Minggu, 30 Januari 2022

Hubungan Egaliter antara Dosen dan Mahasiswa di Australia: My perspective


Mendapatkan pengalaman kuliah di beberapa universitas dari negara-negara yang berbeda, aku mendapatkan pemahaman berharga tentang karakter hubungan antara dosen dengan mahasiswa dalam konteks budaya yang berbeda. Di Indonesia, relasi antara dosen dan mahasiswa umumnya lekat dengan nuansa “tidak sederajat” seperti senior-junior, berpengalaman-kurang berpengalaman, tua-muda, atasan bawahan, dan sekat-sekat dikotomis lainnya. Konsekuensi hubungan semacam itu adalah adanya tuntutan sikap hormat dari mahasiswa terhadap dosen. Selain itu, dosen juga memiliki tanggunjawab moral untuk bisa memiliki karakter lebih bijaksana, berwibawa dan mengayomi. Seperti itu lah kira-kira gambaran singkat karakter hubungan mahasiswa dengan dosen di Indonesia.

Di Indonesia, sepertinya pantang untuk seorang mahasiswa memanggil seorang dosen yang bergelar professor tanpa menyematkan gelar profesornya. Minimal, kita membubuhkan kata “Pak” di depan nama dosen yang kita panggil. Hal tersebut memang sudah diterima sebagai sebuah tata nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, terlepas apa pun sukunya. Jepang juga memiliki karakter hubungan dosen-mahasiswa yang serupa dengan Indonesia. Rasa hormat mahasiswa kepada dosen harus ditunjukkan tidak hanya melalui sikap, melainkan juga melalui cara memangil mereka. Panggilan familiar terhadap dosen di Jepang adalah “Sensei”. Berada pada satu rumpun benua, tak mengherankan jika Jepang dan Indonesia memiliki karakter yang sama dalam hal hubungan dosen dan mahasiswa.

Lain halnya dengan Indonesia dan Jepang, Australia memiliki karakter yang berbeda dalam hal hubungan antara dosen dan mahaasiswa. Sikap hormat mahasiswa terhadap dosen tidak perlu ditunjukkan dengan menyebut gelar professor atau akademik dosen. Bahkan, dosen-dosen di Australia lebih merasa nyaman dengan dipanggil namanya saja, kecuali dalam forum resmi. Karakter hubungan antar dosen dan mahasiswa di Australia lebih mencerminkan prinsip egalitarian. Di Australia, dosen dan mahasiswa bisa duduk Bersama dalam satu meja menikmati kopi sambil membahas hal-hal yang berkaitan dengan akademik. Di Indonesia mungkin hal tersebut juga ada, namun tidak bisa digeneralisasi sebagai hal yang umum terjadi dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa, karena pada umumnya ada sekat antara dosen dan mahasiswa dalam interaksi sosial.

Di Australia, hampir bisa dipastikan tidak ada istilah dosen killer. Dosen pelit nilai memang ada. Namun dosen killer sepertinya sangat-sangat jarang sekali ada. Sangat jarang ada dosen yang marah-marah kepada mahasiswanya hanya karena mereka salah dalam menentukan metodologi penelitian atau dalam membuat instrument penelitian. Para dosen umumnya lebih memilih untuk memberi arahan untuk memperbaiki kekurangan sehingga ada improvement. Di Indonesia, kerap aku dapati cerita-cerita tentang ekspresi kecewa dosen yang ditunjukkan dengan sikap marah atau berbicara dengan nada tinggi karena mahasiswa melakukan kekeliruan dalam bidang akademik.

Tulisan ini bukan diniatkan untuk mendiskreditkan dosen Indonesia. Jelas hal tersebut tidak perlu. Tulisan ini memiliki pesan tersirat bahwa pendekatan humanis dalam menjalin interaksi dengan mahasiswa perlu dilakukan oleh dosen-dosen di Indonesia. Dalam memberikan layanan akademik, mereka semestinya berorientasi pada kebaikan mahasiswa, memperhatikan wellbeing mahasiswa. Jalinan hubungan yang humanis merupakan bagian dari mental wellbeing yang tentu berpengaruh terhadap performa akademis mahasiswa. Hal tersebut harus dipupuk dan dijaga. Dosen semestinya menjadi pihak untuk mahasiswa bersandar ketika mereka mendapati kesulitan dan tantangan. Jangan sampai mahasiswa justru takut takut menghadap dosen ketika mendapati kesulitan dan tantangan.

 

Sabtu, 29 Januari 2022

Ujian Keikhlasan dalam Beramal


Disclaimer: Tulisan ini semata-mata aku tujukan buat refleksi diri. Tidak ada niat riya, pamer kebaikan atau pun hal negeatif lainnya.

Selama ini aku meyakini bahwa jika kita memiliki niat baik, maka sebaiknya niatan tersebut segera diwujudkan. Berpikir terlalu lama menimbang-nimbang amal kebaikan yang kita niatkan tidak lah baik. Setan terlalu lihai untuk merubah pikiran manusia untuk tidak berbuat amal kebaikan. Sekalipun bukan setan yang merubah pikiran kita, tetap masih ada potensi kita berubah pikiran dan akhirnya tidak jadi mewujudkan amal kebaikan, karena manusia memang dasarnya mudah berubah. Dengan dasar itulah, setiap kali aku berusaha berbuat amal kebaikan yang penuh keikhlasan, aku segerakan.

Ada beberapa pengalaman hidup berharga tentang ketulusan dalam berbuat baik yang cukup menjadi pelajaran berharga buatku. Salah satunya adalah tentang respon atau sikap seseorang yang kita berikan kebaikan. Ceritanya begini. Aku diminta untuk membantu seseorang menyelesaikan suatu pekerjaan. Aku langsung saja mengiyakanannya, meski aku tau bahwa hal tersebut berarti mengorbankan agendaku. Entah malaikat apa yang membisikiku, aku langsung tergerak untuk meluangkan waktu seharian penuh membantu seorang teman yang baru aku kenal untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia orang baik. Melibatkan aku untuk menyelesaikan urusannya, mungkin menunjukkan bahwa dia menggangapku orang baik pula yang bersedia membantunya. Dia juga bukan termasuk orang yang take people for granted. FYI, dia berkata bahwa aku akan dibayar $25 perjam untuk jasaku membantunya menyelesaikan pekerjaannya. Aku tidak menjawab iya atau tidak, karena aku lebih memilih untuk menjawab “yang penting kita selesaikan dulu pekerjaannya. Itu soal belakangan”.

Aku memang ingin sekali berbuat baik kepada sesame, sebanyak dan sebesar-besarnya. Terlebih, aku meyakini bahwa berbuat baik itu akan menimbulkan sense of meaningfulness dan a good feeling. Waktu pengerjaan yang diperkirakan hanya 5 jam, ternyata molor hingga 10 jam. Aku merasa it’s just fine to spend almost the whole productive time to do a meaningful deed. Selesai menyelesaikan pekerjaan tersebut, aku diantar pulang. Lantas dia meminta nomer rekeningku untuk dia transfer. Seketika aku bilang, “that’s unnecessary. I never meant to help you for dollar. I meant to help you sincerely. Never think about giving me money as return, mate”. He insisted that he wanted to have my account. But soon I closed the car’s door and said goodbye.

Masuk ke rumah. Ada gejolak dalam pikiran. “dia kan mampu. Pendapatan hariannya saja dari pekerjaannya bisa mencapai 4 juta rupiah dalam sehari. Belum juga istrinya yang bekerja. Dan aku memang deserve to get paid for what I did”. Namun hatiku berbisik dan meneguhkan untuk tetap pada niatan awal, yaitu doing good deed for people sincerely, no matter what. Money can be made. But having new friends, especially good people, is priceless, begitu pikirku. Jujur, aku ingin sekali berteman sanagt baik dengan teman baru ku ini. Aku tau dia orang baik. Yang kuharapkan adalah setelahnya aku bisa berkawan baik dengannya. Nomernya aku simpan di whatsapp. Akun socmednya aku follow. Namun yang membuatku heran adalah kenapa dia setelahnya tidak pernah menghubungi ku untuk let’s say just to say hello or saying thanks. Astaghfirullohaladziim… nda ada maksud untuk mengharapkan balasan apa-apa. Namun niatku untuk having them as my new family here seperti tdak kesampaian. Mereka cuek dan putus komunikasi sama sekali setelahnya. Aku coba menghubungi mereka dengan bertanya basa-basi. Namun jawaban yang ku dapatkan sangatlah straight forward and done. No follow up, no any sort of easygoing talk selayaknya teman baru yang baru kenalan.

