Selasa, 31 Januari 2017

What if money is no longer a matter in your life?



What if money is no longer a matter in your life?

This is the question that i have been thinking to answer, not by simply describing what i might be able to do, but by trying to make it true. Money often becomes big concern to people in their life. Even many spend almost their whole life dealing with it. Would it be possible that one day money is not your concern, so that you can have more time for doing other things like your hobbies? The answer is ‘absolutely possible’’. 

There are, as a matter of fact, many models that you can look up for this. First thing you gotta do is making sure that you surround yourself with the right people. People who either direct or indirectly can lead you to be what you want to be, finished with money concern. 

Many great things are worth-doing in this life. But,many people often run out of time as they focus too much on how to get money. Make yourself DONE with money! make yourself have more time for hobbies, for personal development, for charity, for spending time with beloved ones, for helping people in need, for being light to others, and for giving the best to the glory of your ‘deen’. Make yourself DONE as soon as possible with money. Think and act smart! 

Imagine the moment when you can run your own perfect-designed and well-managed library, as you have been dreaming of so far. Imagine when you can travel to places as far as you want. Imagine the moment when you have chances to speak in front of teachers from many schools about school management and inspiring ideas on education. Imagine when you have more time to write books and then publish them. Imagine the moment when you can go to bookstore anytime and fill your bucket with books you find them interesting. Imagine the moment when you have time to travel for learning business ideas and then make it actualised upon your returning home. Imagine the moment when you can give surprises affording people to do pilgrimage to Mecca and Medina. Imagine the moment when you build your own schools and apply all brilliant ideas on it. Imagine the moment when you have time to empower many young people to think and act right until they make great achievements. Imagine the moment when you are the pioneer of people empowerment so that they become productive and dynamic. Imagine the moment when you can just fly abroad to watch football match live in the stadiums. Imagine the moment when you can fulfil you self-expression up to the fullest. Imagine all beautiful moments you possibly can grab in your life. It is all possible.

It is all awesome if you can make them come true,  isn't it? Make yourself DONE with money first if you want to make them real. Do everything RIGHT by surrounding yourself with right people, doing RIGHT mistakes, and act in right ways. DO it as soon as possible!


Sabtu, 28 Januari 2017

The life as I wanna be

Picture: http://drodgereport216.web.fc2.com/essay

The more i live my life, the more i am thirst of hitting my maximum potential up to the most. This might be what so-called as self-actualisation. I used to think that money was everything in life. Somehow, it is almost true, as being abundant in the possession of money can afford many things that can make us happy and live better life. However, soon i realise that life is about making stories. There are many chapters in stories, and making money is just one of them, not the main point of it. 

Just imagine how it would feel like if you were full of money yet you have just normal days. No doubt, it is such a boring, isn't it? Life is about making story. And pretty sure, i am striving for making the best stories i have in life. This is not to suggest anyone else, but me myself. Here i want to talk about my own sights of how my life is heading to.

I have been visualising how in this life i have more time to do what i feel like to do. Giving charity, being travelling to where i want to travel, teaching and empowering people without losing my ‘me’ time, having resources to actualise my ideas, and exactly doing good deeds more and more for the others’ sake. Imagine the days when I have no problem with resources for bridging the wishes and reality. I name myself as a professional dream-catcher. Yes!!! Cool, isn't it?? 

When i was child and being teenager, i needed more listening to others than relying myself on determining what to do, especially when i was all at sea. Yet, the more i am growing the more i need to listen to myself and focus on the pure voice of my heart. I thank God for having me meeting many inspirational people and gaining new enlightening sights. 

My life is about actualising ideas and new ideas, travelling around the world, giving charity, giving maximum love and care to those beloved, empowering people, being update with everything new, taking worth-it risks, making friends with people from all around the globe (unless flat earth is truly proven lol), rising and giving the best education for my children, writing books, keep on learning and learning and learning, and dedicating all to my God, Alloh, till it is time to ‘go home’ in khusnulkhstimah. 

