Minggu, 30 Oktober 2016

KARENA HIDUP HANYA SEKALI



Hidup di dunia hanya sekali. Itu suah tak terbantahkan. Mau pake logika apapun, pake ilmu apapun, hidup kita pasti akan mengalami ending. Semua orang boleh punya berbagai pandangan mengenai ‘kemungkinan’ hakikat hidup. Mungkin ada yang yakin bahwa reinkarnasi itu ada. Boleh-boleh saja, asal siap saja dengan segala konsekuensi dengan apa yang diyakini. Aku sendiri meyakini bahwa hidup di dunia hanya satu kali. Tak ada reinkarnasi. Yang jelas, dari semua keyakinan yang ada, ada satu persamaan. Yaitu, bahwa hidup yang kita alami ini akan mengalami fase ‘berakhir'. Sudah terbukti bahwa tak ada orang yang hidup abadi. Itu sahih. Namun, tulisan ini bukan untuk mengulas tentang beragam keyakinan tersebut. Aku tak tertarik dengan itu. Yang ingin aku bahas dalam tulisan ini adalah bagaimana sebaiknya kita menjalani hidup yang merupakan karunia besar ini.

Pikiranku pernah tersentil oleh kalimat yang dilontarkan oleh seorang sahabat. ‘’Dahlan, apa iya kamu mau seumur hidup memiliki rutinitas monoton, dan tinggal di sepojok tempat doank?’’ Tentu kalimat tersebut merupakan pertanyaan retoris. Kawanku tersebut mencoba memberikan pandangan bahwa hidup ini harus berwarna, tak dijalani secara monoton. Kebetulan kawanku itu adalah seorang cewek yang benar-benar memiliki karakter mandiri, kreatif, cerdas, dan cenderung berpikir out of the box. Ketika teman-teman sebayanya yang mengambil jurusan yang sama di perguruan tinggi dimana dia kuliah berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan mapan dan hiup mapan, dia justru berpikir bagaimana agar bisa hidup bebas, mandiri, dan melakukan hal-al yang disukai tanpa ada batasan apapun. Pilihannya jatuh pada menggarap bisnis biro wisata dengan produk trip ke Bali dan Jawa. Sebelum dia memulai bisnis tersebut, dia bekerja di sebuah biro pariwisata di Bali dengan tujuan untuk mempelajari seluk beluk bisnis pariwisata, untuk kemudian dia gunakan ilmunya ketika dia menjalankan bisnis tersebut secara mandiri di kemudian hari. Dia suka berkelana mengunjungi beberapa tempat di berbagai belahan dunia. Kemampuan bahasa asing serta kecakapannya dalam bergaul memudahkannya untuk berkeliling dunia. Dari kalimat yang dia lontarkan, pikiranku mulai liar bervisualisasi mendambakan kehidupan penuh warna dan kebermanfaatan.

Posisiku sebagai seorang pegawai negeri yang memiliki keterikatan terhadap segala aturan kerjaan rasa-rasanya tak memungkinkanku untuk mewujudkan hidup yang penuh warna, bebas, sebebas pikiran membayangkan. Namun, selalu saja ada cara, ternyata, jika manusia benar-benar menghendaki sesuatu. Menjadi guru memang cita-citaku sejak kecil. Aku menikmati mengajar, berinteraksi dengan siswa. Namun di sisi lain, aku merasa butuh peran lebih dalam hidup. Peran yang benar-benar penuh warna, jauh dari kemonotonan. Aku ingin hidupku penuh warna, penuh kreativitas, penuh karya, penuh manfaat, penuh kenangan, penuh pengalaman, dan segala gala gala galanya. 

Menjadi seorang pekerja yang terikat aturan, aku membayangkan alur kehidupan yang bakal aku lalui. Terlihat jelas dalam pikiran bagaimana arah kehidupanku, sejelas melihat alur cerita sebuah film. Ah..rasanya kurang menarik kalo menonton suatu film tapi sudah tau alur yang pasti. Tak ada surprise. Begitulah gumamku, dalam menilai posisiku. 

Ahh..sorry. Rasanya kok jadi curhat urusan pribadi. Padahal tulisan ini kan berupaya memposisikan diri sebagai pihak yang setara dengan pembaca. Sorry! Oke lah. Mari kembali ke jalur yang benar. Begini, bagaimana cara kita mengarahkan hidup? 

‘’Loh, emang hidup harus diarahkan bagaimana lagi? Emang kita bisa merekayasa hidup kita? Bukankah hidup ini sudah ada yang mengatur, kemudian kita hanya menjalaninya saja?’’ 

Hehehe…Hidup memang dikendalikan sama Ssang Pencipta. Namun Dia memberi kita keleluasaan untuk mengarahkannya sesuai dengan kehendak kita. Bukankah begitu,kisanak? (Kok jadi mbahas hal2 relijius gini sih?) haha… 

Aku teringt dengan pesan Steve Jobs, sang pendiri perusahaan APPLE. Salah satu hal yang mendorong dia untuk berkarya dan melakukan hal-hal besar adalah kesadaran bahwa suatu hari dia pasti akan mati. Ketika mati, terputuslah manusia dengan segala urusan dunianya. Maka, dia bersikap nothing to lose terhadap segala resiko kegagalan apapun yang dia alami ketika berproses untuk berkarya besar dan menjalani hidup penuh warna. Mustinya begitu juga prinsip kita dalam menjalani hidup. 



Lantas, bagaimana menjalani hidup? 
Nah, kali ini bahasannya aku banget. Ini bukan untuk menggurui, namun sekedar berbagi referensi. 
  1. Dunia ini luas, jelajahilah untuk melihat keindahannya.
Gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com
Coba bayangkan, kita lahir, tumbuh besar dan dewasa, lalu meninggal. Dalam proses menjalani hidupnya yang dilakukan itu-itu saja. Apa menariknya? hahaha… Dunia ini tercipta penuh keragaman dan keindahan. Kita bakal terkejut ketika mendapati hal-hal baru di belahan dunia lain. Itu seru, tau! Memang sih susah dibayangkan kalo belum tau. Hanya orang yang pernah menjelajah negara-negara luar yang bisa merasakan serunya berkelana. Bahasa innocentnya, jelajahi dulu dunia sebelum mati (padahal jadwal kematian kan tak ada yang tau, selain Tuhan Sang Pencipta). Merasakan pengalaman hidup di luar bakal memberi kesan yang dalam, dan bisa membuka pikiran. Tak berlebihan bahwa di tempat lain kita bisa menemukan hal-hal yang mind-blowing. 

Berkelana ke dunia luar juga bagus untuk mengasah karakter. Setidaknya, pengalaman menemui keberagaman menjadikan kita lebih bersikap toleran, menghargai dan memahami orang lain. 

2. Milikilah harapan yang besar, dan beranikan diri untuk mewujudkannya

Orang seringkali takut dengan resiko yang kemungkinan muncul dalam proses mewujudkan impian. Hal tersebut terjadi lantaran orang banyak yang terfokus membayangkan resiko, ketimbang membayangkan reward yang bakal mereka petik ketika memberanikan diri mewujudkan hal-hal besar. Nothing to lose aja sih napa!? Hidup kan hanya sekali. Nanti keburu nyesel loh kalo di masa-masa akhir hidup baru menyadari betapa bodohnya diri kita yang tak berani mengambil resiko untuk mewujudkan hal-hal besar yang diinginkan. 

