Rabu, 30 Desember 2020

Pentingnya Menumbuhkan Motivasi Belajar Siswa

 

Satu pekerjaan penting yang harus dilakukan oleh pendidik adalah membantu peserta didik memiliki motivasi belajar. Mereka datang ke kelas dengan bekal level motivasi belajar yang beragam. Ada peserta didik yang memiliki motivasi tinggi, dan sudah mengetahui pentingnya mempelajari suatu mata pelajaran. Ada pula peserta didik yang tak tahu apa pentingnya mempelajari pelajaran tertentu. Perbedaan level motivasi ini lah yang pada umumnya menciptakan dinamika dalam lingkungan belajar di kelas.

Di awal masa pembelajaran, seperti di awal semester, diskusi yang ada di kelas semestinya berkaitan dengan pentingnya mempelajari mata pelajaran yang harus mereka pelajari. Seorang peserta didik yang tinggal di desa dan belum pernah merasakan pengalaman berinteraksi dengan orang dari luar negeri mungkin tidak memahami mengapa mereka harus belajar bahasa Inggris. Seorang peserta didik yang belum pernah memiliki pengalaman menghitung laba-rugi suatu usaha mungkin tidak memahami apa pentingnya ilmu akuntansi. Seorang peserta didik yang hanya berkutat dengan praktik hitung sederhana mungkin tidak memahami mengapa mereka harus belajar Algoritma, Aljabar, dan ilmu matematika lainnya. Menyadari hal ini, guru perlu membantu mereka memiliki kejelasan alasan, kenapa itu semua harus mereka pelajari, dan apa manfaatnya buat mereka.

Setiap individu pada dasarnya adalah makhluk egois dan subjektif. Mereka tertarik terhadap apa yang penting buat mereka sendiri. Bobby De Porter, dalam bukunya “Quantum Learning” menyatakan bahwa jika seorang pelajar tidak memiliki pemahaman tentang manfaat nyata yang mereka bisa dapatkan dari hal yang mereka pelajari, maka mereka sesungguhnya tidak akan belajar sama sekali. Sekalipun mereka belajar, mungkin itu hanya sebagai mengugurkan kewajiban semata, dan tentu apa yang mereka lalukan tersebut tidak akan membekas dalam pada diri mereka. “What’s in it for me?”, atau apa manfaatnya bagiku, adalah pertanyaan pada peserta didik yang guru harus membantu menjawabnya.

Seorang lulusan SMA yang bekerja di suatu perusahaan bercerita pada saya. Pekerjaan yang dia lakukan adalah menjadi admin perusahaan yang mengharuskannya untuk akrab dengan program computer. Dia berkata betapa menyesalnya dia, karena dia tidak sungguh-sungguh saat belajar ilmu Teknologi Informasi dan Komunikasi sewaktu menempuh pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA). Waktu itu, dia tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang alas an mengapa pelajaran TIK itu penting. Hal tersebut terjadi karena sang guru mata pelajaran tersebut kurang memberikan pengarahan tentang manfaat dari mempelajari TIK. Saat belajar TIK, yang terjadi di kelas di awal semester adalah langsung pengenalan materi, sementara peserta didik belum memiliki pemahaman cukup tentang alasan mengapa mereka harus mempelajari hal tersebut.

Di awal pembelajaran, peserta didik perlu dibantu untuk menemukan dan memahami motivasi belajar mereka. Guru sebaiknya jangan langsung mengenalkan materi sebelum mereka berupaya menumbuhkan motivasi peserta didik. Tanpa adanya pemahaman tentang pentingnya mempelajari suatu ilmu pengetahuan tertentu, peserta didik hanya akan menjalani proses pembelajaran dengan rasa perbudakan. Mereka mungkin akan tetap mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru. Mereka mungkin akan terlihat memperhatikan penjelasan guru. Namun sejatinya yang mereka rasakan adalah nuansa perbudakan, dimana mereka merasa harus melakukan sesuatu tanpa tau apa arti melakukan hal tersebut.

Kemampuan menumbuhkan motivasi belajar peserta didik adalah aspek kompetensi pedagogis yang wajib guru miliki. Sayangnya kemampuan ini sepertinya masih dianggap sebagai hal biasa. Memang perlu penelitian untuk menyimpulkan hal ini, namun hipotesis saya menyatakan demikian. Kemampuan menumbuhkan motivasi itu perlu diasah. Guru perlu akrab dengan buku-buku dan seminar-seminar tentang psikologi. Selain itu, guru juga perlu memiliki kecakapan dalam meneliti. Banyak hal yang bisa mereka teliti berkaitan dengan motivasi belajar, efektivitas pembelajaran dan segala dinamika yang ada pada siswa dan lingkungan kelas, sebagai landasan (grounded theory) untuk perbaikan mutu pembelajaran.  