Of course, I still keep positive thinking. Mungkin mereka bingung juga untuk bagaimana caranya berkomunikasi, di saat  mereka merasa sangat berhutang budi padaku. Logikanya sih justru kalo seseorang merasa berhutang budi, mustinya semakin baik dong sama kita. Namun tidak semudah itu. Kadang, ada perasaan hutang budi yang sangat besar yang justru membuat orang kaku untuk menjalin komunikasi kepada orang yang menghutangi budi. Kayak ada rasa serba salah gitu.

Namun biar bagaimanapun, I never regret to do good deed for others. Selagi yang jadi niat utama adalah keridhaan Alloh SWT, nothing can make me feel regretful for spreading as much good deed as possible to others.

Rabu, 26 Januari 2022

Leading in the middle: Rooms for creativity and innovation in school leadership

 

Tergabung dalam sebuah whatsapp group (WAG) tenaga kependidikan di sekolah tempat aku mengajar, aku mengamati banyak hal. Salah satu yang aku amati adalah tentang jenis topik diskusi dalam forum tersebut. WAG tersebut memang diciptakan sebagai wadah untuk komunikasi secara online antar tenaga kependidikan di sekolah, seperti guru, kepsek, librarian, maupun tenaga administrasi sekolah. Dengan WAG tersebut, banyak hal yang bisa dibahas tanpa kendala tempat. Namun, ada satu hal yang menjadi catatanku, yaitu tipe topik komunikasi/musyawarah yang umumnya muncul dalam diskusi-diskusi di grup tersebut.

Sekian tahun berada di grup tersebut, aku mendapatkan keismpulan bahwa topik bahasan yang jadi perbincangan didominasi oleh hal-hal yang bersifat formalitas. Hal-hal menyangkut urusan kepegawaian, laporan akademik siswa, pengumuman upacara, rapat dinas, pengurusan angka kredit guru, ujian akhir semester, dan topik formal sejenisnya menjadi topik yang mainstream. Grup tersebut juga sering membahas tentang urusan yang berkaitan dengan event-event sekolah maupun organisasi pegawai sekolah seperti dies natalis, arisan keluarga besar sekolah, kondangan Bersama, dan lainnya. Sesekali, muncul topik tentang joke-joke yang cukup mengundang respon banyak anggota grup. Bukan salah, dan memang tidak ada yang salah dalam grup tersebut. Namun, selayaknya sebuah grup yang terdiri dari pada stakeholder di lingkungan sekolah, perlu lah sekiranya topik pembahasannya adalah seputar pengembangan profesionalisme guru, pembahasan isu-isu terkini dan teraktual seputar Pendidikan, wellbeing siswa, visi sekolah serta topik-topik yang berkaitan dengan peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah.

Menyadari kurang lekatnya nuansa ilmiah grup tersebut, beberapa kali aku memancing diskusi di grup, dengan membagikan tautan berita atau artikel actual seputar Pendidikan. Aku juga sering membagikan artikel yang aku tulis di blog, dengan harapan hal tersebut bisa memantik diskusi ilmiah. Namun seringkali aku gagal. Respon anggota grup untuk membahas topik-topik ilmiah sangat rendah. Adapun yang merespon kadang tidak menunjukkan keseriusan, malah merespon dengan candaan yang cukup ampuh mendistraksi keseriusan diskusi.

Mungkin ada yang khusnudzon, bahwa barangkali diskusi ilmiahnya diselenggarakan saat ada rapat offline. Dan jawabanya adalah tidak. Rapat-rapat offline biasanya membahas topik seputar hal-hal yang berkaitan dengan administrasi pembelajaran atau kepegawaian. Lantas dimana ruang-ruang diskusi tentang pengembangan profesionalisme guru, layanan siswa, serta visi misi sekolah dimunculkan? Belum ada.

Sebenarnya, ini merupakan salah satu bagian pokok kerja dari kepemimpinan di sekolah, terutama kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah memiliki posisi strategis untuk mengorkestrasi segala elemen warga sekolah untuk mewujudkan sekolah unggul yang berorientasi pada unggulnya kualitas lulusan (siswa). Kepala sekolah bukanlah seorang kurir yang tugas utamanya hanya menyampaikan pesan dari atasan kepada bawahan mereka. Pekerjaan sekolah bukan semata tentang menyosialisasikan aturan-aturan pemerintah kepada warga sekolah. Tugas kepala sekolah bukan semata tentang menjalankan good management and administration, melainkan good leadership.

Andy Hargreaves dalam bukunya Leading from the Middle: New Strategies for Educational Change Paperback menyebutkan bahwa posisi terbaik kepemimpinan Pendidikan di sekolah adalah leading in the middle. Kepala sekolah bukanlah pucuk pimpinan tertinggi hierarki struktur organisasi penyelenggara Pendidikan formal. Di atasnya masih ada kepala dinas, ada gubernur, ada menteri Pendidikan dan kebudayaan, dan ada presiden. Kepala sekolah memerankan dua posisi sekaligus di waktu yang sama, yaitu sebagai atasan dan juga bawahan. Sebagai bawahan, mereka memiliki tugas untuk menjembatani pelaksanaan aturan atau kebijakan yang sifatnya top-down. Sebagai atasan, mereka memiliki ruang untuk berkreasi, berinovasi dan berimprovisasi dengan tujuan terwujudnya sebesar-besarnya layanan maksimal dalam penyelenggaraan Pendidikan bagi para siswa. Itu lah substansi dari konsep Leading in the middle, yang menurut Andy Hargreaves layak untuk dipraktikkan oleh para kepala sekolah.

Banyak ruang yang bisa dieksplor oleh kepala sekolah. Pertama, membumikan literasi agar tidak hanya berhenti sebagai slogan dan aktivitas formal semata, melainkan menjadi budaya di lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat. Kedua, penyelenggaraan program-program pengembangan profesionalitas guru melalui berbagai kegiatan seperti lesson study antar kelompok guru mata pelajaran, workshop, maupun seminar yang dilakukan secara sistematis. Ketiga, mengarahkan para siswa untuk memiliki visi yang jelas. Sehingga, tiga tahun mereka berada di sekolah, mereka benar-benar melakukan proses yang mengarahkan mereka untuk meraih visi tersebut. Masih banyak siswa yang menjalani aktivitas sekolah tanpa visi jelas. Sehingga mereka hanya menjalaninya sebagai rutinitas semata. Akibatnya, mereka gagap tentang apa yang mustinya mereka lakukan saat lulus. Keempat, merangkul orang tua siswa dan berbagai elemen masyarakat untuk mendukung terwujudnya visi Pendidikan sekolah secara umum, maupun visi siswa secara khusus.

Siswa di jaman sekarang akan menghadapi tantangan yang berbeda dari siswa jaman dahulu. Orientasi mereka juga berbeda. Bahkan cita-cita mereka juga kemungkinan lebih beragam dairpada siswa dahulu. Sekolah perlu memastikan bahwa kebutuhan siswa untuk meraih masa depan gemilang benar-benar didukung oleh berbagai pihak secara sistematis. Misalnya, siswa sekarang banyak yang ingin menjadi seorang youtuber, programmer, dropshipper, online marketer, sociopreneur, freelance writer, copywriter, videographer, digital marketer, peneliti, digital farmer, professional gamer, dan sebagainya. Sekolah harus tahu tentang kecenderungan minat para siswa tersebut. Dengan mengetahui berbagai minat siswa, maka program-program yang mengakomodasi minat siswa diselenggarakan dengan efektif. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler ditumbuhkan dan disesuaikan dengan bakat dan minat siswa tanpa pembatasan. Dengan begitu, kualitas layanan Pendidikan yang berdampak pada kehidupan siswa benar-benar terwujud.

 

 

 

Senin, 24 Januari 2022

Mengapa Masyarakat Suatu Negara Tertib, Sementara yang Lainnya Tidak?

 

Melewati sebulan hidup di Australia, aku mendapati banuyak pelajaran hiudp yang berharga. Salah satu pelajaran berharga tersebut adalah soal ketertiban masyarakatnya. Saat berada di negara-negara maju dimana masyarakatnya tertib, aku seringkali terpancing untuk melakukan perbandingan, antara negara tersebut dan negaraku. Dan, kesimpulannya masih sama. Dalam banyak hal, mayarakat di negaraku maish pelru belajar banyak dari negara-negara tersebut. Lantas pertanyaannya, apakah ketertiban masyarakat di suatu negara selalu dipengaruhi oleh factor karakter masyarakatnya, ataukah ada factor lain yang mendrong ketertiban?

