Selasa, 27 Desember 2016

Inspirasi pendidikan karakter dari seorang anak SMP

Gambar: http://yourschools.ca/programs-services/character-education/

Saat itu kami ada kegiatan camping. Camping yang tak begitu lazim menurut saya, karena tak biasanya saya melakukan camping dimana status kami adalah peserta bersama dengan para siswa se-level sekolah menengah pertama. Kebetulan kegiatan camping tersebut berlangsung selama dua hari. Kegiatan camping tersebut sangat inspirasional bagi saya, karena untuk pertamakalinya saya mendapatkan ilmu tentang P4C atau Philosophy for Children. P4C adalah sebuah program untuk menstimulasi kemampuan deep thinking anak-anak, dan memiliki tujuan-tujuan positif lainnya. Namun, bukan tentang P4C yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, melainkan tentang sebuah kejadian yang membuat saya belajar sesuatu.

Ceritanya, dari 14 siswa SMP yang mengikuti kegiatan camping tersebut, hanya ada 1 siswa laki-laki. Oiya, selain siswa SMP, peserta juga meliputi mahasiswa asing yang kuliah di Miyagi University of Education (MUE), termasuk saya. Karena pertimbangan suatu hal, panitia memutuskan 1 anak laki-laki siswa SMP tersebut harus tinggal satu kamar dengan kami (3 orang mahasiswa asing yang kuliah di MUE). Kamarnya cukup luas. Kami harus menata sendiri seperangkat alat tidur yang kami pakai yang terdiri dari futon, bedcover, selimut, bantal, dan lainnya. Ada begitu banyak peraturan yag harus ditaati selama berada di tempat camping tersebut. Sebenarnya tak begitu pas dikatakan camping, karena kami tinggal di gedung, bukan mendirikan tenda. Namun, katakanlah itu adalah camping, untuk memudahkan penggunaan istilah. 

Inti ceritanya begini. Sebagaimana yang sudah menjadi ciri khas Jepang, dimana kebersihan dan ketertiban begitu dijaga, ada banyak peraturan yang harus ditaati selama berada di sana. Salah satu peraturan yang ada berbunyi bahwa tidak diperkenankan untuk makan dan atau minum di kamar. Jika ingin makan dan minum harus di tempat yang telah disediakan. Kebetulan, salah satu diantara kami ada yang makan di kamar, mungkin sangkin sudah laparnya. Selain itu, dia juga meletakkan sepatu tidak pada tempat yang semestinya. Bukan tiba-tiba, melainkan setelah beberapa menit anak SMP yang maish duduk di kelas 2 tersebut menegur semua yang ada di ruangan dengan kalimat teguran namun disampaikan dengan bahasa dan car yang sangat sopan. Dia tau siapa yang menaruh sepatu dan siapa yang makan di kamar. namun, alih-alih menegur langsung si ‘pelaku’, dia memberikan statemen yang bersifat general, seperti ‘’maaf, ini sepatu siapa? Mohon diletakkan di tempat ini (sambil menunjuk tempat sepatu)’’. kemudian, dia juga berkata ‘’Mohon di ruangan ini jangan makan dan atau minum!’’ Sambil menunjukkan sikap apologis seolah menyiratkan permintaan maaf karena telah berani menegur orang dewasa yang usianya jauh lebih tua.

Aku sempat terbelalak sebentar. ‘‘am i dreaming?’’ Bukan apa-apa, melainkan kejadian tersebut sungguh mampu membuatku terus berpikir penuh keheranan selama beberapa saat. saya menilai ada hal yang luar biasa dari kejadian tersebut. Sebuah sikap penuh tanggungjawab, keberanian, kedewasaan, berbalut karakter yang kuat yang dipertunjukkan oleh seorang anak SMP kelas 2. Yang pertama, akal mainstreamku berpikir  bahwa anak seusia itu tak mungkin berani menegur orang yang jauh lebih dewasa, yang usianya 2x lipat lebih. Yang kedua, andai pun menegur, apa iya anak seusia itu bisa menunjukkan sikap dewasa dengan cara tetap menjaga kesopanan dan etika yang baik dalam menyampaikan teguran terhadap orang yang jauh lebih dewasa. Yang ketiga, sepertinya butuh keberanian kuat untuk menyampaikan kebenaran, apalagi oleh anak seusia itu. Namun, dia bisa melakukannya. Saya sempat berpikir, pendidikan macam apa yang dia terima baik di lingkungan keluarga maupun sekolah yang mampu membentuk karakter kuat seperti yang dia miliki itu?


Saya menilai, itu lah salah satu potret berhasilnya pendidikan karakter. Saya amati, orang jepang selalu berusaha memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang mengapa suatu peraturan itu ada. Dengan upaya pemahaman tersebut, maka anak-anak tau dan menyadari pentingnya melaksanakan peraturan tersebut. Andai anak-anak hanya diminta untuk menaati peraturan sementara mereka tidak diberi pemahaman tentang alasan mengapa mereka harus melaksanakan peraturan tersebut, mungkin tak akan mereka menjadi pribadi yang penuh kesadaran menjaga ketertiban. Tiba-tiba saya mendapatkan ide tentang mengaplikasikan P4C dengan upaya menyadarkan siswa untuk cinta akan keindahan, kebersihan, dan keharmonisan dalam interaksi mereka baik dengan sesama manusia maupun dengan alam dan lingkungan sekitar. 

Jumat, 23 Desember 2016

Whom you interact with really matters

Saat menempuh pendidikan S1, aku pernah berpikir utnuk mencari kesempatan mendapatkan beasiswa S2 di luar negeri. Aku berpikir bahwa hal tersebut mungkin untuk aku raih, karena perbincangan mengenai kuliah di luar sudah menjadi hal biasa di antara teman-temanku. Selesai kuliah, aku harus tinggal di desa terpencil, karena ikatan profesi sebagai guru di daerah tersebut. Lambat laun optimisme ku meraih beasiswa surut. Sepertinya karena hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dimana ku bergaul.

Beberapa tahun beraktivitas menjadi pendidik, aku merasa bosan. Akhirnya aku memutuskan untuk melamar beasiswa, hingga akhirnya ku dapatkan beasiswa program teacher training ke jepang. namun, untuk mencapai hal tersebut, aku berusaha untuk mengakrabkan diri dengan mereka yang pernah memperoleh beasiswa studi ke luar negeri. berbagai cara aku lakukan agar bisa berinteraksi (meski jarak jauh) dengan mereka yang berpengalaman dalam hal meraih beasiswa luar negeri. Kini, bergaul dengan teman-teman sesama pelajar di luar negeri, aku semakin yakin bahwa pintu untuk studi lanjut di luar negeri melalui beasiswa semakin lebar. Alam bawah sadarku semakin meyakini bahwa mendapatkan beasiswa lagi untuk kuliah di luar negeri sangat mungkin bisa ku lakukan. Ini ceritaku.