Selasa, 27 Oktober 2020

Here are some sources where you can access scientific articles at no charge

Google Scholar

Everybody knows and has likely used Google as a search engine, and chances are you've seen references to Google Scholar (scholar.google.com) somewhere on web pages created by Google. With its familiar and simplified user interface, this is probably the broadest search tool you can use as it covers many disciplines at once from multiple sources on the Internet. In addition, the results are ranked based on a number of criteria, including the frequency and recency of citation of a given search result in other scholarly works. Here, you can search for articles as well as case law. Either option can be selected from the search results page. Moreover, you can select the time range to search from for the publications, sort results by date or relevance, and create an alert to be notified when new entries on a particular topic somewhere on the web are discovered by Google search robots. You will likely save yourself some additional search time if you click on "Cited by" or "Related articles," as doing so will bring up additional works on your subject. You can store your search results by clicking "Save" or cite them immediately by clicking "Cite," which will automatically convert your article into a number of widely used citation formats (e.g., APA).

 

ERIC

Some of the examples in this chapter are from the ERIC (Education Resources Information Center) database, which is published electronically by the Educational Resources Information Center. At the time of this writing, it contains references to more than one and a half million records that provide citations for journal articles, books, conference papers, and so forth.

Let's say you are a psychology student who is interested in reviewing literature on depression. All you have to do is enter "depression" in the ERIC search bar, which, at the time of this writing, retrieved references to 11,108 documents on depression and related topics. Restricted to only journal articles, references to 8,871 journal articles were retrieved. You could further limit your findings to peer-reviewed and/or full-text documents by clicking the appropriate box under the search bar. In addition, you can refine the results by publication date, descriptors, source, publication type, education level, and audience.1

Access to ERIC is free to all Internet users. Its home page can be accessed by visiting

www.eric.ed.gov, where there is information about its services, its history, and frequently asked questions on conducting effective searches for relevant literature.

 

PubMed

Developed by the National Center for Biotechnology Information and consisting of over 24 million entries, PubMed citations and abstracts cover a broad range of topics, including biomedicine and bioengineering, health, behavior, chemicals, and life sciences. It also contains many other useful linked resources, all of which are open to the public at no charge. Much like the other databases that will be described, PubMed has basic and advanced search options.

While it does not contain full texts of articles, in some cases it provides a link to a full-text version if the article is available elsewhere on the Internet. If your particular search topic falls in the areas covered by PubMed, this database may be a good place to start because it requires no special logon to conduct a quick search and can help you obtain details on a particular reference. (See Chapter 14 for more information on preparing a reference list.)

 

PsycARTICLES and PsycINFO

Some of the examples in this chapter are from the PsycARTICLES database, which covers a range of psychological topics and is published electronically by the American Psychological Association (APA). At the time of this writing, it contains more than 183,000 searchable full- text articles (i.e., not just abstracts or summaries) from 102 journals published by the APA, Canadian Psychological Association, and English-language titles by Hogrefe Publishing Group. The APA also publishes PsycINFO, which contains abstracts of more than 3.7 million references to both APA and non-APA journal articles, books, and dissertations. Access to these databases is free of charge to students through many schools and institutions.

 

Other Databases

Other major databases include ProQuest Sociological Abstracts, ProQuest Linguistics and Language Behavior Abstracts, EBSCO Social Work Abstracts, SocINDEX, EBSCO Business Source Complete, Legal Connection, LexisNexis, Historical Abstracts, Ovid, as well as many others. Some are highly specialized, and others (e.g., Ovid) can search for your topic through dozens of databases at once. With some practice, you'll learn which of these tools tend to meet your needs, and your searches will become more efficient and productive.

While many of the databases described in this chapter are not free, particularly those that offer full-text articles, many school and institutional libraries subscribe to one or more of them. In most cases, your affiliation with a particular institution (e.g., college, university, research hospital) entitles you to access these databases remotely—that is, from the convenience of your home, your favorite coffee shop, and so forth. Consult your library website or speak with your librarian about the options available to you. 


source: Pan Ling, M. 2017. Preparing Literature Review: QUalitative and Quantitative Approaches. Pyrczak Pubishing. New York, USA. 

Rabu, 14 Oktober 2020

Motivasi dan Sinergi dalam Mendidik

“Praktik mengajar paling mudah dan efektif adalah mengajar siswa yang sudah memiliki motivasi untuk belajar

 

Mengajar adalah kegiatan yang penuh tantangan. Bagaimana tidak? Dalam mengajar, kita dihadapkan pada kondisi keberagaman siswa dalam hal karaker, level motivasi, minat, kondisi psikologis, kecenderungan cara belajar (learning preference), dan aspek lainnya yang ada pada siswa, serta kondisi fasilitas fisik penunjang pembelajaran yang kadang belum memadai (Fleming & Baume, 2006). Terlepas seperti apa pun kondisi siswa maupun fasilitas penunjang pembelajaran yang ada, tugas kita tetap sama, yaitu mencapai hasil pembelajaran yang maksimal sesuai dengan arahan kurikulum.

Di tengah begitu banyaknya tantangan dalam mengajar, ada satu hal yang terasa mudah untuk dilaksanakan dalam mengajar. Hal yang mudah tersebut adalah mengajar siswa yang sudah memiliki motivasi kuat untuk belajar. Dengan motivasi belajar kuat yang mereka miliki, kita tak perlu menggunakan strategi khusus untuk membuat mereka proaktif dalam pembelajaran. Dengan sedikit arahan saja, mereka akan dengan penuh inisiatif melaksanakan kegiatan belajar sesuai arahan. Kita bisa berperan secara maksimal sebagai fasilitator dalam situasi tersebut.

