Sabtu, 31 Desember 2022

Refleksi Tahun Lalu dan Resolusi Tahun Baru

 

Sungguh, aku syok ketika melihat pengumuman bahwa aku tak lolos seleksi akhir Pengajar Praktik (PP) untuk program Guru Penggerak. Jujur, aku sangat percaya diri menjalani rangkaian seleksi program pengajar praktik ini. Tidak ada satu tahapan seleksi pun yang aku ragu menjalaninya, atau yang aku merasa tidka maksimal melakukannya. Semuanya terasa mudah. Mudah bukan karena seleksinya mudah, melainkan karena aku cukup menguasai keadaan dan penuh persiapan dalam menjalaninya.

Aku memang nothing to lose terhadap seleksi program PP ini. Bahkan aku sempat khawatir kalau-kalau ketika aku lolos nanti aku akan benar-benar sangat terikat oleh program ini sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya yang penting juga. Namun aku merasa seperti tak percaya bahwa aku tak lolos. Sungguh tak percaya. Serasa ada factor eksternal yang membuatku gagal.

Ada dua tahapan seleksi program tersebut. Tahap pertama adalah seleksi berkas. Aku lolos untuk tahap seleksi ini. Cukup mudah memang, hanya melampirkan berkas-berkas yang aku sudah punya, serta menjawab beberapa pertanyaan essai seputar topic yang sudah sangat aku kuasai. Karena lolos tahap pertama, otomatis aku diarahkan untuk menjalani sleeks tahap kedua. Tahap kedua ini adalah tahap yang menurutku paling mudah. Tahap ini berisi seputar praktik mengajar dan wawancara. Sungguh hal yang menurutku sangat mudah. Meski menganggap seleksi kedua ini mudah, aku tak pernah take it for granted. Aku tetap mempersiapkan diri secara maksimal untuk bisa menjalaninya dengan prima.

Semua terasa mudah. Lantas, yang membuatku syok itu apa? Yang membuatku syok adalah aku ternyata tidak lolos di seleksi tahap kedua ini. Sungguh tidak bisa aku percaya, tapi ini terjadi. Aku mengajar selama lebih dari sepuluh tahun. Pengalamanku tentang pembelajaran sudah sangat banyak. Berbagai praktik baik telah aku lakukan. Aku melakukan upaya peningkatan  kompetensi dan profesionalitas secara berkesinambungan. Berbagai workshop, seminar, belajar otodidak, dan membaca buku dan berbagai artikel terkait berbagai topic tentang pendidikan dan pembelajaran telah aku lakukan. Berbagai program internasional seperti shortcourse sebulan di Queensland, program teacher training selama satu setengah tahun di jepang, student exchange ke Malaysia telah aku jalani. Workshop pendalaman kompetensi penulisan dan penelitian yang disponsori oleh US embassy dan SEAMEO Qitep In Language dan lembaga-lembaga bonafide lainnya telah aku ikuti. Pendidikan master in education dengan berbagai mata kuliah terkait pendidikan telah aku jalani, dan aku lulus dengan IPK cumlaude. Pendidikan terakhirku aku jalani di universitas dengan ranking 100 besar dunia, The University of Adelaide.

Kurang apa kompetensiku? Pengalaman berorganisasi pun telah aku miliki. Menjadi ketua forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris kabupaten telah aku jalani. Menjadi penulis buku teks bahasa inggris untuk jenjang Sekolah Menengah Atas juga telah aku alami. Kurang apa lagi?

Dengan semua pengalaman dan pendidikan yang telah aku miliki, ternyata aku belum dianggap meyakinkan untuk menjadi pengajar praktik program guru penggerak.

Mungkin aku terlalu optimis terhadap proses seleksi yang aku jalani. Namun optimisme tersebut bukan tanpa alasan. Aku persiapkan secara detail hal-hal yang diperlukan untuk sukses menjalani seleksi tersebut. Di tahapan praktik mengajar (microteaching) aku menyiapkan lesson plan dengan pembelajaran model flipped classroom, aku sampaikan justifikasi ilmiah atas penggunaan model tersebut. Aku tidak kekura sumber data ilmiah untuk mendukung desain pembelajaran tersebut, apalagi ingatanku masih kuat tentang hal-hal yang aku pelajari selama kuliah S2 di Australia kemarin. Akses terhadap berbagai artikel ilmiah juga masih kudapatkan. Aku meyakini bahwa persiapanku ini flawless.

