Jumat, 09 Juli 2021

Menumbuhkan Atmosfir Belajar

Saya sedang menyandang status sebagai seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi Luar Negeri, namun tak merasakan vibe sebagai mahasiswa sebuah perguruan tinggi Luar Negeri. Saya sedang menjalani perkuliahan, namun tak merasakan vibe perkuliahan. Saya sedang dalam masa mejalani aktivitas-aktivitas akademik, namun saya tak merasakan gregetnya aktivitas akademik. Semua ini terjadi karena saya menjalani kuliah secara online. Kuliah ini saya jalani di ruang dapur karena ini adalah spot satu-satunya di rumahku dimana signal internet cukup kuat. Pindah tempat sedikit, maka akan susah untuk mendapatkan koneksi internet yang cukup. Begitu banyak distraksi yang saya alami selama menjalani studi secara online ini. Situasi ini tentu akan berbeda andai saja saya menjalani perkuliahan langsung di kampus tujuan.

Saya pernah merasakan kuliah di sebuah perguruan tinggi di Luar Negeri. Setiap hari, sangat mudah bagi saya untuk berdiskusi tentang topic-topik seputar akademik dengan teman-teman dari berbagai Negara. Saya juga berkesempatan untuk berdiskusi langsung dengan dosen. Kemudahan akses terhadap fasilitas belajar, lingkungan pergaulan yang bergelut dalam bidang akademis, serta budaya belajar yang tercipta di kampus tempat ku belajar dulu membuatku merasakan betul pengalaman belajar. Atmosfir belajar tersebut membuatku termotivasi untuk melsayakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran.

Dari pengalaman ini, saya belajar suatu hal tentang pentingnya atmosfir belajar. Atmosfir belajar yang baik akan memberi stimulus pada seorang pembelajar untuk melsayakan tindakan belajar secara sadar. Satu tugas penting lembaga pendidikan adalah menciptakan atmosfir belajar. Sekolah-sekolah memang seyogyanya menjadi tempat yang lekat dengan atmosfir belajar. Namun faktanya tidak ada jaminan bahwa sekolah-sekolah tersebut telah mampu menciptakan atmosfir belajar. Saya memiliki hipotesis bahwa banyak peserta didik yang tidak merasakan atmosfir belajar yang kuat di sekolah mereka. Padahal atmosfir belajar yang kuat akan memacu semangat peserta didik untuk melsayakan upaya belajar secara sadar. Di sekolah yang memiliki atmosfir belajar yang kuat, peserta didik akan memiliki motivasi untuk belajar, dengan dorongan kuat untuk terus berkembang dan meningkatkan kecakapan serta pengetahuan. Sementara atmosfir belajar yang lemah akan berpengaruh terhadap lemahnya dorongan untuk belajar para peserta didik. Kondisi lemahnya dorongan untuk belajar akan lebih parah ketika selain lemahnya atmosfir belajar di sekolah, peserta didik juga tidak mendapatkan atmosfir belajar yang baik di rumah atau tempat tinggal mereka. Ini adalah tantangan nyata para pendidik dan pembuat kebijakan dalam dunia pendidikan.

Lantas, apa cara yang dapat dilsayakan oleh sekolah untuk menciptakan atmosfir belajar? Ini adalah pertanyaan penting yang menjadi inti bahasan dalam artikel ini.

Peserta didik adalah individu yang memiliki beragam interest. Maka, upaya-upaya yang dilsayakan oleh sekolah untuk mewujudkan atmosfir belajar harus mengakomodir keberagaman interest peserta didik. Ide pertama untuk meningkatkan atmosfir belajar peserta didik adalah melalui pembudayaan riset. Peserta didik semestinya diarahkan untuk melsayakan aktivitas-aktivitas penciptaan pengetahuan. Bukan hanya sekedar sebagai penerima pengetahuan. Riset adalah inti dari terciptanya pengetahuan. Riset seringkali dimaknai sebagai hal yang rumit. Sehingga, ada stereotype yang melekat kuat pada kata “riset”. SALAM (Sekolah Alam), sebuah sekolah yang terletak di Sleman, Yogyakarta, bisa menjadi model sekolah yang membudayakan kegiatan riset bagi para peserta didiknya. Peserta didik-peserta didik di SALAM terbiasa melsayakan riset, karena mereka memang diarahkan untuk terbiasa melsayakan riset. Riset-riset mereka dilsayakan secara sederhana. Prinsip dasar dari riset adalah menjawab pertanyaan yang muncul atas fenomena alam atau social. Pelaksanaan riset oleh peserta didik bisa dilsayakan melalui tahapan-tahapan sederhana yang meliputi munculnya pertanyaan, referensi teoritis, metodologi, dan pelaksanaan, serta pelaporan. Hasil riset tersebut harus diberi wadah untuk publikasi dan diseminasi. Selain itu, peserta didik juga harus diberi apresiasi atas karya riset yang mereka ciptakan. Selesainya kegiatan riset yang berujung pada dihasilkannya suatu produk ternyata memunculkan efek psikologis positif pada para peserta didik pelsaya rist, yaitu berupa sense of accomplishment dan sense of winning. Efek psikologis atas sense of winning dan sense of accomplishment sudah dijelaskan oleh berbagai literature ilmiah. Berdasarkan fakta yang ada di sekolah SALAM, kegiatan riset memiliki efek candu yang positif. Peserta didik yang terbiasa melakukan kegiatan riset merasakan kepuasan dan terdorong untuk melakukan lebih banyak kegiatan riset lainnya.