3. Berderma lah yang banyak

Hidup butuh penyeimbang. Berderma adalah cara untuk menyeimbangkan hidup. Kita mungkin memiliki banyak uang. Dengannya kita mampu mewujudkan apa yang kita inginkan. Membeli rumah mewah. Membeli kendaraan mewah. Melakukan Traveling ke luar negeri. Namun, tanpa sikap dermawan, akan terasa hedonis sekali hidup kita. Boleh lah menikmati hidup secara maksimal. Namun, berdermalah untuk menyeimbangkannya. Saya kadang menganggap derma sebagai pajak yang harus saya bayarkan atas kehidupan yang saya miliki. Ada rasa bersalah yang cukup dalam, ketika menghabiskan banyak uang untuk kesenangan dunia, sementara berderma saja sedikit sekali.

4. Spending money on experiences, not on things

Kalimat di atas cukup terkenal. Saya pertama kali menemukan kalimat tersebut di sebuah grup backpacker di situs media sosial. Barangkali, kata-kata tersebut sudah dijadikan prinsip oleh sebagian besar merekayang suka backpacking. Belanjakan uangmu untuk pengalaman berharga, bukan untuk membeli benda-benda. Ada banyak orang yang memiliki uang berlimpah. Mereka menghabiskannya untuk membeli benda-benda yang bisa menunjukkan status sosial mereka. Namun mereka kurang memiliki hasrat untuk memiliki pengalaman baru, berpetualang, dan melakkan hal-hal baru. barangkali tak terbertis dalam pikiran mereka untuk melakukan hal demikian. Kenikmatan berpetualang memang hanya dirasakan dan dipahami oleh mereka yang suka berpetualang dan mencoba melakukan hal-hal baru yang dapat menambah pengalaman mereka. Saya sendiri memiliki daftar keinginan yang ingin saya wujudkan selama hidup. Di antaranya ada tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, hal-hal yang ingin saya lakukan, peran apa saja yang ingi saya lakonkan, dan sebagainya. Ha tersebut dalam rangka mengisi hidup saya yang hanya berlangsung satu kali ini. Pengalaman yang banyak, bervariasi dan sarat makna, akan menjadi penghias hidup yang saya jalani.

5. Better having little but constant improvement than no at all

Carol Dweck, seorang ahli psikologi memperkenalkan istilah growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki orientasi untuk selalu bertumbuh memiliki growth mindset. Sementara orang yang berpuas diri dengan kondisi status quo serta tak meyakini bahwa segala sesuatu bisa dirubah termasuk golongan fixed mindset. Jadilah orang yang memiliki growth mindset. Investasikan uang yang dimiliki untuk terus belajar meningkatkan kapasitas dan kompetensi diri. Alokasikan uang yang kita miliki untuk memberi nutrisi ''leher ke atas''. Berusaha untuk selalu belajar dan memperbaiki diri akan menjadikan kita pribadi yang selalu uptodate. Sementara berpuas diri dengan keadaan yang sudah ada, dan tak beranjak untuk berubah sama sekali, lambat laun akan menjadikan kita tertinggal oleh perkembangan zaman.

Perkembangan teknologi memudahkan kita untuk terus belajar tanpa terikat waktu dan tempat. Kita bisa mengakses bacaan-bacaan penuh manfaat yang tersedia secara online. Teruslah belajar. Bukan agar menjadi orang pintar, melainkan agar menjadi orang yang senantiasa selalu uptodate dengan perkembangan dan tantangan zaman.







Sabtu, 29 Oktober 2016

TIME IS PRICELESS! Believe me!

Gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com

Tadi siang aku sempat melihat sebuah video yang diunggah oleh seorang teman. Video tersebut berisi tentang sharing pengalaman teman tersebut perihal Working holiday Visa (WHV). Dia pernah menghabiskan masa 11 bulan bekerja di Australia melalui program working holiday visa. Kemampuan Bahasa Inggrisnya lumayan, meski secara level kompetensi dia masih termasuk upper-intermediatae, belum advanced. Namun bukan tentang Bahasa Inggrisnya yang ingin aku ulas dalam tulisan ini, melainkan tentang kesadaran akan peluang (Opportunity Literacy). 

Siapa yang tak tertarik dengan program WHV. Dia bercerita bahwa selama 11 bulan bekerja, dia bisa menghasilkan Aus$ 68.000an. DIpotong pajak $ 9000, sehingga tersisa $ 59.000. Gaya hidupnya yang lumayan boros membuatnya menghabiskan total $20.000 selama 11 bulan tinggal di sana. Menggiurkan. 11 bulan kerja melalui WHV bisa membawa uang 300-500 juta rupiah. Kerja macam apa di Indonesia yang bisa menghasilkan uang segitu. Besar kecilnya jumlah tersebut tentunya relatif. Namun sebagian besar orang tentu berpikir bahwa nilai segitu sangatlah signifikan. Bagi yang ingin membuka usaha namun terkendala modal, tentu jumlah uang segitu sangat signifikan.

Masalahnya, bagiku, adalah bahwa sebagian persyaratan yang ada untuk memperoleh WHV sudah tak bisa aku penuhi. Yaitu persyaratan usia. Soal bahasa, keharusan memiliki sejumlah uang di deposito, dan syarat2 lainnya sangat mungkin diusahakan. Namun, syarat usia itu yang tak bisa ditawar. Di sini aku tertegun. Betapa waktu sangat berharga. Kita melewatkan waktu dengan percuma saja merupakan kerugian besar. Setiap saat manusia bernafas, saat itulah berbagai kesempatan tersedia. Tinggal pilih saja mana yang sesuai dengan kehendak hati. Sayangnya, betapa banyak orang yang tak ‘melek’ dengan berbagai kesempatan besar hanya karena mereka membatasi diri. Jangkauan pergaulan mereka terbatas. Informasi yang mereka akses juga itu-itu saja. Bahkantak jarang yang mengakses informasi yang sebenarnya tak begitu penting buat hidup mereka. 

Aku semakin tersadar, bahwa waktu itu sangatlah berharga. Di setiap detik aku lewati, di situ banyak sekali tersedia kesempatan yang menunggu untuk aku dayagunakan. Tugasku hanyalah membuka pikiran seluas-luasnya. Namun apa daya aku sudah melewatkan beberapa moment penting dan sarat manfaat dalam hidup. Itu semua karena ketertutupanku. 

Aku tak bisa memutar balik waktu. Semua kesempatan yang sudah terlewatkan, biarlah sudah. Yang jelas, sekarang aku makin meyakini bahwa di setiap waktu selalu ada kesempatan besar yang menunggu untuk aku dayagunakan. Aku harus membuka mata, pikiran dan semua panca indera selebar-lebarnya, agar setiap detik dalam hidup yang ku lewati terukir prestasi-prestasi besar yang bermanfaat bagi diri dan orang-orang yang kucintai. 

Betapa usia itu begitu berharga. Aku teringat dengan curhat temanku yang kini berusia 46 tahun. Dia berujar, ‘’andai sejak dahulu aku tau bahwa ada begitu banyak peluang beasiswa untuk mengenyam pendidikan secara gratis di luar negeri, mungkin sekarang aku sudah tinggal membuka lembaran-lembaran sejarah gemilah yang telah aku lewati, yang dengannya aku bisa berbuat lebih baik lebih besar lagi lebih dari sang aku bisa lakukan kini. Dengannya aku bisa bercerita untuk berbagi inspirasi’’. Aku tanya kenapa dia berpikir seperti itu. Ternyata dia menyadari bahwa dalam perjalanan hidupnya dia telah melewatkan begitu banyak kesempatan. Terakhir kali dia mencoba untuk mengikuti sebuah program internasional tentang pengembangan diri. Namun batasan usia membuaatnya tak bisa mendaftarkan diri. 