Untuk menjawab pertanyaan ini, aku ingin menyebutkan beberapa pengalaman ku tinggal di tiga negara, Singapura, Jepang dan Australia. Dalam konteks tertib hiudp bersih, misalnya. Di Singapura dan Jepang, tidak ada masyarakat yang membuangsampah sembarangan. Bukan hanya warga local yang terpola karakternya untuk tertib dalam membuang sampah sesuai dengan aturan yang berlaku di negara tersebut, namun juga warga pendatang. Selain itu, di kedua negara tersebut, orang juga tidak melakukan tindakan seperti merokok di tempat yang sembarangan. Bukan hanya warga local, warga pendatang juga Nampak tertib mengikuti aturan. Di Australia, hamper bias dikatakan sangat jarnag ditemui orang berkendara di jalanan dengan kecepatan yang melebihi batas ketentuan aturan lalu lintas. Orang rela bersabar menjaga kecepatan laju kendaraannya pada batas tertentu mengikuti sign yang terpasang di pinggir-pinggir jalan. Bukan hanya warga Australia asli yang patuh dan tertib dalam berkendara, melainkan juga pendatnag seperti aku juga ikut patuh dan tertib dalam berkendara.

Apakah karakter tertib tersebut merupakan karakter warisan leluhur? Apakah karakter tertib masyarakat tersebut terbentuk karena DNA mereka sebagai warga masyarakat yang tertib? Jawbaannya adalah tidak. Ada satu benang merah yang bias ditarik mengenai factor munculnya ketertiban masyarakat di negara-negara tersebut. Faktornya adalah aturan yang jelas, tegas, tanpa pandang bulu dan konsisten. Di singapura, orang yang ketahuan merokok di tempat public akan langsung dedenda 500 dolar, tanpa tawar. Di Australia, orang yang berkendara dengan kecepatan melebihi batas, jika terekam oleh kamera cctv yang terpasang di berbagai sudut jalan raya, akan ditilang dengan jumlah denda ratusan dollar. Sekalipun yang melanggar adalah seorang pejabat, tetap akan mendapatkan perlakuan yang sama saat terbukti melanggar peraturan lalu lintas. Tidak ada polisi yang datang untuk mengecek surat-surat kelengkapan kendaraan dan memberikan surat tilang, karena system penilangan dilakukan secara otomatis. Akan ada surat tilang yang dikirimkan ke alamat rumah pemilik kendaraan. Surat tersebut disertai dengan bukti-bukti berupa dokumentasi foto tercetak yang membuat mereka tidak bisa mengelak.

Sekarang mari kita refleksi terhadap kondisi ketertiban di negeriku, Indonesia. Berbagai aturan di negeriku memang dibuat oleh pemerintah. Berbagai aturan sanksi juga diberlakukan. Namun, yang menjadi masalah adalah tentang supremasi aturan yang masih buruk. Masih banyak kita temukan adanya ruang-ruang negosiasi dan kompromi atas aturan yang ada. Contohnya, ada iring-iringan mobil mewah yang berhenti di tengah jalan tol Andara yang tidak ditilang oleh pihak yang berwenang, dengan alasan mereka bersikap kooperatif. Padahal mereka jelas-jelas melanggar peraturan. Ada banyak warga masyarakat yang membuang stumpuk sampah ke sungai yang tidak dikenai sanksi tegas. Aturan ada, namun ketegasan pemberlakuan sanksi tidak ada. Itu lah yang membuat ketertiban di negeriku sulit terwujudkan.

Perilaku tidak tertib orang-orang yang menjadi pemimpin di negeriku juga semakin melemahkan semangat untuk hidup tertib di negeri ini. Melihat pejabat papan atas yang berperilaku korup, tentu banyak orang yang akan tergoda untuk melakukan dialog batin seperti “nda papa korupsi ah, asal tidak ketahuan. Mereka para atasan juga pada korup kok, dan bebas dari dakwaan pula”.

Satu hal lagi yang ingin aku sebutkan. Aku masih teringat betapa perdana Menteri Australia, Scott Morrison, menunjukkan keteladanan dalam hal mematuhi protocol kesehatan. Dia menghimbau warga Australia untuk tertib mematuhi protocol kesehatan. Dia sendiri menunjukkan kepatuhan terhadap aturan tersebut dengan cara membatasi aktivitas-aktivitas yang menciptakan kerumunan saat situasi pandemic di negara tersebut sedang genting. Di negeriku, pemimpin justru menunjukkan perilaku buruk penuh arogansi dengan melanggar aturan protocol kesehatan saat situasi pandemic begitu genting. Mereka melakukan lawatan-lawatan ke berbagai daerah yang memicu kerumunan. Perilaku melanggar aturan yang dilkaukan oleh pemimpin tersebut, walau dijustifikasi oleh berbagai argumentasi, tetap membuat sebagian masyarakat berpikir bahwa untuk apa mereka patuh terhadap peraturan, ketika pemimpin mereka sendiri tidka menunjukkan perilaku mematuhi peraturan tersebut.

Dari uraian dalam tulisan ini, bias kita simpulkan bahwa factor utama yang mendorong perilaku tertib masyarakat adalah supremasi aturan dan keteladanan pemimpin. Semua negara mempunyai potensi yang sama untuk memiliki warga yang tertib, asalkan dua prasyarat dipenuhi, yaitu tegaknya aturan dan keteladanan para pemimpin.

Sabtu, 22 Januari 2022

Sebentuk Darma Bakti Untuk Negeri


Januari 2022 ini, aku dan satu teman dari Indonesia berinisiatif untuk menyelenggarakan program semacam sister schools. Program ini memiliki beberapa tujuan. Pertama, menjadi sarana unutk mempromosikan Bahasa Indonesia kepada sekolah-sekolah di Australia. Kedua, menjadi sarana pertukaran pemahaman budaya (cross-cultural understanding) antar Indonesia dan Australia. Yang ketiga, menjadi sarana perukaran ide best practice antar guru dari sekolah-sekolah yang terlibat dari kedua negara, Australia dan Indonesia. Yang ke empat, memberikan warna dalam pembelajaran Bahasa inggris untuk para siswa sekolah di Indonesia. Harapannya, melalui program ini, mereka menjadi bersemangat dan bersungguh-sungguh untuk belajar Bahasa inggris.

Untuk tujuan pertama, kami memiliki berbagai pertimbangan. Bahasa Indonesia sudah lama dimasukkan kedalam kurikulum Pendidikan di Australia sebagai sebuah mata pelajaran pilihan. Posisinya seperti Bahasa Arab, Prancis, Mandarin, Jerman, dan Bahasa asing lainnya dalam kurikulum Pendidikan di Indonesia. Konon, sebelum 2002, sebagian besar sekolah menengah atas di Australia mengajarkan Bahasa Indonesia kepada para siswa. Banyak siswa yang tertarik untuk mempelajari Bahasa Indonesia. Namun, setelahnya, minat para siswa terhadap Bahasa Indonesia semakin menurun. Setidaknya itu informasi yang disampaikan oleh tiga guru Bahasa Indonesia yang pernah aku wawancarai, yang dua guru di antaranya adalah orang Indonesia asli, dan satunya orang Australia. Mendapati informasi tentang menurunnya minat siswa Australia terhadap Bahasa Indonesia, aku tergerak untuk membuat suatu program yang bisa berkontribusi dalam meningkatkan minat siswa Australia untuk mempelajari Bahasa Indonesia.

Aku teringat akan momen saat aku berkesempatan mengajar Bahasa Indonesia di Harristown State High School, Queensland, pada 2015 lalu. Betapa para siswa terlihat terkejut dan senang saat mereka mendapati kami, penutur Bahasa Indonesia asli, hadir di kelas mereka. Mereka merasa pengalaman belajar Bahasa Indonesia mereka benar-benar kontekstual, karena kehadiran kami di kelas mereka. Di kelas tersebut, kami mengajarkan Bahasa Indonesia melalui pendekatan budaya. Banyak budaya yang kami tunjukkan dan jelaskan kepada mereka. Di antaranya adalah tarian tradisional, alat music, nyanyian tradisional, pakaian adat, dan lainnya. Kami juga memperkenalkan kepada mereka berbagai informasi seputar tempat wisata, adat istiadat, kuliner nusantara, dan beraneka ragam hal yang menjadi ciri khas Indonesia. Satu demi satu siswa berusaha membuat kalimat pertanyaan dalam Bahasa Indonesia, dan menanyakannya kepada kami. Situasinya persis seperti ketika murid-muridku kedatangan tamu dari negara luar di kelas Bahasa inggris mereka. Mereka begitu antusias untuk berinteraksi dengan tamu tersebut, dan hal tersebut memacu mereka untuk mempraktikkan Bahasa Asing.

