Kamis, 23 Februari 2017

Berguru kepada Youtube



Siapa sih orang yang tidak kenal Youtube? Mungkin ada. Namun di jaman dimana teknologi sudah berkembang pesat seperti sekarang ini, pasti banyak yang sudah mengenalnya. Ada beragam alsanan orang mengakses Youtube. Diantaranya adalah sebagai sarana hiburan, belajar, dan menyalurkan ekspresi. Namun taukah kawan? Youtube bisa kita perankan sebagai guru kita loh. 

Saya mempunyai sebuah cerita tentang seseorang yang menggunakan Youtube sebagai gurunya, hingga ia bisa mencapai suatu keberhasilan yang sangat besar dalam hidupnya. Namanya adalah Julius Yego, seorang atlit lempar lembing dari negara Kenya. Dalam dunia olahraga, Kenya merupakan negara yag seringkali menjuarai lomba lari marathon. Kenya  sama sekali bukanlah negara yang memiliki profil yang cemerlang dalam olah raga lempar lembing, sebelum seorang atlit bernama Julius Yego menciptakan sejarah dalam olah raga tersebut. 

Yang menarik dari cerita Julius Yego bukanlah semata tentang keberhasilannya menjadi sang juara. Ya, memang benar bahwa dia adalah sang juara lomba lempar lembing. Tidak tanggung-tanggung, dia berhasil menjuarai lomba tersebut di level benua Afrika, dan menjadi juara Dunia pada bidang lomba yang sama di olimpiade Beijing. Namun hal yang menurut saya paling menarik adalah proses yang dia lalui hingga dia menjadi juara. Suatu ketika dia ditanya oleh wartawan tentang prosesnya mencapai prestasi besar tersebut. Dia ditanya tentang apakah negara memfasilitasinya dalma setiap latihan, dan apakah ada seorang guru yang ditunjuk untuk mengajari dan mendampinginya dalam setiap latihan. Jawaban yang dia berikan adalah TIDAK. Ternyata yang dia lakukan selama berlatih adalah berguru kepada Youtube. Dia mengakses Youtube di sebuah warnet yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalnya. Dia berkunjung ke warnet tersebut pertamakali ketika dia pergi ke kota. Dari Youtube, dia belajar tentang bagaimana para juara dunia bisa berhasil menjadi juara lempar lembing, tentang teknik-teknik jitu yang mereka gunakan. Begitu banyak video tentang lempar lembing yang dia tonton dan pelajari, dan kemudian dia praktikkan dengan segera. 

Selang 2 tahun setelah dia mulai belajar tentang lempar lembing melalui Youtube, dia menjadi Juara lomba lempar lembing di level Afrika. Setelah itu, dia menjadi juara di berbagai event lomba lempar lembing, hingga puncaknya pada tahhun 2015 dia menjadi Juara Dunia di Beijing. Luar biasa bukan? Sebenarnya semakin hari semakin banyak orang yang mendulang manfaat yang besar dari menonton Youtube. Ada seorang pengelola rumah makan di Malaysia yang belajar dari Youtube untuk meramu suatu masakan hingga menjadi sajian andalan yang membuat rumah makannya laris manis diburu pembeli. Dan mungkin ada banyak cerita lainnya tentang pencapaian besar dalam hidup yang dimulai dari berguru dari Youtube. Youtube bisa kita manfaatkan untuk apa saja. Saya sendiri juga memanfaatkannya untuk belajar bahasa asing, yaitu bahasa Jepang. 


Kita patut bersyukur, perkembangan jaman semakin memudahkan kita untuk mengakses berbagai belajar secara terjangkau. Maka, sudah tidak ada alasan lagi bagi setiap dari kita untuk tidak berhasil dalam hidup. 

