personally getting better in wisdom and maturity.  

2024 is the year of me independently walk on my own path.

2024 is the year of me harvesting from what I have invested.

2024 is the year of me contributing more to people in need.

2024 is the year of me deserving true love from someone beloved.

2024 is the year I get physically and mentally healthier.

2024 is the year of me smile wider and laugh my head off.

Once I promised that my 2023 would be outstanding. I confess I didn’t fully achieve what I aimed for. But thanks God it was not bad.

What drives us to move?

 

Kita menjalani hidup sudah sebegitu tidak netralnya. Kita sudah tidak berdaulat lagi atas penentuan sikap. Keputusan-keputusan yang kita ambil, sikap-sikap yang kita tunjukkan banyak yang di-adjust to others’ judgement.

Bahasa mudahnya, kita begitu haus akan validasi. Kita begitu resah terhadap ketiadaan pencapaian hidup. Merasa tidak berharga karena belum mencapai apa-apa. Perasaan yang sejatinya muncul bukan untuk pemenuhan kebutuhan internal, melainkan kebutuhan eksternal. Pembuktian diri terhadap orang lain melainkan kebutuhan eksternal.

Paradoksnya, justru hal seperti itu yang kadang bikin hidup terasa hidup. Kita merasa bergairah dalam menjalani hidup.

Kita sebagai manusia sebenarnya sudah merasa cukup dengan terpenuhinya kebutuhan dasar seperti rasa aman, terpenuhinya kasih sayang, penerimaan sandang, pangan dan papan. Namun hakikat kita sebagai makhluk social mendorong kita untuk menjadikan kebutuhan tersier menjadi kebutuhan pokok.

Orang lain bisa saja memandang bahwa kita penuh dengan kecukupan. Bahkan mereka mendambakan hal-hal yang ada pada diri kita. Sementara kita merasa masih belum menjadi siapa-siapa dan masih belum mencapai apa-apa.

Entah ini perasaanku saja, atau memang manusia pada umumnya memang begini.

Kalau aku, aku bukannya tidak bersyukur, melainkan hanya memiliki need of achievement yang begitu tinggi.


Sabtu, 30 Desember 2023

Wrapping up 2023 for Better New Year's Life

 


Besok persis, tahun akan berganti. Layaknya orang yang mengakhiri satu periode perjalanan, ada hal yang perlu dievaluasi. Perlu untuk refleksi diri. Agar apa yang sudah dijalani bisa menjadi pembelajaran, sebagai bekal untuk memperbaiki perjalanan setelahnya. Berikut beberapa poin refleksi yang aku dapatkan dari perjalanan 2023 ku.

Pertama, terkait bisnis. Aku Sudah menemui titik terang bisnis. Tadinya, jalan Nampak begitu gelap. Benar kata pepatah bahwa menjalani bisnis itu perlu dilakukan seperti berkendara di jalanan berkabut tebal. Jarak pandang mungkin hanya beberapa meter. Namun kendaraan harus terus melaju walau jarak pandang terbatas. Akhirnya, akan sampai juga ke tujuan. Yang perlu dilakukan hanyalah action. Nantinya, jalan-jalan terang akan muncul dengan sendirinya jua.

Masih terkait bisnis. Aku belajar hal berharga tentang the power of focus. Orang-orang yang sukses di bidang mereka masing-masing telah membuktikan kekuatan focus. Mereka bukannya orang-orang yang kekurangan ide. Ide mereka banyak, bahkan sangat banyak. Namun mereka menyadari bahwa mereka harus berfokus pada satu titik hingga sempurna. Mereka tidak akan melompat untuk merambah ke eksekusi ide lainnya sebelum focus pada satu ide benar-benar membawa mereka pada titik pencapaian tertinggi.

Aku merasa tidak kekurangan ide. Ingin tekuni dunia ekspor, impor, biro perjalanan umroh dan haji, perkebunan, digital/online marketing, edukasi, dan banyak lainnya. Namun aku sadar bahwa aku harus menekuni satu bidang dulu hingga mencapai titik pencapaian besar. Bersyukur, aku semakin belajar, hingga aku merasa sangat optimis untuk menjalani tahun depan yang jauh lebih baik.

Kedua, terkait ibadah dan hakikat hidup. Berbagai peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun 2023 telah menyadarkanku akan pentingnya mempersiapkan diri menuju kematian yang hakiki.aku pasti mati, suatu saat. Itu sudah tidak bisa ditawar lagi. Banyak orang, baik yang ku kenal maupun tidak ku kenal, telah meninggal dengan berbagai cara. Ada yang meninggal dalam keadaan jihad fisabilillah. Dalam keadaan berbuat kebaikan. Ada pula yang meninggal dalam keadaan yang taka da seorangpun yang menginginkan cara kematian seperti itu. Aku ingin meninggal dalam keadaan khusnul hotimah, dalam ridho Alloh.

Menyadari hal ini, aku harus semakin gencar melakukan investasi akhirat. Dunia ini bakal aku tinggalkan. Aku meyakini bahwa setelah hidup di dunia ini, akan ada kehidupan setelahnya. Aku harus memperbanyak variasi investasi akhiratku. Mulai sekarang investasi akhiratku harus semakin termenej dengan baik. Berkembang dan bertumbuh. Usman bin Affan adalah teladanku untuk urusan investasi akhirat, setelah nabi Muhammad SAW tentunya.

Ketiga, tentang kekuatan pikiran dan pengaruhnya terhadap realita hidup yan dijalani.

Apakah bisa kita hidup Bahagia menjalani hobi yang bernilai ibadah? Jawabannya adalah bisa. Aku sudah mengamati beberapa orang yang menjalani hidup penuh kebahagiaan, penuh rasa syukur, dan mereka sholih sholihah. Aku sudah meyakini bahwa aku bisa menjalani hidup dengan lebih indah bermakna dalam ridho Alloh SWT.

Keempat, tentang mengambil resiko. Jatah umur manusia terbatas. Umurku sudah segini, pasti makin hari makin menua. Aku sudah cukup lama menjalani hidup dalam kungkungan rutinitas yang menjemukan. Aku akan berani mengambil resiko untuk bisa menjalani hidup jauh lebih baik lagi. Aku tak mau hanya bermain di zona aman semu. Aku akan mendayagunakan segala kompetensi yang aku miliki untuk mengambil tantangan yang jauh lebih besar yang bisa ngasi reward yang sangat besar. Aku tidak bisa terus-terusan play safe.

Kelima, tentang berbagai hal yang semestinya aku tekuni. Kedepan, aku akan menjalani hidup penuh dengan freedom. Time freedom, financial freedom, dan expression freedom. Untuk mencapai itu, aku harus mengembankan diri dalam beberapa hal yang mencakup personal branding, online/digital marketing, artificial intelligence, networking, dan wellbeing.

Aku tak tau kapan Tuhanku, Alloh SWT, akan menarikku kembali kepadaNya. Yang jelas, aku harus jalani hidup jeuh lebih baik lagi di tahun baru. Hidupku harus semakin bermakna, dan aku yakin itu akan terwujud. 

Minggu, 26 November 2023

Jodoh dan The Missing Piece


Seorang pemuda duduk mendengarkan nasihat dari kakak dan orang tuanya perihal jodoh. Sang kakak memberikan pandangannya terkait kriteria memilih pasangan yang semestinya ditetapkan oleh pria tersebut. Sementara, orang tua juga memberikan pandangan mereka tentang wanita “terbaik” yang semestinya dipilih/dicari.