Untuk tujuan kedua, aku menyadari bahwa cross-cultural understanding itu sangat penting. Di era globalisasi ini, pemahaman akan budaya dan way of life antar warga negara sangatlah penting. Dengan cross-cultural understanding, kita bisa menyesuaikan diri dalam lingkungan pergaulan internasional. Dengan begitu, kita bisa diterima dalam lingkungan pergaulan internasional tersebut. Tentu ada banyak keuntungan ketika kita mendapatkan penerimaan yang positif dalam kancah pergaulan internasional. Keuntungan tersebut bisa tewujud dalam aspek ekonomi, social maupun politik. Hal tersebut lah yang aku rasa perlu dibekalkan kepada para siswa Indonesia.

Berkaitan dengan tujuan ketiga, aku berpikir bahwa sudah saatnya guru-guru di Indonesia memperluas networking mereka dalam rangka meningkatkan profesionalisme. Banyak insight yang bisa guru-guru di Indonesia dapatkan dari para guru dari negara Australia. Begitu juga sebaliknya. Isu-isu tentang pengelolaan kelas, pembelajaran, penanganan kenakalan remaja, penanaman budi pekerti, dan memaksimalkan potensi siswa adalah sekian di antara banyak isu penyelenggaraan Pendidikan yang cukup mainstream di berbagai sekolah, baik Indonesia maupun Australia. Sharing best practice dan knowledge antar guru dari sekolah-sekolah di Indonesia dan Australia akan memberikan mutual benefit bagi para guru dari kedua negara tesebut.

Sejak 2017, aku sudah menginisiasi adanya program mengundang tamu dari negara asing untuk menjadi tutor siswa dalam belajar bahas inggris di sekolah tempat aku mengajar, SMA N 1 Paninggaran. Sejauh ini, kami sudah kedatangan tutor dari jerman, prancis, jepang, dan amerika serikat di kelas Bahasa inggris kami. Nampak jelas bahwa para siswa sangat antusias untuk terlibat dalam belajar Bahasa inggris, ketika mereka kedatangan tamu asing dari luar negeri. Meski hanya satu atau dua pertemuan, namun pengalaman belajar Bahasa inggris dengan orang asing telah meninggalkan kesan yang mendalam di benak para siswa. Hal tersebut diketahui dari feedback yang mereka sampaikan saat menjelang selesainya pelajaran.

Program sister schools ini akan memberikan banyak manfaat mutualistis bagi sekolah-sekolah yang terlibat, baik dari Indonesia maupun Australia. Harapanku, program ini akan sustainable, dan terus berkembang memberikan dampak positif, baik bagi Indonesia maupun Australia. Di mulai dari sister schools program antara SMA N 1 Paninggaran dengan Mark Oliphant College (MOC), semoga program ini semakin berkembang dan terus berkelanjutan. Aku yakin hal tersebut dapat terwujud. Inilah salah satu baktiku kepada negeriku. Insya Alloh.

Jumat, 21 Januari 2022

Viralitas, Ketenaran, dan Narsisme: Antara tong kosong dan tong berisi


Viralitas dan ketenaran sudah semakin menjadi dambaan banyak orang dewasa ini. Apalagi orang mulai menyadari bahwa viralitas dan ketenaran bisa mendongkrak banyak hal dalam hidup seseorang, seperti finansial, status social, serta kepuasan diri. Manusia cenderung ingin dianggap inspiratif oleh orang lain. Makanya, tiap kali ada wawancara tentang proses keberhasilan, orang-orang yang diwawancarai cenderung menyampaikan fase-fase malang dalam hiudp yang dia lalui. Ada sad story yang sepertinya tidak boleh dilewatkan untuk diceritakan, ketika mereka ditanya tentang proses mereka menuju keberhasilan. Kemudian diakhiri dengan cerita inspiratif tentang bagaimana mereka bangkit dan menjadi sukses. Ketika menjadi pribadi inspiratif, orang punya potensi untuk menjadi tenar dan viral. Begitulah fenomena yang ada dewasa ini, viralitas dan ketenaran.

Obsesi untuk menjadi tenar, seringkali menstimulasi sifat narsistik. Orang ingin tampil keren di hadapan public. Orang ingin dianggap menjadi yang terdepan dalam suatu hal. Sering kita jumpai foto seseorang dengan pose sedang berada di mimbar dengan memegang microphone, yang seolah sedang menjadi pembicara suatu seminar. Padahal dia hanyalah salah seorang anggota panitia. Atau foto berjejer dengan tokoh terkenal, biar dikira disangka dan dipandang memiliki circle orang-orang hebat.

Obsesi menjadi viral dan terkenal begitu merebak dalam berbagai sendi kehidupan. Jika viralitas tersebut muncul di dunia artis, jelas kita bisa memahami, karena memang viralitas dan entertainment adalah laksana dua sisi mata uang. Pertanyaannya adalah, apakah obsesi menjadi viral dan terkenal tersebut bisa muncul dalam bidang lain, bidang akademik misalnya? Nah…ini lah yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Seorang mahasiswa program doctoral mengisi seminar, dan dalam flyer yang disebar tertulis nama mahasiswa tersebut dengan keterangan “Kandidat Doktor”. Secara implisit, ada narsisme dalam penyematan frasa “kandidat doctor” tersebut. Mungkin mahasiswa tersebut tidak meminta, namun disematkannya sebutan “kandidat doctor” menyiratkan bahwa hal tersebut sudah menjadi budaya. Orang Sudah memakluminya. Sama halnya dengan penyebutan “haji” kepada seseorang yang sudah pernah beribadah haji. Mungkin sang haji tidka meminta, namun yang memanggil dengan sebutan “haji” pada umumnya menganggap bahwa hal tersebut perlu, karena itu sudah dianggap sebagai budaya. Merebaknya narsisme dalam masyarakat itu nyata.

Saya teringat ada seorang pengisi acara seminar. Dia diminta untuk menulis background pendidikannya. Dia sebutkan semuanya secara lengkap. Mulai dari Pendidikan formal, hingga pengalaman keterlibatannya dalam berbagai pelatihan. Mungkin niatnya adalah dengan menyebutkan semua latar belakang Pendidikan dan semua pengalaman kepelatihan, dia akan dianggap sebagi orang yang kompeten. Sebagian orang mungkin kagum. Namun sebagian orang lainnya, termasuk aku, akan berkata “wait! Ntar dulu. Coba liat isi otak, track record, karya, dan kontribusi nyatamu”. Bukannya saya sok hebat, karena memang saya bukan orang hebat. Namun bagi saya, menyebutkan segala gelar, pengalaman akademik, kepelatihan dan sebagainya di muka umum memiliki konsekuensi besar. Ada beban moral di situ. Harus ada bukti bahwa kita memang benar-benar besar dampak kebermanfaatannya terhadap orang lain di bidang yang kita geluti. Narsis sedikit mungkin boleh, namun kualitas pemikiran, karya dan kontribusi nyata harus lah jauh melambung lebih tinggi di atas narsisme tersebut.

Negara ini hancur dalam beberapa aspek karena banyak orang bodoh dan miskin kompetensi namun terobsesi untuk mengemban amanah besar. Orang-orang seperti itu biasanya haus akan kepemilikan pengaruh, serta ingin dipandang sebagai orang hebat. Namun mereka bukanlah the right man in the right place. Jadinya, banyak urusan-urusan yang dipegang oleh orang yang tidak berkompetensi. Rusaklah jadinya. Memiliki obsesi untuk menjadi terkenal dan berpengaruh itu boleh. Namun selayaknya diiringi dengan upaya memantaskan diri untuk meraih hal tersebut.