Ada seorang anak lulusan Sekolah Menengah Atas yang merantau ke kota besar setelah lulus studinya. Di kota besar tersebut dia mengais rizki dengan membantu jualan bubur ayam tetangganya. Meski hanya seorang asisten, dia cukup akrab dengan uang jutaan rupiah tiap harinya. Meskipun uang tersebut bukan uangnya, namun dia sudah terbiasa melihat uang dalma jumlah yang cukup banyak. Keyakinannya mulai tumbuh bahwa berjualan bubur ayam bisa menghasilkan jutaan rupiah tiap harinya. Melihat tetangga yang jadi bosnya tersebut mampu menghasilkan jutaan rupiah tiap harinya dengan berjualan bubur ayam, dia mulai memiliki keyakinan bahwa andai dia sendiri menjalankan usaha tersebut, dia juga bisa menghasilkan pendapatan yang sama. Selang sekitar 2 tahun kemudian, dengan penuh keyakinan, dia memutuskan untuk membuka sendiri usaha bubur ayam. Semakin lama usahanya semakin berkembang. Dia pun mampu menghasilkan omset yang setara dengan yang dihasilkan oleh mantan bosnya. 


Dua cerita di atas adalah cerita nyata. Pengalaman studi yang aku alami sendiri. Sementara cerita kedua adalah pengalaman nyata oleh mantan muridku. Benang merah yang bisa ditarik dari dua cerita nyata tersebut adalah, bahwa kita harus sebisa mungkin bergaul dengan orang-orang yang karena karyanya/prestasinya mereka mampu membuat kita meyakini bahwa sesuatu itu mungkin untuk kita raih, sebesar apapun itu. Se-impossible appaun itu. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa keyakinan adalah modal utama meraih hal besar dalam hidup. Sementar, untuk meraih keyakinan yang kuat, maka kita harus memastika diri bahwa kita berada di lingkungan yang membuat kita yakin, yaitu lingkungan yang berisi orang-orang hebat,besar dan penuh prestasi dalma hidup. Kesalahan memilih lingkungan bisa menjadi awal dari miskinnya pencapaian dalam hidup. Sementara, kemampuan memilih pergaulan yang baik bisa menjadi awal dari pencapaian besar dalam hidup. 

Minggu, 18 Desember 2016

Belajar FInancial intelligence dari warga keturunan Tionghoa


Gambar: http://world-nesia.blogspot.jp/

Orang Tionghoa di indonesia kenapa mereka bisa kaya raya dan semakin kaya? Ternyata mereka memiliki visi yang jelas dengan kekayaan. Mereka memilik visi yang jelas dengan uang. Mereka memiliki tekad yang kuat untuk selalu bertumbuh. Mereka memiliki rencana yang jelas dengan aktivitas bisnis mereka. Ini yang tak dimiliki oleh sebagian besar pribumi indonesia. Andai diberi uang 1 milyar, kemungkinan besar yang ada di pikiran masyarakat pribumi adalah apa saja yang ingin mereka beli untuk kepuasan hidup. Bukan bagaimana agar uang 1 milyar tersebut bisa beranak pinak hingga menjadi aset yang membuat mereka merdeka secara finansial. 

Aku sempat heran, dimana ada orang Tionghoa di suatu tempat, maka ekonomi di tempat tersebut lambat namun pasti dikuasai oleh Tionghoa. Ruko-ruko banyak yang dimiliki oleh Tionghoa. Tanah-tanah banyak yang dibeli oleh Tionghoa. Orang Tionghoa itu mampu berpikir visioner. Mereka mau membeli tanah dengan harga 2 kali lipat dari harga normal dari pribumi. Sementara pribumi sering tergoda dengan tawaran harga mahal dari orang Tionghoa atas tanah yang mereka miliki, karena mereka sering kali berpikir jangka pendek. Ketika harga umum sebidang tanah dengan kondisi tertentu katakanlah Rp 50 jt, sementara tanah tersebut ditawar Tionghoa dengan harga 100 juta, mereka akan berpikir bahwa itu adalah tawaran yang menggiurkan. Hasilnya, banyak tanah yang lepas dari pribumi dan dimiliki oleh Tionghoa. Hanya beberapa tahun kemudian, harga tanah berubah bukan hanya 2 kali lipat melainkan berlipat-lipat dari harga semula. 


Harus diakui bahwa kita perlu banyak belajar dari Tionghoa tentang cara mengelola uang, dan tentang visi menciptakan kekayaan. Mereka sudah melangkah begitu jauh. Orang Tionghoa selalu memandang negeri kita sebagai sebuah potensi besar. Sementara kita (pribumi) seringkali pesimis dengan kondisi negeri ini. 

Sabtu, 17 Desember 2016

Budaya mengapresiasi



Seorang teman yang sedang menempuh studi di jepang menulis sebuah status di Facebook. isinya adalah kekagumannya terhadap orang jepang yang mengapresiasi kemampuan bahasa inggrisnya ketika ia menceritakan sesuatu. Dia merasa kemampuan bahasa Inggrisnya masih belum bagus, namun teman-temannya yang merupakan orang jepang memberikan pujian terhadapnya dengan kalimat-kalimat seperti ‘’waah, bahasa inggrismu bagus ya’’, dan sebagainya. Sebenarnya bukan hanya dia yang mendapati pengalamana seperti itu. Saya dan banyak orang yang tinggal di Jepang lainnya juga pernah (jika tidak dikatakan ‘’sering’’) mendapatkan pujian dari orang jepang. 

Saya jadi teringat dengan keluh kesah yang disampaikan beberapa murid saya beberapa tahun yang lalu. Mereka adalah anak-anak yang sedang giat-giatnya belajar bahasa Inggris. Mengikuti saran saya, mereka berusaha mempraktikkan komunikasi berbahasa Inggris dengan teman-teman mereka. Namun, ironisnya, setiap kai mereka berusaha berbahasa Inggris, mereka mendapatkan respon kata-kata seperti ‘’lah..nggaya…!’’, ‘’ngomong opo kowe’’, ‘’ndak usah sok inggris laah’’, dan kata-kata demotivatif lainnya. Saya pun tak begitu kaget sebenarnya dengan cerita mereka, karena memang speerti itulah yang saya pahami tentang bagaimana respon orang-orang di lingkungan kami ketika mendapati orang lain berbahasa Inggris. Seperti itu pula lah yang saya alami pada masa awal belajar bahasa Inggris. Malah, ketika menjalani kuliah S1 di tahun pertama, terkadang saya mendapati kritik dari teman sesama pelajar bahasa inggris tentang cara berbahasa inggris saya, terutama soal tata bahasa dan pengucapan. Di negeriku, begitu banyak orang yang pandai mengkritik ketimbang mengapresiasi. Mungkin berlebihan jika dikatakan bahwa hal tersebut sudah menjadi karakter umum masyarkat di negeriku. Namun, cukup membuatku mengernyitkan dahi juga ketika hal tersebut ternyata masih ada dan belum tertangani. Suka mengkritik dan suka mengapresiasi tentu merupakan dua karakter yang berbeda. Tak heran jika kebiasaan mengkritik (terutama mengkritik hal-hal yang sejatinya kurang perlu) bisa berkembang menjadi kebiasaan suka nyinyir. Sementara, sikap mengapresiasi orang lain bisa berkembang menjadi karakter positif lainnya. 


Saya rasa, tak berlebihan jika dikatakan bahwa orang jepang pada umumnya suka mengapresiasi orang lain. Jepang bukan lah negara sempurna yang bisa kita tiru segala aspek kehidupannya. Namun, untuk urusan karakter mengapresiasi/saling menghargai, kita memang layak belajar dari mereka. Ketika 

Jumat, 16 Desember 2016

Program -Let's learn from the inspiring Youths'-


Gambar : https://twitter.com/iy_youth

Sekolah adalah tempat yang diharapkan oleh banyak pihak untuk membantu tumbuh berkembangnya kualitas kepribadian dan skill peserta didik. Oleh karena itu, sekolah semestinya mampu menciptakan program-program kreatif yang mampu menjadikan peserta didik berkembang menjadi priadi yang jauh lebih baik. Saya sudah menjadi guru selama lebih dari 6 tahun di sebuah sekolah menengah atas. Ada banyak hal yang dirasa kurang dan butuh perbaikan di sekolah. Bukan aspek fisik sekolah yang menjadi perhatian utama saya dalam hal ini, melainkan aspek non-fisik. 

