Sabtu, 26 November 2022

Peran PGRI dalam Pengarusutamaan Wellbeing Guru

 


Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) adalah sebuah organisasi profesi keguruan yang memiliki posisi yang sangat strategis. Keberadaan organisasi ini tidak hanya berpengaruh secara positif terhadap guru, namun juga terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Peran yang ditunjukkan oleh PGRI sudah begitu nyata dampaknya bagi para guru pada khususnya dan pendidikan di Indonesia pada umumnya.

Kiprah PGRI selama ini nampak dalam bentuk advokasi-advokasi yang berkaitan dengan hajat hidup para guru. Terealisasinya anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN), terwujudnya sertifikasi guru, dan pengangkatan tenaga honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di beberapa periode waktu sedikit banyak merupakan hasil dari advokasi yang dilakukan oleh PGRI. Upaya positif tersebut sudah semestinya dilakukan oleh PGRI, mengingat isu-isu penting yang terkait dengan pendidikan memang menjadi pusat perhatian PGRI.

Di antara sekian banyak isu dalam dunia pendidikan, ada satu isu yang sangat penting namun sepertinya masih luput dari perhatian PGRI. Isu tersebut adalah wellbeing guru. Di negara-negara dengan sistem pendidikan yang sudah maju, wellbeing guru mendapat perhatian serius. Perhatian tersebut termanifestatikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang berpihak pada wellbeing guru. Misalnya, kebijakan cuti tahunan, penyediaan sarana prasana yang menunjang efektivitas mengajar, proporsi beban kerja guru, program pengembangan kompetensi guru dan lainnya.

Di indonesia, isu tentang wellbeing belum menjadi perhatian utama para stakeholder pendidikan. Setidaknya, hal tersebut tercermin dalam kebijakan di sektor pendidikan yang belum mengarusutamakan wellbeing guru. Ada berbagai kemungkinan yang membuat wellebing guru belum menjadi perhatian yang serus di dunia pendidikan di Indonesia. Kemungkinan pertama adalah bahwa konsep wellbeing dianggap masih belum jelas. Bahkan, secara harfiah, belum ada padanan kata wellbeing dalam bahasa Indonesia. Dalam berbagai literatur, kata wellebing masih diadopsi secara utuh dan ditulis dengan cetak miring sebagai istilah serapan dari bahasa asing. Yang kedua, perhatian dunia penelitian dalam bidang pendidikan di Indonesia terhadap topik tentang wellbeing guru belum begitu masif. Kurangnya penelitian dan publikasi ilmiah yang berkaitan dengan wellbeing guru membuat stakeholder di sektor pendidikan kurang memiliki kesadaran akan pentingnya wellbeing. Sementara, hasil penelitian biasanya menjadi salah satu dasar atau referensi dalam perumusan kebijakan dalam berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan.

Berkaitan dengan definisi, Turner dan Theilking (2019) mengartikan wellbeing guru sebagai kesehatan mental, emosional, psikologis, dan fisik seorang individu dalam menjalankan profesinya sebagai guru. Sementara, Seligman (2018) menyatakan bahwa wellbeing guru bisa dikatakan 2 bagus ketika mereka mendapatkan berbagai aspek yang mencakup emosi positif, flow dalam bekerja, kualitas hubungan antar individu dalam komunitas, kebermaknaan dari apa yang dikerjakan, serta tercapainya keberhasilan (achievement).

Lantas, apa pentingnya mengarusutamakan wellbeing guru? Mengapa wellbeing guru harus dieprjuangkan? Ada berbagai hasil penelitian yang meyakinkan pentingnya wellbeing guru. Yang pertama, wellbeing guru terbukti berkorelasi positif terhadap performa guru dalam mengajar. Wellbeing guru berpengaruh terhadap efektivitas pembelajaran (Hwang et al, 2017; McCallum & Price, 2015; Mehdinezhad, 2012). Sementara, guru yang mengalami gejala psikologis seperti stress, depresi, burnout, cenderung kurang efektif dalam mengajar (Pillay et al, 2005). Yang kedua, wellbeing guru bisa menjadi mediating factor (faktor mediasi) yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap performa dan hasil belajar peserta didik (Adler, 2016; Roffey, 2012). Secara logis, efektivitas pembelajaran yang diciptakan oleh guru dengan wellbeing yang bagus akan berpengaruh terhadap output belajar peserta didik. Yang ketiga, guru adalah manusia yang secara kodrat membutuhkan keseimbangan, atau yang sering dikenal dengan istilah work-life balance. Ketika keseimbangan hidup dan bekerja tidak terpenuhi, tentu ada efek negatif yang berpotensi muncul. Konsekuensinya, efek negatif tersebut berpengaruh tidak hanya terhadap kehidupan individual guru, namun juga pekerjaan mereka.