Sang kakak menasehati bahwa memilih wanita untuk jadi pasangan hidup semestinya mempertimbangkan banyak aspek. Aspek-aspek yang pada umumnya menjadi pertimbangan manusia memilih jodoh meliputi aspek agama, keturunan, tampilan fisik, status sosial. Lantas sang kakak menyarankan untuk jangan menjadikan tampilan fisik sebagai pertimbangan utama, karena fisik bisa pudar seiring dengan bertambahnya usia. Kemudian, sang kakak menekankan bahwa andai semua aspek penting tidak semuanya ada pada pasangan (karena tidak ada manusia yang sempurna), minimal aspek akhlak serta “resource” yang dimiliki oleh calon pasangan hidup dijadikan sebagai pertimbangan utamanya.

Di lain kesempatan, pemuda tersebut ngobrol dengan teman sebayanya yang sudah menikah perihal jodoh juga. Sebagai seorang teman, sang teman merasa tidak mau hanya menjadi pendengar setia saja. Dia juga mencoba memberikan masukan/ nasihat kepada pemuda tersebut. Dia berikan nasihat tentang memilih jodoh berdasarkan perspektifnya. Dia berpandangan bahwa memilih wanita itu musti utamakan aspek kerupawanan. Karena, menurut dia, pria itu secara naluriah mendambakan wanita yang cantik rupawan. Lanjut dia, banyak perselingkuhan yang dilakukan oleh pria yang disebabkan karena adanya rasa kurang puas terhadap fisik pasangannya.

Lalu, di lain kesempatan, pemuda tersebut mendapat nasihat yang berbeda lagi soal pertimbangan memilih jodoh. Kali ini sang pemberi nasihat memberikan pandangan bahwa memilih pasangan itu utamakan kesetaraan. Kesetaraan dalam segala aspek. Menurutnya, setara itu akan melanggengkan hubungan pernikahan. Ketidaksertaraan adalah akar dari masalah pernikahan.

Semua nasihat yang diterima oleh sang pemuda terasa benar semua. Namun, yang bikin bingung pemuda tersebut adalah bahwa terkadang nasihat yang satu bertolak belakang dengan nasihat yang lainnya.

Soal memberi nasihat perihal memilih jodoh, orang cenderung mengedepankan sudut pandang pribadinya. Dianggapnya bahwa perspektif yang jadi pegangan hidupnya itu selalu berlaku bagi semua orang. Orang mungkin tepat ketika memilih jodoh dengan aspek tampilan fisik sebagai dasar pertimbangan utamanya. Orang mungkin tepat ketika memilih pasangan hidup yang penting dia memiliki sumber daya. Namun there is no such a one-size-fits-all. Tidak ada satu cara pandang yang berlaku sempurna untuk semua orang. Kenapa bisa begitu? Karena setiap orang memiliki “The missing piece” masing-masing.

Oleh karena itu, jangan heran ketika melihat pasangan yang wanitanya cantik jelita sementara prianya jelek. Ternyata yang jadi the missing piece wanita tersebut adalah soal sumber daya (kekayaan), karena wanita tersebut berasal dari keluarga yang kurang berada, sementara dia memiliki banyak adik yang menjadi tanggungannya. Ada pula seorang pria kaya raya yang memilih wanita yang secara fisik biasa saja, secara finansial juga sangat biasa, bahkan dia juga berasal dari keluarga yang sangat sederhana. Namun ternyata the missing piece dari pria tersebut adalah soal loyalitas serta kecerdasan pasangan. Dibalik kekurangannya, wanita tersebut memiliki karakter yang sangat bagus sebagai pasangan, bisa menjadi support system yang sempurna bagi si pria, serta memiliki kecerdasan, yang itu menjadi daya tarik bagi si pria.

Ada pula seorang anak muda yang rela menikah dengan selebritis janda kaya yang usianya jauh lebih tua darinya. Pemuda tersebut adalah pemuda tampan. Dia bisa saja memilih wanita yang cantik jelita yang sebaya, atau jauh lebih muda darinya. Namun the missing piece dari pemuda tersebut adalah kekayaan serta perasaan dimanja oleh pasangan, yang ternyata hal tersebut dapat dipenuhi oleh pasangannya tersebut.

See?

Itu semua tentang the missing piece. Masing-masing dari kita memiliki the missing piece yang mungkin berbeda dari the missing piece nya orang lain. Dengan memahami ini, tidak ada jalan lain selain mengikuti kata hati. Mencari nasihat memang sebuah hal yang bijak. Namun suara hati kita sendiri lah yang semestinya menjadi tumpuan kita dalam menentukan pilihan, karena ktia sendiri yang memahami the missing piece kita masing-masing.

 

 

Empire Earth dan Filosofi Bisnis

 

Empire Earth adalah sebuah game computer yang dulu sering saya mainkan. Di game tersebut, kita bisa membuat peradaban suatu kerajaan dengan dimulai dari titik nol. Untuk membuat peradaban semakin maju, maka kita diharuskan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin poin. Poin tersebut dihasilkan dari pertanian, pertambangan dan perikanan.

Yang menarik dari game tersebut adalah adanya peta buta. Kita hanya bisa mengetahui keadaan seluruh peta ketika kita mulai menjelajahinya. Untuk menjelajah lebih cepat, maka kita bisa menggunakan kendaraan, baik kendaraan tradisional (kuda) maupun kendaraan modern. Tentu perkembangan moda transportasi tersebut semakin maju seiring dengan perkembangan peradaban yang kita ciptakan.

Sentra-sentra pertambangan tersembunyi di balik peta buta. Untuk menemukannya, kita harus menjelajah ke berbagai sudut peta. Celakanya, kadang saat menjelajah kita justru memasuki wilayah kerajaan lain yang merupakan musuh kita. Oleh karena itu, untuk mendukung keamanan kita selama menjelajah, maka kita perlu membawa senjata.

Ada hal filosofis pada game tersebut yang sangat relate dengan dunia bisnis. Di dunia bisnis, bisa jadi kita mengawalinya dengan buta terhadap peta. Kita tidak paham bisnis apa yang musti kita geluti. Terlebih ketika kita termasuk orang yang tidak memiliki privilege berupa lingkungan keluarga atau komunitas yang mendukung.

Saat memulai bisnis dari titik nol, yang perlu kita lakukan adalah sebagaimana yang ada pada permainan Empire Earth. Kita harus melakukan eksplorasi. Jika kita tinggal di lingkungan yang miskin inspirasi, maka kita harus “hijrah”. Kita perlu berhijrah untuk menemukan lingkungan yang tepat, melihat adanya peluang, dan mendapatkan segala factor pendukung supaya kita berhasil dalam bisnis.

Eksplorasi yang kita lakukan bisa melalui berbagai macam upaya. Contohnya, kita bisa memasuki berbagai komunitas yang berisi orang-orang sukses inspiratif. Kita bisa memulai menjalani suatu ide bisnis walau dengan langkah sederhana. Sekalipun kita memulai dengan langkah sederhana, jika kita memiliki Ikigai, kita terapkan prinsip Kaizen, pomodoro, dan wabisabi, maka kita akan berada pada track yang benar untuk meraih keberhasilan besar dalam bisnis.

Sejatinya, pentingnya eksplorasi tidak hanya berlaku pada konteks bisnis. Hal tersebut juga berlaku dalam konteks pencapaian hidup yang lainnya. Para seniman yang sukses, politisi sukses, para pemimpin sukses, olahragawan sukses, dan orang-orang yang sukses di bidang mereka masing-masing, ketika mereka tidak memiliki privilege, maka jalan terbaik yang mereka lakukan adalah melakukan eksplorasi. Para selebritis papan atas mungkin memulai langkah awal mereka dengan menjadi figuran. Tahapan demi tahapan proses mereka lalui, akhirnya mereka sampai pada puncak kesuksesan.

Dalam bahasa sederhana bisa dipahami bahwa yang paling penting untuk kita lakukan adalah mau berproses untuk melakukan eksplorasi di bidang yang kita ingin sukses di dalamnya. Terus bertahan dalam mengarungi proses, maka pada akhirnya kita akan menemukan puncak kegemilangan. Sebagaimana dalam bermain Empire Earth dimana kita mencapai puncak peradaban tertinggi.