Motivasi yang kuat untuk belajar secara nyata bisa menjadi factor utama kesuksesan belajar. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Bobby DePorter (1993), dalam bukunya yang berjudul Quntum Learning, bahwa setiap siswa akan menyikapi kegiatan belajar yang harus mereka lakukan dengan pertanyaan “What’s in it for me?”. Artinya adalah “apa manfaatnya bagiku?”. Ketika siswa mengetahui dengan jelas apa manfaat bagi mereka yang bisa didapatkan dari mempelajari suatu hal, maka mereka akan melakukan aktivitas belajar dengan sukarela dan penuh semangat. Sementara, ketika mereka tidak menemukan manfaat yang ada pada mata pelajaran tersebut untuk diri mereka, maka kegiatan belajar yang harus mereka lakukan akan terasa seperti perbudakan semata.

Saya pernah mendapati seorang siswa yang sangat proaktif dalam belajar bahasa Inggris dan Biologi. Di saat teman-teman seusia dan sekelasnya hanya berpegangan pada buku paket yang disediakan oleh sekolah, dia berinisiatif sendiri membeli buku-buku suplemen penunjang belajar. Bahkan ada satu buku tentang Biologi Kelautan (Marine Biology ) versi bahasa Inggris yang memiliki 800an halaman. Dalam pikirannya, sudah tergambar jelas manfaat apa yang dia pelajari tersebut (Bilogi dan Bahasa Inggris) untuk dirinya kelak.

Sebagai guru, sepertinya kita wajib untuk memiliki kemampuan memotivasi. Kita perlu membantu siswa untuk memiliki keyakinan bahwa ilmu yang harus mereka pelajari itu bermanfaat bagi kehidupan mereka secara nyata. Kelalaian mereka atas tugas-tugas yang diberikan oleh guru, sikap abai mereka terhadap instruksi-instruksi guru, tak lebih hanyalah ekspresi pemberontakan atas perasaan bahwa aktivitas “pembelajaran” yang harus mereka lakukan hanyalah sebuah perbudakan.

 

Sinergi sekolah dengan orang tua

Sekolah dengan segala entitasnya tidak bisa menjadi single-fighter untuk memberhasilkan siswa dalam pendidikan. Sekolah bukan merupakan lingkungan utama dimana mereka menghabiskan waktu setiap hari secara penuh. Ada lingkungan keluarga yang jelas memiliki andil besar terhadap berhasil-tidaknya mereka dalam pendidikan. Sebaik apapun lingkungan pendidikan (learning circumstance) yang dimiliki sekolah, akan sia-sia semata tanpa didukung oleh kondusifnya lingkungan keluarga siswa.

Di Negara-negara maju seperti Jepang, Australia dan lainnya, komunikasi antara sekolah dengan orang tua siswa terjalin begitu intensif. Komunikasi yang dilakukan oleh sekolah dan orang tua berkaitan dengan perkembangan siswa dalam berbagai aspek, baik akademis, maupun non-akademis. Komunikasi tersebut juga berkaitan dengan aspek perkembangan termasuk karakter. Sekolah menjalin komunikasi dengan orang tua bukan hanya saat terjadinya perilaku menyimpang (misbehaviour ) pada siswa, melainkan juga saat dirasa perlu untuk membahas potensi yang ada pada mereka.

 Komunikasi yang terjalin antara sekolah dengan orang tua juga bisa menjadi sarana menangani fluktuasi motivasi belajar siswa. Sekolah perlu mengetahui alasan di balik menurunnya motivasi belajar siswa yang mungkin dipengaruhi oleh situasi yang ada pada keluarga siswa. Begitu pula, orang tua perlu mendapat pemahaman tentang apa yang terjadi di sekolah yang mungkin menjadi penyebab perubahan sikap anak mereka. Komunikasi sekolah dan orang tua siswa ini adalah hal strategis yang perlu dijalin oleh keduanya, agar keberhasilan pendidikan siswa bisa tercapai.

 

Referensi

DePorter, B., & Hernacki, M. (1993). Quantum learning : unleash the genius within you . Piatkus.

Fleming, N., & Baume, D. (2006). Learning Styles Again: VARKing up the Right Tree! Educational Developments, 7, 4-7. http://www.johnsilverio.com/EDUI6702/Fleming_VARK_learningstyles.pdf.

 


Sabtu, 22 Agustus 2020

Kerja Kelompok dan Eksistensi Kecerdasan Majemuk

Pengalaman belajarku akhir-akhir ini semakin membuatku mendukung konsep multiple intelligence yang dikemukakan oleh Howard Gardner. Menurut Gardner, sejatinya setiap individu memiliki suatu kecerdasan tersendiri, dari sekian jenis kecerdasan seperti verbal linguistic, logis matematis, spasial, intrapersonal, interpersonal, kinestetik, naturalistic, dan musical. 