Hal berikutnya yang harus didiskusikan adalah bagaimana langkah kongkrit PGRI dalam memperjuangkan terakomodirnya wellbeing guru. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh PGRI adalah mengidentifikasi berbagai isu faktual yang berkaitan dengan wellbeing guru, baik di level daerah maupun nasional. Contoh isu faktual terkait wellbeing guru adalah tentang kebijakan terkait hari libur untuk guru. Sejak adanya desentralisasi kebijakan pendidikan, berbagai daerah di Indonesia merumuskan kebijakan yang berbeda dari daerah lain terkait cuti tahunan guru. Di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta, guru jenjang sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah menengah Kejuruan (SMK) mendapatkan hak cuti sejumlah 12 hari per tahun. Hal tersebut sama artinya dengan guru diperlakukan sebagaimana ASN pada umumnya, atau pegawai kantoran swasta pada umumnya. Banyak guru yang mengeluhkan kebijakan tersebut, terlebih tidak ada fleksibilitas terkait waktu kapan hak cuti tersebut bisa diklaim. Contoh isu faktual lain adalah tentang kesejahteraan finansial guru. Kesejahteraan finansial adalah isu faktual yang sangat berpengaruh terhadap wellbeing guru dan berimbas pada performa mengajar mereka. Selain isu-isu tersebut, masih banyak isu faktual lain terkait wellbeing guru yang bisa diidentifikasi oleh PGRI.

Setelah mengidentifikasi masalah, hal yang perlu dilakukan oleh PGRI adalah melakukan advokasi terhadap otoritas terkait, baik di level daerah maupun pusat, sesuai dengan konteks geografis dimana permasalahan tersebut berada. Sebagai sebuah organisasi profesi yang legal dan strategis, PGRI tentunya diberi ruang oleh pemerintah untuk menyampaikan aspirasinya. Ruang penyampaian aspirasi ini lah yang bisa menjadi celah bagi PGRI untuk menyuarakan kebijakan 3 pengarusutamaan wellbeing bagi guru. hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan konkrit PGRI dalam memperjuangkan nasib guru.

 

Sumber Pustaka

Adler, A. (2016). Teaching well-being increases academic performance: Evidence from Bhutan, Mexico, and Peru. University of Pennsylvania.

Hwang, Y. S., Bartlett, B., Greben, M., & Hand, K. (2017). A systematic review of mindfulness interventions for in-service teachers: A tool to enhance teacher wellbeing and performance. Teaching and Teacher Education, 64, 26-42.

McCallum, F., & Price, D. (2015). Teacher wellbeing. In Nurturing wellbeing development in education (pp. 122-142). Routledge.

Mehdinezhad, V. (2012). Relationship between High School teachers’ wellbeing and teachers’ efficacy. Acta Scientiarum. Education, 34(2), 233-241. Roffey, S. (2012). Pupil wellbeing—Teacher wellbeing: Two sides of the same coin?. Educational and child psychology, 29(4), 8.

Seligman, M. (2018). PERMA and the building blocks of well-being. The journal of positive psychology, 13(4), 333-335.

Turner, K., & Theilking, M. (2019). Teacher wellbeing: Its effects on teaching practice and student learning. Issues in Educational Research, 29(3), 938-960.