Kamis, 23 November 2023

Alhamdulilah Pecah Telor

  

The moment of truth akhirnya datang juga. Satu hal yang tentunya sangat didambakan oleh orang yang memutuskan untuk terjun di dunia bisnis ekspor adalah pecah telor, closing perdana. Dan moment tersebut telah terwujud saat seorang buyer mentransfer secara langsung ke rekening Bank ku total biaya untuk produk yang dia pesan.

Luar biasa rasa lega, puas, dan senang yang kurasakan. All eforts eventually paid off.  Pecah telor ini semakin memupuk motivasiku untuk terus bertumbuh. Aku semakin meyakini bahwa dunia ekspor ini adalah duniaku. Sepertinya ini adalah dunia yang Alloh takdirkan untuk berjodoh denganku.

Memang, dalam perjalanan ke depan, akan ada banyak tantangan. Namun itu semua pasti akan bisa aku atasi, dengan izin Alloh.

My vision is getting crystal clear. Harapan untuk menjalani urusan yang benar-benar rewarding insya Alloh semakin terwujud dengan gemilang.

 Hari-hari kemarin, aku berjibaku denga proses belajar. Ku ikuti platform kursus. Ku tonton berbagai video yang tak terhitung jumlahnya tentang ekspor. Ku ikuti berbagai kursus offline di ibukota, walau ku harus menempuh jarak jauh, tenaga yang prima, waktu yang diluangkan, serta biaya yang lumayan.

Pengalaman negosiasi dengan buyer kemarin begitu “menarik”. Betapa tidak, aku dapet buyer yang “rewel”. Begitu alot negosiasi antara kami. Terlebih, dia berasal dari negara yang memang aturan untuk barang masuk begitu ketat. Berbagai sertifikat harus diurus. Dan sebagainya.

Kini, aku siap menatap ke depan dengan segala kemampuan yang kumiliki.

Bismillah, semoga Alloh SWT meridhoi untuk aku terus berproses dan bertumbuh hingga semakin gemilang.

Selasa, 07 November 2023

Fokus Tingkatkan Value Diri

 

Fokuslah menambah value diri, alih-alih fokus mencari validasi.

Banyak orang yang bego menghabiskan waktu untuk mengejar perhatian seseorang yang mereka dambakan. Padahal itu melelahkan. Orang, ketika sudah tidak melirik kamu, apalagi mempertimbangkan untuk memilih kamu, berarti sudah tertutup pintu ketertarikan padamu. Mau kamu caper sampe mampus pun susah untuk membuatnya tertarik padamu. Kenapa dia tidak memberimu perhatian? Jawabannya adalah karena kamu tidak nampak punya value di matanya.

Jika seperti itu keadaannya, yaudah, fokuslah tingkatin value. Jangan malah fokus pada tingkatin frekuensi waktu untuk mengais perhatiannya. Itu bodoh dan melelahkan, namanya.

Berusaha meraih perhatiannya, simpatinya, apalagi memenangkan hatinya, sementara value kamu masih segitu-segitu saja, sama saja dengan berharap sesuatu yang jauh lebih bernilai namun effortnya masih sama.

Terus fokuslah meningkatkan value.

Value apa?

Tingkatin kemapanan finansial.

Tingkatin wawasan dan kecerdasan.

Tingkatin pengalaman-pengalaman keren.

Tingkatin pendidikan.

Tingkatin jumlah karya.

Tingkatin personal branding.

Tingkatin tampilan fisik.

Tingkatin ketakwaan.

Tingkatin kontribusi sosial.

Tingkatin semua hal yang bikin value mu bertambah.

Tap perlu mencari validasi. Jika value mu tinggi, maka pengakuan orang lain akan datang datang sendiri.

Lagipula, untuk apa sih mencari pengakuan?

 

Minggu, 05 November 2023

Takeaways from communicating with my first buyer

 

Pengalaman komunikasi dengan calon buyer pertama kali begitu mengesankan. Walaupun pesanannya relative tidak begitu banyak, namun setidaknya hal ini membumbungkan rasa optimisku terhadap apa yang aku geluti ini. Ini lah duniaku! Sepertinya begitu.

Dari komunikasi denganc alon buyer, aku mendapatkan pemahaman tentang beberapa hal yang harus aku perbaiki, untuk menciptakan system manajemen perusahaan yang bagus. Aku harus benar-benar well-knowledged dengan produk yang aku jual. Soal jenis, kualitas, volume produksi, pengemasan, penentuan harga, dan lainnya. itu baru soal product knowledge. Belum lagi soal opsi metode pengiriman, kepastian stok barang, penyediaan berbagai opsi metode pembayaran, dan menjalin hubungan yang kuat dengan supplier.

Aku jadi paham (karena memang mau tidak mau harus belajar) tentang apa itu UPS, DHL, FLC, LLC, berbagai sertifikat, dokumen, GACC, dan lainnya. Aku jadi lebih paham tentang L/C, aktivasi paypal terverivikasi, moneygram, rekening perusahaan dan hal-hal yang berhubungan dengan metode pembayaran lainnya.

Aku jadi paham tentang eksistensi Alibaba, amazon, visable, china B2B marketplace, dan marketplace level internasional lainnya. Aku jadi terpacu untuk menguasai digital marketing. Basic understanding tentang digital marketing yang aku miliki harus aku sempurnakan, hingga bener-bener bisa menjadi andalan senjata untuk “berperang”.

Aku jadi bersemangat lagi untuk mendalami bahasa jepang dan Korea. Dua Negara tersebut menjadi pangsa pasar yang sangat menjanjikan untuk produk yang aku jual, ternyata. Kini, motivasi untuk belajar bahasa asing bukan lagi semata untuk menjadi seorang polyglot, melainkan motivasi pragmatis yang menjadi bahan bakar bagiku untuk mengarungi proses belajar yang panjang.

Ketika kemarin agak menjauh dari kerumunan, rasanya kini sangat perlu untuk aku semakin berjejaring.

Rasanya, ini adalah dunia yang asik.

Welcome to the club, me!

Sabtu, 28 Oktober 2023

Refleksi Bagi Guru di Sekolah-Sekolah Pinggiran

 

Kita, guru, dihadapkan pada siswa-siswa yang memiliki tingkat resiliensi yang rendah. Mereka mengeluh ketika mendapatkan tugas-tugas latihan yang sebenarnya itu bagus buat progress belajar mereka. Mereka belajar hanya sebatas mempersiapkan ujian, supaya mendapatkan nilai. Itu pun frekuensi belajarnya relatif sedikit. Bahkan jangankan belajar, banyak dari mereka yang untuk bisa mau berangkat ke sekolah saja sudah untung Alhamdulillah.

Kita dihadapkan siswa-siswa yang tidak memiliki privilege lingkungan yang mendukung untuk tumbuh kembangnya potensi mereka. Jangankan mendapatkan dukungan fasilitas belajar, bahkan di antara mereka masih banyak yang dididik di lingkungan keluarga yang tak paham apa arti pendidikan. Di antara mereka, pendidikan dipersepsikan hanya sebatas aktivitas untuk membaca, berhitung serta meraih ijasah yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan di kemudian hari.

Kita dihadapkan pada para siswa yang begitu overwhelmed dengan tuntutan mempelajari berbagai mata pelajaran, baik yang mereka suka maupun yang mereka tidak suka. Mereka harus mempelajari setidaknya tiga hingga lima mata pelajaran setiap harinya. Sebuah hal yang cukup berat untuk dilakukan, memang. Terlebih ketika apa yang harus mereka pelajari bukanlah hal yang mereka sukai. Guru yang menangani satu mata pelajaran saja seringkali merasakan berat menjalaninya. Namun itu lah realita dalam system pendidikan di Negara kita. Beda dengan Negara dengan system pendidikan maju seperti Australia, dimana siswa SMA betul-betul diberi kemerdekaan dalam memilih mata pelajaran yang merka suka. Jadi siswa Indonesia memang berat.