Rabu, 22 Februari 2017

Belajar mengasah nyali


Gambar: www.brainyquote.com


Ada satu hal yang semestinya diasah dalam lingkungan pendidikan formal terhadap individu pembelajar. Hal tersebut adalah nyali. Kata nyali memiliki kedekatan makna dengan kata keberanian. Namun nyali lebih sering dilekatkan pada keberanian mengambil resiko. Mengapa ‘nyali’ harus diasah di lingkungan pendidikan? Karena hidup ini penuh tantangan, sementara pintar saja tidak cukup untuk menjawab tantangan tersebut. Apalagi jika pintar yang dimaksud adalah pintar yang diukur dengan instrumen penilaian pendidikan di sekolah, yang berarti seorang peserta didik memiliki nilai yang bagus di berbagai mata pelajaran. Sementara, pendidikan di sekolah sejatinya dimaksudkan untuk menyiapkan individu agar siap menghadapi segala tantangan kehidupan dengan problem solving skill yang mereka miliki sebagai hasil dari proses belajar mereka. Sehingga, pengasahan nyali itu sangat penting untuk diintegrasikan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. 

Pendidikan tentang nyali mungkin lebih tepat masuk pada ranah pendidikan karakter. Hanya saja, pendidikan karakter di sekolah sepertinya tidak memiliki rumusan yang jelas dan terarah tentang pelaksanaannya. Sudah lebih dari 7 tahun saya menjadi guru. Namun saya temukan bahwa pengasahan nyali peserta didik belum memiliki proporsi yang cukup, jika tidak bisa dikatakan tidak ada sekali. Pendidikan di Indonesia memang sedang gencarnya mengkampanyekan pendidikan karakter. Namun pendidikan karakter yang berkaitan dengan ‘nyali’ sepertinya belum disinggung sama sekali. Memang ada karakter berani sebagai salah satu karakter yang diasah di sekolah. Namun nyali itu lebih dari sekedar berani. Nyali itu berkaitan dengan keberanian mengambil resiko, untuk mewujudkan pencapaian yang sangat besar dalam hidup. 

Dalam hidup ini, kita bisa saksikan betapa banyak contoh pengaruh nyali terhadap pencapaian seseorang dalam hidup. Dalam tulisan ini, ingin saya sampaikan beberapa saja. Ini kisah nyata. Ada dua orang siswa yang di masa depan keduanya meraih pendapatan dalam bidang yang sama, yaitu dari usaha ekspor impor. Siswa yang pertama adalah siswa yang memiliki raport yang sangat memuaskan. Nilainya selalu hampir sempurna. Hingga setelah lulus dia berkesempatan mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri hingga bergelar doktor (S3) di bidang akuntansi. Dia ingin sekali memiliki usaha ekspor impor. namun setelah memperhitungkan berbagai kemungkinan resko yang harus dia hadapi, dia mengurungkan niatnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk bekerja sebagai seorang akuntan di perusahaan ekspor impor. Sementara, satu siswa lainnya, tidak memiliki raport nilai yang memuaskan sebagaimana siswa pertama. Sehingga, dia tidak bisa memiliki nasib yang sama dengan siswa pertama, melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun, siswa yang satu ini memiliki nyali yang besar. Dia bercita-cita mendirikan perusahaan ekspor impor dengan sukses. Dia mengetahui segala resiko yang harus dia hadapi, namun dia mengambil resiko tersebut. Keduanya sama-sama memperoleh pendapatan dari usaha dalam bidang ekspor impor. Namun bedanya, yang satu bekerja sebagai karyawan, sementara yang satunya sebagai pemilik perusahaan. 

Andai siswa yang pintar tadi memiliki satu kualitas berupa besarnya nyali saja, dia tentunya berkesempatan untuk mendapatkan pencapaian yang lebih besar dari yang dia dapatkan. Namun, dalam hidup ini, pintar saja tidak cukup. BUtuh nyali berlebih untuk bisa memperoleh pencapaian besar. Dan pencapaian besar bisa diperoleh hanya oleh mereka yang memiliki nyali yang besar untuk menghadapi segala resiko yang ada. Bukan oleh mereka yang pintar namun ciut nyalinya ketika mengetahui segala resiko yang harus mereka hadapi. 

Pengasahan karakter bernyali harus dilakukan dalam koridor yang positif. Perilaku membolos sekolah dan berkelahi barangkali juga disebabkan karena tingginya nyali. Namun hal tersebut adalah negatif. Apa artinya keberanian kalo ia diekspresikan dalam hal-hal yang negatif. Contoh tentang pengasahan nyali yang positif bisa didapatkan dari artikel ``Inspirasi pendidikan karakter dari seorang anak SMP di Jepang``.