It is true that God creates every human with two ears and one mouth so that they will listen more than speak. However, there is a moment when it is better to shut up the both ears than let it open. In whatever we do, there is always comments from other people. I am not to show them what i am doing, neither to prove them that what i am doing is totally correct. Yet i am to do whatever i believe it to be true that benefits me myself and others. Listening to others is good, but sometimes it means risking my fabulous life. Something paradox it sounds, yet it is arguably the true, as the way it is. 


This is my life!

Senin, 23 Januari 2017

Membiasakan Kerja Tuntas

Gambar: http://selaseptian020.blogspot.jp/

Aku jadi semakin menyadari pentingnya kerja tuntas. Masalah-masalah yang sering aku alami berkaitan dengan hal ini. Kerja yang tak tuntas. Meski pahit, namun aku harus jujur bahwa aku terbiasa sedari kecil dengan ketidaktuntasan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Kadangkala, aku bisa menuntaskan suatu pekerjaan, namun itu terjadi seringkali ketika aku memaksa diri untuk menuntaskannya. Jadi, ketuntasan tersebut terjadi karena dipaksa, bukan karena terbiasa. 

Kerja tuntas, cukup sulit bagi sebagian orang, terutama bagi orang yang memiliki sifat perfeksionis seperti aku. Orang perfeksionis cenderung terlalu ‘njlimet’ dalam mempertimbangkan sesuatu. hingga dia menunda dan terus menunda menuntaskan suatu urusan. Orang perfeksionis cenderung terlalu kritis terhadap diri sendiri dan semua hal yang dilakukan oleh diri sendiri, bahkan kritis yang sebenarnya tak perlu terhadap suatu hal. Repotnya, orang perfeksionis cenderung mengakhirkan penyelesaian suatu urusan hingga detik-detik injury time. Ada perasaan bawah sadar bahwa di injury time nanti akan ada kesempurnaan hasil, sesuatu yang nyatanya seringkali tidak terjadi. 

Aku jadi membandingkan diriku sendiri dengan kakak ku. Ketika masih kecil, kami memiliki tugas yang sama untuk dilakukan secara rutin setiap hari, yaitu memetik rumput untuk pakan ternak. Di hari minggu, kami harus menghasilkan, at least, masing 2 karung besar agar di hari senin kami tidak perlu memetik rumput. Kakak ku seringkali menyelesaikan tugasnya dengan bersegera menyelesaikan tugas tersebut, baru dia menikmati waktu istirakhat. Berbeda dengannya, aku seringkali mengulur waktu untuk menyelesaikannya. Ketika satu karung rumput sudah kudapat, aku cenderung mengakhirkan waktu untuk menghasilkan sekarung rumput yang kedua hingga hari agak sore. 

Hal tersebut kesannya sepele. Namun, ternyata berdampak cukup signifikan terhadap tahap perkembangan hidup selanjutnya. Benar adanya bahwa kebiasaan yang terbentuk sejak kecil akan berdampak ke kebiasaan di fase hidup selanjutnya hingga dewasa. Tidak ada yang tak mungkin, memang, untuk merubah kebiasaan. Namun, merubah kebiasaan yang sudah menjadi karakter membutuhkan upaya yang cukup besar, bahkan sangat besar. 

Kebiasaan tidak tuntas dalam menyelesaikan urusan/pekerjaan berpotensi menimbulkan masalah yang cukup serius. Saya teringat dengan seorang profesor yang memberikan ilustrasi kepada mahasiswanya bahwa dalam hidup yang jadi masalah sebenarnya bukan masalah itu sendiri, melainkan seberapa lama kita membiarkan masalah tersebut ada. Ibarat memegang suatu benda dengan berat 5 kg. Bukan masalah berat benda tersebut yang mmebuat kita capek, atau tangan terasa pegal memegangnya, melainkan lamanya kita memegang benda tersebut. Andai kita sebentar saja memegangnya, tentu tak akan terasa berat yang berlangsung lama. Seperti halnya masalah. Yang menjadikan ia terasa ringan atau berat adalah seberapa lama kita membiarkannya ada. Bersegera menyelesaikan masalah/suatu urusan adalah ibarat bersegera meletakkan benda yang dipegang. Tak akan jadi masalah buat hidup.