Saya menemukan fakta bahwa peserta didik pada umumnya kurang mendapatkan keteladanan dalam hal bagaimana mengisi hari-hari mereka. Sebagian besar peserta didik menjalani hari-hari mereka dengan melakukan hal yang sebatas pada apa yang mereka yakini sebagai hal yang umum dilakukan. Bersumber dari lingkungan pergaulan mereka, maupun informasi yang mereka akses. Sayangnya, hal-hal yang menjadi rutinitas mereka cenderung bukan lah hal yang menjadikan mereka keren di masa yang akan datang. Sedikit saja sepertinya prosentasi peserta didik yang benar-benar telah menemukan tujuan hidup mereka, dan mengetahui apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Jumlah yang sedikit itu biasanya memiliki keberuntungan berupa adanya lingkungan yang mereka bisa jadikan teladan, seperti lingkungan keluarga yang mampu mengarahkan pikiran dan aktivitas mereka. 

Butuh survey, memang, untuk mendapatkan data akurat mengenai berapa banyak peserta didik yang tau tentang apa yang harus mereka perbuat untuk masa depan mereka yang gemilang. Namun, bisa diterka bahwa jumlah mereka yang sudah mampu melihat jalan yang jelas tentang apa yang harus mereka lakukan untuk meraih masa depan yang cemerlang lebih sedikit dibandingkan mereka yang masih tak memiliki kejelasan arah tujuan. Saya memiliki pemikiran sedari dulu tentang sebuah program di sekolah yang ditujukan untuk memberikan referensi keteladanan bagi peserta didik. Program tersebut saya beri nama ‘’inspiring youth’’. 

Apa itu ‘’Learn from the inspiring youth’’? Program tersebut adalah berupa talkshow yang dihadiri peserta didik dengan mendatangkan anak-anak muda yang punya prestasi tertentu yang membanggakan. Harapan dari program tersebut adalah menciptakan kesadaran pada peserta didik bahwa mereka bisa termotivasi untuk melakukan hal inspiratif yang sama dengan yang dilakukan oleh anak muda inspiratif tersebut. Minat peserta didik tentunya berbeda-beda. Oleh karena itu, program tersebut harus dilaksanakan secara rutin dengan mendatangkan anak-anak muda yang berprestasi dengan berbagai bidang yang berbeda-beda. Sekolah bisa mendatangkan anak-anak muda yang berprestasi dalam bidang kewirausahaan, tulis menulis, akademis, aksi filantropi, olahraga, musik, dan anak muda yang mampu menciptakan kreativitas lainya yang inspiratif. 

Dalam kegiatan tersebut, ada sesi presentasi oleh pembicara, dan ada pula sesi tanya-jawab. Program tesebut bisa dimasukkan ke dalam program kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Tentu program tersebut membutuhkan dukungan dari pihak sekolah. Mengapa harus mendatangkan anak muda yang inspiratif, bukan orang tua yang inspiratif? Alasannya adalah, kesamaan usia antara pemuda inspiratif yang diundang dengan peserta didik lebih memungkinkan untuk menimbulkan keyakinan di kalangan peserta didik bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama, mengingat mereka berada pada rentang usia yang relatif sama. Dari keyakinan tersebut, diharapkan kejelasan arah tujuan hidup mereka tercipta. Sehingga, hal tersebut bira berdampak pada positifnya aktivitas harian mereka.


Peserta didik yang umumnya masih berusia remaja cenderung belajar dengan cepat melalui apa yang mereka lihat di lingkungan pergaulan mereka. Sayangnya, ketika lingkungan pergaulan tak menyuguhkan inspirasi yang membangkitkan motivasi positif, maka mereka akan miskin keteladanan. Sekolah perlu mengupayakan banyaknya referensi keteladanan bagi peserta didik. ‘’Let’s learn from the inspiring youth’’ bisa menjadi terobosan yang bagus untuk menciptakan referensi keteladanan bagi peserta didik. 


Selasa, 13 Desember 2016

Hobi menghadapi tantangan



Desember ini aku sedikit sekali menulis utuk mengisi blog-ku tercinta. banyak kesibukan sehingga aku lupa untuk menulis. minggu pertama dan kedua desember ini aku merasa  produktif. Banyak kegiatan memorable yang worth-sharing banget. Salah satunya yaitu yang ingin aku tuangkan dalam tulisan kali ini.

Aku suka mengamati kata-kata yang diucapkan oleh dosen pengawasku di Miyagi University of Education, Mr. Leis Adrian. Salah satu kata-kata yang kuingat adalah ‘’i judge someone’s intelligence from the way they handle things that they are not really capable with, or not good at yet’’. Ada kaftan antara kata-kata belie terse but dungeon pengalaman kemarin kite aku it lomb pirate bahasa Jepang. Mengikuti lomba pidato bahasa jepang adalah hal yang cukup menyentil adrenalinku. Betapa tidak, aku belum begitu mahir berbahasa jepang, meski sudah setahun aku hidup di jepang. Yang lebih membuat jantung berdebar adalah ketika mengingat profil kontestan lain yang kebanyakan adalah mahasiswa jurusan bahasa jepang. Apalah aku dibanding mereka. 

Oke..lanjuut..

Aku merasa beruntung bahwa aku cukup memiliki pengalaman dalam hal berinteraksi dengan publik di panggung atau podium. Pengalaman tersebut kudapatkan melalui berbagai kesempatan presentasi dan pidato selama ini. Sedikit banyak, psikologi tentang menyampaikan gagasan dan meyakinkan audience sudah aku kuasai. Itu lah yang cukup membantu ku menghadapi tantangan berpidato dalam kompetisi kemarin. Ada pepatah klise, bahwa hasil tidak akan menghianati proses. Ternyata, aku tidak hanya sukses menundukkan rasa khawatir dan takutku, tapi juga berhasil turun podium dengan menyabet salah satu juara untuk kategori speech paling humoris. Tentu aku merasa plong, bangga dan bahagia. Bukan tentang hadiah an sich, melainkan sebuah kepuasan tersendiri ketika mampu memberanikan diri menghadapi tantangan yang sempat membuat bulu kuduk berdiri. Menaklukkan diri sendiri memanglah susah. Namun ketika sudah berhasil melaluinya, ah…laur biasa rasanya. Tak mudah mendeskripsikan efek psikologis yang dirasakan, karena hanya orang-orang yang mengalaminya saja yang tau.