Dalam sebuah kerja kelompok yang aku jalani bersama dengan teman-teman dari negara lain, aku aku cukup merasakan tantangan (kesulitan) dalam melakukan olah data statistic. Kebetulan ada salah satu anggota grup yang sangat lihai dalam olah data statistic. Dia sangat familiar dan mahir dalam hal yang berkaitan degan statistic, matematika, dan segala hal yang berkaitan dengan kecakapan logis matematis lainya. Namun, teman yang satu ini merasa “struggle” banget dalam hal presentasi di depan public, hal yang justru menjadi kesukaanku. Dengan demikian, kami berbagi tugas. Untuk urusan presentasi, aku lah yang bertugas melaksanakannya.

Kadang seorang pelajar merasa minder saat mengetahui dia tak mahir dalam suatu bidang pelajaran yang ia harus pelajari. Andai dia tau bahwa setiap individu memiliki kecerdasan sendiri-sendiri, dia semestinya menyadari bahwa dia tak perlu berkecil hati. Pada prinsipnya, terhadap hal-hal yang memang bukan kecakapan kita, kita hanya perlu untuk mencapai level rata-rata saja. Tak perlu kita menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menjadi ahli dalam hal yang memang menjadi titik lemah kita. Porsi besar waktu yang ada difokuskan saja pada hal yang menjadi kelebihan kita. Misalnya, seorang siswa tidak memiliki kecerdasan spasial. Namun di sebuah kelas seni rupa dia diberi tugas untuk mengerjakan tugas menggambar. Tak perlu pusing karena berpikir bahwa dia akan kesulitan melaksanakan tugas tersebut yang berimplikasi didapatkannya nilai yang tak memuaskan. Cukup berusaha sebisanya agar tugas tersebut selesai. 

Dalam konteks kerjasama di sebuah grup, memahami kecerdasan masing-masing penting supaya ada distribusi job yang sesuai dengan ekspertis masing-masing. Seperti yang aku lakukan dengan kelompok tugas yang aku laksanakan sekarang. Ada yang kebagian job melakukan olah data. Ada yang kebagian job melakukan presentasi. Sementara anggota yang lain tinggal menyesuaikan agar tercipta situasi saling melengkapi. 

Tugas kelompok yang dilaksanakan oleh siswa pada mata pelajaran adalah hal yang lumrah. Semestinya adanya tugas kelompok tersebut tidak hanya berorientasi pada tercapainya hasil akhir yang maksimal. Perlu ada pemberian pemahaman kepada mereka tentang hakikat manfaat dari adanya tugas kelompok tersebut. Perlu pemberian pemahaman tentang pentingnya pengasahan kemampuan berkolaborasi antara individu-individu dalam kelompok dengan beragam kecerdasan/potensinya, kreativitas, critical thinking, problem solving serta aspek soft skill lainnya.

Minggu, 09 Agustus 2020

Kursus Pedagogi Bagi Orang Tua Siswa


Picture: https://www.pinterest.com/pin/471048442249830915/

Di balik kesuksesan belajar anak, biasanya ada peran lingkungan sekolah, keluarga, serta komunitas dimana dia tinggal. Sepertinya susah untuk menemukan anak yang memiliki pencapaian luar biasa tanpa dukungan ketiga aspek lingkungan tersebut. Beruntung bagi anak yang memiliki dukungan maksimal ketiga lingkungan tersebut. Namun pada kenyataannya, masih banyak anak yang memiliki kekurangan dukungan dari salah satu atau beberapa lingkungan tersebut untuk belajar.

Di sekolah, aktivitas belajar anak relative lebih efektif dibandingkan dengan aktivitas belajar ketika dilakukan di rumah. Hal tersebut jelas, karena aktivitas-aktivitas sekolah memang dirancang untuk focus pada pembelajaran. Namun bagaimana dengan aktivitas belajar di rumah, apakah memiliki efektivitas yang sama? Jawabannya tentu beragam. Setiap individu memiliki kondisi dan suasana yang berbeda di lungkungan keluarga mereka. Sebagian keluarga memiliki support system yang bagus terhadap belajarnya seorang individu pembelajar. Namun, sebagian keluarga lainnya tidak memilikinya. Support system tersebut sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tua anak akan bagaimana menciptakan atmosfir yang bagus untuk aktivitas belajarnya anak mereka.

Saya masih ingat masa-masa sekolah saya, dimana belajar adalah sebuah tantangan besar. Mengapa dikatakan sebagai sebuah tantangan? Karena saya tidak memahami apa itu belajar. Bagaimana cara belajar yang efektif. Bahkan saya kurang mendapatkan atmosfir yang mendukung kondusivitas belajar di rumah. Di sekolah, saya harus belajar, tanpa mengetahui gaya belajar seperti apa yang saya miliki untuk bisa secara efektif memahami apa yang saya pelajari. Di rumah pun, saya diserukan oleh orang tua untuk belajar, tanpa memiliki pemahaman tetang kenapa saya harus belajar. Apa urgensinya belajar bagi kehidupan saya. Di rumah, tidak jarang orang tua menyeru supaya saya belajar, sementara TV masih dibiarkan menyala, kondisi ruang belajar kurang didukung fasilitas untuk belajar.