Rabu, 19 Januari 2022

Pentingnya Wellbeing dalam Penyelenggaraan Pendidikan


Hari ini aku datang ke kampus cukup pagi. Tujuanku adalah bercengkerama laptopku untuk melanjutkan penyelesaian risetku. Ada satu gedung yang sangat nyaman untuk mahasiswa berlama-lama belajar. Nama gedung tersebut adalah Hub Central. Sebenarnya bukan hanya Hub central yang nyaman untuk tempat belajar. Barr Smith Library, Nexus Building, dan berbagai gedung lain pun memiliki vibe yang mendukung untuk focus belajar. Namun gedung Hub Central ini memang special. Terasa nyaman banget berlama-lama berada di gedung ini. Bukan semata karena fasilitasnya yang lengkap, melainkan juga vibe belajarnya dapet. Ada tempatnya sangat bersih. Ruangannya penuh dengan fasilitas computer canggih dengan koneksi internet yang super cepat. Ada café yang menyediakan aneka ragam menu minuman dan makanan. Sirkulasi udara sangat bagus. Semua orang mendukung kondusivitas ruangan utuk belajar, sehingga tidak ada yang bersuara berisik. Ada bilik-bilik cute yang bisa menampung 7 orang, dengan setting kedap suara, sehingga pas dipakai untuk rapat kecil. Ada teknisi yang stand by all time untuk melayani segala masalah yang berkaitan dengan IT. Persis, Hub Central benar-benar menjadi my second home selama tinggal di Adelaide ini.

Ruang faforitku di Hub Central adalah ruang lantai bawah, let’s say ruang underground. Saat aku turun tangga menuju ruang favoritku, aku melewati sebuah ruang berukuran sekitar 4x3 meter yang dilengkapi dengan Play Station 4, lengkap dengan joystick dan TV ya. Semuanya bisa dipakai secara free. Jujur, aku kaget. Ini kali ke sekian aku berkunjung ke gedung Hub Central, namun kenapa aku baru tau ada ruang khusus untuk para Gamer Play Station. Berbunga-bunga hatiku dong, karena aku adalah PS gamer. Kebetulan ada satu mahasiswa yang sedang memainkan PS4 tersebut. Sempat lah kami ngobrol-ngobrol. Ternyata dia sedang mai PS karena ingin refreshing mind sejenak, setelah sekian jam berjibaku dengan aktivitas belajar dan kencan dengan computer.

Seketika, aku teringat tentang satu mata kuliah yang akan aku ambil di semester ini, yaitu The Introduction to Wellbeing in Education. Aku belum menjalani perkuliahan untuk mata kuliah tersebut, karena kegiatan akademik kampus baru akan dimulai pada bulan februari akhir. Namun, aku sudah sedikit banyak mendapatkan clue tentang apa yang biasanya dipelajari di mata kuliah tersebut. Wellbeing, dalam bahasa Indonesia, sepertinya tidak memiliki padanan kata yang pas. Adapun kosakata yang paling dekat artinya dengan wellbeing adalah “kesejahteraan”. Namun, dalam konteks bahasa Indonesia, kata “kesejahteraan” biasanya lekat dengan segala hal yang berhubungan dengan ekonomi dan finansial. Sedangkan wellbeing yang dimaksud di sini berkaitan dengan kesejahteraan berbagai aspek, termasuk mental.

Berbicara tentang wellbeing, ada satu pertanyaan menarik untuk menjadi bahan diskusi. Mengapa banyak siswa di Indonesia yang kurang memiliki motivasi untuk hadir di sekolah? mengapa banyak siswa yang malas untuk ke perpustakaan? Atau mengapa banyak anak yang enggan untuk belajar, bukan hanya di sekolah, namun juga di rumah. Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu beragam, karena factor yang berpengaruh terhadap motivasi seorang individu untuk belajar, membaca, pergi ke perpustakaan, atau sekedar hadir disekolah, begitu beragam. Namun salah satu factor yang terbukti cukup signifikan pengaruhnya terhadap motivasi siswa adalah wellbeing.

Mengapa siswa enggan pergi ke perpustakaan saat mereka mempunyai waktu luang. Jawabannya bisa berupa refleksi dan evaluasi tentang kondisi perpustakaan di sekolah. Seberapa maksimalkah perpustakaan ditata dan di desain untuk kenyamanan siswa? Seberapa maksimalkah sekolah ditata dan didesain untuk membuat siswa senang berada di sekolah? Seberapa maksimalkah orang tua menyediakan dukungan untuk anak mereka belajar di rumah? Jika sekolah masih hanya berupa gedung-gedung segi empat atau persegi panjang yang kurang ditunjang dengan fasilitas yang mengakomodir kebutuhan dan interest anak, jangan harap mereka betah berada di sekolah. Jika pendekatan pembelajaran yang didesain oleh guru masih monoton dan tidak bisa menarik minat siswa, maka jangan berharap siswa mau secara sadar dan penuh gairah untuk menghadirkan diri sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Jika perpustakaan masih kurang tertata secara nyaman, hanya menjadi tempat peminjaman buku paket, kurang bersih, serta layanan para librarian yang kurang ramah dan friendly terhadap siswa, jangan harap perpustakaan akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Motivasi intrinsic siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif di sekolah memang sangat penting. Namun kita tidak bisa berharap bahwa mereka secara otomatis hadir ke sekolah dengan motivasi intrinsic tersebut. Motivasi sering kali perlu dirangsang. Gol A Gong tidak menghimbau warga dengan kalimat ajakan seperti “ayo mari kita rajin membaca”, atau “silakan datang ke RUmah Baca untuk membaca”, atau kalimat ajakan sejenisnya. Gol A Gong menyediakan fasilitas Rumah Baca dengan desain se-nyaman mungkin bagi warga untuk singgah. Pada awalnya, warga yang singgah di rumah baca mungkin hanya sekedar ingin duduk-duduk di sofa lantai yang empuk, sembari menikmati segarnya suasana Rumah Baca. Namun lambat laun mereka tergerak untuk mengambil satu buku untuk dibaca, kemudian akhirnya terbentuklah kebiasaan membaca.

Begitu pula prinsip dalam mendorong siswa untuk betah beraktivitas belajar di sekolah. Ciptakan sekolah yang nyaman, yang memberikan dukungan psikologis dan fasilitas fisik untuk sepenuhnya kebaikan para siswa. Cara berkomunikasi guru haru mendukung adanya psychological intimacy dengan siswa. Dengan psychological intimacy, siswa yang tadinya kurang minat dengan suatu mata pelajaran menjadi minat dengan mata pelajaran tersebut. Itulah alasan mengapa mahasiswa calon guru biasanya diharuskan mengambil matakuliah psikologi belajar dan psikologi perkembangan sebagai mata kuliah wajib. Hal tersebut dikarenakan pentingnya pemahaman psikologis anak oleh guru, dan cara membangun hubungan psikologis dengan anak. Ilmu psikologi berkembang begitu pesat, mengikuti dinamika perkembangan kehidupan dan cara hidup manusia. Jika guru hanya mengandalkan apa yang pernah mereka pelajari selama kuliah dulu, maka tidak lah cukup. Guru dituntut untuk terus belajar tentang psikologi, demi terwujudnya wellbeing siswa dalam beraktivitas belajar di sekolah.

 

 

Sabtu, 15 Januari 2022

Inspiring Surpasses Teaching

 

This morning, on my way to campus library, I had a video talk to my nephews, Abbas and Salman. They wondered how my train trip looked like. Besides, they were also curious about how the surrounding just looked like. I knew it was pretty much challenging to do video call while I rushed to the station to catch the earliest train. The fact that speaking out in the train is prohibited was another challenge. Yet I did that for the sake of one purpose, arousing their international posture.

I understand how it is essential to stimulate young generation’s curiosity on things pertaining to cross-cultural understanding and international community. The reason is obvious, that the necessity to get used to embracing the globalisation is inevitable. To my view, gaining insights about how people from different backgrounds of countries, cultures and languages live, my nephews will build their prior knowledge about what sort of life the people from other countries have.

It is still well-kept in my memory that the moment I fell in love with English for the first time was when my junior high school English teacher introduced me to the picture of foreigners (bule). He insisted that English is the only bridge to communication with those foreigners. I thought how cool it would be to interact and make friends with many foreigners albeit my identity of being a villager who lived far away from the city. The thirst of knowing the outer world fuelled my intrinsic motivation to keep on learning English, literally starting from scratches until now being advanced.

I myself am an empiric proof that inspiring is way more effective to lead students to be independent learner than merely a conventional teaching. Teaching will make students learn during the moment we teach them, but inspiring will drive them to learn even when there is nobody urges them to learn. It happens because upon being inspired, students find themselves necessary to learn. Or, in other words, students learn because they need it, and because they are aware of the importance of what they learn to their life. Human is a pragmatic and transactional being. They will only devote everything the matters to them.