Sekolah semestinya mampu untuk menciptakan iklim riset yang menyenangkan bagi para peserta didik. Topic-topik riset bisa beragam,sesuai dengan minat para peserta didik. Ada riset yang berkaitan dengan bidang biologi, fisika, kimia, medis, kewirausahaan, olahraga, seni, antropologi, sejarah dan sebagainya. Tidak hanya berhenti pada pembudayaan riset, sekolah juga perlu menyelenggarakan event lomba karya ilmiah. Kegiatan tersebut bisa dilsayakan satu kali dalam setahun. Event seperti itu bisa menjadi motivasi untuk para peserta didik melsayakan riset. Selain itu, kegiatan riset ini sangat bisa mengasah kecakapan abad 21 yang mencsayap kolaborasi, komunikasi, kreativitas, berpikir kritis dan problem solving, serta bisa mengasah berbagai aspek karakter positif peserta didik. Jika kegiatan riset di sekolah berkembang, maka atmosfir belajar akan berkembang lebih baik pula.

Ide kedua adalah menggiatkan aktivitas literasi. Ide ini terkesan klise, karena adanya pemahaman umum bahwa sekolah tentu merupakan komunitas yang lekat dengan kegiatan yang berhubungan dengan literasi. Memang benar bahwa sekolah semestinya merupakan entitas yang lekat dengan literasi. Apalagi pemerintah, melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan, menggaungkan literasi di sekolah. Namun, jika mau jujur, tidak ada jaminan bahwa sekolah memiliki budaya literasi yang tinggi. Berapa persen peserta didik yang suka dengan kegiatan membaca dan menulis? Berapa banyak guru/pendidik yang lekat dengan kebiasaan membaca dan menulis?  Memang, literasi tidak hanya soal membaca dan menulis. Literasi memiliki makna luas. Namun, setidaknya membaca dan menulis adalah hal paling sederhana yang bisa menjadi indicator dasar dari kuat atau lemahnya budaya literasi. Jika kebiasaan membaca dan menulis di suatu komunitas rendah, maka bisa disimpulkan bahwa literasi di komunitas tersebut rendah. Membaca dan menulis di sini bukan bermakna sempit sebatas menulis untuk mengerjakan soal, atau membaca untuk mencari jawaban atas soal di sebuah mata pelajaran. Membaca di sini dimaknai sebagai aktivitas mencari pengetahuan untuk menambah wawasan atau untuk kemudian diaplikasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Menulis di sini juga tidak dimaknai hanya sebagai aktivitas menulis terbatas sebagaimana yang dilsayakan dalam kegiatan pembelajaran di kelas, melainkan menulis dalam csayapan yang lebih luas. Misalnya, menulis artikel ilmiah, menulis karya fiksi, menulis karya non-fiksi, dan sebagainya. Kampanye literasi ini bisa diwujudkan pula dalam bentuk kegiatan ekstrsayarikuler. Saya pernah merintis kegiatan Reading Community (komunitas baca). Berbagai program yang dilsayakan oleh komunitas tersebut diantaranya adalah bedah buku, bedah film, training menulis, dan program lainnya. Komunitas tersebut sedianya diarahkan untuk menjadi sebuah ekstrsayarikuler. Andai mendapatkan dukungan dari sekolah, maka Reading Community semestinya bisa menjadi wadah strategis untuk mengkampanyekan literasi. Ide bagus saja tidak cukup, kecuali didukung oleh banyak pihak untuk mewujudkannya.

Upaya ketiga untuk menciptakan atmosfir belajar yang bagus adalah pengarahan visi masa depan para peserta didik. Saat mulai masuk sekolah di tahun pertama, peserta didik semestinya diarahkan untuk memiliki visi yang jelas tentang apa yang akan mereka lsayakan setelah lulus sekolah. Dengan pengarahan ini, peserta didik akan terdorong untuk memiliki misi yang jelas yang harus dilsayakan selama menjalani 3 tahun sekolah, agar visi merkea bisa tercapai. Sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Insan Cendekia bisa menjadi role model yang bagus dalam hal pengarahan visi peserta didik. Sejak masuk di tahun pertama sekolah, para peserta didik diarahkan untuk menentukan di perguruan tinggi mana mereka akan melanjutkan studi. Berbagai informasi tentang peluang beapeserta didik studi lanjut ke berbagai perguruan tinggi luar negeri dan dalam negeri dipaparkan oleh pihak sekolah kepada para peserta didik. Dengan ini, para peserta didik memiliki gambaran dini tentang perguruan tinggi yang nantinya mereka akan pilih. Kejelasan visi studi lanjut tersebut membuat para peserta didik paham dengan jelas tentang apa saja yang harus mereka upayakan untuk bisa mewujudkan impian kuliah di perguruan tinggi idaman. Menyadari bahwa berbagai persyaratan akademik harus mereka penuhi untuk mencapai target kuliah di perguruan tinggi idaman tersebut, para peserta didik akan dengan termotivasi untuk belajar dengan giat. Dengan kejelasan visi, atmosfir belajar di sekolah tercipta. Bahkan peserta didik-peserta didik yang tadinya memiliki motivasi belajar rendah pun bisa termotivasi untuk belajar, ketika mereka berada di lingkungan para pembelajar. Itu lah energi positif dari atmosfir belajar.

Sebenarnya, masih banyak ide tentang upaya untuk menciptkaan atmosfir belajar yang bagus. Namun setidaknya ketiga ide di atas cukup untuk menunjang terciptanya atmosfir belajar, andai benar-benar dilaksanakan dengan baik. Sekolah adalah tempat yang sangat diharapkan untuk bisa memfasilitasi belajar para peserta didik. Maka, sudah semestinya sekolah berupaya untuk menciptakan atmosfir belajar yang kuat. Sehingga, setelah menjalani masa sekolah, peserta didik memperoleh berbagai kecakapan yang berguna untuk menghadai berbagai tantangan hidup serta memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi di negeri ini.