Ada banyak variable yang menentukan efektivitas belajar. Sejatinya, setiap individu memiliki gaya belajar masing-masing. Oleh para ahli pendidikan, setidaknya ada tiga kecenderungan utama gaya belajar. Diantaranya adalah visual, auditori, dan kinestetik. Sebagian individu memiliki satu gaya belajar yang menonjol. Sementara sebagian lainnya, memiliki kecenderungan gaya belajar yang merupakan gabungan dari dua atau ketiganya. Semestinya, efektivitas belajar dipengaruhi oleh kondisi otak. Otak kita mengeluarkan beberapa gelombang yang berbeda dalam 24 jam putaran waktu. Dalam buku Quantum Learning, Bobby De Porter menjelaskan bahwa otak kita akan maksimal melakukan aktivitas belajar saat ia memancarkan gelombang alfa.  Ada waktu-waktu tertentu dimana otak kita memancarkan gelombang Alfa tersebut. Pemilihan waktu belajar tentu menjadi berpengaruh terhadap efektivitas belajar. Selain itu, kondusivitas fisik lingkungan belajar juga sangat berpengaruh. Bagaimana seorang pembelajar visual bisa belajar efektif di lingkungan yang penuh berisik, suasana yang tidak nyaman, serta lampu penerangan yang kurang. Masih banyak variable lainnya yang berpengaruh terhadap efektivitas belajar.

Hal-hal tersebut merupakan bagian dari ranah ilmu pedagogi. Mengingat peran orang tua sangat besar terhadap kesuksesan belajar anak-anak mereka, semestinya mereka juga memahami ilmu pedagogi. Selama ini ilmu pedagogi sangat lekat dengan guru. Padahal orang tua juga memiliki peran sebagai pendidik bagi anak-anak mereka, dan oleh karenanya mereka seharusnya memiliki pemahaman yang cukup tentang pedagogi.

Untuk mendukung suksesnya belajar anak, sinergi antara sekolah dengan orang tua adalah sebuah keniscayaan. Lalu bagaimana contoh kongkrit menciptakan sinergi tersebut? Selama ini, hubungan sekolah-orang tua pada umumnya hanya terbatas pada pembahasan masalah pemenuhan kewajiban biaya administrasi anak serta penanganan kenakalan anak di sekolah. Padahal, sekolah dan orang tua harus memiliki visi yang sama untuk mewujudkan berhasilnya pendidikan anak.

Program nyata yang bisa diselengarakan oleh sekolah untuk bersinergi dengan orang tua adalah berupa “Kursus Menciptakan Kondusivitas Belajar”. Program ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan seminar atau kuliah pendidikan bagi orang tua tentang bagaimana menciptakan kondusivitas bagi belajar anak. Orang tua diberi pemahaman tentang pedagogi. Orang tua diberi pemahaman tentang menetapkan visi mereka dalam menyekolahkan anak-anak mereka. Ditetapkannya visi tersebut sangatlah penting, agar proses belajar anak sekian tahun di sekolah benar-benar mengarah pada suatu tujuan, bukan sebatas melewati kewajiban masa bersekolah saja. Kursus tersebut bisa dilakukan saat anak memasuki awal tahun pelajaran pada tingkat pertama.

Sekolah juga perlu menyediakan wadah komunikasi dengan orang tua, untuk mendukung sinergi yang berkesinambungan antara keduanya. Perkembangan anak dalam hal perilaku, kompetensi serta kognisi dalam proses belajar bisa didiskusikan melalui wadah komunikasi tersebut. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sangat memungkinkan tersedianya wadah komunikasi tersebut.

 

Jumat, 07 Agustus 2020

Mindset Guru dan Top 10 Skills in 2020

 Ada catatan menarik yang diambil dari laporan dari World Economic Forum 2020.


Dalam kurun waktu 5 tahun saja, secara signifikan ada pergeseran orientasi skill yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman.


Bagaimana jika pendidik masih mengajar dengan cara yang sama bertahun-tahun tanpa ada improvisasi yang selaras dengan tuntutan perubahan zaman?

Bisa diprediksi hasilnya. Yaitu susahnya peserta didik survive dalam menghadapi tantangan zaman.


Kutikulum berubah itu perlu.

Lebih perlu lagi adalah perubahan mindset serta bertambahnya kecakapan guru dalam mendidik.


Mendidik dengan cara-cara lama, berpedoman pada paradigma lama, yang disebabkan oleh keengganan untuk belajar dan meng-upgrade ilmu, menciptakan gap besar antara apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh peserta didik dengan apa yang diajarkan pada mereka.


Proses pembelajaran daring di masa pandemi ini bisa menjadi gambaran, apakah guru benar-benar memiliki mindset perubahan, ataukah masih terpaku pada mindset lama.


Betul memang bahwa pembelajaran dari sekarang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Kesannya keren, canggih, dan mutakhir.


Tapi tunggu dulu!


Mindset anti perubahan akan tetap tercermin dalam praktik penyelenggaraan pembelajaran daring yang menggunakan teknologi tersebut.