Realizing how inspiring important part of jobs as a teacher is, I often design a class where students can interact with people from abroad, either in face-to-face mode or via teleconference media. Either of it works for building curiosity and international posture. Every time I have my foreign friends come for a visit, I ask them to give English classes to my students, or simply have a class for cultural introduction.

So far, my students enjoyed the moment of learning with the guests from abroad. It is such an effective way of stimulating willingness to learn English, yet it is a bit costly as I have to back up for their accommodation and stuffs. However, it is all paid off. I believe, the more I give, the more I receive. That makes sense that I achieve several awards in the current years. Thanks God!

Inspiring is way more effective than teaching to drive independent learners. Believe me!

Rabu, 12 Januari 2022

Stop overthinking, start mind-mapping!

 

Kadang aku overthinking duluan saat mau memulai sesuatu yang baru, yang aku belum begitu familiar. Seperti dalam mengerjakan thesis ini, contohnya. Sebelum benar-benar mengenal tentang bagaimana melakukan penelitian, aku sudah terjebak pada overthinking tentang kesulitan-kesulitan dalam mengerjakan penelitian. Seperti sudah ada persepsi negative bahwa penelitian itu susah. Memang susah, tapi susah tersebut hanya dialami oleh mereka yang belum mengenal penelitian. Semua pekerjaan pasti terasa sulit di awal. Namun semua akan terasa mudah setelah kita berusaha maksimal mengakrabi pekerjaan tersebut.

Malam ini aku terdorong untuk mulai menata hal-hal yang aku rasa sulit dalam menyelesaikan penelitian ini. Aku coba identifikasi hal-hal yang aku masih belum pahami. Proses identifikasi tersebutlah yang menuntunku untuk membuat mind-map. Through dedicating my time and thoughts, akhirnya aku dapatkan ruang-ruang yang aku harus isi, bagian-bagian sulit yang harus aku tangani, dan kebingungan-kebingungan yang harus aku cari tahu jawabannya. Itulah dahsyatnya mind-mapping. Mind-mapping itu bukan suatu hal baru. Namun ternyata ia sangat bermanfaat untuk diterapkan dalam menyelesaikan urusan.

 Sikap overthinking akan berdampak lebih parah jika ia dibarengi dengan procrastination. Orang akan cenderung enggan memulai mengerjakan sesuatu ketika ia dihinggapi overthinking yang diperparah oleh procrastination. Yang ia lakukan selalu menunda, menunda, dan menunda. Penundaan tersebut dilakukan karena alam bawah sadar seperti membisikkan bahwa akan ada moment yang tepat untuk memulai. Padahal  itu adalah bisikan syetan yang terkutuk. Kita perlyu menyadari bahwa overthinking adalah tantangan nyata, harus kita terima. Namun mau memulai mengerjakan sesuatu adalah hal yang wajib dilakukan. Seperti main Warcraft tanpa cheat, dimana petanya seluruhnya gelap. Langkah yang kita lakukan sedikit demi sedikit akan membuka terangnya peta, sehingga berbagai potensi dan tantangan akan terlihat nyata.

Ini saran terhadap diri sendiri, sebenarnya. Jika overthinking muncul, terimalah itu sebagai gejala psikologis. Namun jangan sampai kita kalah oleh overthinking tersebut. Biarkan ia ada sementara, dan nantinya akan hilang dengan sendirinya ketika kita mulai langkah pertama dan selanjutnya. Segala persepsi negative, kecurigaan-kecurigaan akan sulitnya suatu hal adalah bayangan semu. Ia hinggap dalam pikiran semata, dan tidak berwujud nyata.

So, stop overthinking, and start mind-mapping! Then do the one by one steps until getting to the finish line. You will make it!

 

Sabtu, 08 Januari 2022

Antara Indonesia dan Australia, Mana yang lebih liveable?

 

Tinggal di Australia baru beberapa minggu, aku langsung mendapatkan kesimpulan tentang betapa Negara ini sangat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, baik short term maupun long term. Ada banyak hal yang bisa dijadikan tolok ukur atas worth-living-in tidaknya suatu Negara. Namun tolok ukur sederhana yang aku perhatikan adalah tentang rasio pendapatan dan harga kebutuhan pokok.

Supaya apple to apple, aku bandingkan pendapatan an pengeluaran harian seorang buruh atau pekerja kasar di Indonesia dan Australia. Katakanlah buruh di kedua Negara tersebut bekerja di sector yang sama, perkebunan. Seorang buruh perkebunan di Indonesia bisa mendapatkan upah harian rata-rata sekitar 100 ribu. Jika buruh tersebut bekerja selama 8 jam per hari, berarti untuk perjamnya dia mendapatkan sekitar Rp 12.500. Bburuh tersebut membutuhkan makan siang yang dibeli di warung. Memang sih soal jumlah pengeluaran untuk sekali makan orang Indonesia itu relative, karena disparitasnya terlalu tinggi. Harga seporsi makanan dengan jenis yang sama di kota-desa, jawa-luar jawa, Indonesia tengah, Indonesia barat, Indonesia timur, sangatlah berbeda. Namun menghabiskan 20 ribu untuk seporsi makan siang plus minuman sepertinya cukup. Berarti, pekerja Indonesia tersebut masih memiliki 80 ribu rupiah.

Pertanyaannya, dengan sisa uang 80 ribu rupiah yang dimiliki buruh perkebunan tersebut, jika dibelanjakan di Indonesia, dia bisa dapat apa kira-kira? Uang 80 ribu untuk membeli ayam bisa mendapatkan sekitar 2.5 kg. Jika dipakai untuk membeli minyak goreng, maka kita bisa mendapatkan 4 liter. Jika dipakai untuk membeli beras, maka bisa mendapatkan kurang lebih 8 kg. jika seluruhnya dipakai untuk membeli bensin dengan RON 92, maka dengan sejumlah uang tersebut kita bisa mendapatkan sekitar 9-10 liter.

Sekarang mari kita bandingkan dengan pendapatan dan pengeluaran buruh di Australia. Seorang buruh di Australia bisa mendapatkan penghasilan rata-rata 20 dollar per jam, atau 200 ribu rupiah. Jika dia bekerja selama delapan jam sehari, maka dia bisa mengumpulkan 160 dolar per hari. Di Australia, penghasilan sebagai buruh biasanya dikenai pajak, berkisar 15 persen (CMIIW). Sehingga penghasilannya tersisa 135 dolar. Katakanlah dia membutuhkan makan siang yang dibeli di kantin karnea dia tidak membawa bekal makanan dari rumah. Untuk se porsi makan yang layak, dalam arti tidak sederhana dan tidak terlalu mewah, maka uang 15 dolar untuk seporsi makanan dan minuman sudah sangat cukup. Jika dia hanya makan sekali, dan tidak ada kebutuhan lain, maka dia masih mengantongi uang sekitar 120 dolar.

Pertanyaan yang sama, dengan uang 120 dolar, jika dibelanjakan untuk membeli sembako di Australia, buruh tersebut bisa dapet apa aja di kira-kira? Jika uang tersebut sepenuhnya dibelanjakan untuk membeli ayam, maka kita bisa mendapatkan sekitar 20 kg. Jika dibelanjakan sepenuhnya untuk membeli minyak goreng, maka kita bisa mendapatkan sekitar 25 liter. Jika dibelanjakan untuk membeli beras premium, maka bisa mendapatkan sekitar 45 kg. jika dibelanjakan sepenuhnya untuk membeli bensin dengan RON 92, maka bisa mendapatkan sekitar 76 liter bensin.

Dari analogy pendapatan buruh di kedua Negara tersebut, maka bisa kita simpulkan bahwa biaya hidup di Australia lebih murah. Kita kadang mendengar orang berkata bahwa biaya hidup di luar Australia itu mahal. Kesimpulan tersebut muncul karena orang melihatnya melalui perspektif penghasilan orang Indonesia untuk pengeluaran di Australia. Namun, jika kita melihat dari perspektif penghasilan yang diapatkan dan dibelanjakan di Australia, maka kesimpulannya adalah biaya hidup di Australia itu murah.