Tiba gilirannya aku melakukan microteaching. Waktu yang disediakan adalah 10 menit. Aku yakin bahwa aku melaksanakan tahapan demi tahapan dalam pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip dalam merdeka belajar juga aku terapkan. Meyakini bahwa apa yang telah aku tampilkan adalah maksimal memang subjektif sih. Namun aku punya alasan untuk mengklaim bahwa aku telah menjalankan praktik mengajarklu secara maksimal.

Seleksi terakhir lebih mudah lagi, yaitu seleksi wawancara. Wawancara adalah bagian dari tahapan seleksi yang menjadi faforitku dalam setiap proses seleksi untuk program apa pun. Bukan tanpa sebab, karena aku sudah nglothok dengan how to deal with interview. Penguasaanku tentang how to exell interview sudah berbuah hasil. Terbukti aku lolos di berbagai program pengembangan diri dalam skala internasional, seperti lolos dalam seleksi program shortcourse di The University of Southern Queensland, seleksi program teacher training monbukagakusho, dan seleksi beasiswa S2 LPDP.

Kurang apa aku ini? Mohon maaf, kesannya sombong. Namun aku hanya ingin menunjukkan bahwa I have all it takes to make it. Yang bikin pahit lagi adalah ketika aku mendengar cerita dari seorang teman bahwa ada temannya yang lolos padahal temannya itu menunjukkan sikap tidak professional ketika menjalani proses seleksi. Bentuk ketidakprofesionalannya adalah dia terlambat untuk mengikuti seleksi. Bahkan, assessor harus menelponnya berkali-kali untuk mengundangnya mengikuti seleksi. Pun saat itu dia mengenakan baju yang kurang sesuai, mengenakan pakaian yang tidak formal untuk sebuah acara yang sangat formal tersebut. Profil resume dia juga biasa saja. Lolos dia!

Aku sedang tidak menyalahkan asesor yang tidak meloloskanku. Aku sedang tidak mencari celah-celah kesalahan mereka yang terlibat dalam proses seleksi. Aku hanya heran dengan kenyataan ini, bahwa aku tidak lolos. Aku berharap ada feedback dari penyeleksi, aspek-aspek apa yang membuatku tidak lolos. Namun aku tidak mendapatkannya. Di pengumuman, yang ada hanyalah kalimat yang menyatakan bahwa aku tidak lolos. Hal yang sempat membuatku syok, dan hingga kini aku masih tidak percaya dengan itu.

Ndak papa.

At least I can take a lesson from this.

I might simply be ineligible to their standards.

I have been eligible to the standards of LPDP, MEXT Japan, US Embassy’s RELO, SEAMEO Qitep in Language, and Short course in USQ. As Ssimple as that.

Tak Lolos Seleksi Pengajar Praktik

 

Sungguh, aku syok ketika melihat pengumuman bahwa aku tak lolos seleksi akhir Pengajar Praktik (PP) untuk program Guru Penggerak. Jujur, aku sangat percaya diri menjalani rangkaian seleksi program pengajar praktik ini. Tidak ada satu tahapan seleksi pun yang aku ragu menjalaninya, atau yang aku merasa tidka maksimal melakukannya. Semuanya terasa mudah. Mudah bukan karena seleksinya mudah, melainkan karena aku cukup menguasai keadaan dan penuh persiapan dalam menjalaninya.

Aku memang nothing to lose terhadap seleksi program PP ini. Bahkan aku sempat khawatir kalau-kalau ketika aku lolos nanti aku akan benar-benar sangat terikat oleh program ini sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya yang penting juga. Namun aku merasa seperti tak percaya bahwa aku tak lolos. Sungguh tak percaya. Serasa ada factor eksternal yang membuatku gagal.

Ada dua tahapan seleksi program tersebut. Tahap pertama adalah seleksi berkas. Aku lolos untuk tahap seleksi ini. Cukup mudah memang, hanya melampirkan berkas-berkas yang aku sudah punya, serta menjawab beberapa pertanyaan essai seputar topic yang sudah sangat aku kuasai. Karena lolos tahap pertama, otomatis aku diarahkan untuk menjalani sleeks tahap kedua. Tahap kedua ini adalah tahap yang menurutku paling mudah. Tahap ini berisi seputar praktik mengajar dan wawancara. Sungguh hal yang menurutku sangat mudah. Meski menganggap seleksi kedua ini mudah, aku tak pernah take it for granted. Aku tetap mempersiapkan diri secara maksimal untuk bisa menjalaninya dengan prima.