Pillay, H., Goddard, R., & Wilss, L. (2005). Well-being, burnout and competence: implications for teachers. Australian journal of teacher education, 30(2), 21-31. 4

Penulis Nama : Dahlan, S.Pd Instansi: SMA N 1 Paninggaran, Kab. Pekalongan, Jawa Tengah

Jumat, 18 November 2022

Honeymoon Teknologi Komunikasi

 


Ibuku sedang honeymoon teknologi. Beliau sedang senang-senangnya “me-time” dengan ponsel pintar. Dikit-dikit, telpon anak-anaknya. Dikit-dikit telpon saudara jauh yang kebetulan nomornya beliau simpan. Bagi kita-kita yang sudah terbiasa menggunakan ponsel, tentu hal itu menggelikan. Namun bagi seseorang yang baru honeymoon teknologi digital seperti ibuku, tentu itu adalah hal yang sangat membahagiakan. Dan aku pun bahagia melihat beliau bahagia dengan ponselnya. Sepertinya sudah saatnya TV dirumah diganti dengan Smart TV. 

Aku menyesal, kenapa dulu aku sempat tak yakin bahwa orang tuaku bisa akrab dengan tekologi. Dari dulu, ponsel yang aku belikan untuk mereka adalah ponsel konvensional yang hanya bisa dipakai untuk berkomunikasi via pesan dan telpon manual. Namun ternyata melek digital itu bisa dipelajari oleh siapa saja, termasuk oleh orang tua. Apalagi kalau orang tua kita belum tua-tua amat. Andai aku tahu sedari dulu, tentu aku tidak repot-repot untuk top up Skype yang cukup mahal, hanya agar bisa menelpon orang tua sewaktu aku masih berada di Jepang dan Australia.

Memang benar bahwa never take anything for granted. Sekarang aku jadi berpikir bahwa sepertinya boleh juga kalo aku ajari Bapak Ibuku bahasa Inggris. Biar mereka tidak repot lagi menjalin komunikasi dengan teman-temanku dari Negara luar ketika mereka datang berkunjung. Ini bakal jadi ide gila sih. Secara, mengajari bahasa asing kepada murid-muridku yang masih remaja saja cukup susah, terutama yang motivasi belajar bahasa asingnya rendah. Apalagi ini orang tua. Tapi kesalahan yang sama tidak boleh terulang. Aku tak boleh take my parents for granted. Barangkali yang terjadi adalah sama seperti bagaimana orang tuaku bisa menggunakan ponsel pintar, yaitu mereka sebenarnya bisa berbahasa asing jika diajari dengan sabar dan diyakini bisa.

“Kita tidak pernah tau bahwa sesuatu bisa terwujud hingga kita memastikannya”

Minggu, 13 November 2022

Mengatasi Bullying di Sekolah


Seorang siswa kelas 11 datang ke ruang Bimbingan dan Konseling. Dia mengeluhkan perlakuan beberapa temannya yang dia nilai selalu membullynya. Sambil sesenggukan menangis, dia mengungkapkan segala keluh kesahnya. Anak ini berperawakan kecil, dan itu salah satu hal yang menjadi objek bullyannya, katanya. Dia bercerita bahwa teman-temannya sering mengatainya “kecil”, dan dia tidak nyaman dengan perkataan itu. Oiya, aku mengetahui hal tersebut karena aku sedang berada di ruang BK, numpang mengerjakan suatu pekerjaan menggunakan komputer di ruang BK. Sehingga, aku mendengarkan semuanya.

Melihat anak tersebut menangis sesenggukan sambal bercerita, aku bisa membayangkan ketidaknyamanan yang ia rasakan atas perlakuan beberapa temannya. Terlepas apa yang sebenarnya terjadi, namun hal ini harus diselesaikan. Meski bukan seorang guru BK, aku cukup merasa bertanggungjawab secara moral untuk menyelesaikan masalah ini. Bagi orangd ewasa, hal ini mungkin hal remeh. Namun bagi anak usia belasan tahun seperti dia, tentu ini perkara yang tak mudah dan tak bisa disepelekan.

Aku pernah juga menjadi korban pembullyan saat masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Waktu itu belum ada istilah bullying. Namun semua hal yang aku rasakan atas perlakuan beberapa temanku sangatlah memenuhi kriteria istilah bullying. Soal pembullyan, ada beberapa hal yang bisa menjadi latar belakang. Hal ini aku simpulkan setelah sekian lama aku merenungi dan mengamati berbagai kasus pembullyan.