Pembelajaran daring yang isinya hanya penugasan membaca materi, disusul serangkaian instrumen penilaian berupa pertanyaan-pertanyaan yang dalam skala Taksonomi Bloom hanya menyentuh ranah dasar seperti memahami dan mengingat, jelas menunjukan belum berubahnya mindset guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Ini salah satu contoh saja.


Poinnya adalah bahwa pengembangan kompetensi dan mindset guru harus jadi salah satu pethatian utama dalam pengambilan kebijakan pendidikan.

Harus ada banyak program pengembangan profesionalitas guru yang dilaksanakan secara berkesinambungan, bukan secara sporadis.


Laporam World Exonomic Forum.memberikan gambaran tentang perubahan prioritas skill yang harus dimiliki oleh individu untuk bisa survive dan menang dalam menghadapi tantangan zaman.

Hal tersebut bisa menjadi acuan bagi pemerintah setiap negara untuk mengadaptasikan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. 

Namun yang menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman adalah guru.


Konsekuensi logisnya adalah upaya mendorong guru untuk memiliki mindset perubahan sangatlah penting.

Pengembangan kompetensi guru secara berkesinambungan harus dilakukan.

Minggu, 02 Agustus 2020

Statistics : from sick to addict

Mulai seminggu terakhir ini, aku dipaksa oleh sebuah keadaan untuk belajar ilmu statistik. Ada sekian aplikasi, salah satunya adalah SPSS (Statistical Package for Social Science), yang aku mau tidak mau harus familiar dengannya.

Bagi sebagian orang, statistic adalah ilmu yang mudah dan menyenangkan. Namun tidak bagiku. Pikiran dan perasaan sudah terlanjur tidak nyaman dengan hal yang berhubungan dengan olah data, angka, dan hitung-hitungan lainnya yang rumit.

Menghadapi ilmu statstik rasanya seperti sebuah pertaruhan bagi diriku. Pertaruhan tentang apakah aku bisa memotivasi diri untuk bisa menyenangi hal yang harus aku pelajari. Sebuah motivasi yang selama ini kerap aku sampaikan kepada anak didikku.

Andai aku tak bisa menang atas pertaruhan ini, dengan kata lain aku tidak berhasil menyenangi ilmu ini, maka sama saja untaian kata-kata mutiaraku saat memotivasi para anak didik untuk belajar adalah omong kosong belaka.

Cukup frustasi dengan awal perkenalan dengan ilmu statistic yang kurang menyenangkan, aku berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana caranya bisa menyenangi ilmu tersebut. Aku coba gali untuk memahami secara dalam tentang apa manfaat yang bisa aku raih dengan mempelajari ilmu statistic ini. Sekian banyak literature dan sumber inspirasi aku akses, hasilnya aku mendapatkan jawaban dalam waktu yang relative tidak lama.

Perlahan aku meyakini bahwa ilmu statistik beserta semua pernak pernik turunannya, akan sangat bermanfaat bagiku dalam melakukan penelitian-penelitan di masa yang akan dating.

Sedari kuliah S1 aku selalu menghindari statistic. Itulah alas an utama kenapa aku melakukan penelitian kualitatif saat mengerjakan skripsi S1 dulu.

Memahami ilmu statistic juga aku rasa akan sangat bermanfaat untuk keperluan bisnis. Untuk hal yang satu ini, memang seperti masih abstrak. Namun aku ada gambaran jelas dalam pikiran tentang manfaat ilmu statistic terhadap bisnis.

Kini, aku memiliki alas an jelas kenapa aku harus belajar statistic, mulai dari dasar. Dengan demikian, belajarku akan ilmu tersebut aku lakukan secara sukarela, sebagai sebuah kebutuhan, ketimbang sebuah pemenuhan kewajiban yang tentu memberi beban secara psikologis.

Aku merasa menang atas pertaruhan ini. Aku bisa memenuhi tanggungjawab moral untuk bisa membuktikan sendiri kata-kata mutiara sebagai motivasi yang selama ini sering aku sampaikan ke anak didik ku.

 


Jumat, 10 April 2020

Efisiensi tugas Administrasi Pendidik dan Momentum Peningkatan Kualitas Pembelajaran