Semua terasa mudah. Lantas, yang membuatku syok itu apa? Yang membuatku syok adalah aku ternyata tidak lolos di seleksi tahap kedua ini. Sungguh tidak bisa aku percaya, tapi ini terjadi. Aku mengajar selama lebih dari sepuluh tahun. Pengalamanku tentang pembelajaran sudah sangat banyak. Berbagai praktik baik telah aku lakukan. Aku melakukan upaya peningkatan  kompetensi dan profesionalitas secara berkesinambungan. Berbagai workshop, seminar, belajar otodidak, dan membaca buku dan berbagai artikel terkait berbagai topic tentang pendidikan dan pembelajaran telah aku lakukan. Berbagai program internasional seperti shortcourse sebulan di Queensland, program teacher training selama satu setengah tahun di jepang, student exchange ke Malaysia telah aku jalani. Workshop pendalaman kompetensi penulisan dan penelitian yang disponsori oleh US embassy dan SEAMEO Qitep In Language dan lembaga-lembaga bonafide lainnya telah aku ikuti. Pendidikan master in education dengan berbagai mata kuliah terkait pendidikan telah aku jalani, dan aku lulus dengan IPK cumlaude. Pendidikan terakhirku aku jalani di universitas dengan ranking 100 besar dunia, The University of Adelaide.

Kurang apa kompetensiku? Pengalaman berorganisasi pun telah aku miliki. Menjadi ketua forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris kabupaten telah aku jalani. Menjadi penulis buku teks bahasa inggris untuk jenjang Sekolah Menengah Atas juga telah aku alami. Kurang apa lagi?

Dengan semua pengalaman dan pendidikan yang telah aku miliki, ternyata aku belum dianggap meyakinkan untuk menjadi pengajar praktik program guru penggerak.

Mungkin aku terlalu optimis terhadap proses seleksi yang aku jalani. Namun optimisme tersebut bukan tanpa alasan. Aku persiapkan secara detail hal-hal yang diperlukan untuk sukses menjalani seleksi tersebut. Di tahapan praktik mengajar (microteaching) aku menyiapkan lesson plan dengan pembelajaran model flipped classroom, aku sampaikan justifikasi ilmiah atas penggunaan model tersebut. Aku tidak kekura sumber data ilmiah untuk mendukung desain pembelajaran tersebut, apalagi ingatanku masih kuat tentang hal-hal yang aku pelajari selama kuliah S2 di Australia kemarin. Akses terhadap berbagai artikel ilmiah juga masih kudapatkan. Aku meyakini bahwa persiapanku ini flawless.

Tiba gilirannya aku melakukan microteaching. Waktu yang disediakan adalah 10 menit. Aku yakin bahwa aku melaksanakan tahapan demi tahapan dalam pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip dalam merdeka belajar juga aku terapkan. Meyakini bahwa apa yang telah aku tampilkan adalah maksimal memang subjektif sih. Namun aku punya alasan untuk mengklaim bahwa aku telah menjalankan praktik mengajarklu secara maksimal.

Seleksi terakhir lebih mudah lagi, yaitu seleksi wawancara. Wawancara adalah bagian dari tahapan seleksi yang menjadi faforitku dalam setiap proses seleksi untuk program apa pun. Bukan tanpa sebab, karena aku sudah nglothok dengan how to deal with interview. Penguasaanku tentang how to exell interview sudah berbuah hasil. Terbukti aku lolos di berbagai program pengembangan diri dalam skala internasional, seperti lolos dalam seleksi program shortcourse di The University of Southern Queensland, seleksi program teacher training monbukagakusho, dan seleksi beasiswa S2 LPDP.

Kurang apa aku ini? Mohon maaf, kesannya sombong. Namun aku hanya ingin menunjukkan bahwa I have all it takes to make it. Yang bikin pahit lagi adalah ketika aku mendengar cerita dari seorang teman bahwa ada temannya yang lolos padahal temannya itu menunjukkan sikap tidak professional ketika menjalani proses seleksi. Bentuk ketidakprofesionalannya adalah dia terlambat untuk mengikuti seleksi. Bahkan, assessor harus menelponnya berkali-kali untuk mengundangnya mengikuti seleksi. Pun saat itu dia mengenakan baju yang kurang sesuai, mengenakan pakaian yang tidak formal untuk sebuah acara yang sangat formal tersebut. Profil resume dia juga biasa saja. Lolos dia!

Aku sedang tidak menyalahkan asesor yang tidak meloloskanku. Aku sedang tidak mencari celah-celah kesalahan mereka yang terlibat dalam proses seleksi. Aku hanya heran dengan kenyataan ini, bahwa aku tidak lolos. Aku berharap ada feedback dari penyeleksi, aspek-aspek apa yang membuatku tidak lolos. Namun aku tidak mendapatkannya. Di pengumuman, yang ada hanyalah kalimat yang menyatakan bahwa aku tidak lolos. Hal yang sempat membuatku syok, dan hingga kini aku masih tidak percaya dengan itu.