Hal pertama yang bisa menjadi penyebab bullying adalah penampilan seorang individu yang bullyable. Kalo kita amati, banyak para korban bully yang secara penampilan mereka bullyable. Ekspresi wajah mereka, cara berjalan mereka, bahkan cara bicara mereka, secara default menampilkan seorang individu yang bullyable. Badan kecil juga bisa menjadi penyebab seseorang diremehkan oleh orang lain, hingga menjadi objek bullying.

Hal kedua yang bisa menjadi penyebab bullying adalah factor internal korban bullying. Bisa jadi, orang yang mudah dibully adalah orang yang tidak memiliki hal yang lebih worth it untuk dipikirkan. Ada banyak orang yang secara fisik kecil dan terlihat remeh, namun mereka tidak terlihat bullyable. Mereka adalah individu-individu yang memiliki kesibukan berarti seperti kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian prestasi. Dengan focus pada pengukiran prestasi, maka seseorang tidak akan terlalu sensitive terhadap penilaian dan perlakuan orang lain.

Hal ketiga, bullying juga bisa berkaitan dengan karakter dasar seseorang. Orang yang circle pergaulannya sempit alias terbatas lingkup pertemanannya, wawasannya sempit, berkarakter introvert dan pendiam, punya potensi untuk merasa terbully. Bullying bukan semata masalah tindakan bullying yang nyata. Ia bisa juga berupa persepsi. Seseorang mungkin tidak merasa membully orang lain melalui perlakuan tertentu yang dia perbuat pada orang lain tersebut. Namun karena adanya sensitivitas perasaan, orang lain tersebut menilainya atau mempersepsikannya sebagai sebuah tindakan bullying.

Hal keempat yang bisa menjadi penyebab peristiwa bullying, dan ini masih berkaitan dengan factor internal individu korban bullying, adalah rendahnya resiliensi seorang individu. Seorang idnividu yang tervbiasa hidup tanpa tantangan, atau selalu termanjakan oleh situasi akan cenderung memiliki resiliensi yang rendah. Mereka bisa merasa sensitive terhadap perlakuan orang lain yang tidak menyenangkan. Bagi orang yang memiliki resiliensi yang tinggi, perlakuan orang lain yang tidak memnyenangkan bisa saja hanya disikapi dengan melupakannya karena hal tersebut dinilai tidak layak untuk ditanggapi. Namun bagi orang yang resiliensinya rendah, hal tersebut dianggap sebagai hal besar yang sangat mengganggu pikiran dan perasaan.

Hal terakhir, bullying bisa disebabkan karena karakter dasar pembully yang memang suka membully orang lain. Individu tipe pembully bisaanya membully orang lain karena ada kepuasan psikologis tersendiri dari tindakan membully tersebut. Namun, mereka juga cenderung memilih target bullying. Mereka tentu akan berpikir berkali-kali jika ingin membully oran-orang yang nampak percaya diri dan tidak bullyable. Mereka akan peka untuk memilih mana orang yang layak dibully. Individu yang memang memiliki karakter dasar sebagai pembully seperti ini memang perlu penanganan khusus. Mereka perlu diberi pemahaman bahwa tindakan mereka itu salah. Seorang guru bisa menggunakan berbagai logika untuk meyakinkan bahwa tindakan bullying itu tidak baik. Guru juga bisa menggunakan pemahaman keagamaan untuk meyakinkan bahwa bullying tidak selayaknya dilakukan. Misalnya dengan mengatakan bahwa dalam ajaran agama, orang-orang yang didzolimi itu doanya terkabul, baik itu doa baik maupun doa keburukan bagi pelaku bullying.

Menangani bullying perlu penyikapan yang komprehensif. Seorang guru yang menangani kasus bullying perlu mendengarkan perspektif kedua pihak, baik korban maupun orang yang dinilai pelaku bullying. Melalui mempertimbangkan perspektif kedua pihak, guru bisa mengambil langkah yang sesuai untuk menangani peristiwa bullying tersebut. Apapun langkah yang dilakukan oleh guru dalam menangani bullying, haruslah mengedepankan tujuan untuk mendidik.