Kita dihadapkan pada siswa-siswa yang tak paham kenapa mereka harus melalui proses pendidikan di sekolah. Kenapa mereka harus belajar. Bahkan banyak yang tidak paham apa itu belajar, dan apa dampaknya bagi kehidupan mereka. Sayangnya lagi, mereka belum tentu mendapatkan pemahaman itu selama menjalani kegiatan di sekolah. Belum tentu guru mereka mau dan atau mampu memberi mereka pemahaman. Belum tentu guru-guru mereka memberi pemahaman bahwa ada istilah modalitas belajar, preferensi belajar, moment yang tepat untuk belajar, bahwa pendekatan belajar masing-masing mata pelajaran itu berbeda, hubungan antara otak dengan belajar, bagaimana mengoptimalkan gelombang otak untuk bisa belajar dengan hasil maksimal, bagaimana menyiasati keterbatasan untuk tetap bisa belajar, serta bagaimana menumbuhkan motivasi untuk mau dengan sukarela mempelajari sesuatu. Ini bukan tentang menggurui, memvonis atau memberikan judgement, melainkan sebuah refleksi untuk kita bersama. Evaluasi bahwa barangkali selama ini kita (guru) belum telaten untuk memberi pemahaman-pemahaman tersebut kepada apra siswa.

Kita (guru) memang sudah penuh dengan berbagai tugas, hingga seringkali  lupa untuk memahami esensi dari eksistensi kita di sekolah. Esensi bahwa kita selayaknya menjadi figur-figur yang membantu para siswa untuk memahami arti pentingnya belajar, memahami bagaimana cara efektif belajar, serta memandang bahwa belajar adalah sebuah skill yang berguna untuk survive dalam mengarungi hidup secara mandiri. Meski berat, itu memang sudah menjadi tanggungjawab kita sebagai guru, untuk membantu para siswa menghadapi berbagai tantangan yang berkaitan dengan dinamika perkembangan hidup mereka.

Saat para siswa tidak mendapatkan pemahaman tentang belajar dan mengapa mereka harus belajar, maka mereka hadir di sekolah laksana zombie. Bergerak, berjalan, namun tak tau makna atas apa yang mereka lakukan.

Jika demikian, para siswa cenderung memandang sekolah sebagai sebuah lembaga yang berorientasi pada penyeragaman semata. Seragam pakaiannya. Seragam sikapnya. Dan seragam-seragam lainnya. Di alam bawah sadar mereka, kata “sekolah” terasosiasi deengan kata “beban” yang mau tidak mau harus mereka hadapi, alih-alih memandangnya sebagai aktivitas investasi yang berguna bagi masa depan mereka.

Oleh karena itu, mari kita sebagai guru melakukan refleksi. Jangan-jangan selama ini kita masih harus memperbaiki kualitas peran kita sebagai pendidik yang mampu memahamkan para siswa tentang arti pentingnya belajar dan bagaimana cara melakukannya secara efektif. Dengan begitu, para siswa hadir di sekolah dengan ruh yang penuh gairah untuk belajar, serta menjalankan apa pun arahan positif dari sekolah demi kebaikan mereka. Memang, tidak ada jaminan bahwa upaya baik yang dilakukan oleh kita (guru) akan berbuah hasil sempurna. Sebagian siswa mungkin akan tetap sama saja, walau sudah diberi pemahaman tentang makna pendidikan dan belajar. Sementara sebagian lainya benar-benar mengalami perubahan positif.

Apa pun hasilnya, yang penting proses baik sudah kita ikhtiarkan. Selanjutnya, kita pasrahkan kepada Tuhan yang maha membolak-balikkan hati dan pikiran manusia.  

 

Cara Menaikkan Trust Pada Diri Sendiri

 

Aku belajar banyak hal tentang cara meningkatkan rasa percaya diri. Mempraktikkan cara-cara tersebut relative mudah. Aku juga belajar banyak hal tentang bagaimana rasa percaya terhadap diri sendiri itu bisa runtuh, dan bagaimana cara mengatasinya. Namun ternyata menerapkan tips-tips cara mengatasinyanya, bagi sebagian orang, tidak lah mudah.

Di sini aku akan uraikan beberapa hal yang bisa meningkatkan rasa percaya diri seseorang, yang jika tidak dilakukan, maka justru rasa percaya diri tersebut akan runtuh.

Yang pertama, tunaikan janjimu terhadap diri sendiri. Ada banyak orang yang memiliki banyak rencana. Rencana-rencana tersebut Nampak indah dan feasible saat direncanakan. Namun saat dilaksanakan, ternyata banyak tantangan. Saat mendapati begitu banyak tantangan, ada jiwa-jiwa yang mengeluh dan dengan mudah berhenti untuk mengarungi proses mewujudkan rencana. Saat berhenti itu lah, ada persepsi pada alam bawah sadar mereka bahwa mewujudkan rencana itu sulit. Akhirnya, janji (rencana) terhadap diri sendiri tidak diwujudkan. Jika situasinya seperti ini, percayalah, diri sendiri akan merasa tidak yakin bahwa diri sendiri mampu untuk mewujudkan sesuatu.

Mendapatkan trust dari diri sendiri itu sangat sangat penting. Bahkan derajat pentingnya melebihi meraih trust dari orang lain.

Kesimpulannya, jangan pernah mengingkari janji pada diri sendiri. Tunaikan segala janji. Rencana boleh besar, namun penting sekali untuk membuat rencana-rencana yang terukur dan realistis. Saat rencana (janji) tersebut terwujud, maka percayalah, akan muncul sense of accomplishment. Sense of accomplishment tersebutlah yang akan menaikkan rasa percaya diri kita terhadap diri sendiri.

Yang kedua, hadapi segala hal yang kita persepsikan penuh resiko (sulit, impossible, menantang, menguras nyali, dsb). Tidak ada hal yang lebih membanggakan dan menaikkan kepercayaan terhadap diri sendiri dari kemampuan untuk melewati segala proses yang penuh resiko. Hadapi resiko yang orang lain pada umumnya tidak berani mengahdapinya, selama resiko tersebut bukan lah resiko yang mengancam keselamatan dan melanggar norma.

Yang ketiga, upayakan untuk selalu meraih prestasi-prestasi, dari yang kecil hingga besar. Ada yang bilang bahwa kegagalan adalah motivasi untuk berhasil. Itu salah. Kegagalan cenderung membuat seseorang patah semangat. Yang membuat seseorang bangkit dari kegagalan hingga berhasil bukanlah kegagalan itu sendiri, melainkan dorongan besar untuk berhasil yang bisa berupa keinginan untuk melakukan pembuktian, maupun keinginan untuk meraih sesuatu yang bernilai. Upayakan untuk meraih prestasi secara berkesinambungan, walaupun skalanya kecil. Hal itu akan memicu semangat untuk tumbuh berkembang, karena ada keyakinan bahwa diri kita ini bisa.