Kini, aku punya hobi baru, yaitu memberanikan diri melakukan tindakan positif yang menantang, tantangan yang bikin hati berkecamuk penuh konflik dimana keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan menjadi satu. Bukan apa-apa, melainkan karena aku merasa candu dengan keberhasilan menaklukkan diri tersebut. Insya Alloh, kedepannya aku akan semakin memberanikan diri mengambil tindakan menghadapi tantangan-tantangan baru. Aku sudah siap mental untuk ini. Aku suka.
Satu hal yang pasti adalah hidup tak akan banyak berubah secara signifikan kalo diri kita tak memberanikan diri melakukan tindakan besar yang penuh tantangan.
Picture taken from https://s-media-cache-ak0.pinimg.com

Rabu, 30 November 2016

Youtube for improving quality of life



Picture taken by the courtesy of http://www.iconarchive.com

To what extent has youtube done you good? Youtube has now been an entity where almost all thing are available in video formats. I myself used to access youtube for downloading fun movies or music videos. However, soon I found that Youtube should do more than just watching free movies, but far more for merits. Lately, i accessed youtube mostly for merit-based purpose, besides entertainment. It helps me much improve my learning of foreign languages. All language learning lessons comprising four skills of listening, speaking, reading and writing are available through compelling videos. Only with single click, I feel like having a privileged private language class. Amazing!

Besides, I keen on watching inspirational videos, mostly are TED Talks videos. The contents of the videos really comply with its tagline ‘’Ideas worth spreading’’. Watching TED Talks videos, i get inspirational thoughts from speakers from all over the world freely, without having got to pay as much as when i attend live seminars. I also like wathing videos related to education, business, technology, and so on. 

I thank God for my excellent English proficiency. Inspirational videos so far mostly are available in English. High English proficiency and Youtube are like two sides in a coin. The both are important. How you wish you could gain merit from Youtube if you have poor English communicative skills, especially listening sill. 


Youtube is almost like a single independent world, where everything is available. Ones can learn everything from youtube. What we need to do is just inputting good keyword in search column, and soon Youtube provides us with lots of videos. Means of learning is getting easier, yet many people are not aware of it. Youtube is more than merely about free Movies or music videos. It can change and improve the quality of our life. Believe it!

Selasa, 29 November 2016

School's Irony



I begin to realise that schooling is arguably not the way we get freedom. Schooling only offers situated condition that treat everybody in a certain way. Almost no room for creativity and passion in school. Although people say that school means education, i somehow distinguish education from school. Education does not always relate to school, as neither school always relate to education. 

I once thought about being part of the change in schooling, where the campaign of creativity, being out of box, and being initiative are accommodated. But, later i found it was not the way school is. School is apparently about memorising, doing homework, being nice to teachers, obeying sets of rules, being nice guy without making any trouble, being  kind person, doing a test, passing exam to grab high score, grabbing score to find settled job or enter well-reputable university, and so on so forth. 

I once thought about promoting reading habit, teaching positive characters, and thinking out of the box. Yet i really wonder if i can make it when schooling is still being about standardisation on attitude, character, intelligence and putting aside the facts of heterogeneity on individual’s intelligence, and characteristics. 

I soon remember a mind-provoking quote by 16-year successful startup “business boy”, Eddy Zhong, "No one has ever changed the world by doing what the world has told them to do’’. See the figures who have changed the worlds. They are those who act against mainstream. Not those who brilliantly follow the mainstream. Owing to this fact, we can infer that it is hardly possible for schools to lead learners to be world changers when they still talk about uniformity. 


Will you stand still and let you flow along with the main stream? The choice is yours.

Jumat, 25 November 2016

How SNS should shape your quality of life


Everybody all over the world is now crazy with Social Network Service. The question is ‘how do you make use of your SNS access?’’ Many of us think that SNS works merely for making friends and say hello, or medium for uttering today’s feeling. That’s all! Sadly, most of you might nod your head for this. 

You know, SNS can do you more than the aforementioned stuffs. It can also help you shape your world, your future. How does it come? When you access SNS, please take time and search for groups that may inspire you a lot. You might wonder that there is a group of youths doing business in SNS. You might wonder there is a group of young researcher. You might wonder some group in SNS have a concern on some things related to your hobby. You might wonder that some page provides lesson of foreign language that you are wishing to master to date. 

Many of us are familiar with youtube. Mostly are accessing it for entertainment only. I use youtube for learning many other things, besides for entertainment purpose. Learning how to cook certain menus. Learning about pronunciation, grammar, conversation, listening, speaking, reading, writing and all things related to foreign language learning. I also use youtube for watching TEDx where great ideas from outstanding speakers all over the world are delivered. The influence is, for sure, your personal quality development. 

I remember the moment i started being curious about the worlds and felt determined to visit places in all world hemispheres. I clicked a group of people of what so-called as Backpacker. They shares their traveling experience through the Group's timeline about. Their stories were freaking awesome. It was such a mind-blasting moment reading their stories. Their experience sharing got more lively as pictures of scenic places in the world  that they visited were attached as well. I got addicted. From then, i begin to visualize myself wandering the places i saw in the group's timeline. I felt it was hardly possible, looking my condition at that time. However, years after, my visualisation which used to reside in my mind turned out to come true. I got some scholarships to join professional development programs, where within those programs i managed to visit places i dreamed to step on. 

Prior to leaving to Japan for Teacher Training Program, i felt it was necessary to do self-taught studying of Japanese. I should have at least basic understanding about Japanese. Thanks Goodness that Youtube provided me with lots of lessons for grammar, pronunciation, hiragana-katakana, vocabularu, and frequently used expressions in Japanese. I could learn more than those materials, but things need to be done step by step, i thought. Making use of youtube for learning really enable me to keep up with the super intensive 4-months Japanese Learning program during first semester studying in Japan.

How you make use of media will eventually influence your thoughts. Your thoughts are the basis of how you take action in your daily life. Your action then will shape who you are, where you go, and what you achieve in life. 


Dahlan
Sendai, November 26, 2016

Kamis, 24 November 2016

Menggalakkan Creative-Mindset Melalui Pendidikan


Gambar Fasilitas Toilet di Jepang

Di atas adalah gambar fasilitas yang ada pada toilet di Jepang. Apakah hanya ada di Jepang? Mungkin negara lain sudah ada beberapa yang mulai mengembangkan fasilitas toilet seperti itu. Namun, pernah suatu ketika teman saya yang pergi ke California, Amerika, mengeluhkan betapa toilet di sana masih berfasilitas biasa, tak se-lengkap sebagaimana yang ada di Jepang. Maklum, 4 tahun selama studi di Jepang, sahabat saya tersebut telah termanjakan oleh kemudahan dan kenyamanan dalam melakukan ‘buang hajat’ di Jepang. 

Sebagaimana yang ada pada gambar di atas, toilet di Jepang difasilitasi dengan panel kontrol yang mengendalikan banyak fungsi, seperti fungsi membersihkan bagian vital pengguna secara otomatis, fungsi menciptakan suara riak-riak air untuk mengalihkan suara angin yang nadanya terdengar kurang ramah di telinga ketika buang hajat, fungsi mengeluarkan angin untuk mengeringkan bagian vital pengguna yang dibersihkan, dan fungsi lainnya.  Sementara, pengendali keluarnya air untuk mendorong masuknya kotoran ke dalam lobang sepitank ada yang terpisah dan ada pula yang tersedia dalam dalam panel pengendali. Fasilitas toilet seperti ini sangat memanjakan pengguna. Toilet yang hanya menyediakan tissue untuk membersihkan bagian vital tentu sangat kurang nyaman bagi pengguna, yang mengharuskan kebersihan total. 