Selasa, 08 November 2022

Tidak cukup hanya dengan kompetensi. Butuh posisi

 

Saat kuliah Magister kemarin, aku banyak mempelajari hal-hal penting tentang berbagai prinsip dalam pendidikan. Ada tentang pedagogi. Ada tentang pentingnya wellbeing. Ada tentang bagaimana mengatur manajemen lembaga pendidikan, tentunya ketika posisi kita adalah seseorang yang memiliki otoritas kepemimpinan. Ada tentang neurosains, mempelajari tentang berbagai karakteristik otak manusia. Aku juga belajar banyak tentang kurikulum.

Perkuliahan yang aku jalani memang memantapkanku menjadi seorang pendidik yang penuh dengan kompetensi. Namun, ketika lulus kuliah dan kembali ke tempat ku mengajar, aku sadari ada satu hal yang tidak dapat dipenuhi oleh perkuliahanku kemarin. Yaitu tentang bagaimana caranya mewujudkan semua ide idealis menjadi nyata. Semua hal yang dipelajari tersebut memang penting. Wellbeing, pedagogi, kepemimpinan pendidikan, neurosains, kurikulum dsb memang penting. Namun untuk memanifestasikan semua konsep tersebut ke dalam praktik penyelenggaraan pendidikan yang nyata, dibutuhkan akses terhadap pengambilan kebijakan.

Percayalah, sepintar apa pun kita, jika kita tidak memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan, maka sulit untuk mewujudkan ide tentang penyelenggaraan pendidikan yang ideal. Sebagai bagian dari organisasi lembaga pendidikan, kita mungkin memang memiliki kesempatan untuk bersuara. Namun, jangan berharap banyak bahwa suara aspirasi kita akan selalu mewujud menjadi program nyata. Kadang, atau mungkin seringkali, ide-ide kita akan terbentur oleh ego pemimpin organisasi (kepala sekolah, kepala dinas, atau pembuat kebijakan lainnya). Kadang, ide-ide kita sulit terwujud karena miskin dukungan dari rekan sejawat.

Jangan berpikir bahwa dukungan dari rekan sejawat itu tidak penting. Sangat penting, bahkan. Dukungan rekan sejawat, walau hanya dukungan moril, sangat lah penting. Efek minimal yang kita rasakan atas dukungan rekan sejawat adalah kenyamanan psikologis. Mereka mungkin tidak akan berbuat banyak. Namun, setidaknya diamnya mereka, atau sikap tolerannya mereka tidak akan menghambat laju upaya perwujudan ide-ide kita.

Lulus dari sebuah kampus ternama dari laur negeri, terlebih kampus yang bereputasi besar, sedikit banyak membuat egoku melambung tinggi. Kadang terbersit pikiran bahwa kata-kata ku harus didengar. Terkadang terbersit pikiran bahwa ide-ide besarku harus diakomodir. Terkadang egoku mendesak bahwa aku harus diberi kesempatan untuk menempati posisi-posisi strategis. Kadang egoku mengeluhkan situasi dimana orang-orang yang tak memiliki idealisme, miskin ide, dan tak memiliki dedikasi tinggi tidak mau mengalah dan terkesan tidak tau diri. Namun aku harus sadar, bahwa aku hidup di negara dengan kultur dimana orang-orang yang tak berkompetensi pada memiliki ambisi tinggi yang semata hanya demi memenuhi kebutuhan eksistensi diri.

Aku ingin memimpin, namun terbentur oleh hirarki birokrasi. Aku sempat berpikir bahwa tempatku bukan di sini. Jika ingin berbakti dan mengabdi kepada negeri dengan maksimal, aku harus mandiri. Menunggu mereka tau diri akan lama, dan waktunya tidak pasti. Menunggu aku mendapat giliran mungkin akan lama, dan memang sudah terbukti aku sudah lama di sini namun masih di posisi seperti ini.

Aku memang harus mandiri.