Andai saja satu jenis karakter ini bisa teratasi, begitu banyak efektifitas hidup yang bisa diraih. Sebagian urusan dalam hidup teratasi karena tak perlu lagi menghadapi masalah akibat kebiasaan tidak tuntas dalam menyelesaikan urusan. Dari hal ini, aku semakin menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter diimplementasikan secara nyata, terutama di lembaga pendidikan formal yang memiliki posisi strategis dalam membentuk karakter generasi muda. 

How Nishigaoka Elementary School Builds Students' Confidence

Picture taken from http://s3.amazonaws.com

Today I paid a visit to an elementary school in Nishigaoka, western part of Miyagi Prefecture, with friends. Our visit was for being a guest assessor/commentator for students’ presentation, as well as doing our own presentation in front of students. We were divided into groups, where each group of students was accompanied by one foreign student from Miyagi University of Education. 

It was such a mind-blowing experience that opened my mind idea about how school can effectively encourage students to be confident individuals. First session in our group was filled with students’s presentation done in groups of three. There were 7 groups of presenters in total in the group where i belonged. To my surprise, they took turn doing presentation in such awesome way. I believe that they must be well-prepared. It might have taken at least 2 weeks for them to get prepared for that. Each of the group had their own topic to put forward. Not only conveying orally what they present, they also brought some handicraft that helped them give illustration of what they conveyed.

They must have memorised a lot of words, or even all, they convey. Some of them even simply read texts occasionally. To me, it does not really matter as long as it helped them to conquer the fear of being in front of people, something that is not easy for them, i believe. Each personal in each group got turn to speak. There might be teachers’ interference for making sure that students were ready for the presentation. 

To me, it is not about how fluent and how they looked ready that really matters. But, it is about how such activity could be a brilliant idea to foster students’ confidence. Education at schools should give much opportunity for students to build up their confidence. The idea of ‘doing presentation by students’ is such a simple yet blew away my mind. 

From that activity, i can infer two points, to the least. First, building students confidence can be done through presentation activity. ‘’Is it possible?’’, some may ask. ‘What if the students are a silent guy?’’ We may be pessimistic how such activity can boost students’ confidence. Some might think that such activity is decreasing confidence, instead, because those who feel being failed in the presentation tend to get even worse feeling of low self-esteem. In fact, this school made it. Secondly, in order to achieve its goal, teachers should make sure that students are well-prepared. Never let students take the whole process of preparation independently. Students should be given freedom to express the ideas they will put forward, yet they must be under guidance of teacher. Students, as a matter of course, will come across some challenge/difficulties. That is the time when teachers are necessary to give hand. Some students are a bit clumsy. They might need a text to read to at least help them convey their ideas. Thirdly, there should be an effort of creating situation where students feel free from negative remarks that are potentially discouraging and demotivating. Teachers should create situation where no laugh for mistake students make, as it is unbearably often discouraging. For Japan, it is not a big deal, as people are somehow having character of respecting each other. 

We have to remember that the main objective of this activity is to boost students’ confidence. It is not about the students are being good communicator or not as indicator of the success of the activity. We surely cannot expect them to be good communicator in such pretty young age yet. How the activity impacts on their character or personal quality is what really matters. 


Building character in such early stage of life should become the main focus of education. Therefore, elementary schools should provide character building-based programs for students. Japan is good example for this. 

Sabtu, 21 Januari 2017

Kamu dan Lingkungan Pergaulanmu


Ketika seseorang masih berpikir tentang rencana di masa depan membangun bisnis yang menghasilkan ratusan juta rupiah, di saat yang sama ada orang yang berussia yang sama dengannya sudah mampu meraih pencapaian tersebut. 
Ketika seseorang sedang berpikir tentang kuliah di luar negeri dengan beasiswa, di saat yang sama ada orang yang sudah meraih pencapaian tersebut.
Ketika seseorang masih berpikir tentang melakukan pengabdian sosial atau menjadi filantropis menyantuni orang-orang yang membutuhkan, di saat yang sama ada orang seusia yang sudah mewujudkan hal tersebut.