Yang keempat, sayangi, hargai, manjakan, dan hormatilah diri sendiri. Perlakuan orang lain terhadap kitabisa dipengaruhi oleh bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri. Hargailah, hormatilah, sayangilah dan manjakan diri kita sendiri, maka kita akan meraih perlakuan seperti itu dari orang lain. Lantas, bagaimana caranya menghormati, menyayangi, menghargai dan memanjakan diri sendiri? Banyak contoh sederhana yang bisa kita praktikkan. Pertama, berpakaianlah dengan pakaian yang kita suka. Barang tidak harus mahal, namun memang barang mahal seringkali seiring dengan kualitas yang ia miliki, dan memakai sesuatu yang berkualitas tentu memunculkan rasa bangga terhadap diri sendiri. Manjakan diri dengan memenuhi keinginan sendiri sepanjang itu positif. Jangan pelit terhadap diri sendiri. Be proportional! Kedua, berkatalah yang baik dan elegan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Berkata yang baik akan meningkatkan persepsi positif kita tentang citra diri sendiri. Sayangi diri kita dengan cara memilih circle yang positif untuk pergaulan kita. Hati-hati dengan circle pergaulan, karena itu akan berpengaruh terhadap persepsi diri kita terhadap diri sendiri. Memiliki circle positif, kita akan memiliki keyakinan bahwa kita adalah orang positif, dan sebaliknya. Ketiga, kita tidak boleh egois, namun mengutamakan kesehatan mental diri sendiri itu lebih utama ketimbang mengutamakan perasaan orang lain sementara diri kita sendiri merana dan rusak kesehatan mentalnya.

Masih banyak tips lain tentang cara meningkatkan rasa percaya terhadap diri sendiri. Namun cukuop segitu saja dulu yang diuraikan dalam artikel ini. Semoga bermanfaat bagi banyak orang.

Kamis, 26 Oktober 2023

Doctoral Degree vs Ekspor


Dua hal ini adalah yang sedang menjadi concern ku sekarang ini. Aku masih terobsesi untuk menjalani studi doktoral di Luar Negeri. Sementara, aku juga terobsesi untuk menjadi seorang eksportir sukses.

Sebenarnya aku sudah on the track of doing the both things.

Untuk urusan persiapan doktoral degree, aku sudah mempersiapkan diri menghadapi rangkaian proses meraih beasiswa S3. Pengayaan bahasa (untuk keperluan test IELTS) sudah aku jalani. Eksplorasi topik yang akan jadi konsentrasi penelitian sudah aku jalani. Korespondensi dengan mantan dosen dari kampus lama masih aku lakukan, dan ini memang paling penting sebagai pintu aku mendapatkan surat sakti meraih beasiswa.

Sementara, untuk urusan ekspor, aku juga cukup waktu mempelajari berbagai seluk beluknya. Termasuk belajar dari ahlinya (mentor), belajar melalui platform pelatihan ekspor, serta memperkaya wawasan tentang ekspor melalui berbagai sumber belajar gratis yang tersedia di Youtube. Tahapan demi tahapan pun sudah aku lakukan. Mendapatkan supplier, mengurus legalitas usaha, memahami strategi meraih buyer, serta memahami segala urusan yang berkaitan dengan proses pengiriman barang, sudah aku lakukan.

Kalo begitu, lantas, mustinya bisa dilakukan dua-duanya dong?

Nah, ini dia.

Berkaca pada upaya yang sudah aku jalani sejauh ini terkait dua hal tersebut, yaitu menjalani studi doktoral dan ekspor, nampak jelas bahwa masing-masing dari keduanya membutuhkan konsentrasi yang ekstra besar. Masing-masing memerlukan fokus yang cukup dalam. Mungkin seseorang bisa menjalani keduanya, dengan catatan, ketika salah satunya sudah bisa berjalan dengan cukup stabil. Namun, jika keduanya masih dalam tahap awal, nampaknya terlalu riskan untuk dijalani dua-duanya sekaligus. Yang jelas, kurangnya fokus bisa berdampak terhadap hasil.

Setidaknya itulah hipotesis yang aku miliki sejauh ini.

Menjalani kehidupan akademik itu menarik bagiku. Terlebih ketika aku menjalaninya di kampus dan lingkungan dimana aku bisa memiliki kekayaan pergaulan, serta berbagai akses yang tak terbatas untuk belajar. Entah kenapa, aku merasa candu terhadap kehidupan kampus di negara maju. Mungkin karena aku sudah merasakannya di Jepang dan Australia. Kuliah bukan semata tentang nilai atau gelar akademik. Kuliah yang kujalani adalah seputar merasakan atmosfir berada di lingkungan yang penuh keberagaman, yang mengayakan.

Itu soal kuliah.

Bagaimana dengan urusan ekspor?

Aku masih teringat dengan kata-kata mentorku. Dia bilang, “Mas, dunia ekspor itu adalah dunia yang sangat luas. Kita memiliki ruang yang tak terbatas untuk eksplorasi, untuk tumbuh, dan untuk mengembangkan kreativitas. Ini adalah dunia yang tepat bagi orang-orang yang memiliki need of achievement yang tinggi seperti Mas. Di bidang ini, kita memang akan mengalami berbagai dinamika. Mungkin akan ada cerita yang menyedihkan. Namun itu bisa kita jadikan sebagai pembelajaran. Mungkin, dan pastinya, akan ada cerita kesuksesan, seperti pertumbuhan bisnis secara eksponensial, yang itu tentunya patut kita rayakan”.

Kata-kata itu begitu menyemangati dan membekas memenuhi ruang pikiranku hingga sekarang.

Menjalani studi doktoral akan menguras empat tahunku. Itu waktu yang cukup lama. Setelahnya, aku mendapatkan sertifikat/ijasah. Lantas, bagaimana setelahnya? Aku otomatisnaik jabatan? otomatis diberdayakan di lembaga-lembaga yang relevan? Sepertinya tidak. Aku hidup di negara dimana orang-orang cerdas kalah dengan orang yang berakses dan ber-privillege lebih. Selesai studi, aku mungkin akan hanya kembali menjadi pegawai biasa.

Bagaimana dengan menghabiskan empat tahun untuk berproses menekuni dunia ekspor?

Kesempatannya fifty-fifty sih. Namun dengan kemampuan yang aku miliki, aku yakin bisa sukses berkelimpahan secara finansial, bahkan sebelum genap empat tahun. Bahkan bisa jauh lebih cepat dari itu. Insya Alloh.


Aku bayangkan hidup yang dinamis penuh cerita dan penuh kesempatan untuk bertumbuh. Sepertinya itu yang aku inginkan selama ini.

“Lantas bagaimana dengan karirmu sekarang?”

Well, aku memang senang mengajar. Dan aku akan menjalaninya hingga keadaan membuatku yakin untuk memutuskan merubah haluan.

Banyak hal yang menarik dalam hidup ini. Namun kadang kala ada keadaan yang memaksa untuk memilih.

Aku memang merasa seperti sedang berpacu dengan waktu. Bagaimana tidak? Banyak-orang seusiaku yang sudah mapan menikmati hasil jerih payah atas passion yang telah mereka jalani selama ini. Sementara aku, masih dalam tahap awal untuk meraih sesuatu yang aku anggap besar. Aku anggap besar karena sepertinya inilah yang akan mampu mendayagunakan seluruh kemampuanku.

Jika harus dipilih salah satu untuk difokuskan, memang menjadi pilihan yang cukup sulit. Namun aku tak boleh terlalu lama larut dalam menimbang-nimbang untuk memilih. Waktu begitu berharga. Ia berlalu tanpa jeda, dan takkan bisa mundur walau sedetik.

Aku akan lakukan sebisaku. Menjalani proses untuk meraih keduanya, hingga keadaan membuatku yakin untuk memutuskan.

 

Sabtu, 07 Oktober 2023

BEDA BUDAYA, BEDA NEGARA, BEDA SUASANA KELAS

 

.

.

Saya pernah berkesempatan melakukan observasi kelas bahasa inggris di beberapa sekolah dari dua negara dengan latar belakang budaya yang berbeda, Australia dan Jepang. 

.

.

Australia identik dengan budaya barat, dimana masyarakatnya cenderung bersikap terbuka dan ekspresif dalam berkomunikasi maupun berperilaku. 

Sementara Jepang identik dengan kultur oriental, dimana masyarakatnya cenderung malu-malu dan penuh perhitungan dalam berkomunikasi dan bersikap. 

.

.

.