Ide tentang pendidikan nyali ini mungkin akan terkesan aneh. Bukan karena ia hal baru. Melainkan karena hal ini belum menjadi mainstream. Sebagaimana sudah menjadi sunatulloh, hal-hal yang besifat pembaharuan seringkali mendapatkan penolakan yang hebat di awal. Namun ia akan diterima dan menjadi rujukan ketika sudah berhasil menunjukkan bukti bahwa ia benar adanya.

Rabu, 15 Februari 2017

Action will; your achievement determiner


Benar sekali.
Inspirasi sepertinya mudah didapat, di jaman yang penuh dengan sumber informasi seperti sekarang ini. Pembimbing juga sepertinya mudah didapat di jaman yang penuh dengan kemudahan berkomunikasi seperti sekarang ini. Belajar terasa mudah, karena fasilitas hidup makin berkembang. Namun, untuk sukses, inspirasi saja tidak cukup. Ide saja tidak cukup. Pembimbing saja tidak cukup. Yang paling penting untuk dimiliki adalah action will. Mencapai suatu keberhasilan besar memang membutuhkan proses yang panjang. Ada berbagai variabel pengaruh. Namun, action will lah yang akhirnya menjadi penentu tercapainya keberhasilan.

Pada fase action lah, tantangan besar benar-benar ada. Di situ kita tidak menghadapi siapapun melainkan diri sendiri. Banyak yang kalah dengan mental block yang ada pada diri sendiri. Ketika mendapati inspirasi, terbersit pikiran bahwa speertinya sesuatu itu gampang dilakukan. Namun ketika tiba saatnya kita melakukan eksekusi/aksi, berbagai kebimbangan muncul. Itulah sebenar-benarnya tantangan yang besar. 

Sekali action will sudah ditaklukan, make akan terwujud tepnacapian-pencapaian lainnya. Action will ini ibarat sebum pembuka pintu utama. Ketika ia terbuka, maka lebih udah untuk melangkah selanjutnya. 


Banyak orang dengan segudang ide terjebak pada posisi yang sama, yaitu tidak melakukan apa-apa, tidak kemana-mana, dan tidak mencapai apa-apa. Bukan karena miskinnya ide, inspirasi, atau pembimbing, melainkan karena mereka kalah dalam mewujudkan action will. Nekad untuk mewujudkan action will dengan menghadapi apapun tantangannya, itu lah sebenar-benarnya belajar. 

Resetting my traveling passion



Bepergian ke negara luar setidaknya bisa membuka pikiranku bahwa hidup memiliki begitu banyak pilihan. Benar kata pepatah bahwa dunia ini ibarat buku yang mmeiliki banyak lembar halaman. Mereka yang hanya mendiami suatu tempat dan tidak melakukan perjalanan ke belahan dunia lain ibarat hanya membuka satu halaman buku. 

Aku belajar banyak dari traveling. Belajar tentang hakikat keberagaman dalam hidup, belajar tentang perbedaan, belajar bahwa hidup ini penuh warna, belajar memposisikan diri pada situasi yang aku tak terbiasa di dalamnya, sebelumnya. Semua itu membuat pikiranku semakin terbuka, semakin toleran terhadap perbedaan. Pertamakali aku melakukan traveling ke luar negeri, aku terdorong oleh rasa gengsi. Gengsi bahwa bepergian ke luar negeri itu keren. Aku melakukan berbagai foto selfie dengan kamera yang aku beli dengan uang hasil meminjam teman. Segitunya. Sepertinya hal itu wajar dialami orang yang pertamakali bepergian keluar negeri untuk jalan-jalan, yaitu sekedar memenuhi rasa gengsi. 