Sebenarnya, tulisan ini bukan dimaksudkan untuk mendeskripsikan fasilitas yang ada pada toilet di Jepang an sich. Namun, gambaran mengenai fasilitas toilet di Jepang merupakan salah satu contoh betapa penuh kreativitasnya peradaban negara Jepang. Segala hal detil yang berhubungan dengan hajat hidup menjadi concern mereka, untuk kemudian mereka carikan solusinya. Saya sampai berpikir, betapa segala permasalahan yang ada di Jepang dijadikan masyarakatnya sebagai ilham untuk berkarya menciptakan solusi. Mereka sudah sampai pada tahap menyikapi kekurangan/permasalahan dengan berorientasi pada solusi. Dalam bahasa yang singkat, masalah yang ada berubah menjadi potensi karya. Tidak berlebihan saya simpulkan seperti itu. Setidaknya hal tersebut tergambar dalam fasilitas hidup dan gaya hidup yang ada di Jepang. 

Di pusat perbelanjaan modern, stasiun kereta api, kampus-kampus, rumah sakit, dan tempat-tempat publik lainnya, banyak ditemukan eskalator dan lampu yang kinerjanya menggunakan teknologi sensor. Penggunaan teknologi sensor memungkinkan kinerja eskalator tersebut menghemat pemakaian energi. Ketika dalam sekian menit tak ada orang yang melewati eskalator, maka eskalator akan berhenti. Baru kemudian dia akan bergerak kembali secara otomatis ketika ada orang yang melaluinya. Begitu pula dengan lampu. Orang tak perlu capek menekan tombol on/off di pagi dan sore hari untuk mengendalikan penggunaan lampu, karena lampu akan otomatis mati dengan sendirinya ketika tiada orang di ruangan sekitar lampu tersebut. Tentu belum semua tempat menggunakan fasilitas tersebut. Namun, penggunaan teknologi sensor seperti itu sudah begitu meluas di seantero Jepang. 

Lagi-lagi, seperti biasanya, saya tertarik untuk mengaitkan hal ini dengan pendidikan, khususnya pendidikan di negeri tercinta, Indonesia. Pendidikan semestinya bisa mengarahkan para pembelajar untuk memiliki mindset berkarya, dan menciptakan solusi atas berbagai permasalahan yang ada secara kreatif. Untuk bisa mengarahkan pembelajar agar bermindset kreatif, maka perlu dibuka ruang toleransi untuk trial and error, untuk melakukan kesalahan, untuk mencoba hal-hal baru, untuk melakukan-hal-hal yang berbeda dari pakem/mainstream, untuk welcome terhadap alternatif-alternatif baru. Pendidikan harus mampu meyakinkan pembelajar bahwa segala kekurangan adalah potensi untuk terciptanya karya, dalam hal apapun. 

Indonesia adalah negeri penuh potensi. Begitu banyak kekurangan/permasalahan yang bisa jadi potensi untuk berkarya. Betapa banyak orang yang melihat peluang pada  masalah yang ada dalam hidup di negeri ini, kemudian mampu mendulang rupiah melalui penciptaan karya yang bernilai ekonomi tinggi. Dulu, orang berpikir bahwa fungsi pulpen hanya sebatas sebagai alat tulis semata. Siapa sangka bahwa sekarang pulpen sudah memiliki tampilan yang menjadikannya tak sekedar sebagai alat tulis, tapi juga sebagai benda penuh seni yang menarik serta mampu membangkitkan minat untuk menulis para pelajar. Sayangnya, justru yang melek dengan potensi tersebut adalah orang luar. Yah, kita sudah akrab dengan produk-produk buatan luar. Bahkan produk yang sebenarnya sangat mudah dibuat sekalipun, seperti alat tulis dan tusuk gigi.

Gambar pulpen unik produk luar negeri

Pendidikan adalah sarana yang strategis untuk membuka indera dan pikiran manusia. Karenanya, dari situlah mindset menyikapi segala masalah dengan menjadikannya potensi untuk berkarya semestinya ditumbuh-kembangkan.


Selasa, 22 November 2016

Pribadi nanggung yang penuh karya

 https://yafakintasikmalaya.files.wordpress.com


Aku ingin menulis. Menulis sesuatu. Sesuatu yang mungkin dirasa tak begiitu penting bagi orang lain., namun ia penting bagiku. Tulisan ini adalah sebuah perenungan. Renunganku selama berjalan kaki di malam hari menyusuri trotoar sepanjang Kampus Aobayama Universitas tohoku dalam rangka membuang kejenuhan sejenak. Kejenuhan bukan karena banyaknya pekerjaan, melainkan karena tiadanya hal yang dikerjakan. Tulisanku kali ini tentang ‘pribadi nanggung’.

Kadang aku merasa heran pada diri sendiri. Aku merasa sebagai pribadi yang nanggung. Ngganteng banget enggak, jelek juga alhamdulillah kagak. Pinter maksimal enggak, bodoh juga alhamdulillah kagak. Kaya harta belum, miskin juga alhamdulillah tidak. Lantas, apa yang bisa aku banggakan dan dayagunakan untuk sebaik dan sebesar-besarnya kebermanfaatan dalam hidup? Di situ kadang aku merasa nganu.

Aku sempat minder dengan teman-teman sesama pelajar dari Indonesia yang kuliah di Jepang. Mereka cerdas-cerdas. Mereka aktif dalam kegiatan riset. Mereka produktif dalam menghasilkan karya dan mempublikasikannya kepada khalayak, khalayak internasional pula. Aku juga kadang merasa iri kepada teman yang di usia yang masih muda namun memiliki kemandirian finansial. Selain itu, mereka juga aktif dalam kegiatan filantropis. Betapa lengkap kecukupan duniawi dan ukhrawinya. Kadang aku iri sama teman yang berkarir di suau perusahaan hingga mencapai posisi puncak dalam usia yang masih muda. Kemudian aku bertanya pada diri sendiri, ‘‘apa yang telah engkau perbuat? karya apa yang telah engkau ciptakan? kebermanfaatan apa yang telah engkau persembahkan bagi sesama? Keunggulan apa yang engkau miliki?’’

Tahun 2015 aku memperoleh beasiswa short course ke Australia. Kok bisa? apakah karena aku pintar? sepertinya tidak juga. Beberapa hari setelah pulang dari Australia aku berangkat ke Jepang untuk program Training Guru selama 1.5 tahun. Jujur di situ aku merasa bangga, telah menjadi yang terpilih diantara sekian banyak pelamar program. Apakah aku meraihnya karena aku cerdas dan unggul? Sepertinya tidak juga. Aku sendiri juga tak begitu yakin bahwa mereka yang tak lolos dalam proses penjaringan adalah mereka yang kualitasnya di bawahku. Cukup sulit untuk dilogika.

Belakangan aku menyadari bahwa keberhasilan bukan semata hak mereka yang unggul dalam kecerdasan dan atau keterampilan. Namun juga hak mereka yang menginginkan keberhasilan tersebut secara ‘ngotot’ alias ‘kudu’ alias ‘harus’. Keinginan untuk berhasil yang terpatri kuat dalam hati. Terlalu sederhana untuk dibahasakan. Hanya mereka yang mengalaminya yang tau. Aku jadi semakin yakin akan sebuah hukum dalam kehidupan. Bahwa jika kamu menginginkan sesuatu dengan level keinginan yang begitu kuat, maka besar kemungkinan keinginan tersebut akan mewujud nyata. Pantas saja Thomas Alfa Adison yang divonis mengalami disleksia mampu menjadi pribadi yang namanya terus terkenang seantero dunia melintasi berbagai generasi. Karena keberhasilan bukan hak orang yang berkemampuan hebat semata, namun juga mereka yang berkemauan hebat. Ah..tulisan ini jadi terjebak pada genre motivasi nih. 