Di kelas bahasa inggris khusus untuk anak-anak imigran di Harristown State Highschool  dan Darling Heights State School (Queensland, Australia), para siswa cenderung terlihat aktif partisipatif di dalam kelas. 

Tak jarang mereka berebut kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka ketika ada kesempatan untuk unjuk kemampuan. 

Mereka begitu aktif bertanya, hingga guru yang mengajar benar-benar dituntut untuk mengatur jatah kesempatan bertanya secara bijak. 

Mereka seperti kecanduan untuk bertanya, dan unjuk kemampuan. Situasi tersebut benar-benar menggambarkan betapa  besarnya need of achievement yang dimiliki oleh para siswa. 

.

.


Suasana yang cukup berbeda terjadi pada kelas bahasa inggris di beberapa kelas di Jepang yang pernah saya observasi. 

Kelas disana tak lekat dengan atmosfir berupa aktifnya siswa untuk berebut kesempatan bertanya dan berunjuk kemampuan sebagaimana yang terjadi di Australia.

Mereka cenderung malu-malu ketika diberi kesempatan untuk bertanya, meskipun beberapa diantaranya bersedia tampil untuk mengambil kesempatan tersebut. 

Namun, ada hal yang luar biasa. 

Ketika mereka diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan teman kelas mereka secara berkelompok, mereka begitu aktif partisipatif. Ketika mereka diminta untuk mempresentasikan suatu hal di depan kelas, mereka umumnya mampu melakukannya secara percaya diri. 

.

.

.

PERSAMAAN yang ada pada kelas-kelas di dua negara yang saya amati tersebut adalah, ADANYA APRESIASI DARI PARA SISWA DAN GURU TERHADAP APAPUN PERFORMA YANG DITUNJUKKAN OLEH SISWA.

Ketika siswa tampil di depan kelas, kesalahan/kekeliruan dari siswa tersebut yang saya kira akan memicu gelak tawa ternyata justru direspon dengan sikap penuh empati oleh siswa yang lain. 

.

.

.

Saya jadi teringat dengan pengalaman masa sekolah. 

Bertanya, apalagi tampil di depan kelas adalah sesuatu yang ‘horror’ bagi saya. 

Ada rasa takut luar biasa kalau-kalau berbuat salah. 

Gelak tawa dari teman-teman kelas bahkan kadang dari guru bakal mimpi buruk yang menyiutkan nyali, dan sangat mendemotivasi diri. Tampil di kelas terasa seolah seperti pertaruhan harga diri. 

Hanya kalau dalam keadaan benar-benar siap, saya berani unjuk gigi. 

Namun jarang sekali memiliki keadaan yang benar-benar siap. 

.

.

.

Entah sejak kapan saya mendapati suasanya gersangnya apresiasi di kelas pada saat sekolah dulu. 

Barisan kursi paling belakang biasanya menjadi tempat favorit bagi mereka yang fobia tampil di depan. 

Meski tak selalu mampu menghindarkan diri dari penunjukan oleh guru untuk tampil, namun setidkanya duduk di belakang mampu menimbulkan efek psikologi kontemporer berupa rasa aman bisa berlindung di belakang teman yang duduk di depannya. 

Sayangnya, guru terlalu cerdas untuk dikelabui melalui posisi duduk. Sehingga, yang duduk di belakang pun sering kena sasaran tembak (lol).

Ditunjuk untuk maju terasa seperti sebuah kesialan. 

.

.

Itu dulu.

.

.

Guru memang perlu menciptakan atmosfir yang penuh apresiasi di kelas. 

.


Rabu, 23 Agustus 2023

Masterminds

 



Tadiya aku ingin menghabiskan akhir pekan untuk rebahan. Lima hari kerja berturut-turut cukup membuat lelah. Namun kakak ku mengajakku mengikuti event nasional berbayar yang aku tak tahu apa manfaatnya.

“paling isinya orang-orang yang pada flexing”, pikirku.

Orang-orang kaya, para pengusaha dan orang-orang berpengaruh berkumpul dalam satu tempat. Apalagi kalo bukan isinya flexing.

Namun, entah bakal seperti apa acara tersebut berlangsung, aku tetap mengiyakan ajakan kakak-ku. Itung-itung jalan-jalan ke kota besar, refreshing sejenak dari rutinitas.

Effortku cukup besar untuk megikuti kegiatan yang aku belum yakini apa manfaatnya bagiku. Bayar tiket yang cukup merogoh kocek, naik kereta api eksekutif pergi-pulang, keluarin biaya akomodasi dan transportasi dan lainnya. Itu effort yang aku keluarkan.

Lalu hasilnya?

Aku bisa bilang bahwa it paid off.

Aku menyimpulkan bahwa kagak rugi aku ikut kegiatan seperti itu. Malah kalo bisa aku makin sering ikut kegiatan semacam itu.


Memang, tidak ada hal yang baru yang disampaikan dalam eprkumpulan tersebut. Namun, energinya, itu yang beda.

Aku jadi ingat hal yang disampaikan oleh Napoleon Hill dalam bukunya Think and Grow Rich, bahwa jika kita ingin sukses, maka kita butuh memiliki masterminds. Masterminds adalah kumpulan orang-orang yang sukses yang kita punya akses untuk berada di dalamnya. Selaras dengan itu, mas Bimo, seorang filsuf sekaligus pengusaha juga menyampaikan bahwa bergaul dengan orang-orang kaya, meskipun kita tidak ngapa-ngapain, kita akan dengan sendirinya terelevasi untuk mencapai level mereka. Bahasa singkatnya, jika bergaul dengan orang-orang sukses, kita akan ketularan sukses juga.

Kembali ke acara tadi, dimana para pengusaha sukses berkumpul. Jika yang dicari adalah ilmu untuk sukses dan kaya, sepertinya acara tersebut kurang tepat. Karena mereka sudah pada sukses dan kaya. Bahkan aku yakin masing-masing dari mereka sudah pada memiliki ilmu khusus berdasarkan pengalaman empiris tentang bagaimana sukses di bidang mereka masing-masing. Namun mengapa mereka masih saja berkumpul? Mereka tidak flexing, ternyata. Tidak ada hal yang relatif baru yang mereka bicarakan, ternyata.

Namun bukan itu poinnya. Berkumpul dengan orang-orang sukses itu seperti menjaga baranya api. Api jika dia menyala namun sendirian, maka godaan untuk redupnya besar. Namun jika api ketemu dengan api dan api-api lainnya, maka baranya bisa terjaga, bahkan semakin besar. Kira-kira seperti itu logikanya.

Sekarang, aku semakin paham. Aku butuh untuk bergumul dengan mereka, orang-orang yang levelnya ingin aku gapai.

Aku jadi berterimakasih kepada kakak-ku. Kalo dipikir-pikir, sebenarnya selama ini dia berusaha untuk mengajakku untuk hal-hal baik. Namun aku seringkali skeptis duluan. Insya Alloh kedepannya aku akan terus meningkatkan frekuensi berkumpul dan bersinergi dengan orang-orang sukses hebat seperti mereka. Aku akan semakin meningkatkan inverstasi leher ke-atas.

NB: Acara yang dimaksud adalah Ngobrol Bareng santai bersama beberapa tokoh hebat yang dipandu oleh Coach Dr. Fahmi. 


Senin, 17 Juli 2023

Just let it go...

Kadang kita musti mengalah dengan keadaan. 

Kadang kita perlu membiarkan segala carut marut berserakan. 

Kadang kita perlu membiarkan apa yang tidak semestinya terjadi terjadi. 

Bukan untuk membenarkan sikap apatis kita terhadap keadaan sekitar. 

Bukan untuk membenarkan diri untuk tidak mempedulikan apa pun yang terjadi di sekitar kita. 

Di sini ada kata “kadang”, artinya jelas, bahwa semestinya kita memiliki sense of crisis dan kepekaan social. 