Aku jadi teringat pula dengan cerita adanya sebuah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hal apa yang paling disesali oleh orang yang sudah lanjut usia. Dalam penelitian yang melibatkan ratusan orang lanjut usia tersebut, ditemukan bahwa sebagian dari responden menyesali hal yang seharusnya mereka lakukan namun tak pernah mereka lakukan. Sebagian besar dari mereka berpikir bahwa seandainya mereka bisa kembali ke masa lalu, maka mereka akan bertekad mengambil resiko lebih untuk mewujudkan hal besar yang tak sempat mereka wujudkan. Umumnya mereka tak melakukan hal-hal tersebut karena mereka kalah dengan rasa takut akan resiko dan keraguan. 

Betapa setiap detik adalah momen untuk berkarya, sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Betapa setiap detik adalah momen untuk beribadah, sebagai makhluk yang berketuhanan. Maka, beruntunglah orang-orang yang setiap saat selalu melek dengan kesempatan dan bergegas mendayagunakan segala kesempatan tersebut, untuk berkarya dan menjadikan diri lebih berguna bagi diri dan sesama, serta untuk menjadikan diri lebih mumpuni sebagai makhluk Alloh. Maka, buka mata, buka telinga, buka pikiran, dan buka segala panca indera, untuk menyadari adanya berbagai peluang, dan bergegas mendayagunakannya!


TIME IS PRICELESS!

Gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com

Jumat, 28 Oktober 2016

PENDIDIKAN, BAGAIMANA KABARMU?


Gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com
Andai semua mata pelajaran di sekolah diajarkan secara kontekstual dikaitkan dengan dinamika dalam kehidupan nyata, maka semestinya sekolah sudah cukup untuk menjadi laboratorium pembentukan intelektualitas, karakter, dan kompetensi siswa. Bayangkan jika pelajaran Ekonomi mampu menjadikan siswa cerdas secara finansial, dan mengasah kemampuan siswa membaca serta memanfaatkan peluang ekonomi, maka tentu mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang mandiri secara ekonomi di masa depannya. Bayangkan jika pelajaran sosiologi dan kewarganegaraan (PKn) mampu menjadikan siswa memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi, dengan cara berorientasi menjadi pribadi yang toleran, taat hukum, serta mampu memahami hak-hak serta kewajiban mereka sebagai bagian dari bangsa. Bayangkan jika pelajaran agama mampu menjadikan siswa pribadi yang berakhlak baik (akhlaqul karimah) sesuai dengan yang diajarkan oleh Agama. Bayangkan jika pelajaran matematika mampu menjadikan siswa memiliki kemampuan problem solving yang mumpuni, yang bisa dijadikan sebagai bekal menghadapi berbagai tantangan kerumitan dalam kehidupan. Bayangkan jika ilmu-ilmu sains seperti fisika, kimia, dan biologi mampu menjadikan siswa menemukan berbagai hal berharga baik yang berskala kecil maupun besar yang berguna bagi kehidupan umat manusia sebagaimana para ilmuwan telah melakukannya. Begitu pula dengan pelajaran yang termasuk dalam muatan lokal. Bahasa daerah, Misalnya. Bayangkan jika pelajaran bahasa Jawa mampu menjadikan siswa memahami bahasa, budaya dan mengilhaminya, tentunya soal tata krama tak perlu lagi menjadi hal yang mengkhawatirkan. 

Masalahnya adalah pendekatan pembelajaran mata pelajaran tersebut seringkali salah orientasi. Misorientasi tersebut ironisnya didukung oleh sistem dan aturan yang mengikat pendidik. Di sana ada kurikulum beserta derivasinya yang menjadi guideline bagi pendidik untuk melaksanakan proses belajarn mengajar di sekolah. Pelajaran ekonomi akuntansi berisi tentang cara menghitung faktur penjualan, alih-alih menyadarkan siswa agar memiliki financial literacy. Maka jangan heran jika yang bermunculan adalah pribadi-pribadi yang mampu menghitung neraca perdagangan namun tak tau bagaimana  memanfaatkan peluang untuk menghasilkan uang. Pelajaran Agama, sosiologi, Pendidikan Kewarganegaraan masih seputar menghafalkan informasi-informasi. Maka jangan heran jika banyak individu yang hafal berbagai hal namun miskin integritas. Itu baru contoh beberapa mata pelajaran yang diajarkan dengan pendekatan yang salah orientasi. 

Proses pendidikan seringkali salah orientasi. Ujian nasional yang sedianya dijadikan sebagai salah satu alat untuk mengukur keberhasilan pendidikan secara numerik justru dijadikan sebagai tujuan utama proses pembelajaran di sekolah. Sehingga, pembelajaran di kelas persis seringkali hanya seputar menghafalkan informasi, latihan memilih jawaban yang benar,  yang ujung-ujungnya ditujukan untuk mencapai nilai yang memuaskan. Bayangkan, siswa menghabiskan beberapa tahun untuk dididik di sekolah, namun yang mereka peroleh hanya seputar informasi yang mereka hafal, serta angka-angka yang tertulis di beberapa lembar laporan yang diyakini banyak orang sebagai cerminan hasil belajar. Akhirnya, pendidikan berkutat pada angka. Mengerikan, bukan?

Pendidikan itu sangat penting. Pendidikan formal di sekolah juga sangat penting. Hanya saja, bagaimana proses pendidikan tersebut didesain agar tepat orientasi, itu yang harus menjadi perhatian utama. Mungkin hal itu menjadi domain pemerintah yang mendesain kebijakan. Namun, biar bagaimanapun pendidik adalah pihak yang bersinggungan langsung dengan peserta didik. Mereka memiliki posisi yang sangat strategis dalam menjalankan proses pendidikan di sekolah. Mereka memiliki wewenang untuk mendesain proses pembelajaran. Maka, semestinya mereka memahami bagaimana pelajaran yang ada seharusnya diajarkan sesuai dengan konteks perkembangan kehidupan. Sehingga, para siswa menjadi individu yang siap, dengan segala kompetensi yang dimiliki, untuk menjadi bagian dari solusi dalam kehidupan.Yang jelas, pendidikan semestinya mampu menciptakan individu-individu yang mampu mencari berbagai alternatif dalam menghadapi tantangan kehidupan. Pendidikan seharusnya mampu mendorong munculnya kreativitas individu, yang berguna bagi kehidupan. 

Senin, 24 Oktober 2016

Negeri salah orientasi

Konon negeri ini (Indonesia) adalah negeri yang bikin orang luar bak serigala meneteskan liur ketika melihat ayam. Sumber daya alamnya jadi potensi untuk dieksplorasi. Sumber daya manusianya jadi potensi untuk dipekerjakan secara murah sekaligus jadi pangsa pasar. Di negeri ini pula produk2 luar negeri bisa menghegemoni, memonopoli sekaligus jadi raja di negeri ini tanpa terusik sedikit pun. Satu ilustrasi, di negeri ini, saya sering menemukan di hampir semua toko yang namanya show case minuman dingin yang ada hanya yang ber-merk Co#a Col#. Sementara di Jepang tak ada monopoli se ironis itu. Sangkin menjanjikannya banyak orang berkewarganegaraan luar rela merantau ke negeri ini dan merubah status kewarganegaraannya menjadi WNI demi memperoleh bongkahan-bongkahan ‘emas’ yang tak perlu digali terlalu dalam. Mereka mengeruk banyak kekayaan lalu menyimpan dan membelanjakan hartanya di luar negeri.