Kembali ke topik awal. Aku adalah pribadi yang sepertinya nanggung. Maka aku harus berpikir bagaimana caranya agar aku bisa berkarya hebat selayaknya mereka yang sudah berkarya hebat. Apakah pribadi yang nanggung tidak layak berkarya hebat? Tentu saja layak. Saksikanlah! Aku adalah pribadi nanggung yang akan meraih pencapaian-pencapaian luarbiasa dalam hidup.


Dahlan
Sendai, 22 November 2016

I deserve more

Picture: http://quotesgram.com/you-deserve-more-quotes

I watched Deddy Corbuzier’s ‘Hitam Putih’ TV program once, and found a good lesson from it. It was about Deddy’s, the host, personal life. A question he was to answer was about the reason why he quit his job as magician. Just a brief story, Deddy Corbuzier, before being well-paid host of TV shows, used to be famous magician. He earned much from that, i believe, as he had a lot of shows both inside and outside TV studios to perform. But, a couple of years ago, people found no magic shows on TV. It turned out that he quit the job, and start new profession as a host of a TV live talk show. In the later job, still, he makes it. It took no time for him to grab audience’s enthusiasm. His live talk show turns into a hits. 

He leaked out his motive of quitting previous job. It’s gonna be a bit long story. Okay! Being an artist is tough. Everyone must keep on updating their ‘X’ factor otherwise new talents will override them. Teddy used to be hegemonic on magic show. But, later, a new name, many call him as Pak Tarno, offers new genre in magic show entertainment. He combines magic show and comedy. Soon, the icon of magic show as previously held by Deddy Corbuzier, fades away. The later become no more dominant.

Deddy, to my view, is type of choleric, who puts high standard of achievement in his life. He is sort of a person who is always in pursue of peak actualisation. He believed he deserve more than just being a magician, a profession that a person like Pak Tarno who never went abroad to learn it like what daddy did, can perform. He believed he deserved more. 


Sometimes, we feel that we have more reasons to gain more, to achieve more than those whose less reasons for that. It is about pride. About need of achievement. About determination that we deserve achieving more than those who give less devotion to achieve. And that's just normal. 

Senin, 21 November 2016

Bagaimana aku tidak bersyukur

Picture at Johgi Nyorai, Miyagi, Japan

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara Dia membuatku memperoleh kesempatan menghirup udara Jepang yang begitu segar, sementara banyak yang mengharapkannya namun tak jua mendapatinya.

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku diberiNya kesempatan untuk melihat indahnya daun berwarna-warni di musim gugur, bunga indah bermekaran di musim semi, dan salju putih menggemaskan di musim dingin, di saat orang lain mendambakannya namun tak jua mendapatkannya.

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku diberiNya kesempatan untuk mengenyam pendidikan di negara yang berkualitas pendidikan salah satu terbaik dunia, dengan atmosfir akademis yang begitu memupuk semangat untuk terus belajar.

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku diberiNya kesempatan untuk berinteraksi dengan begitu banyak orang dari berbagai negara, yang dengannya aku semakin berpikiran terbuka dan luas cakrawalanya.

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku didekatkanNya dengan orang-orang yang penuh kasih sayang di negeri perantauan, yang dengannya aku merasa nyaman.

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara Dia membuatku mampu membuktikan bahwa aku bisa memperoleh hal berharga yang orang lain berpikir tak mampu mendapatkannya.


Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku diberiNya kesempatan untuk mendatangi tempat-tempat indah di berbagai belahan bumi. Sementara banyak orang lain yang untuk beranjak dari tempat duduk saja masih harus berjuang dengan sekuat tenaga.

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku masih diberiNya kesempatan untuk bercengkerama dengan keluarga meski hanya sebatas via Media.


Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku diberiNya kesehatan sepanjang hidup di negeri ini, di saat orang lain banyak yang sedang berjuang untuk mempertahankan nafasnya. 

Bagaimana aku tidak bersyukur, sementara aku diberiNya hidup, yang dengannya aku berkesempatan untuk berbagi, mengukir prestasi, memperbaiki diri agar menjadi makhluk yang dicintai Robbi, di saat di luar sana banyak mereka yang telah tertutup kesempatannya untuk berbuat banyak hal karena meregang nyawa.

Begitu banyak alasan bagiku untuk bersyukur, hingga terlalu banyak untuk menyebutnya.


Jumat, 11 November 2016

Detik-detik menuju sayonara


Waktuku untuk tinggal di Jepang semakin berkurang.  Kurang dari 5 bulan lagi aku harus kembali ke negeri asal, dan kembali ke rutinitas semula sebagai seorang guru. Aku merasa seperti harus kembali ke dunia nyata. Bukan berlebihan bagiku, bahwa berkesempatan hidup di Jepang selama program 1.5 tahun seperti hidup di alam mimpi. Namun ini nyata. Betapa tidak, di saat banyak orang yang memimpikan untuk bisa berkesempatan untuk hanya menginjakkan kaki di Jepang barang beberapa hari saja, aku malah berkesempatan lebih untuk bukan hanya berkunjung beberapa hari, melainkan menetap, merasakan kehidupan Jepang asli, dan bergulat dengan penyesuaian terhadap berbagai keadaan yang baru, yang dari situ aku banyak belajar.

Sejenak aku berpikir, betapa beruntungnya aku. Di sini aku memiliki beragam kesempatan. Kesempatan yang tentunya sulit untuk aku dapatkan ketika masih berada di kampung halamanku. Kesempatan untuk mengasah kompetensi akademik dan profesional. Kesempatan untuk mengasah intelektualitas. Kesempatan untuk memperbagus keluhuran budi pekerti. Kesempatan berinteraksi dengan teman-teman baru dari berbagai negara. Kesempatan untuk berpartisipasi dalam program pengembangan pariwisata. Kesempatan untuk hidup dengan keluarga lokal di Sendai. Kesempatan untuk belajar budaya dan mendapatkan kesan positif atas luhurnya budaya sopan santun masyarakat Jepang. Kesempatan untuk merasakan betapa kebersamaan dengan teman-teman sesama Indonesia maupun sesama muslim benar-benar terasa bermakna. Benar sekali, hal yang sedikit dan langka, seringkali terasa bermakna.

Kadang aku memanfaatkan sosial media untuk memposting foto-foto aktivitasku di sini. Ramai riuh respon teman-teman dari Indonesia begitu menyadarkanku, bahwa aku adalah orang terpilih yang sangat beruntung. Aku bersyukur bahwa aku merasa beruntung. Karena barangkali sekian banyak orang indonesia yang memiliki kesempatan yang sama tak memiliki perasaan yang sama sebagai orang yang beruntung. Sesekali aku merasa malu sama Alloh. Dia memberikanku Privilege seistimewa ini. Namun tak jarang aku ingkar atas nikmat karunia tersebut. 

Jujur, aku merasa get addicted. Aku semakin ingin untuk menjelajahi berbagai pelosok negeri di berbagai belahan dunia. Bukan untuk bersenang-senang semata. Namun aku telah berubah menjadi pribadi yang memiliki curiosity yang besar terhadap segala hal di dunia ini yang belum pernah aku temui. Aku ingin belajar banyak, dengan mendapati pengalaman-pengalamn baru yang inspirasional. Hingga suatu ketika nanti aku akan menjadi pendongeng sarat makna keteladanan dan inspirasi yang selalu dinantikan oleh generasi di bawahku.