Mungikin ada yang bertanya, “lho, kita baru menghitung soal pengeluaran untuk sembako. Bagaimana dengan pengeluaran untuk akomodasi? Apakah ktia masih mendapatkan kesimpulan yang sama bahwa di biaya hidup di Australia lebih murah dari pada di Indonesia?” Ini menarik. Karakteristik biaya akomodasi di berbagai Negara relative sama. Artinya, biaya sewa akomodasi biasanya berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sewa akomodasi di kota kecil tentu berbeda dengan sewa akomodasi di kota besar. Di kota besar seperti Sydney, untuk menyewa sebuah kamar kos yang fully furnished, kita harus mengeluarkan biaya antara 200-300 dolar per minggu. Sementara, di kota sedang seperti Adelaide, biaya akomodasi berkisar antara 100-250 dolar per minggu. Intinya, dengan uang 1000 dolar, orang bisa mendapatkan akomodasi yang layak. Bahkan aku sendiri hanya menghabiskan sekitar 500 dolar per empat minggu untuk akomodasi dan sudah termasuk bill gass, listrik, air, dan internet.

Di Indonesia, biaya sewa kos-kosa bisa berkisar ratusan hingga jutaan rupiah per bulannya.jika seorang buruh perkebunan harus tinggal di sepetak kamar kos-kosan denganharga sewa 500 ribu, maka dia harus menghabiskan kira-kira seperlima dari pendapatkan bulanannya.

Banyak hal tentang sisi biaya hidup di Indonesia dan Australia yang jika dibandingkan maka menghasilkan kesimpulan yang sama, bahwa hidup di Australia lebih terjangkau ketimbang di Indonesia. Satu hal lain yang membuat Australia relative livable adalah banyaknya kesempatan dan kemudahan untuk meraih penghasilan. Banyak pemuda pemudi Australia yang membiayai hidup dan kuliah mereka secara mandiri hanya dengan kerja blue collar paruh waktu. Namun, pekerjaan-pekerjaan blue collar paruh waktu di Indonesia pada umumnya sulit untuk dijadikan tumpuan bagi mereka yang ingin secara mandiri membiayai hidup dan studinya.

Kembali ke judul dari artikel ini, “antara Indonesia dan Australia, mana yang lebih livable?”

Pertanyaan pada judul tersebut sebenarnya adalah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Harus kita akui bahwa Australia memang lebih livable daripada Indonesia. Hal tersebut sudah dikonfirmasi oleh Global Liveability Index yang melakukan pemeringkatan tingkat kelayakan hidup berbagai Negara. Namun sebagai manusia kita memiliki keterbatasan untuk memilih di Negara mana sebaiknya kita tinggal, kecuali orang-orang yang memiliki privilege tertentu. Di Australia, dengan bekerja sebagai buruh, kita masih bisa mendapatkan penghidupan yang layak, cukup dan nyaman. Sementara di Indonesia, pekerjaan-pekerjaan sektor buruh masih dirasa belum bisa dijadikan andalan untuk meraih hidup yang nyaman. Indonesia adalah Negara besar dengan potensi komoditas dan pasar yang begitu besar. Maka, wirausaha adalah sector yang sepertinya jauh lebih memungkinkan untuk memberi peluang hidup layak dalam jangka panjang ketimbang sector buruh. Makanya jangan heran jika usaha-usaha yang terkesan remeh seperti jualana batagor, bubur ayam, sayuran dan sejenisnya seringkali bisa memungkinkan adanya penghidupan yang lebih layak ketimbang pekerjaan di sector buruh atau karyawan.

Tulisan ini adalah murni pendapat pribadi yang didapat melalui pengalaman. Tentu ada kekurangan dan subjektivitas. Therefore, I am open to any correction, sharing or further discussion.

Kamis, 06 Januari 2022

Aturan Lalu Lintas di Australia: Nyaman setelah terbiasa

 

Orang yang baru pertama kali tinggal di Australia mungkin memandang system lalu lintas di Australia menjengkelkan. Terutama jika mereka berasal dari Negara-negara yang perilaku berkendara masyarakatnya kurang atau tidak teratur. Betapa tidak, di Australia, begitu banyak aturan yang mengikat orang-orang yang berkendara. Jika melanggar sedikit saja, maka tidak ada negosiasi, karena hukumannya sangat strict. Melanggar batas kecepatan maksimal, misalnya. Seseorang bisa dikenakan denda ratusan dollar, yang jika dikurskan dalam rupiah maka bernilai jutaan rupiah. Berbeda dengan system tilang pelanggaran lalu lintas yang ada di Indonesia, dimana orang bisa ditilang langsung di TKP oleh petugas terkait. Di Australia, orang mungkin tidak sadar bahwa dia melanggar lalu lintas. Mereka baru menyadari itu ketika seminggu setelah melanggar mereka mendapatkan “surat cinta” yang berisi bukti pelanggaran dan jumlah uang denda yang harus dibayar.

Kata teman-teman yang pernah ditilang, nyesek rasanya ditagih ratusan dollar karena melanggar lalu lintas yang dalam pikiran mereka itu adalah pelanggaran remeh. System tilang di Australia tidak kenal ampun. Jika melanggar, tidak ada ruang untuk negosiasi. Alat pendeteksi pelanggaran juga tersetting sedemikian canggihnya, sehingga orang tidak bisa mengelak saat dia melanggar. Ada banyak titik di berbagai ruas jalan yang dipasangi kamera canggih dan sensor otomatis yang mendeteksi pelanggaran. Bukti rekaman yang ditangkap kamera tersebutlah yang biasanya menjadi bukti atas tindakan pelanggaran.

Di satu sisi, begitu rigidnya aturan lalu lintas di Australia cukup membuat frustasi bagi orang yang baru pertama kali mengenalnya. Namun di sisi lain, jika kita mau merenungi lebih dalam, system lalu lintas di Australia tersebut adalah system sempuran yang menjamin ketertiban dan kemanan lalu lintas. Di Negara-negara yang praktik berkendaranya kurang teratur, orang mungkin merasa bebas dan tidak terkekang. Namun sisi negative dari bebasnya berlalu lintas tanpa aturan baku adalah angka kecelakaan yang tinggi. Dengan system yang baku dan kaku, Australia tercatat sebagai Negara dengan angka kecelakaan lalu lintas yang sangat rendah.

Selain itu, system lalu lintas yang begitu strict di Australia ternyata membentuk karakter masyarakantya. Di Australia, para pejalan kaki termasuk golongan yang sangat dimanusiakan. Pengendara mobil pada umumnya selalu mengalah jika berhadapan dengan pejalan kaki. Mereka cenderung mengutamakan pengendara lain saat berada di jalan raya. Beda dengan perilaku berkendara di Negara yang system lalu lintasnya masih belum bagus, dimana pendendara cenderung suka menyerobot jalan supaya bisa melaju duluan.

Aku sendiri awalnya merasa tidak nyaman dengan system lalu lintas di Australia. Namun, lama kelamaan, aku jadi terbiasa dan merasa nyaman dengan system yang ada. Aturan memang harus diberlakukan secara strict agar tercipta ketertiban bersama, yang tentu baik buat semua orang.

Senin, 03 Januari 2022

My Student ID Card is issued. Yattaa!



Hari ini, Selasa, 4 Januari 2022, aku mendapatkan student ID Card ku untuk pertama kali semenjak menjalani studi di The University of Adelaide. Dengan student ID Card ini, aku bisa mengakses berbagai fasilitas yang disediakan oleh kampus untuk para mahasiswanya. Aku sangat bahagia. Akhirnya, bisa juga aku raih student ID Card ini. Ada sense of being a real student saat menerima ID Card ini. Ratusan juta biaya kuliah yang harus aku bayar (beasiswa LPDP sih), namun baru kali ini aku mendapatkan hak sepenuhnya sebagai mahasiswa.

Hari ini, kampus baru buka, setelah sekian lama libur di akhir dan awal tahun. Aku melakukan campus tour sendiri, menyusuri Gedung-gedung di sekitaran kampus. Menyusuri Lorong-lorong dan ruang-ruang fasilitas belajar dan pendukung wellbeing mahasiswa. Rasanya, aku sungguh betah berlama-lama di kampus ini. Terlebih lagi, aku adalah orang yang sangat menikmati vibe perpustakaan. Aku biasa menghabiskan seharian penuh dari pagi sampai malam berada dalam perpustakaan. Sepertinya, Barr Smith Library, Nexus Building, dan Hub Central akan mejadi tempat tinggal kedua ku selama menjalani studi di The University of Adelaide ini.

Berbagai fasilitas tersedia secara free untuk aku akses. Internetnya kenceng. Komputer-komputernya canggih. Ruangan-ruanganya nyaman, bersih, dan hommy. Orang-orangnya ramah. Akses ke kota begitu dekat, karena memang kampus ini berada di tengah kota. nikmat mana lagi yang akan aku dustakan? 