Entah kamu termasuk yang mana. Orang yang masih merencanakan, ataukah orang yang sudah mewujudkan suatu pencapaian. 
Pernahkah kamu berpikir sejenak bahwa apa yang terjadi pada hidupmu, sejauh mana pencapaian yang kamu raih, itu semua terpengaruh oleh lingkungan pergaulanmu?
Coba merenung sejenak!
Orang menjadi pribadi yang biasa-biasa saja karena dia membiarkan diri bergaul dengan lingkungan yang berisi orang-orang yang biasa-biasa saja. 
Arah pemikiran orang-orang di lingkungan pergaulan itu sangat berpengaruh pada diri kita.
Keberadaan mereka dengan segala yang ada pada diri mereka mempengaruhi bentuk cita-cita yang kita ingin wujudkan.

Ada yang berkata, ‘’bergaul itu jangan pilah-pilih orang!”
Namun kita harus menyadari bahwa orang yang kita bergaul dengannya akan mempengaruhi kebiasaan,pemikiran, orientasi dan arah hidup kita.

SIlakan kamu bergaul dengan anak-anak yang masih kecil, namun semestinya dengan tujuan untuk memberi inspirasi kepada mereka.
Silakan kamu bergaul dengan penganguran dan orang yang miskin kesibukan serta prestasi, namun semestinya dalam rangka untuk menjadi inspirasi bagi mereka.
Silakan kamu bergaul dengan orang-orang ‘kerdil’, namun dalam rangka untuk memberikan pengaruh positif bagi mereka.
Namun itu semla dilkaukan ketika diri pribadimu sudah benar-benar terbentuk secara matang.
Jika kamu sendiri masih menjadi pribadi yang labil dan belum meraih pencapaian besar dalam hidup, fokuslah untuk memperbanyak orang-orang yang memberikan dampak positif yang luar biasa besar pada diri kita. Orang-orang yang menjadikan kita figur besar yang layak dijadikan panutan sesama.

Begaullah dengan mereka yang sudah meraih pencapaian besar SEKARANG.

Jumat, 06 Januari 2017

"Om OLEH-OLEH Om..."



