Rabu, 13 September 2017

Menyoroti Kurikulum 13

Minggu lalu, ada acara pendampingan implementasi kurikulum 13, melengkapi serangkaian acara pelatihan untuk implementasi kurikulum baru.
Sudah begitu banyak acara demikian dimana saya terlibat sebagai peserta.
Ada beberapa hal yang ingin saya soroti:

1. Nuansa acaranya masih sama, berupa penyampaian materi teoritis tentang kurikulum yang disampaikan oleh instruktur yang telah dibekali pelatihan Training for Trainer. Namun,lagi2 sebagaimana pelatihan kurikulum yang telah terlaksana sebelumnya,tak ada sesi dimana instruktur menunjukkan pelaksanaan pembelajaran dengan dirinya sebagai model.
Entaha apa yang menjadi alasan kenapa instruktur hanya menyampaikan materi teoritis. Padahal contoh praktik mengajar yang selayaknya diperagakan oleh instruktur itu sangat penting,sebagai referensi model pelaksanaan pembelajaran yang kemudian bisa ditiru oleh guru yang mengikuti pelatihan.

2. Ada porsi yang kurang proporsional antara penjelasan mengenai topik yabg berkaitan dengan perangkat pembelajaran (RPP,Silabus, lembar penilaian,dsb) dengan topik mengenai proses pembelajaran.
Topik tentang perangkat mengajar seringnya mendapat porsi lebih besar daripada topik tentang proses pembelajaran.
Perencanaan mengajar memang penting. Namun semua pasti setuju bahwa bagian terpenting dari kurikulum adalah pengejawantahannya dalam proses pembelajaran yang dilakukan.

3. Mengikuti pelatihan kurikulum tersebut, guru terjebak pada orientasi menciptakan perangkat pembbelajaran yang sempurna, alih-alih berorientasi pada melaksanakan praktik mengajar yang lebih baik. Hal tersebut terlhat jelas, dengan begitu intensifnya supervisi terhadap rencana mengajar, yang kurang berimbang dibandingkan dengan supervisi terhadap pelaksanaan pembelajaran. Kurangnya fleksibilitas dalam menyusun perangkat mengajar juga menambah parah mis-orientasi guru.

3. Guru butuh model, untuk benar-benar memahami kurikulum. Oleh karena itu, praktik micro-teaching sebagai bagian dari pelatihan kurikulum itu sangat perlu. Siapa yang melakukan praktik micro-teaching? jawabannya semestinya adalah guru model, instruktur kurikulum. Dengan penyampaian materi teoretis minus model nyata, guru rentan terjebak pada penafsiran subjektif mengenai bagaimana melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum tersebut.

4. Kita perlu belajar pada negara-negara yang sudah maju pendidikannya. Di Australia, seringkali diadakan workshop yang fokus pada bagaimana menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Di Jepang pun demikian. Para stake holder pendidikan di kedua negara tersebut merumuskan program rutin untuk peningkatan kompetensi mengajar guru. Dalam workshop tersebut ada sharing permasalahan mengajar, ada praktik micro-teaching yang dilaksanakan di dalam sebuah kelas model, dan ada sharing ide mengajar. Keluar dari workshop tersebut, para guru mendapatkan ide-ide baru tentang menyelenggarakan proses pembelajaran yang jauh lebih baik, lebih efektif. Dampak positifnya jelas terasa, yaitu perubahan pada pembelajaran di sekolah.

Selamat Pagi!