Sudah semestinya kita menjadi agen perubahan. 

Namun, ada kalanya kita membiarkan itu semua terjadi. 

Demi apa? Demi kesehatan mental dan jiwa kita. 

Sebagai orang yang memiliki idealism tinggi, wajar jika kita tidak nyaman ketika melihat perilaku buruk orang lain yang berdampak negatif terhadap banyak orang. 

Wajar jika kita tidak terima adanya ketimpangan social, ketidakadilan, perilaku korup, penindasan, mismanajemen, dan hal negative lainnya. 

Namun ada kalanya yang perlu kita lakukan adalah diam. 

Biarkan semuanya terjadi. Biarkan mereka menikmati keserakahan mereka. Biarkan yang bodoh memimpin. 

Biarkan orang-orang yang tak berkompeten diberi posisi strategis. Biarkan pemikiran-pemikiran tolol mewabah. 

Give yourself a break! Yang perlu jadi perhatianmu adalah kesehatan mentalmu. 

Ada kalanya kita perlu bersikap toleran dan masa bodoh. 

Yang penting itu kesehatan mentalmu. 

Tetap lah tersenyum kepada orang-orang jahanam, jika itu membuatmu nyaman. 

Jika kamu tak mampu untuk mengukir sesungging senyum kepada bedebah-bedebah itu, simpan senyummu. 

Biarkan nuranimu mendikte ekspresi wajahmu. 

Just give yourself a break! Sekali lagi, kesehatan mentalmu itu penting. Sangat penting. 

Jika dengan menjadi cuek itu menyehatkan mentalmu, lakukan itu. 

Sometimes you need to give no fuck about what is happening around you. 

“It is just shit, fuck, anjing, babi, kucing, bangsat, jiancok!” 

Kamu puas meluapkan sumpah serapah itu? 

Jika iya, lakukan itu. 

Ndak sopan, ndak mencerminkan statusmu sebagai pendidik? 

Persetan dengan penilaian dan validasi orang lain. 

Give yourself a break!

Sekali lagi, yang paling penting adalah kesehatan mentalmu.

Selasa, 11 Juli 2023

Kesehatan Mental dan Keberpihakan Kebijakan Pendidikan Pada Guru

 

Picture Source: https://www.mindsahead.org.uk

Perhatian pemerintah terhadap pendidikan bagi generasi Indonesia begitu besar. Secara berkala, kurikulum diperbaharui agar generasi kita memiliki kualitas yang relevan untuk menjawab tantangan zaman. Berbagai pelatihan pengembangan profesionalitas guru diselenggarakan agar mereka bisa memberi pelayanan yang lebih prima kepada generasi baru atau peserta didik. Berbagai program yang berorientasi pada wellbeing peserta didik dikampanyekan, seperti sekolah ramah anak, sekolah anti-bullying, dan lainnya. Begitu perhatiannya pemerintah terhadap generasi baru, sampai dewasa ini kita cukup familiar dengan istilah “pembelajaran yang berpihak pada peserta didik”, seolah-olah di periode sebelumnya para guru kurang berpihak pada peserta didik.

Menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada peserta didik memang sudah semestinya dilakukan. Kita tentunya ingin para generasi kita menjadi cerdas, berkepribadian luhur, memiliki berbagai keterampilan, dan berkarakter pancasilais. Namun pertanyaannya, kenapa istilah “keberpihakan terhadap para guru” tidak dikampanyekan dalam system pendidikan kita?

Pertanyaan ini mungkin terkesan out of the topic, namun sebenarnya sangat relevan dengan topic tentang keberpihakan terhadap peserta didik.

Bagaimana tidak? Guru adalah pihak yang berinteraksi langsung dengan para peserta didik. Mereka adalah ujung tombak pelaksanaan kurikulum. Sesempurna apa pun kurikulum didesain, guru lah yang menjadi pemain utama dalam melaksanakan kurikulum dalam praktik pembelajaran secara riil. Katakanlah kurikulum didesain sedemikian rupa kerennya. Namun kurikulum adalah benda pasif, yang membutuhkan guru-guru yang berkualitas untuk benar-benar menerapkannya.

Berbicara tentang kualitas guru, aspek yang sering mendapat perhatian adalah soal berbagai kompetensi yang meliputi pedagogik, professional, kepribadian dan sosial. Namun ada hal penting yang juga sangat berpengaruh terhadap kualitas guru, yaitu kesehatan mental, emosional, psikologis, dan fisik. Dalam ilmu psikologi, kesehatan mental, emosional, psikologi sering disebut dengan istilah Wellbeing. Dalam system pendidikan di Indonesia, Wellbeing sepertinya belum dianggap sebagai komponen penting dari kualitas seorang guru. Padahal, setinggi apa pun kompetensi guru, ketika mereka kurang sehat secara mental, emosional dan psikologis, apakah mereka bisa maksimal dalam mengupayakan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik? Tentunya tidak. Kita tidak bisa mengharapkan guru-guru yang kesehatan mental nya kurang bagus untuk bisa memastikan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik.

Oleh karena itu, semestinya pemerintah juga memperhatikan system pendidikan yang memiliki keberpihakan terhadap guru. Mungkin ada yang bertanya,  apakah system pendidikan kita selama ini kurang berpihak kepada guru? Sisi mana dari system pendidikan kita yang kurang berpihak kepada guru?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin memberi gambaran tentang bagaimana system pendidikan yang berpihak pada guru dilaksanakan di sebuah Negara yang namanya Australia. Di Australia, guru diberi kebebasan untuk mendesain perangkat pembelajaran mereka. Format perangkat pembelajaran seperti apa pun diterima, asalkan mereka memiliki dasar argumentasi atas format tersebut. Dengan demikian, guru tidak dipusingkan dengan keharusan untuk menyiapkan berbagai perangkat administrasi pembelajaran dengan format baku yang seringkali berpotensi membuat mereka stress. Kebebasan berekspresi dalam mendesain perangkat pembelajaran memacu kreativitas para guru, dan membebaskan mereka dari stress. Dengan demikian, kesehatan mental mereka terjaga.

Kedua, guru-guru di Australia diberi jatah libur dengan durasi yang cukup signifikan. Australia menerapkan system triwulan untuk periode pembelajaran. Sementara Indonesia menerapkan system semester. Dalam setahun ada empat triwulan. Di setiap akhir triwulan, guru dan peserta didik diberi jatah waktu libur selama dua minggu. Di triwulan terakhir,  guru bahkan diberi jatah waktu libur sebanyak empat minggu. Sehingga, dalam setahun, guru-guru di Australia mendapat total sepuluh minggu untuk berlibur.

Mungkin orang bertanya, dengan banyaknya jumlah hari libur bagi para guru di Australia, apakah kualitas pendidikan di Australia menjadi merosot. Jawabannya adalah tidak. Australia masih merupakan salah satu dari sekian Negara dengan pencapaian hasil tes PISA dan TIMMS di atas rata-rata. Hasil tersebut selalu konsisten dari tahun ke tahun. Human Index Australia juga selalu tinggi dari tahun ke tahun.

Ternyata, kebijakan libur yang banyak bagi guru bukan hanya ada di Australia. Di berbagai Negara dengan system pendidikan yang maju lainnya, porsi libur bagi guru juga cukup signifikan. Jepang, Hongkong, New Zealand, berbagai Negara eropa dan amerika juga memiliki kebijakan serupa.

Lantas, apa relevansinya antara kebijakan libur bagi guru dengan kualitas pendidikan, dan mengapa harus dibahas dalam artikel in?

Jawabannya adalah, ada korelasi positif antara kebijakan libur dengan kesehatan mental para guru dan performa mereka dalam melaksanakan tugas pembelajaran.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Foundatuion for educational Research, sebagaimana yang dipublikasikan di www.theguardian.com, mengajar merupakan salah satu profesi dengan tingkat stress yang sangat tinggi dibanding pekerjaan lainnya.