Sementara kita rakyat pribumi tak sadar bahwa kita hidup di sebuah negara yang bergelimang karunia. Benar kata pepatah, seringkali memandang sesuatu dari kejauhan jauh lebih jelas dan gamblang daripada memandangnya dari jarak dekat. Kita sudah berlarut-larut meributkan kasus korupsi bernilai milyaran, atau ratusan milyar, meski tak kunjung reda karena tumpulnya hukum di negeri ini. Namun kita tak pernah mikir bahwa tiap hari kekayaan alam dan banyak potensi negeri ini digondol maling berdasi dari luar negeri yang justru mendapat tempat terhormat di negeri ini.

Kita terbiasa terjebak pada berpikir kerdil. Kasus Kopi sianida dengan aktor utama Jessica-Mirna berlama-lama menghiasi pemberitaan di berbagai media. Sementara hal yang lebih layak diperhatikan seperti derasnya arus impor barang-barang seperti bawang putih, ikan, daging, beras, dan sebagainya yang menyebabkan matinya ekonomi kerakyatan dalam negeri alpa dari perhatian. Sedih sekali ketika pagi ini baca berita sebuah situs online bahwa impor bawang putih sudah mencapai porsi 97% dari total kebutuhan nasional. Artinya, petani dalam negeri hanya menyuplai 3%nya. Itu baru satu produk impor. Lantas, ada yang menyeletuk ‘’Salah sendiri kenapa para petani tak berbenah diri memperbaiki manajemen produksi’’. Hello! Petani itu bagian dari negeri ini, dan negeri ini mempunyai pemimpin yang seharusnya peka dan cepat tanggap dalam membantu keberlangsungan nafas ekonomi mereka. Tidak butuh kecerdasan tinggi kalo hanya impor-impor dan impor. Mukidi pun pasti bisa jadi pemimpin kalo yang dilakukan hanya bukan keran impor. 

Makin hari, segala sendi kehidupan kita makin didikte oleh media. Hukum berjalan berdasarkan arus opini arahan media. Berita-berita sesat mudah menjadi viral media. Opini masyarakat pun terbentuk oleh media. 


Kapan negeri ini bisa menyadari bahwa kita adalah bangsa yang besar. Negara-negara lain menggunakan sentimen sejarah peradaban di masa lalu sebagai penyemangat untuk memupuk keyakinan atas identitas kebesaran negeri mereka. Contoh, Turki. Betapa rakyat di negeri itu sekarang sedang mengalami rasa percaya diri yang begitu besar setelah pemimpinnya mampu menyengat keyakinan bahwa mereka adalah negara besar, layak menjadi besar, dan merupakan pewaris dari sebuah peradaban besar. Apakah kita harus memiliki sejarah peradaban besar dahulu untuk meyakini bahwa kita bisa besar? Hello? 

DEALING WITH PROCRASTINATION. YEY, I MADE IT!

Picture: http://www.prolificliving.com


It was such a terrible experience i wished i would never have again in the rest of my life. Procrastination, to some extent, is a horrible nightmare when it turns into such like an acute disease. Last week I lost my mind when i had to finish preparing for a presentation in a big English Expo in Sendai. I had more than enough time, for sure, to work on it. One month is a long time. Yet, i had not got my presentation power point done until right the day before the due date of the execution day. 

Some friends of mine one day named me ‘the last minute person’, a bitter nickname, actually. However, i could not agree more as that was the way it was. I confessed that, indeed, i was the truly last minute (if not to say the worse, ‘last second’) person. I appreciated myself enough as i was committed to put an end of this terrible procrastination habit. I was determined to have that procrastination to be the last one in my life. I had to make the procrastination ‘ a negative history’, a hardly possible thing, as a matter of course. I just believed that there would be such a turning point in life, that made everybody possible to have a big change. And that was the moment. 

Finally, not only did i complete my presentation powerpoint, but also i made it. It was unbelievable! It is not subjective, actually. The appraisal and feedback from some of the audiences attending my ‘lecture’ was the proof. I had not expected before that the audience would have been that a lot. Incredible! I thought the idea i put forward would be imbedded as a trivial thing. Yet, they opted my ‘lecture’ instead of other 5 classes due to being curious about how the ideas i brought up would be. Using movies in classroom is not something new, but using short english movies to teach writing was new to many of them. That drew their curiosity. I felt nervous, of course, prior to doing the presentation. However, when it went on, i could win my anxiety. Worries is a normal symptom that everybody, even presidents who frequently stand up to speak in front of many people, experiences. 

Okay! Let me talk a little about how my presentation went. I was given 45 minutes to present my ideas. Yet i spared roughly 10 minutes for discussion session. I felt so much confident. Even I could not have been such being confident before. I spoke a bit slowly, but pretty much normally, as i had won the control of my heart and mind. I let everybody interrupt and utter any remark, actually. But, still, i skipped a beat when a looked-expert man interrupted and gave a remark on the point about the kinds of movies possible for English class, especially to teach writing. I inhaled the air for a second, and then start responding. It was relieving when he showed a sort of satisfactory upon my response toward his comments. The discussion session went precisely for 10 minutes. The audience attending my presentation mostly took part in the discussion and asked me several questions that i think i succeeded in answering them. Finally, thank Goodness that my presentation was done well. I felt so much relieved. 

Go back to dealing with procrastination. This must be a turning point for my big change in getting rid of procrastination habit. Procrastination must be, as i said before, a part of history. A history to tell anybody who are in need of the sharing of this experience of success in overcoming procrastination habit. 

Well, i have not explained in details yet about how i feel i made it to deal with procrastination habit. Here we ago;

After finishing my ‘big project’, presentation, I felt very passionate of working on and finishing every work as soon as possible. That is the only way in order not to go back to procrastination habit again. It takes time, for sure. Yet, that is the price to be paid for being free from horrible procrastination habit. I have to get accustomed to making deadline for myself about when i have to finish my work. Granted, to change certain habit, one needs constant and sustainable effort which will take energy and time-consuming process. Nevertheless, it will be paid off. Being free from the nightmare named procrastination will be a priceless reward for that painstaking effort. 

Picture: http://chadscottmusic.com


How is the art of dealing with procrastination habit? Let me share here. One must make a schedule of working on certain work. When the work to finish is the one which takes time, make a schedule of phases to step on. Make sure to complete every step perfectly. In dealing with every step, keep being focused, yet give yourself time for relaxed! So, be focused 100%, and make use of relaxing time 100%! It demands self-discipline, somehow. Work on your job/task in such way in a regular basis. You will smile at the end. Believe me!

Sabtu, 22 Oktober 2016

HIDUP ADALAH TENTANG MENANGGUNG RESIKO



Kita seringkali mendengar orang berkata ‘jangan takut akan resiko. Ketakutan itu sebagian besar tak terbukti’. Namun, hal tersebut tak lantas membuat kita berani. Mungkin karena sangkin klise nya kata-kata tersebut, atau memang menerapkan apa yang disampaikan pesan bijak itu tak mudah. 