Waktu semakin berlari, bukan berjalan. Rasa takut tak terelakan. Takut kalau aku harus kembali ke rutinitas monoton yang hanya menghabiskan hari-hariku namun miskin warna. Aku mungkin bakal mengalami shock culture sesungguhnya ketika pulang nanti. Segala kesan positif selama hidup di Jepang, suatu ketika harus jadi kenangan. Ketertiban pola hidup masyarakatnya, keamanan yang terjamin, kenyamanan lingkungan, semua itu jelas akan menjadikanku baper. Aku memang harus pulang, namun aku tak mau kalah dengan kedaan. Meski berat tentunya, tapi aku akan berusaha menjadi kuat membawa hal-hal positif yang aku pelajari selama hidup di Jepang untuk diterapkan di negeri asal ku.

Aku jadi makin paham, kenapa Nabi ku, Muhammad SAW dulu bersabda bahwa manusia sebaiknya berusaha menuntut ilmu, meski ke negeri yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Manusia semestinya berhijrah, untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Aku merasakan benar makna dari apa yang Nabi sabdakan. 


Aku harus mepersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Tantangan hidup kedepan semakin besar. Aku ingin menjadi bagian dari solusi atas berbagai permasalahan yang ada di masyarakat. 

Senin, 07 November 2016

Melihat aksi 4 November dari Jepang



Berita 4 november kemarin muncul di salah satu stasiun TV jepang.
Namun kenapa yang muncul adalah tragedi malamnya pas terjadi kerusuhan?
.
.
Cerita2 humanis seperti pasukan kebersihan yang mengumpulkan sampah, menyapu bagian jalan yang dilalui peserta aksi, tertibnya peserta aksi, anggota FPI yang ditempatkan di depan barikade polisi untuk mengawal polisi, serta seruan komando aksi yang menghimbau jutaan manusia untuk tak terpancing provokasi, keikutsertaan gerakan pemuda budha thionghoa dalam aksi, serta potret sisi positif demonstrasi kenapa tak muncul?
.
.
Sontak adrenalinku tersulut sesaat.
Betapa masyarakat dunia didikte oleh media yang menyuguhkan berita dari sudut sempit yang tak secara objektif menggambarkan semua hal yang nyata dan sesuai fakta.
.
.
Ironisnya, bersumber dari media lah orang banyak yang mengambil kesimpulan.
Banyak orang sedang mengalami gejala malas berpikir dan malas mencari keberimbangan.
Mungkin karena mereka terbiasa dididik dengan suguhan informasi/teori/rumus2 yang hanya untuk dihafalkan kemudian muncul saat ujian, bukan dilatih untuk bepikir tentang sebab-akibat sehingga memahami dasar terjadinya suatu peristiwa.
Sehingga orang terdidik pun mudah menyikapi suguhan media secara 'taken for granted'.
.
.
Media benar-benar menjadi ujian bagi kedewasaan dan kebijaksanaan berpikir masyarakat.
.
.
Kadang aku melakukan kritik diri, aku takut juga kalau2 aku terjebak oleh subjektivitas dalam memandang peristiwa.
Itulah mengapa aku selalu membuka diri untuk mengakses berbagai sumber berita dengan aneka corak dan warna.
Dari situ aku berusaha mengambil kesimpulan dengan sebaik yang aku bisa.
.
.
Teori marketing modern tentang 'citra' dan 'kesan kualitas' ternyata telah sukses diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.
Tak terkecuali aspek hukum dalam masyarakat.
Hukum didikte oleh persepsi yang diwacanakan secara masif melalui media.
Akhirnya hukum tak bisa berdiri dengan supremasinya.
Orang yang jelas-jelas BUSUK bisa dinilai BAIK di mata hukum karena dikte media yang diamini oleh orang2 yang malas berpikir dan malas mengedepankan nurani.
.
.
Kadang menjadi tau itu menyesakkan dada. Terlebih ketika tak bisa berbuat banyak untuk merubah keadaan.

Minggu, 30 Oktober 2016

KARENA HIDUP HANYA SEKALI



Hidup di dunia hanya sekali. Itu suah tak terbantahkan. Mau pake logika apapun, pake ilmu apapun, hidup kita pasti akan mengalami ending. Semua orang boleh punya berbagai pandangan mengenai ‘kemungkinan’ hakikat hidup. Mungkin ada yang yakin bahwa reinkarnasi itu ada. Boleh-boleh saja, asal siap saja dengan segala konsekuensi dengan apa yang diyakini. Aku sendiri meyakini bahwa hidup di dunia hanya satu kali. Tak ada reinkarnasi. Yang jelas, dari semua keyakinan yang ada, ada satu persamaan. Yaitu, bahwa hidup yang kita alami ini akan mengalami fase ‘berakhir'. Sudah terbukti bahwa tak ada orang yang hidup abadi. Itu sahih. Namun, tulisan ini bukan untuk mengulas tentang beragam keyakinan tersebut. Aku tak tertarik dengan itu. Yang ingin aku bahas dalam tulisan ini adalah bagaimana sebaiknya kita menjalani hidup yang merupakan karunia besar ini.

Pikiranku pernah tersentil oleh kalimat yang dilontarkan oleh seorang sahabat. ‘’Dahlan, apa iya kamu mau seumur hidup memiliki rutinitas monoton, dan tinggal di sepojok tempat doank?’’ Tentu kalimat tersebut merupakan pertanyaan retoris. Kawanku tersebut mencoba memberikan pandangan bahwa hidup ini harus berwarna, tak dijalani secara monoton. Kebetulan kawanku itu adalah seorang cewek yang benar-benar memiliki karakter mandiri, kreatif, cerdas, dan cenderung berpikir out of the box. Ketika teman-teman sebayanya yang mengambil jurusan yang sama di perguruan tinggi dimana dia kuliah berpikir bagaimana mendapatkan pekerjaan mapan dan hiup mapan, dia justru berpikir bagaimana agar bisa hidup bebas, mandiri, dan melakukan hal-al yang disukai tanpa ada batasan apapun. Pilihannya jatuh pada menggarap bisnis biro wisata dengan produk trip ke Bali dan Jawa. Sebelum dia memulai bisnis tersebut, dia bekerja di sebuah biro pariwisata di Bali dengan tujuan untuk mempelajari seluk beluk bisnis pariwisata, untuk kemudian dia gunakan ilmunya ketika dia menjalankan bisnis tersebut secara mandiri di kemudian hari. Dia suka berkelana mengunjungi beberapa tempat di berbagai belahan dunia. Kemampuan bahasa asing serta kecakapannya dalam bergaul memudahkannya untuk berkeliling dunia. Dari kalimat yang dia lontarkan, pikiranku mulai liar bervisualisasi mendambakan kehidupan penuh warna dan kebermanfaatan.

Posisiku sebagai seorang pegawai negeri yang memiliki keterikatan terhadap segala aturan kerjaan rasa-rasanya tak memungkinkanku untuk mewujudkan hidup yang penuh warna, bebas, sebebas pikiran membayangkan. Namun, selalu saja ada cara, ternyata, jika manusia benar-benar menghendaki sesuatu. Menjadi guru memang cita-citaku sejak kecil. Aku menikmati mengajar, berinteraksi dengan siswa. Namun di sisi lain, aku merasa butuh peran lebih dalam hidup. Peran yang benar-benar penuh warna, jauh dari kemonotonan. Aku ingin hidupku penuh warna, penuh kreativitas, penuh karya, penuh manfaat, penuh kenangan, penuh pengalaman, dan segala gala gala galanya. 