Jadi, para guru menjalani sebuah pekerjaan yang rentan terhadap masalah kesehatan mental, emosional dan psikologis. Menyikapi fakta ini, system pendidikan seharusnya didesain untuk memberi keberpihakan terhadap para guru, agar mereka memiliki kesehatan mental yang bagus. Hal-hal yang berpotensi memacu stress guru semestinya ditangani oleh pemerintah, dan menjadi perhatian dalam perumusan kebijakan pendidikan.

Berkaitan dengan pertanyaaan tentang apakah system pendidikan di Negara kita belum berpihak pada guru, kita bisa melihat fakta yang ada. Guru-guru kita masih memiliki beban untuk menyiapkan administrasi dengan format tertentu yang seringkali memicu stress. Mereka semestinya diberi kebebasan penuh untuk mendesain perangkat pembelajaran mereka, asalkan mereka memiliki dasar argumentasi yang kuat. Terkait libur guru, pemerintah semestinya memberi porsi libur yang lebih. alih-alih memberikan porsi libur proporsional, para guru di Indonesia memiliki jatah libur yang sangat terbatas. Di Indonesia, kebijakan libur guru menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di beberapa daerah, guru diberi jatah libur hanya sebanyak 12 hari selama setahun. Parahnya, jatah libur tersebut hanya bisa diklaim saat para siswa libur. Lebih parahnya lagi, kadang pejabat cabang dinas mengada-adakan aturan pembatasan yang lebih rumit lagi tentang libur. Di antaranya, guru hanya boleh mengambil cuti selama sekian hari setiap semester, dan tidak diperkenankan untuk mengambil jatah cuti penuh dalam satu periode waktu sekaligus.

Kenapa dalam artikel ini hanya membahas isu tentang perangkat administrative dan jatah libur? Apakah hanya itu yang menjadi isu yang berkaitan dengan kesehatan mental guru? jawabannya adalah tidak. Sangat banyak isu yang berkaitan dengan kesehatan mental guru. Dua contoh itu hanyalah dua dari sekian banyak isu yang ada.

Intinya, kebijakan pendidikan yang berpihak pada guru perlu diwujudkan. Kita hanya bisa berharap pada guru-guru yang terjamin kesehatan mental nya untuk mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Toh menurut penelitian ilmiah, kesehatan mental guru sangat berkorelasi positif dengan kualitas proses dan hasil belajar para peserta didik.

Selasa, 20 Juni 2023

Curhat Pada DahlanTalk

Pertama-tama, aku ingin ucapkan thanks buat blog ku ini. Aku anggap blog ini layaknya teman dekat yang bersedia mendengarkan keluh kesahku, sekaligus pendengar setia atas segala ide-ide ku tentang banyak hal.  karena ia benda mati, tentu aku tak bisa berharap ia bisa memberikan feedback atas semua yang aku sampaikan.

Kali ini, aku ingin curhat kepada blog ku ini tentang dunia kerja ku. Dunia kerja yang sudah aku geluti selama lebih dari 13 tahun. Cukup lama. Andai ia adalah seorang bocah, mungkin sekarang dia sudah mulai menapaki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama. Minimal kelas tujuh lah. 

Di tempat kerja ku ini, aku merasa kurang mendapatkan dukungan untuk wellbeing ku. Tempat ku bekerja ini nampaknya memang tak begitu mempedulikan wellbeing pekerjanya.

Semua orang dituntut untuk bekerja dengan sistem disiplin neagtif. Semua harus nurut aturan. Aturan tentang jam kerja, tentang kehadiran, tentang banyak hal lainnya. Jika tidak menurut, maka konsekuensinya mengarah kepada gaji. Minimal, tunjangan profesi guru bisa terancam tidak cair, jika ada aturan yang dilanggar.

Lumrah sih, bahwa bekerja dalam satu sistem itu pasti ada aturan yang diberlakukan. Hanya saja, semestinya ada sistem yang menciptakan dan mengatur keseimbangan. Kita adalah manusia yang memiliki berbagai aspek kemanusiaan. Kita punya keluarga, dan perlu memiliki waktu untuk mengurus keluarga. Kita punya kebutuhan untuk refreshing. Kita punya hak untuk terbebas dari ketidaksehatan psikis, mental, emosional dan fisik. 

Di tempat kerjaku ini, aku merasa kurang mendapat dukungan terjaminnya wellbeing ku. 

Soal cuti libur, misalnya. Aku dan rekan-rekan guru lainnya sudah tidak memiliki hak libur seperti dulu, dimana ketika siswa libur maka guru otomatis boleh libur.

Sekarang, siswa libur, guru tidak otomatis boleh libur. 
jatah libur kita dibatasi 12 hari selama satu tahun.
Itu pun, kita hanya diperbolehkan mengambilnya selama siswa libur. 
Kita tidak diperbolehkan untuk mengambil cuti di luar hari libur semester. 

Belum lagi, atasan kami (Kepala Cabang Dinas) membuat modifikasi aturan.
Modifikasi aturan tersebut berupa pembatasan-pembatasan hari cuti yang diambil.
Contohnya, kita tidak diperbolehkan untuk mengambil cuti penuh di semester tertentu. Cuti tidak boleh diambil dan dihabiskan satu kali. Harus displit beberapa term.

Ada lagi kehendak (aku tidak menyebutnya aturan, karena memang tidak beraturan) atasan yang menginginkan supaya kita tidak mengambil cuti satu minggu penuh. Satu minggu hanya boleh diambil untuk cuti selama dua atau tiga hari. 

Ada-ada saja keinginan atasan (Ka. Cabdin). 

Entah apa dasar pemikirannya. Yang jelas, aku tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan atas alasan kenapa ada pembatasan-pembatasan seperti itu.

Ada kesan bahwa pembatasan-pembatasan seperti itu hanya mengikuti ego pimpinan.

Padahal, sebagai sebuah lembaga publik yang bergerak dalam bidang pendidikan, setiap aturan atau kebijakan semestinya dibuat berdasarkan pertimbangan ilmiah. 


Di Australia, kenapa setiap guru diberi kesempatan untuk libur dua minggu setiap akhir tri wulan? Alasannya ada kaitannya dengan Wellbeing guru. para pemangku kebijakan menyadari bahwa guru adalah individu yang perlu dimanusiakan. Memberi jatah libur yang proporsional adalah cara memanusiakan guru. Memberi jatah libur yang cukup adalah cara mendukung wellbeing guru.


Liburan ada kaitannya dengan wellbeing. Wellbeing ada kaitannya dengan kreativitas, produktivitas, dan efektifitas kinerja. Orang yang kurang mendapatkan wellbeing akan rentan mengalami gejala gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi. Kondisi stres dan depresi berkorelasi negatif terhadap kinerja. Stres dan gangguan psikologis lainnya akan menurunkan kreativitas dan produktivitas.
itu lah yang menjadi dasar pemikiran kenapa perusahaan-perusahaan besar dunia sudah memberi perhatian khusus terhadap kesehatan mental para pekerjanya.
Kenapa para pejabat di dunia pendidikan kurang memberi perhatian terhadap aspek kesehatan mental tersebut? Jawabannya mungkin karena kurang wawasan. Mereka tidak belajar dan membaca trend-trend terbaru di negara-negara maju.

Rasa-rasanya, andai aku punya kuasa, ingin sekali mereka aku ganti. 
Saat mengganti dengan yang baru, akan ku beri pemahaman tentang bagaimana menjadi pemimpin yang cerdas melayani dan memanusiakan bawahan. 
Akan ku beri pemahaman tentang bagaimana membuat kebijakan yang berlandaskan akal yang sehat, bukan ego. 


Lantas kapan ya aku bisa mempunyai kuasa untuk itu?
Sooner or later, I will make it. I believe it.