Hidup adalah tentang memilih resiko dan menanggung konsekuensinya. Bayangkan, ada orang yang sedari kecil hingga dewasa tak pernah berani ambil keputusan karena takut untuk ambil resiko. Kira-kira, apa yang akan terjadi? Ketika masih kecil, hal tersebut mungkin tak berdampak begitu signifikan terhadap kehidupannya, karena semasa kecil banyak tanggungjawab yang diambil alih oleh orangtua. Namun, hidup berkembang, dan tugas perkembangan dalam hidup pun semakin berkembang baik ragam maupun level kesulitannya. Apakah karena orang tersebut yang tak mau memgambil resiko kemudian bisa bebas dari resiko? Jawabannya tentu tidak. Dia tak memilih resiko, tapi sebuah resiko akan tertimpakan kepadanya secara dengan sendirinya. 


Ada orang yang tak berani memutuskan untuk menikah karena takut ditolak oleh orang yang dilamarnya. Apakah hal tersebut menghindarkannya dari resiko? Tidak juga. Resiko paling mungkin yang akan terjadi adalah dia akan menjadi perawan / bujang tua, dan itu biasanya menimbulkan konsekuensi sosial yang nyeri di jiwa. Ada orang yang tak berani mengambil keputusan meminang orang yang enjadi dambaannya, hanya karena merasa yang didambakan memiliki kualitas yang jauh lebih tinggi daripada dia. Lebih berpendidikan, lebih kaya, sangat rupawan dan sepertinya layak mendapatkan yang setara rupawannya, lebih berpengalaman, lebih cerdas, dan lebih2 lainnya. Akhirnya, dia memutuskan melamar orang yang memiliki kriteria di bawah standar yang dimilikinya. Apakah hal tersbut menghindarkannya dari resiko? Tidak juga. Ada potensi kekecewaan di kemudian hari, ‘‘mengapa dulu tak mengambil keputusan besar memberanikan diri melamar si dia. Padahal bisajadi dia menerimaku’’. Setidaknya itu dialog batin yang sangat potensial muncul dalam benaknya dikemudian hari pada saat segalanya relatif sudah terlambat. Jangan ditanya apakah dialog batin tersebut tak mengganggu kenyamana hidupnya dan keharmonisan kehidupan rumahtangganya yang sudah dijalankan. Itu akan menjadi teror baik di siang maupun malam hari. 

Ada orang yang lebih memilih bermimpi membuka kios bensin kecil-kecila daripada bermimpi membuka pom bensin. Tentu lebih mudah untuk mewujudkan impian membuka kios kecil tersebut. Namun, resikonya juga besar. Kios bensin kecil rentan ditiru banyak orang, karena hanya membutuhkan modal kecil. Ketika banyak orang yang menggeluti usaha jual bensin kecil-kecilan tersebut hingga persaingan semakin sengit, maka kios bensinnya rentan bangkrut. Bermimpi membuka pom bensi memang hal yang mengandung resiko besar. Namun ketika bersungguh-sungguh berusaha dan mau menebus harga yang harus dibayar untuk mewujudkannya, maka bisa menghasilkan keuntungan yang sangat besar. Setidaknya, persaingan pom bensin tak sebegitu sengitnya dengan kios bensin kecil-kecilan. Pom bensin di tiap daerah biasanya jumlahnya relatif sedikit, yang berkecimpung sedikit, persaingan pun tak begitu ketat. 

Ada seorang pemuda yang berdiam diri tak mau bekerja maupun menjalankan usaha karena tak mau ambil resiko, dan lebih memilih menggantungkan diri pada kekayaan warisan orang tua. Apakah keputusannya tersebut menghindarkannya dari resiko? Tidak juga. Minimal resiko moral akan dia tanggung, sebagai anak pemalas dan penghabis harta orangtua semata. 


Banyak orang tak berani bermimpi dan mengmabil keputusan besar karena takut resiko yang bakal diambil. Akhirnya mereka mengambil resiko kecil. Padahal, resiko kecil yang diambil pun sebenarnya mengandung resiko besar. Baik kita memutuskan mengambil atau tidak mengambil keputusan yang beresiko, tak akan menghindarkan kita dari resiko. Jika kit tidak memilih resiko, maka akan dipilihkan suatu resiko buat kita secara otomatis oleh kehidupan. Maka, mari memilih resiko yang berdampak kebaikan besar terhadap hidup kita maupun terhadap orang-orang yang kita cintai. Karena hidup itu memang isinya tentang menanggung resiko, entah kita mau atau tidak. 

Gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com

Jumat, 21 Oktober 2016

KEDISIPLINAN = PENGEKANGAN?




Siapapun yang pernah mengenyam pendidikan formal, pasti pernah mengalami keterikatan terhadap peraturan. Pendidikan formal seperti sekolah biasanya memang menetapkan berbagai aturan. Di sekolah, ada peraturan mengenai gaya rambut, tata busana, kehadiran, ketepatan waktu dalam melakukan suatu tugas akademik maupun non akademik tertentu, perilaku warga sekolah, dan peraturan-peraturan lainnya. Karena peraturan tersebut bersifat mengikat, mutlak dilaksanakan, maka pada umumnya warga sekolah tunduk pada peraturan tersebut. Namun, tk jarang ada warga sekolah (umumnya siswa) yang mengekspresikan sikap ketidaksetujuannya terhadap peraturan tersebut. Banyak pula yang setuju terhadap peraturan, namun tetap melanggar. 

Pendidikan adalah tentang mengelola manusia. Pendidikan memiliki harapan untuk terciptanya perubahan ke arah positif pada peserta didik. Untuk merubah manusia, maka hal penting yang harus disentuh adalah hati dan pikiran, karena pada umumnya manusia melandaskan tindakan mereka pada titah hati dan pikiran. Peraturan yang diberlakukan tanpa ada upaya pemberian pemahaman kepada semua pihak yang terikat dalam peraturan tersebut hanya akan melahirkan ‘perasaan diperbudak’. Ketika semua pihak yang terikat terhadap peraturan tersebut tak benar-memahami kenapa peraturan ada, maka muncul lah para pelanggar peraturan. 

Mari kita membahas soal kedisiplinan. Banyak sekolah yang memberlakuan aturan kedisiplinan selayaknya sebuah hal klise tanpa perlu penjelasan panjang lebar.  Peraturan kedisiplinan dibuat dan langsung diberlakukan tanpa ada penjelasan mengenai alasan filosofisnya kepada semua warga sekolah yang terikat aturan tersebut. Pihak pembuat peraturan semestinya memberi pemahaman kepada semua pihak mengenai alasan mengapa peraturan kedisiplinan tersebut diberlakukan. Kata ‘disiplin’ begitu akrab di telinga banyak orang. Namun, kalau mau jujur, sebenarnya banyak orang yang tidak begitu paham tentang apa arti penting kedisiplinan terhadap kehidupan mereka. Mengapa mereka perlu membiasakan hidup disiplin. Karena tak ada pemahaman memadai, maka ada persepsi negatif bahwa aturan kedisiplinan berarti ‘’pengekangan’’. Singkatnya, semua pihak yang terikat oleh peraturan perlu memperoleh pemahaman secara detil mengenai alasan diberlakukannya aturan tersebut. 