Waktu bergulir, masa berganti, aku semakin menyadari bahwa traveling yang aku lakukan haruslah bermanfaat lebih. Cukuplah motif gengsi dalam melakukan traveling disudahi. Kali ini, aku ingin bepergian ke luar negeri sejauh mungkin, sebanyak mungkin, dan dalam waktu bersamaan aku ingin mendapatkan sebanyak mungkin ‘keuntungan’ yang bisa aku raih dari traveling untuk kubawa ke negeriku. Betapa kerennya hidup ketika setiap kali aku traveling, aku membawa ide yang langsung aku terapkan dalam kehidupanku di negeriku, yang kebermanfaatannya besar bagi sesama. 

Kali ini, aku ingin travelingku adalah tentang membuka kran bisnis ke negara tujuan, membuka akses jalan ke berbagai relasi baru, dan memperbesar jangkauan interaksiku dengan masyarakat di seluruh dunia. Relasi-relasi ku ada di berbagai negara afrika, eropa, asia, amerika, dan belahan bumi lainnya. Aku ingin menjadi lebih dari sekedar inspirasi, namun penggerak nyata perubahan menuju kebaikan bagi sesama. Aku tidak berharap popularitas. Aku tidak mendambakan pengakuan. Aku hanya ingin berkarya yang penuh manfaat. Aku ingin menjadi sebaik-baik makhluk hidup di hadapan tuhanku. Itu kepuasanku. 

Terkadang aku terburu-buru ingin menularkan apa yang ada dalam pikiranku kepada murid-muridku, melalui kata-kata. Aku lupa bahwa dengan karya nyata yang aku ciptakan, tak perlu kata-kata untuk aku bisa menularkan energi positif dan inspirasi kepada mereka. Sudah sekian lama, ide terpendam mengendap di dalam pikiran. Kini saatnya ia diterbangkan dan diterapkan. Mulut, secukupnya saja untuk bersuara. Selebihnya karya nyata beserta tulisan untuk mengekspresikannya. Nyatanya lebih banyak orang mendunia karena tulisanya, dibanding karena kecakapan retorikanya. 

Aku siap berangkat…
Berangkat kemana-saja semauku…
Sebelum jatah hidupku digenapkan oleh sang pencipta…

Bismillah…

Senin, 06 Februari 2017

Mendidik untuk membesarkan Kapasitas Pikiran

Sudah lama saya bergelut dengan dunia pendidikan. Semakin saya jalani, semakin saya memahami betapa nuansa pendidikan terasa seolah menjadi dunia tersendiri lepas dari kehidupan nyata. Maksudnya begini, semua pasti sepakat bahwa tujuan pendidikan untuk membentuk pribadi yang siap menghadapi tantangan kehidupan. Di sana ada domain kepribadian, ada domain pikiran/kognisi berupa kecerdasan, ada domain keterampilan (hard skill). Tapi sayangnya pendidikan di sekolah-sekolah formal terasa kurang memiliki link and match dengan kehidupan nyata. Hampir bisa dikatakan kurang ada korelasi antara kecakapan peserta didik dengan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan paska sekolah. Buktinya banyak. Ada begitu banyak peserta didik yang minim prestasi ketika belajar di lembaga formal, namun bisa menjadi pribadi yang luar biasa berprestasi dan mampu memberikan kebermanfaatan yang banyak (sukses) di kehidupan paska sekolah. Sementara, banyak banyak yang berprestasi ketika mengenyam pendidikan di sekolah, namun tak bisa survive dalam menghadapi tantangan kehidupan paska sekolah, dengan menjadi pengangguran, misalnya.

Tulisan ini sama sekali bukan tentang kampanye negatif atas pendidikan formal (sekolah). Namun sebuah kritik, sekaligus kritik diri, karena saya juga merupakan bagian dari pendidikan formal (guru). Ini adalah sebuah tulisan mengenai curhatan yang barangkali getir untuk dibaca. Tapi saya mengatakan apa adanya. Ada bahan evaluasi yang ketika dibuka mungkin membuat sebagian kalangan mengernyitkan dahi. Ingin membantah suatu hal tapi itu nyata. Saya memiliki banyak cerita untuk disampaikan, untuk membuktikan bahwa seringkali tidak ada link and match antara sekolah dengan kesiapan peserta didik dalam menghadapi kehidupan mandiri. Namun, cukup beberapa saja saya sampaikan di sini. 