Rasanya, aku ingin berlama-lama berada di kampus ini,, menjadi insan yang berkontribusi terhadap the body of knowledge dalam dunia Pendidikan khususnya. Aku jadi terpikir untuk mengambil program PhD di kampus ini. Bukan karena gelar semata, melainkan ada gairah untuk bergulat dengan ilmu, penciptaan solusi, dan sharing kebermanfaatan dalam dunia ilmu pengetahuan bagi negeriku. Kini aku terpikir untuk lanjut ambil program PhD. Padahal sebelumnya aku sudah menetapkan diri untuk selesai dengan pursuing higher degree setelah lulus dari kampus ini.  People change.

Benar sekali bahwa pikiran adalah penuntun nasib. Sedari kecil, aku berpikir dan bercita-cita untuk bisa memiliki pergaulan dengan orang-orang dari berbagai negara. Aku memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap perbedaan budaya, Bahasa, life style, dan lainnya. Kini, pikiran itu terwujud mejadi nyata. Aku berkesempatan untuk berdiskusi dengan banyak orang, bertukar pikiran tentang isu-isu seputar kehidupan. Cangkrukan ku yang dulu saat kecil adalah dengan teman sebaya di sawah-sawah, hutan, sungai, dan di halaman rumah tetangga. Kini cangkrukanku adalah dengan orang yang beragam warna kulit, budaya, negara, Bahasa, dan pemikiran. Aku merasa kaya. Kaya social.

Sekarang, fokusku adalah kontribusi, kontribusi dan kontribusi. Betapa beasiswa yang aku terima ini memberiku beban moral. Beban moral untuk bisa berbakti bagi bangsa dan negara. Beban moral untuk bisa memberikan mkontribusi nyata bagi sesama. Meskipun itu beban, aku yakin aku bisa.

Sabtu, 01 Januari 2022

Tantangan Studi Di Luar Negeri

 

Mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di luar negeri telah menjadi dambaan banyak orang. Selain karena factor gengsi, pendidikan di luar negeri, terutama di Negara maju sering diyakini bisa memberikan insight baru. Bagi yang memiliki ketersediaan finansial yang memadai, tentu tidak sulit untuk mewujudkan keinginan studi di luar negeri tersebut. Namun bagi sebagian orang lainya, mendapatkan sponsor adalah jalan terbaik untuk dapat mengenyam pendidikan di luar negeri. Hal tersebut dimaklumi, karena biaya kuliah di luar negeri, terutama di Negara maju, seringkali tidak dabat dijangkau oleh banyak orang.

Terlepas bagaimana orang membiayai pendidikan tinggi yang mereka jalani, baik secara mandiri maupun melalui sponsor, saat menjalani kuliah di luar negeri, orang akan menghadapi banyak tantangan. Ada banyak hal yang berpotensi menjadi pressure atau tantanga bagi mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Tantangan-tantangn tersebut seringkali berkaitan dengan proses penyesuaian terhadap banyak hal. Pertama, tantangan penyesuaian terhadap budaya dan life style. Tidak jarang orang merasa menderita saat berada di Negara lain yang memiliki budaya dan life style yang jauh berbeda dari Negara asal mereka. Tantangan ini membutuhkan kecerdasan interpersonal yang bagus. Orang yang mudah bergaul dan easy going akan cenderung mudah melakukan adaptasi terhadap tantangan perbedaan budaya dan life style tersebut.

Tantangan kedua adalah perbedaan cuaca. Orang-orang yang berasal dari daerah tropis cenderung merasa cukup berat dalam menyesuaikan diri terhadap perbedaan cuaca. Di Negara-negara yang memiliki musim dingin, ekstrimnya rendahnya suhu seringkali menimbulkan gangguan kesehatan. Kulit yang pecah-pecah, mudah masuk angin, dan tantangan kesehatan lainnya. Aku sendiri pernah merasakan beratnya menyesuaikan diri terhadap cuaca dingin pada saat berada di Australia di tahun 2015 lalu. Cuaca yang sangat dingin membuat kulitku kering, bercak-bercak, bahkan berdarah. Namun, lambat laun, kulitku menjadi terbiasa dengan cuaca ekstrim tersebut. Sehingga, saat berada di daerah dengan suhu dingin yang lebih ekstrim pun aku sudah  tidak mengalami masalah kesehatan kulit.

 Tantangan ketiga berkaitan dengan interaksi dengan teman. Berada di luar negeri, kita mau tidka mau harus berinteraksi dengan berbagai orang yang memiliki keragaman karakter. Janganlkan berinteraksi dengan orang dari Negara lain. Interaksi dengan teman se-negara pun memiliki potensi terjadinya interaction clash. Attitude atau perlakuan buruk teman terhadap kita bisa mengganggu kenyamanan hidup di Negara luar. Memang ada kesan sepele tentang attitude yang tidak menyenangkan yang diperagakan oleh teman. Namun, jika kita tidak memiliki control diri atau emosi yang bagus, hal tersebut bisa menjadi masalah besar bagi perjalanan kehidupan kita di Negara luar sana. Aku mengamati secara nyata, betapa hanya karena ketidak cocokan atas sikap dan sifat satu sama lain, sebuah organisasi perhimpunan pelajar Indonesia di Negara tempat aku studi tidak berjalan dengan efektif. Banyak program yang tidak berjalan. Persis bisa dikatakan bahwa organisasi tersebut hanya tinggal nama tanpa program nyata yang bermanfaat.  Semua itu berawal dari kurang harmonisnya hubungan antar beberapa anggota yang berimbas kepada organisasi.

Tantangan keempat adalah tantangan akademik. Ini adalah tantangan yang utama dari pengalaman belajar di luar negeri. Berbagai perguruan tinggi di luar negeri memiliki demand yang besar terhadap para mahasiswanya. Ada yang menerapkan aturan yang sangat strict. Hal tersebut menuntut mahasiswa make most of their time to study, sementara kecepatan belajar setiap orang berbeda-beda. Sebenarnya bukan semata tentang kecepatan belajar yang sangat penting, melainkan juga emotional intelligence yang membuat seseorang survive menghadapi tantangan akademik tersebut. Banyak kasus mahasiswa yang kuliah di luar negeri yang mengalami depresi, karena tidak mampu memenej tantangan akademik. Hal tersebut tentu sangat disayangkan, terlebih jika mahasiswa tersebut sampai Drop Out di penghujung akhir masa studinya.

Tantangan terakhir adalah adanya berbagai distraksi. Saat kuliah di luar negeri, banyak hal yang bisa menjadi distraksi. Contoh distraksi adalah perihal pemanfaatan kesempatan bekerja bagi mahasiswa. Di Negara-negara maju, banyak opportunity kerja paruh waktu yang menjanjikan. Bahkan ada beberapa Negara yang menetapkan upah yang tinggi bagi para pekerja, termasuk pekerja paruh waktu. Di Negara Australia, misalnya, kerja paruh waktu digaji rata-rata 25 dolar per jam. Jika dikonversikan ke rupiah, maka angka 25 dolar bernilai 250 ribu rupiah, per jam. Bayangkan, kerja per jam dibayar 250 ribu rupiah. Hal tersebut tentu sangat menggiurkan, bagi banyak orang. Menggiurkannya upah kerja paruh waktu tersebut bisa berpotensi menjadi distractor. Banyak orang yang akhirnya terdistraksi tujuan kuliahnya. Alih-alih menjadikan studi sebagai focus utama mereka, pikiran mereka teralihkan pada money digging sebanyak-banyaknya, dengan alasan menabung, biasanya. Memang tidak salah jika kita mengambil kerja paruh waktu, toh memang visa student memungkinkan kita melakukannya. Namun, jika kerja paruh waktu tersebut mengalihkan focus utama kita, itu yang bermasalah.

Terlepas kita studi di luar negeri dengan biaya mandiri atau melalui beasiswa, tugas moral kita yang utama adalah menambah ilmu dan keterampilan baru yang berguna bagi diri sendiri dan sesame. Terlebih para mahasiswa yang menjalani studi dengan beasiswa. Tentu tuntutan moral mereka lebih besar dibanding mereka yang tanpa beasiswa.

Begitu banyak tantangan dalam menjalani studi di luar negeri. Makanya dalam wawancara berbagai platform beasiswa, pada umumnya muncul pertanyaan tentang bagaimana seorang kandidat beasiswa menyesuaikan diri dengan keadaan. Ada juga pertanyaan tentang problem solving. Hal tersebut memang dirasa perlu, karena kemampuan survive dalma menghadapi berbagai tantangan kuliah di luar negeri memang sangat penting.