Ada sebuah cerita menarik. Sebuah sekolah memberlakukan aturan ditariknya uang dari semua siswa secara rutin setiap hari untuk didonasikan kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Uang yang terkumpul tersebut diatur oleh sebuah tim, kemudian disalurkan secara tepat kepada pihak-pihak yang membutuhkan. Tak ada ketentuan tentang jumlah yang siswa harus donasikan, namun program tersebut dilakukan setiap hari. Sebenarnya ada kesan yang tak lazim dari aturan tersebut. Kegiatan amal biasanya merupakan ranah pribadi yang tak terikat oleh frekuensi, jumlah besaran, maupun aturan tertentu. Namun, seluruh siswa secara sukarela mendonasikan sejumlah uang tersebut setiap hari. Tak ada protes dari mereka, maupun orang tua mereka. Ternyata, pihak pembuat aturan tersebut memberikan penjelasan kepada seluruh siswa bahwa program tersebut dimaksudkan untuk membentuk karakter dermawan. Namun, kenapa harus dilakukan setiap hari? Itulah upaya yang dilakukan pihak manajemen sekolah untuk mengaplikasikan sebuah prinsip yang diajarkan sebuah kitab suci yaitu ‘berdermalah baik di saat lapang maupun sempit’’. Artinya siswa dibiasakan untuk berderma dalam kondisi apapun. Kebetulan, sekolah tersebut merupakan sebuah sekolah di bawah naungan yayasan keagamaan. Para siswa meyakini (setelah dipahamkan) bahwa program pembiasaan berderma tersebut akan membentuk kepribadian dermawan. Sehingga, mereka dengan sungguh-sungguh menyisihkan sekian prosentase dari jajan uang harian yang mereka miliki untuk didermakan. Inilah contoh suksesnya pemberlakuan peraturan secara humanis.


Pemberlakuan suatu aturan kedisiplinan adalh hal penting. Namun menjelaskan tentang alasan pentingnya aturan kedisiplinan tersebut juga sangat penting, agar tercipta kesadaran, dan agar terhindar dari adanya kesan ‘pengekangan’. 

Selasa, 18 Oktober 2016

Belajar memaklumi diri sendiri



Sumber foto: http://2.bp.blogspot.com
Entah sindrom psikologis apa yang sedang aku idap. Hampir setiap dihadapkan pada deadline menyelesaikan suatu tugas, rasa khawatir muncul berlebihan. Seperti yang sedang aku alami sekarang, dimana aku harus mempersiapkan diri untuk mempresentasikan suatu makalah di hadapan banyak orang di forum guru bahasa Inggris Tohoku. Sebenarnya, ini adalah sebuah gejala psikologis yang menarik untuk ditelaah, dan ditemukan penyebab serta solusinya. Aku merasa begitu tersiksa. Setiap kali melangkah untuk menuntaskan urusan tersebut, aku merasa selalu ada yang kurang. Perasaan takut salah, keliru, ditertawakan, hasilnya kurang bagus, dikritisi, dan perasaan2 negatif lainnya membuat aku tak efektif dalam memanfaatkan waktu untuk menyelesaikan urusan tersebut. Pada saat seperti itu, yang aku lakukan adalah berhenti, menunda, dan selalu menunda. Ada efek ketenangan sesaat yang aku rasakan ketika berhenti dan menunda.

Akhirnya, lagi-lagi aku terjebak oleh procrastination syndrom. Aku jadi merasa nyaman dengan menunda, namun dampak negatifnya terakumulasi dan akan harus aku rasakan di kemudian hari. Sungguh tak enak ketika konsekuensi tersebut datang. Sulit rasanya untuk percaya bahwa di usia se dewasa ini aku masih mengalami gejala psikologis yang semestinya sudah lama aku mampu menanganinya. Ah…mungkin itu perasaanku saja. Barangkali, banyak juga orang lain yang mengalami hal demikian. 

Biar bagaimanapun, aku harus mampu mengatasi masalah ini sendiri. Semakin lama masalah ini tertangani, maka semakin lama pula aku terlepas dari siksaan yang bikin nyeri psikologis. Aku harus mampu meyakinkan diri sendiri. Aku mulai belajar tentang memaklumi diri sendiri. Memaklumi apapun hasil kerja sendiri, meski kadang itu sulit. Boleh jadi, hal ini ada hubungannya dengan awal kehidupanku di masa kanak-kanak/remaja. Dalam ilmu psikologi diseutkan bahwa pengalaman yang ada pada masa awal kehidupan cenderung berdampak terhadap periode kehidupan selanjutnya, yaitu pada masa dewasa. 

Aku harus mengangguk bahwa memang pada kenyataannya aku memiliki pengalaman kurangnya mendapatkan apresiasi di masa awal kehidupan dari lingkungan sekitarku. Dulu, aku terbiasa mendapatkan tuntutan untuk melakukan pekerjaan kasar. Ketika aku gagal memenuhi ekspektansi, maka aku kena marah. Namun ketika aku berhasil memenuhi ekpektansi, tak jua aku hampir bisa dikatakan sangat jarang mendapatkan apresiasi meski hanya dengan sepatah kata. Tapi itu tak boleh kujadikan sebagai kambing hitam atas masalah ku ini. Aku harus mampu memotivasi diri sendiri. 

Aku harus belajar memaklumi diri. Kesannya lucu. Biasanya kata memaklumi itu lekat disematkan pada orang lain. 
‘’Menghargai orang lain’’ 
‘’Memaklumi orang lain’’
‘’Bersikap toleran terhadap orang lain’’
Umumnya begitu. Namun, rasanya, sikap memaklumi, menghargai, dan bersikap toleran harus aku berikan kepada diriku sendiri. Aku harus memaklumi apapun hasil usaha ku sendiri. Aku harus menghargai seperti apapun kemampuanku sendiri. Aku harus memberikan toleransi terhadap kesalahan, kekeliruan, kekurangan, dan ketidaksmepurnaan atas apapun yang ada pada diriku sendiri. Bahkan, aku harus membela diriku sendiri, ketika orang lain bersikap ofensif terhadap diriku dan segala performaku. 

Siapapun yang membaca tulisan ini, semoga bisa mendapatkan pesan berharga untuk kebaikan pada diri mereka. Bahwa kita memang harus memaklumi, menghargai, dan bersikap toleran terhadap diri sendiri atas segala karya kita. Sikap selalu menuntut kesempurnaan atas karya kita hanya akan melahirkan perfeksionisme yang biasanya berujung pada procrastination atau kebiasaan menunda. Kenapa orang yang perfeksionis suka menunda? Karena dalam hatinya mereka berpikir bahwa dengan menunda mereka akan menuju pada saat dimana kesempurnaan bisa mereka capai. Padahal, kesempurnaan relatif hanya dapat dicapai setelah diri kita mau berproses dan selalu memperbaiki diri. Sebenarnya, lebih penting efektivitas ketimbang kesempurnaan. Lebih penting membiasakan diri untuk menyelesaikan suatu urusan secara tepat waktu, atau sebelum waktunya, ketimbang menghabiskan banyak waktu untuk mengerjakan suatu urusan dengan berharap suatu saat nanti akan sempurna. Setelah kita memiliki efektivitas dalam menyelesaikan urusan, baru kita berproses untuk makin memperbaiki usaha kita. 


Bismillah. Aku berniat untuk berubah menjadi jauh lebih baik.