Saya termasuk salah seorang yang sangat setuju dengan ide Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mas Nadiem Makarim, bahwa guru tidak perl membuat administrasi Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berlembar-lembar. Cukup dengan satu sampai tiga lembar. Sudah lama guru disibukkan dengan aktivitas penuh formalitas dimana oleh system yang ada mereka harus menyediakan bukti fisik RPP berlembar-lembar. Desain baku RPP sebegitu detilnya, sehingga waktu guru banyak yang terhabiskan dalam hal yang relative tidak begitu substansial tersebut.
 Inti pokok dari pendidikan formal semestinya adalah kualitas pembelajaran, yang bermuara pada terwujudnya tujuan pendidikan, yaitu terbentuknya karakter generasi yang dilengkapi dengan kecerdasan serta keterampilan untuk bisa menjadi pribadi yang siap menghadapi berbagai tantangan di dalam kehidupan. Jika kita membahas tujuan dari pendidikan, maka aka nada banyak interpretasi. Namun inti dari tujuan pendidikan adalah berkembangnya karakter, kecerdasan, dan keterampilan peserta belajar.
Niat awal diberlakukannya bentuk baku RPP yang berlemba-lembar mungkin positif. Barangkali hal tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap hal kecil dalam proses pembelajaran disiapkan dengan sempurna. Namun, ketika dipraktikkan, hal tersebut justru terkesan berlebihan dan kurang sejalan dari esensi dari pelaksanaan pembelajaran.
Bapak Menteri, dalam mewacanakan idenya, tentu bukan tanpa dasar. Sepertinya beliau ingin mengajak semua insan pendidikan untuk berorientasi pada esensi utama pendidikan, sehingga tidak terjebak pada hal-hal yang tidak substansial. Jikapara insan pendidik mau menyadari, sebenarnya ini adalah momentum yang sangat baik untuk memperbaiki kualitas pendidikan, yang dimulai dari pembenahan kualitas pembelajaran. Guru sudah tidak dibebani lagi administrasi yang berlebihan. Semestinya, waktu yang sebelumnya tersita untuk mengurus administrasi pembelajaran yang berlebiha bisa digunakan oleh para peserta didik untuk focus meningkatkan kualitas praktik pembelajaran. Bagaimana agar peserta didik antusias belajar. Bagaimana agar mereka bisa mejadi pembelajar mandiri. Bagaimana pula agar sumber belajar bisa bermacam-macam, sehingga ada kesan variasi dan kreativitas, agar tidak ada rasa bosan dalam belajar.
Ini adalah momentum bagi pendidik untuk terus menerus belajar meningkatkan kompetensi agar profesionalisme mereka dalam mengajar terus meningkat. Sudah sangat jelas apa saja kometensi yang semestinya ditingkatkan oleh pendidik. Berdasarkan Undang-undang Nomor 14  tahun 2005 Pasal 10, ada beberapa kompetensi yang harus dimiliki dan ditingkatkan oleh Pendidik, yaitu Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Profesional, serta Kompetensi Sosial. Masing-masing kompetensi tersebut memiliki berbagai topic area tersendiri yang menjadi fokusnya.
Untuk meningkatkan kompetensi pedagogic, pendidik perlu terus belajar tentang psikologi, baik psikologi pembelajaran,  psikologi perkembangan individu (remaja), maupun psikologi yang terkait dengan diri pendidik sendiri. Hal tersebut sangat penting, karena efektivitas pembelajaran banyak dipengaruhi oleh factor psikologis. Untuk meningkatkan kompetensi kepribadian, pendidik perlu belajar banyak tenang bagaimana menjadi role model yang baik. Berbagai sumber bacaa, serta video tentang pengembangan diri bisa menjadi pendukung yang baik. Meningkatkan kompetensi professional, pendidik harus terus mengupgrade kemampuan serta pemahamannya akan hal yang menjadi bidangnya. Sesungguhnya ilmu terus berkembang, seiring dengan berkembangnya peradaban manusia. Namun masih banyak pendidik yang enggan mengupgrade ilmu mereka, dan hanya mengandalkan ilmu yang mereka dapatkan semasa kuliah keguruan bertahun-tahun yang lalu. Akibatnya, peserta didik merasa seperti diberikan sesuatu yang sudah sangat usang dan tak relevan lagi dengan kehidupan masa sekarang. Untuk meningkatkan kompetensi social, pendidik perlu bersinergi dengan berbagai pihak dalam mengupayakan terselenggaranya pendidikan dengan baik.
Intinya, pendidik sudah semestinya mengalokasikan waktu yang sedianya untuk mengurus hal-hal administrative, untuk meningkatkan kompetensi diri. Andai gagasan Mas Mendikbud diterjemahkan oleh pendidik sebagai momentum untuk memperbaiki kompetensi pendidik dan kualitas pembelajaran, maka ini akan mejadi sebuah sinergi yang akan berdampak nyata terhadap meningkatnya kualitas pendidikan.
Pertanyaannya, sudahkah pendidik memiliki kesadaran tersebut? Ataukah pendidik hanya menyikapinya sebagai hal melegakan yang mengurangi beban kesibukan mereka, namun tak melakukan pembenahan dalam kualitas pembelajaran? Jika demikian, maka PR Mas Menteri masih sangat besar. Tugas kita-kita yang memiliki kesadaran tersebut untuk menjadi penggerak bagi perubahan kualitas pendidikan.

Sabtu, 04 April 2020


Tepat hari ini bulan lalu adalah hari terakhir program PK-159 LPDP. Satu bulan berlalu namun terasa begitu cepat. Hanya lima hari kegiatan inti, namun terasa begitu berkesan. Aku sudah pernah bergabung dalam berbagai kegiatan yang melibatkan banyak orang dari berbagai wilayah nusantara bahkan berbagai negara. Namun, PK-159 ini terasa sebagai salah satu yang sangat special. Terasa special karena aku merasa mendapatkan privilege berada di tengah orang-orang hebat yang penuh karya.