Menjadi seorang pekerja yang terikat aturan, aku membayangkan alur kehidupan yang bakal aku lalui. Terlihat jelas dalam pikiran bagaimana arah kehidupanku, sejelas melihat alur cerita sebuah film. Ah..rasanya kurang menarik kalo menonton suatu film tapi sudah tau alur yang pasti. Tak ada surprise. Begitulah gumamku, dalam menilai posisiku. 

Ahh..sorry. Rasanya kok jadi curhat urusan pribadi. Padahal tulisan ini kan berupaya memposisikan diri sebagai pihak yang setara dengan pembaca. Sorry! Oke lah. Mari kembali ke jalur yang benar. Begini, bagaimana cara kita mengarahkan hidup? 

‘’Loh, emang hidup harus diarahkan bagaimana lagi? Emang kita bisa merekayasa hidup kita? Bukankah hidup ini sudah ada yang mengatur, kemudian kita hanya menjalaninya saja?’’ 

Hehehe…Hidup memang dikendalikan sama Ssang Pencipta. Namun Dia memberi kita keleluasaan untuk mengarahkannya sesuai dengan kehendak kita. Bukankah begitu,kisanak? (Kok jadi mbahas hal2 relijius gini sih?) haha… 

Aku teringt dengan pesan Steve Jobs, sang pendiri perusahaan APPLE. Salah satu hal yang mendorong dia untuk berkarya dan melakukan hal-hal besar adalah kesadaran bahwa suatu hari dia pasti akan mati. Ketika mati, terputuslah manusia dengan segala urusan dunianya. Maka, dia bersikap nothing to lose terhadap segala resiko kegagalan apapun yang dia alami ketika berproses untuk berkarya besar dan menjalani hidup penuh warna. Mustinya begitu juga prinsip kita dalam menjalani hidup. 



Lantas, bagaimana menjalani hidup? 
Nah, kali ini bahasannya aku banget. Ini bukan untuk menggurui, namun sekedar berbagi referensi. 
  1. Dunia ini luas, jelajahilah untuk melihat keindahannya.
Gambar: https://s-media-cache-ak0.pinimg.com
Coba bayangkan, kita lahir, tumbuh besar dan dewasa, lalu meninggal. Dalam proses menjalani hidupnya yang dilakukan itu-itu saja. Apa menariknya? hahaha… Dunia ini tercipta penuh keragaman dan keindahan. Kita bakal terkejut ketika mendapati hal-hal baru di belahan dunia lain. Itu seru, tau! Memang sih susah dibayangkan kalo belum tau. Hanya orang yang pernah menjelajah negara-negara luar yang bisa merasakan serunya berkelana. Bahasa innocentnya, jelajahi dulu dunia sebelum mati (padahal jadwal kematian kan tak ada yang tau, selain Tuhan Sang Pencipta). Merasakan pengalaman hidup di luar bakal memberi kesan yang dalam, dan bisa membuka pikiran. Tak berlebihan bahwa di tempat lain kita bisa menemukan hal-hal yang mind-blowing. 

Berkelana ke dunia luar juga bagus untuk mengasah karakter. Setidaknya, pengalaman menemui keberagaman menjadikan kita lebih bersikap toleran, menghargai dan memahami orang lain. 

2. Milikilah harapan yang besar, dan beranikan diri untuk mewujudkannya

Orang seringkali takut dengan resiko yang kemungkinan muncul dalam proses mewujudkan impian. Hal tersebut terjadi lantaran orang banyak yang terfokus membayangkan resiko, ketimbang membayangkan reward yang bakal mereka petik ketika memberanikan diri mewujudkan hal-hal besar. Nothing to lose aja sih napa!? Hidup kan hanya sekali. Nanti keburu nyesel loh kalo di masa-masa akhir hidup baru menyadari betapa bodohnya diri kita yang tak berani mengambil resiko untuk mewujudkan hal-hal besar yang diinginkan. 

3. Berderma lah yang banyak

Hidup butuh penyeimbang. Berderma adalah cara untuk menyeimbangkan hidup. Kita mungkin memiliki banyak uang. Dengannya kita mampu mewujudkan apa yang kita inginkan. Membeli rumah mewah. Membeli kendaraan mewah. Melakukan Traveling ke luar negeri. Namun, tanpa sikap dermawan, akan terasa hedonis sekali hidup kita. Boleh lah menikmati hidup secara maksimal. Namun, berdermalah untuk menyeimbangkannya. Saya kadang menganggap derma sebagai pajak yang harus saya bayarkan atas kehidupan yang saya miliki. Ada rasa bersalah yang cukup dalam, ketika menghabiskan banyak uang untuk kesenangan dunia, sementara berderma saja sedikit sekali.

4. Spending money on experiences, not on things

Kalimat di atas cukup terkenal. Saya pertama kali menemukan kalimat tersebut di sebuah grup backpacker di situs media sosial. Barangkali, kata-kata tersebut sudah dijadikan prinsip oleh sebagian besar merekayang suka backpacking. Belanjakan uangmu untuk pengalaman berharga, bukan untuk membeli benda-benda. Ada banyak orang yang memiliki uang berlimpah. Mereka menghabiskannya untuk membeli benda-benda yang bisa menunjukkan status sosial mereka. Namun mereka kurang memiliki hasrat untuk memiliki pengalaman baru, berpetualang, dan melakkan hal-hal baru. barangkali tak terbertis dalam pikiran mereka untuk melakukan hal demikian. Kenikmatan berpetualang memang hanya dirasakan dan dipahami oleh mereka yang suka berpetualang dan mencoba melakukan hal-hal baru yang dapat menambah pengalaman mereka. Saya sendiri memiliki daftar keinginan yang ingin saya wujudkan selama hidup. Di antaranya ada tempat-tempat yang ingin saya kunjungi, hal-hal yang ingin saya lakukan, peran apa saja yang ingi saya lakonkan, dan sebagainya. Ha tersebut dalam rangka mengisi hidup saya yang hanya berlangsung satu kali ini. Pengalaman yang banyak, bervariasi dan sarat makna, akan menjadi penghias hidup yang saya jalani.

5. Better having little but constant improvement than no at all

Carol Dweck, seorang ahli psikologi memperkenalkan istilah growth mindset dan fixed mindset. Orang-orang yang memiliki orientasi untuk selalu bertumbuh memiliki growth mindset. Sementara orang yang berpuas diri dengan kondisi status quo serta tak meyakini bahwa segala sesuatu bisa dirubah termasuk golongan fixed mindset. Jadilah orang yang memiliki growth mindset. Investasikan uang yang dimiliki untuk terus belajar meningkatkan kapasitas dan kompetensi diri. Alokasikan uang yang kita miliki untuk memberi nutrisi ''leher ke atas''. Berusaha untuk selalu belajar dan memperbaiki diri akan menjadikan kita pribadi yang selalu uptodate. Sementara berpuas diri dengan keadaan yang sudah ada, dan tak beranjak untuk berubah sama sekali, lambat laun akan menjadikan kita tertinggal oleh perkembangan zaman.

Perkembangan teknologi memudahkan kita untuk terus belajar tanpa terikat waktu dan tempat. Kita bisa mengakses bacaan-bacaan penuh manfaat yang tersedia secara online. Teruslah belajar. Bukan agar menjadi orang pintar, melainkan agar menjadi orang yang senantiasa selalu uptodate dengan perkembangan dan tantangan zaman.