Sumber gambar:http://4.bp.blogspot.com


Minggu, 16 Oktober 2016

Shippaigaku


Kadang, yang dibutuhkan para murid dari guru mereka adalah diyakinkan bahwa belajar itu pasti melalui tahap yang bernama ketidaksempurnaan. Murid seringkali takut berbuat salah. Ketika guru telah selesai melakukan tugas menjelaskan suatu materi, kemudian tiba giliran sang murid untuk mempraktikkan apa yang telah dijelaskan, seringkali ada rasa takut dari sang murid untuk berbuat kekeliruan/salah. Ada kekhawatiran dari murid kalau-kalau mereka dianggap bodoh atau terlalu lamban untuk memahami ketika tak bisa sempurna dalam mempraktikkannya apa yang telah mereka pelajari. 

Guru semestinya berusaha meyakinkan murid bahwa dalam dunia ini tak ada satu manusia pun yang berprestasi di suatu bidang tertentu melainkan mereka pasti pernah mengalami masa ketidaksempurnaan. Pemain sepakbola profesional, musisi legendaris dunia, penulis buku-buku best seller dan semua orang hebat pasti pernah menjadi amatiran. Kesediaan mereka untuk terus berusaha dan melalui proses yang panjang lah yang mengantarkan mereka ke puncak kejayaan. 


Meskipun nyata bahwa orang-orang hebat di dunia ini pernah menjadi orang amatiran, namun sepertinya jarang guru yang menggunakan contoh tersebut sebagai bahan untuk memotivasi murid mereka. Melewati tahap ketidaksempurnaan itu pasti. Saya lebih tertarik menggunakan kata ‘’tahap ketidaksempurnaan’ ketimbang kata ‘kegagalan’. Sejatinya, mereka yang berani melewati proses jatuh bangun atas suatu upaya, tak pernah mengalami kegagalan. Mereka hanya melewati tahap dalam suatu proses yang bernama ‘tahap ketidaksemupurnaan’. 

Saya belajar banyak pada Dosen supervisor saya ketika belajar di Miyagi University of Education, Jepang, yang bernama Leis Adrian. Saya memanggil beliau Adrian-sensei. Beliau adalah orang yang sangat luar biasa dalam berpikir positif. Saya katakan, beliau adalah model pendidik yang sangat layak diteladani. Betapa beliau sangat memahami yang namanya tahap ketidaksempurnaan dalam suatu proses. Beberapa kali saya memperoleh tugas untuk menulis, melakukan presentasi, dan tugas-tugas akademik lainnya. Ketika saya tak mampu secara sempurna melakukan satu di antara tugas tersebut, beliau masih mau memahami, memaklumi, dan meyakinkan saya bahwa hal tersebut wajar. Padahal saya sendiri merasa bahwa untuk seorang murid yang juga merupakan guru seperti saya, melakukan kekeliruan dalam salah satu tugas yang beliau berikan itu tak sepenuhnya bisa dianggap wajar. 


Ketika murid diyakinkan untuk bersikap toleran terhadap ketidaksempurnaan dalam berproses, maka akan tumbuh rasa percaya diri yang besar. Murid ternyata butuh rasa aman dalam belajar. Salah satu bentuk rasa aman yang murid butuhkan adalah tiadanya teror psikologis baik yang datang dari diri sendiri maupun datang dari lingkungan eksternal ketika sedang berproses. Meyakinkan murid bahwa mengalami ketidaksempurnaan dalam proses belajar merupakan suatu hal yang wajar, adalah penangkal yang cukup ampuh untuk mengatasi teror psikologis murid. 

Gambar:http://image.slidesharecdn.com

Kamis, 13 Oktober 2016

PENEMUAN BESARKU DALAM HIDUPKU MENGENAI DIRIKU

Gambar http://sariepwijaksono.blogspot.com/

Salah satu penemuan terbesarku dalam hidupku tentang diriku adalah mengetahui bahwa ternyata aku memiliki kebiasaan negatif berupa ketidaktuntasan dalam melakukan sesuatu. Ada beberapa indikator nyata. Aku menyukai banyak lagu, bahkan sering mendendangkannya. Namun, ternyata jarang dari lagu-lagu tersebut yang aku hafal liriknya secara utuh. Ada banyak action yang ku lakukan, namun banyak yang berhenti di tengah jalan tanpa ketuntasan. Aku suka menulis, namun banyak tulisan yang tak selesia untuk dipublikasikan.

Aku senang telah mampu menemukannya. Hanya saja, sayang sekali karena relatif terlambat aku mengidentifikasinya. Padahal, setelah mengidentifikasi, proses selanjutnya yang musti dilakukan adalah mengupayakan perubahan. Perubahan kebiasaan yang sudah lama terpatri tentunya bakal membutuhkan proses yang lama. 

Aku tersadar betapa kebiasaan tuntas bekerja itu sangatlah penting dalam hidup. Andai saja ku tahu sedari dulu, mungkin telah banyak tahap-tahap perkembangan hidup yang terselesaikan. Kebiasan tuntas bekerja menjadikan orang bersegera meraih sesuatu yang orang lain mungkin baru akan mencapainya di kemudian hari. Betapa kebiasaan tuntas bekerja akna membuat orang mencapai keberhasilan hidup dalam waktu yang lebih awal. Itu baru ku sadari sekarang.

Ini lah pentingnya pendidikan karakter. Domain pendidikan karakter bukan semata pada nilai-nilai umum seperti kejujuran, kedisiplinan, kesopanan, dan kesantunan, melainkan juga ketuntasan dalam bekerja. Betapa ketidaktuntasan dalam bekerja telah menjadikan banyak orang tertunda keberhasilannya, serta tertunda dalam melewati tahap-tahap dalam perkembangan kehidupannya.

Cara melatih kebiasaan tuntas dalam bekerja yaitu dengan membatasi waktu penyelesaian suatu pekerjaan. Orang sering merasa khawatir kalau menyegerakan diselesaikannya pekerjaan akan membuat hasil kerjaan mereka tak sempurna. Sebenarnya, lebih penting untuk fokus membiasakan diri tuntas dalam bekerja ketimbang berharap kesempurnaan atas hasil pekerjaan. Setelah terbiasa dengan ketuntasand alam bekerja, baru lah fokus meningkatkan kesempurnaan dalam mewujudkan hasil pekerjaan. Jika ketuntasan proses dan kesempurnaan hasil sudah terpatri dalam diri menjadi suatu etos kerja, maka itulah adalah sebuah pencapaian besar dalam hidup. Akan ada banyak hal yang dicapai dengan memiliki kualitas diri seperti itu.

Waktu yang begitu luang seringkali menipu. Banyak orang merasa nyaman dengan banyaknya waktu. Mereka menunda penyelesaian suatu urusan karena berpikir bahwa untuk apa buru-buru, toh waktu yang tersedia masih banyak. Umumnya yang terjadi adalah mereka akhirnya menyelesaikan pekerjaan tersebut di waktu-waktu akhir, atau yang dalam istilah persepakbolaan disebut injury time. Jadilah mereka the last minute person. 

Ketidaktuntasan dalam bekerja dan procrastination ibarat dua sisi mata uang. Orang yang tak tuntas dalam bekerja cenderung suka menunda. Dua hal tersebut lah pencuri ulung yang membuat banyak orang melewatkan kesempatan-kesempatan besar, dan menghambat orang dari bersegera dalam meraih keberhasilan. 


Kesimpulannya, membiasakan diri untuk tuntas dalam bekerja adalah hal yang sangat penting dalam hidup. Mari berusaha untuk terbiasa tuntas dalam bekerja, seperti apapun hasilnya. 