____________________________
Siang tadi, aku dapet oleh-oleh dari seorang dosen.
Dua bungkus roti kering dan cracker.
Ceritanya, winter holiday kemaren, beliau berlibur ke korea selatan.
Bukan cuma aku yang diberi oleh-oleh tsb, melainkan beberapa teman dan dosen lain.
Dosen tersebut memang begitu akrab dengan aku.
Aku melihat ada ekspresi bahagia dan penuh rasa terimakasih yang ditunjukkan teman-teman dan dosen yang diberi oleh-oleh tersebut.
Oleh-oleh yang mungkin terbilang ‘biasa’ bagi sebagian orang, terutama orang dari negeriku, Indonesia.
___________________________
Oleh-oleh semacam itu mungkin sekali dikatakan ‘Biasa’ untuk ukuran sebuah oleh-oleh dari orang yang baru pulang dari luar negeri.
Namun, ekspresi yang ditunjukkan oleh semua orang yang diberi oleh-oleh begitu luar bisa, penuh rasa terima kasih.
Begitulah kira-kira budaya OLEH-OLEH di Jepang.
Aku sudah beberapa kali mendapatkan oleh-oleh dari teman atau dosen Jepang.
Aku juga suka mengamati bagaimana reaksi mereka yang diberi oleh-oleh.
Kesimpulannya sama.
Bahwa yang diberi oleh-oleh umumnya menunjukkan rasa terima kasih yang begitu tulus.
Tak ada ‘negative remark’.
___________________________________
Aku jadi ingat pengalaman 2 tahun lalu, ketika pulang dari Australia dan memberikan oleh-oleh kepada seorang teman berupa sebuah kaos.
(Maaf, ini bukan tentang pamer, namun untuk dijadikan pelajaran bersama).
Ada kata terima kasih yang dia ucapkan.
Namun sayangnya dia juga memberikan penilaian yang sangat tidak nyaman didengar.
Dia komplain bahwa kaosnya bukan Made in Australia asli.
‘’yee…kaosnya ndak orisinil nih ye, Bro!’’
Aku ngelus dada saja dengerinnya.
Aku beli oleh-oleh tersebut dengan uangku sendiri.
Aku bawa jauh-jauh dari negeri luar.
Dia enak tinggal minta, tinggal sebutin password 'jangan lupa oleh-olehnya'.
Tapi dapet balesan komentar yang cukup membuatku belajar tentang sabar.
_______________________________
Aku beli kaos tersebut di Gold Coast.
Di sana, banyak toko oleh-oleh yang kebetulan produk dari luar Australia.
Produk New Zealand, Banglades, vietnam, Indonesia, Thailand, China, dan sebagainya.
Harga sebuah kaos pun bervariasi.
Namun umumnya minimal Aus$ 15 (atau sekitar Rp 150 ribu).
Dan aku memang beli harga yang paling murah.
Maklum, aku beli banyak, karena yang sudah ngantree nunggu oleh-oleh buanyak banget.
Sampe jadi beban pikiran pas mau pulang dari Australia.
________________________________
Ah…saat itu aku kalah sama perasaan ‘ndak enak’ (dalam bahasa jawa ‘Rikuh/ ewuh’).
Hingga ta iyakan aja permintaan oleh-oleh segitu banyak orang.
Aku jadi membayangkan, andai nanti aku pulang, kemudian ngasih oleh-oleh ke teman berupa dua bungkus snack seperti yang diberikan oleh dosenku…
ah, sudah cukup mampu aku menebak respon yang bakal muncul.
‘Hello, jauh-jauh dari luar negeri oleh-olehnya macem itu?’
‘pliz deh ah, snack gituh? yakin loh?’
‘yee, kaya gituan mah aku juga bisa beli disini’
Mungkin kalimat-kalimat tersebut ndak bakal secara langsung kita dengar (kecuali dari teman yang biasa ngocol dan asal nyeblak aja), karena biasanya akan muncul di belakang kita berupa gumaman, atau minimal cibiran dalam hati.
Namun, tetap lah itu ndak asik banget.
Maaf, aku ndak bermaksud negatif thinking.
Namun pake logika aja, kaos saja dicibir, gegara bukan asli buatan dari negeri dimana aku membelinya, apalagi ‘sekadar’ sebuah snack.
_________________________________
BEDANYA…
Aku amati, di Jepang tak ada budaya orang minta oleh-oleh ketika mengetahui orang lain/teman bepergian ke luar negeri atau berlibur.
Mereka umumnya malah mndoakan dengan kata-kata;
‘Semoga happy di sana!’
‘hati-hati ya dalam perjalanan’, dan sebagainya.
Tak ada embel-embel kata-kata seperti ‘jangan lupa oleh-olehnya’.
Tidak ada budaya berharap diberi oleh-oleh.
Biasanya, yang baru pulang dari luar memberi oleh-oleh, pun sederhana.
Tak memberatkan, baik dalam hal kuantitas barang maupun jumlah uang yang harus dikeluarkan.
SEMENTARA, di negeriku, aku sudah akrab dengan kata-kata ‘jangan lupa ya oleh-olehnya’.
Mungkin itu adalah kata-kata klise, yang terucap karena sudah menjadi kebiasaan.
Namun, tak jarang juga kata-kata tersebut disertai harapan besar dan dinanti-nantikan.
Mungkin ada yang bilang?�‘kenapa sih membandingkan hal begituan, dengan kesan mengunggulkan Jepang atas Indonesia?’
Begini jawabannya.
Jepang memang bukan negara sempurna.
Ada banyak plus-minus yang dia miliki.
Namun, tidak ada salahnya hal positif yang ada pada negara lain kita contoh dan budayakan di negeri kita.
Keluhuran budaya itu terbentuk melalui belajar dari orang (negara) lain juga kan.
‘lah..itu kan sudah menjadi budaya kita. beda negara beda tata nilai dunk?’
Memang benar, namun ketika suatu hal yang dianggap budaya sudah menimbulkan keresahan hati dan pikiran dari banyak orang yang menjadi bagian dari budaya tersebut, berarti ada sesuatu yang perlu diluruskan dengan budaya tersebut.
Begitu sih.