Saya memiliki seorang teman yang kisah hidupnya hingga sekarang cukup memberikan saya pelajaran mengenai hidup yang luar biasa. Sama sekali bukan siswa beprestasi di sekolah, namun di kehidupannya saat dewasa dia mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang, mampu mempekerjakan banyak orang melalui kiprahnya sebagai pengusaha. Ada juga seorang murid yang sama sekali tak memiliki prestasi akademis namun ketika lulus sekolah dia bisa hidup mandiri, berkecukupan dan bisa memberdayakan banyak orang. Bukan tentang sisi entrepreneurship yang saya tekankan di sini. Melainkan tentang kemampuan melakukan hal besar (yang tak semua orang mampu melakukanya) dan bermanfaat bagi orang banyak. Itu yang membuat saya kagum. Sementara, tidak sedikit orang, baik teman-teman sekolah maupun mantan murid saya, yang berprestasi gemilang di sekolah, namun jangankan mampu memberdayakan sesama, berusaha untuk memandirikan diri saja tak bisa. Ada kisah miris seorang yang ketika sekolah sering juara kelas, bahkan ranking satu di angkatannya. Namun hingga tulisan ini dibuat, dia masih berstatus sebagai seorang wiyata bakti dengan penghasilan yang relatif jauh dari kata cukup. ‘’Ah..jangan mengukur segala sesuatu dengan penghasilan/uang. Barangkali orang tersebut bahagia dengan kehidupannya’’ Boleh lah berkata demikian. Namun kita pasti merasa miris membayangkan bagaimana kehidupan orang yang hingga usia dewasa tidak mampu menjawab tantangan kehidupan secara gemilang, padahal dia termasuk orang yang ‘berprestasi’ ketika berada di lembaga pendidikan yang notabenenya menggemblengnya menjadi pribadi yang siap dengan tantangan zaman. 

Saya jadi berpikir bahwa ada sesuatu yang barangkali sangat penting namun alpa untuk disampaikan/diajarkan di sekolah. Hal tersebut adalah kapasitas pikiran. Ya, kapasitas pikiran. Orang-orang yang mampu meraih kesuksesan besar serta mampu memberikan kebermanfaatan yang besar bagi sesama pada umumnya memiliki kapasitas pikiran yang besar. Mereka memiliki pikiran ‘mampu melakukan hal besar’. Darimana dan bagaimana pikiran tersebut didapat? Nah, ini yang menjadi titik renungan tentang pendidikan. Dalam dunia pendidikan formal (sekolah), ada domain kognisi. Peserta didik dididik untuk terasah intelektualitasnya. Hanya saja, pendekatan yang digunakan kurang (tidak) berpengaruh terhadap membesarnya kapasitas pikiran. Peserta didik perlu dididik untuk memiliki keyakinan bahwa mereka MEMILIKI KEMAMPUAN (self-esteem) dalam setiap menghadapi segala situasi. Bagaimana caranya? apakah semudah dengan menyebutkan kata-kata mutiara seperti ‘if you think you can, then you can’? Kemudian serta merta mereka akan berubah menjadi pribadi yang memiliki self-esteem yang tinggi? Ternyata tidak begitu adanya. Butuh proses yang lebih dari sekedar kata-kata. 

Proses menumbuhkan keyakinan MAMPU (self-esteem) perlu dilakukan melalui proses yang berkesinambungan dan terintegrasi dalam segala kegiatan di lingkungan pendidikan. Peserta didik perlu diyakinkan bahwa mereka memiliki kemampuan. Itu sangat penting. Keyakinan tersebut akan sangat berguna bagi mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan di kemudian hari. Saya kadang berpikir, jangan-jangan justru penyelenggaraan pendidikan di sekolah justru membunuh self-esteem peserta didik. Kemudian saya meraba dan mengingat-ingat, barangkali memang ada kalanya justru pendidik adalah pihak yang seringkali menjadi penghambat/pembunuh semaian benih-benih self-esteem pada peserta didik. 

Pendidik perlu memahami ilmu psikologi dengan benar-benar paham. Psikologi tentang pembelajaran, dan psikologi tentang peserta didik. 


Tulisan ini bersambung………..