Senin, 10 Oktober 2016

KUNCI KEMAJUAN EKONOMI SUATU BANGSA



Sudah tidak relevan lagi bahwa kemajuan ekonomi suatu bangsa dikaitkan dengan ketersediaan kekayaan alam. Jika kekayaan alam merupakan penentu kemajuan ekonomi, maka seharusnya Indonesia lebih mapan secara ekonomi dibandingkan negara miskin sumber daya alam seperti singapura, hongkong, belanda, dan lainnya. 

Gambar: Gerai Zunda Shake (Minuman Susu kedelai) di Stasiun Sendai, Jepang

Karakter produktif dan mandiri masyarakat dalam suatu bangsa adalah kata kuncinya. Bayangkan, satu orang menjalankan sebuah ide berupa menciptakan sebuah produk minuman berbahan dasar susu sapi dan kedelai, misalnya. Produk tersebut laku di pasaran. Untuk mendukung keberlangsungan usaha tersebut, dibutuhkan stok susu sapi. Maka bergeraklah roda ekonomi peternak sapi perah. Selain itu, dibutuhkan juga stok kedelai. Maka bergeraklah roda ekonomi pertanian kedelai. Untuk melakukan pemasaran, dibutuhkan media marketing, maka bergeraklah roda ekonomi industri media. Masing-masing dari simpul ekonomi tersebut memicu munculnya simpul ekonomi yang lain, dan menciptakan peluang-peluang baru. Prinsipnya seperti pohon yang bercabang-cabang. Masing-masing cabang tumbuh dan memunculkan cabang baru. Cabang baru tersebut makin tumbuh dan memunculkan ranting. Dan seterusnya. 

Itu baru satu ide yang terwujud. Nyatanya ada beberapa orang di dunia ini yang mampu mewujudkan berbagai ide. Ada banyak orang yang mampu menjalankan lebih dari satu usaha, meski prosentasenya jauh lebih sedikit dibanding dengan mereka yang tidak melakukannya. Artinya, sebenarnya manusia memiliki kapasitas yang besar untuk berproduksi dan berinovasi. Itulah alasannya mengapa dalam sebuah teori ekonomi disebutkan bahwa untuk menciptakan kemajuan ekonomi suatu bangsa, dibutuhkan sekurang-kurangnya 2% dari total populasi yang menjalankan aktivitas sebagai pengusaha/enterpreneur. Prosentase tersebut sebenarnya masih cukup debatable, karena ada yang berpendapat bahwa dibutuhkan prosentase lebih dari itu. Sementara ada juga yang berpendapat bahwa prosentase kurang dari itu pun cukup untuk mewujudkan ekonomi suatu bangsa. 

Unemployment merupakan isu yang selalu menjadi persoalan setiap bangsa. Langkah yang dilakukan melalui kebijakan formal pemerintah umumnya adalah dengan cara membuka pusat-pusat pengasahan keterampilan masyarakat. Sehingga, dibukalah sekolah-sekolah kejuruan. Masalahnya adalah pengsahan keterampilan tersebut hanya menjadikan masyarakat siap kerja, bukan siap untuk terjun mempraktikkan keterampilan untuk menciptakan peluang-peluang baru, hingga menjadi pribadi yang mandiri. Akibatnya, yang terjadi hanyalah semakin meningkatnya jumlah pengangguran. 

Gambar: Kedai Yakiniku bernuansa Bali di Sendai, Jepang.

Andai saja pemerintah mau menggalakkan kemandirian dan produktivitas, mestinya akan lain kondisinya. Kenapa musti pemerintah? Karena memang pemerintah lah yang mempunya peran strategis untuk merubah keadaan entitas suatu negara secara keseluruhan melalui program-program riilnya.  

Sabtu, 08 Oktober 2016

BEDA BUDAYA, BEDA SUASANA KELAS

Discussion session 



Saya pernah berkesempatan melakukan observasi kelas bahasa inggris di beberapa sekolah dari dua negara dengan latar belakang budaya yang berbeda, Australia dan Jepang. Australia identik dengan budaya barat, dimana masyarakatnya cenderung bersikap terbuka dan ekspresif dalam berkomunikasi maupun berperilaku. Sementara Jepang identik dengan kultur oriental, dimana masyarakatnya cenderung malu-malu dan penuh perhitungan dalam berkomunikasi dan bersikap. 

Di kelas bahasa inggris khusus untuk anak-anak imigran di Harristown State Highschool  dan Darling Heights State School (Queensland, Australia), para siswa cenderung terlihat aktif partisipatif di dalam kelas. Tak jarang mereka berebut kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka ketika ada kesempatan untuk unjuk kemampuan. Mereka begitu aktif bertanya, hingga guru yang mengajar benar-benar dituntut untuk mengatur jatah kesempatan bertanya secara bijak. Mereka seperti kecanduan untuk bertanya, dan unjuk kemampuan. Situasi tersebut benar-benar menggambarkan betapa  besarnya need of achievement yang dimiliki oleh para siswa. 

Suasana yang cukup berbeda terjadi pada kelas bahasa inggris di beberapa kelas di Jepang yang pernah saya observasi. Kelas disana tak lekat dengan atmosfir berupa aktifnya siswa untuk berebut kesempatan bertanya dan berunjuk kemampuan sebagaimana yang terjadi di Australia. Mereka cenderung malu-malu ketika diberi kesempatan untuk bertanya, meskipun beberapa diantaranya bersedia tampil untuk mengambil kesempatan tersebut. Namun, ada hal yang luar biasa. Ketika mereka diberi kesempatan untuk berdiskusi dengan teman kelas mereka secara berkelompok, mereka begitu aktif partisipatif. Ketika mereka diminta untuk mempresentasikan suatu hal di depan kelas, mereka umumnya mampu melakukannya secara percaya diri. 


PERSAMAAN yang ada pada kelas-kelas di dua negara yang saya amati tersebut adalah, ADANYA APRESIASI DARI PARA SISWA DAN GURU TERHADAP APAPUN PERFORMA YANG DITUNJUKKAN OLEH SISWA. Ketika siswa tampil di depan kelas, kesalahan/kekeliruan dari siswa tersebut yang saya kira akan memicu gelak tawa ternyata justru direspon dengan sikap penuh empati oleh siswa yang lain. 

Saya jadi teringat dengan pengalaman masa sekolah. Bertanya, apalagi tampil di depan kelas adalah sesuatu yang ‘horror’ bagi saya. Ada rasa takut luar biasa kalau-kalau berbuat salah. Gelak tawa dari teman-teman kelas bahkan kadang dari guru bakal mimpi buruk yang menyiutkan nyali, dan sangat mendemotivasi diri. Tampil di kelas terasa seolah seperti pertaruhan harga diri. Hanya kalau dalam keadaan benar-benar siap, saya berani unjuk gigi. Namun jarang sekali memiliki keadaan yang benar-benar siap. 

Entah sejak kapan saya mendapati suasanya gersangnya apresiasi di kelas pada saat sekolah dulu. Barisan kursi paling belakang biasanya menjadi tempat favorit bagi mereka yang fobia tampil di depan. Meski tak selalu mampu menghindarkan diri dari penunjukan oleh guru untuk tampil, namun setidkanya duduk di belakang mampu menimbulkan efek psikologi kontemporer berupa rasa aman bisa berlindung di belakang teman yang duduk di depannya. Sayangnya, guru terlalu cerdas untuk dikelabui melalui posisi duduk. Ditunjuk untuk maju terasa seperti sebuah kesialan. Itu dulu.


Guru memang perlu menciptakan atmosfir yang penuh apresiasi di kelas.