Ada yang berprofesi sebagai doctor spesialis penyakit langka, yang ia merupakan salah satu dari tiga ahli paling menonjol dalam bidang tersebut di Indonesia. Ada insinyur yang tergabung dalam proyek mobil listrik, yang pernah terlibat dalam tour mobil listrik melintasi ujung utara hingga ujung selatan benua Australia selama dua minggu. Ada yang memiliki keterbatasan fisik, namun ia sangat produktif dalam menulis. Ada yang aktif menjadi advokat level nasional bagi berbagai kasus dimana anak sebagai korban. Ada yang pernah menjuarai kompetisi tingkat internasional. Ada yang menjalankan LSM yang bergerak dalam pelayanan social masyarakat, yang memiliki impact yang begitu besar bagi banyak orang. Rasanya, cukup itu saja deskripsi perwakilan orang-orang hebat yang tergabung dalam PK-159. Terlalu panjang jika harus mengurai satu persatu dari 196 orang hebat tersebut.

Slogan-slogan yang dipekikkan di setiap sesi acara terasa seperti ruh bagi semangat untuk berkarya dan mengabdi bagi negeri. Hati bergetar tiap kali menyerukan kalimat “Indonesia…kami siap mengabdi!” secara serempak. Lagu “Gardhika Katulistiwa” yang dinyanyikan di setiap awal sesi selalu memunculkan vibrasi positif. Benar-benar istimewa.

Lima hari acara berlalu. Semua kembali ke tempat masing-masing, dan kembali beraktivitas sesuai dengan bidang masing-masing. Ada tekad yang telah tertanam, bahwa aku harus menjadi pribadi yang semakin berguna dalam bidang yang aku geluti, yaitu pendidikan. Sebagaimana yang aku tuliskan dalam statement of purpose di formulir pendaftaran beasiswa, bahwa aku ingin menjalani peran yang luas dan besar dalam bidang Teacher Training, kebijakan pendidikan, dan aspek-aspek strategis lainnya dalam dunia pendidikan di masa yang akan dating. Acara lima hari itu serasa seperti momen yang mempertegas visiku tersebut.

Akhir-akhir ini, semua orang sedang bergulat dengan situasi sulit akibat merebaknya wabah Covid19. Adanya wabah tersebut tentunya merubah banyak hal. Namun aku yakin ia tak mampu merubah visi besar yang ada pada setiap insan PK-159 untuk berkontribusi lebih bagi negeri. Semoga teman-teman selalu sehat, dan terus berada pada “right track” untuk menjadi insan gemilang yang berperan aktif dalam mengukir kejayaan negeri ini.

Hari ini, ijinkan aku untuk mengenang hangatnya Lima-Hari-Berkesan itu.

Salam kangen untuk PK-159 Gardhika Katulistiwa.

Minggu, 02 Februari 2020

Garbage: A serious problem that we often take it for granted




https://www.vpirg.org

I have no doubt on people awareness that poor rubbish treatment results in serious problems like flood, pollution, and many others. What I really wonder is when I realize that somehow Indonesian people seem to take it for granted. I am not boasting when I state this. People realize that annual flood disaster in big cities is, apart from many causes, impacted by the poor rubbish treatment. However, bad habit like disposing rubbish to improper place, such as river, lake or everywhere seems still hard to beat.
Leading people to have good habit of treating rubbish properly will likely be a long-term project, as it has something to do with changing mind of millions which is obviously not easy. Education is a critical thing which can bring hope when it comes to fostering good habit. Talking about getting people to have positive attitude toward rubbish, Japan is one of countries that we can look upon. Those who have once have traveled to Japan surely agree that Japan is the brand of cleanliness. People might ask, what is behind this cleanliness. Are Japanese born with loving-environment DNA, or is there any particular human effort which lead to this condition?
I found the answer when I visited many schools of both Elementary and Secondary. Awareness of the importance of treating environment properly is manifested in the practice of education at school. In playgroup, kids are already accustomed with activities which enhance their awareness to maintain clean environment. With their teachers, kids do some sweeping and mobbing the floor, watering the garden or park, cleaning toilets, or the least thing, making up their playing ground after finished using it. Such habit remains exist and even go better and better along with their growth till adults. Efforts of building such positive character is instilled in school activities.
If we have time to see how daily life of Japanese family looks like, we will also find that parents are mostly strict to their children about the necessity of setting the environment clean. Children are willy-nilly to help themselves clean everything at home, as having servant or helper in Japanese family is not common.
The government also take their fabulous part in establishing environment-loving society. They make a regulation that everybody have to treat waste properly. Waste management is introduced to people so well that they subconsciously understand about how to treat rubbish properly. In many corners of Japan, we will find some kinds of trash with various category. Japanese do not need any stern warning to make them dispose organic, inorganic, plastic, and recyclable rubbish in the right place. Another important thing is the waste treatment after being taken from those trashes. Japanese government install some rubbish-treating factories, where certain kinds of rubbish are treated.
I am thinking of how if Indonesian Government simply copy the action that Japanese have so far taken. It will take time for sure, yet achieving the same condition as the one Japanese have is not impossible.