Ndak papa.

At least I can take a lesson from this.

I might simply be ineligible to their standards.

I have been eligible to the standards of LPDP, MEXT Japan, US Embassy’s RELO, SEAMEO Qitep in Language, and Short course in USQ. As Ssimple as that.

Aku, listrik padam, dan signal internet yang hilang

 

Hari ini, di kampungku listrik padam. Sialnya, signal internet juga raib sama sekali. Tak pelak, aktivitas online ku lumpuh. Aku tak bisa berkomunikasi melalui media digital. Sungguh tidak mudah untuk menenangkan pikiran yang sudah terlanjur tergantung pada media digital sebegitu candunya. Pikiran kalut. Emosi meledak, meski aku cukup bisa mengendalikannya. Persis, hari terakhir di tahun 2022 ini aku merasakan gejala ketidaksehatan mental yang akut, hanya karena ketiadaan internet dan listrik.

Mungkin besok semua akan kembali normal. Bisa pagi, siang atau pun malam. Mungkin. Tidak ada yang menjamin. Namun sehari ini saja emosi dan pikiranku sudah kacau, gegara koneksi internet hilang. Hidup di kampung ini, aku harus memiliki kesabaran lebih terhadap keterbatasan kondisi. Persetan dengan ocehan orang yang berkata bahwa aku harus stay di kampong untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di kampong. Mungkin aku bisa mengabdi. Namun aku tidak sehat secara mental, emosional dan psikologis. Lantas apa makna dari pengabdian tersebut jika aku tidak enjoy my life?

Di kampong, hidup terasa tenang. Begitu kata orang kota yang terbiasa hidup di lingkungan penuh hingar bingar keramaian. Memang benar, di kampong hidup terasa tenang. Namun jika tinggal di kampong dalam waktu yang lama, tidak nyaman juga rasanya. Ketenangan dan kesunyian butuh takaran. Ia adalah penyeimbang dari hidup keseharian yang penuh dengan kesibukan dan keramaian. Namun  ketenangan dan kesunyian yang melebihi takaran hanya akan berubah menjadi rasa bosan, dan ujungnya wellbeing juga yang kena.

Di satu hari tanpa internet dan listrik ini  aku merenungkan banyak hal. Manusia (aku) sudah sebegitu tergantungnya dengan akses internet. Begitu frustasi rasanya ketika koneksi internet hilang. Aku jadi membayangkan bilamana suatu hari nanti internet benar-benar sudah hilang atau dihilangkan. Tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi internet adalah ciptaan manusia. Dan manusia adalah makhluk yang sarat dengan kepentingan. Aku merasa harus belajar menyesuaikan diri dengan keadaan tanpa internet. Bagaimana tetap merasakan kebermaknaan waktu tanpa internet.

Dulu, menghabiskan hari tanpa internet adalah hal biasa. Malah orang masih menyangsikan manfaat dari keberadaan internet. Itu dulu, zaman ketika orang masih bisa bahagia dengan berbagai aktivitas tanpa internet. Sekarang, orang jualan bakso di kampong saja mengandalkan internet untuk mempromosikan dagangannya. Orang ingin bertukar cangkul saja berkomunikasi melalui sarana internet. Orang mau bersilaturahim saja memberitahu orang yang akan didatangi melalui sarana internet. Kini, internet benar-benar seperti darah. Ia menyatu dengan tubuh, dan terasa sangat fatal ketika ada masalah dengannya.

Bukan hanya rasa bosan yang membuatku benci dengan tiadanya internet hari ini. Aku ada urusan yang sangat penting yang mengharuskanku untuk memiliki akses internet. Bisa saja aku pergi ke kecamatan sebelah dengan menempuh perjalanan selama satu jam. Namun, cuaca juga sedang kurang bagus. Hujan deras disertai angin kencang dan hawa dingin yang merasuk ke tulang sangatlah tidak mendukung untuk aku mengambil opsi tersebut.

Hari ini, aku dipaksa belajar tentang tawakkal. Tentang menerima apa pun yang terjadi. Jika kondisi ini berakibat tidak menguntungkan bagiku, maka aku terima. Apa pun aku terima dan aku yakini itu sebagai kehendak Alloh SWT.

 Hingga detik aku merangkai tulisan ini, aku masih berjibaku dengan rasa suntuk atas matinya listrik serta tiadanya internet. Ku tengok indicator batre laptop yang menunjukan ketersediaan batre masih sekitar 40%. Biasanya masih bisa dipakai selama kurang lebih 20 menit. Bisa lebih sedikit, bisa kurang.

Aku, padamnya listrik, hilangnya signal internet, hujan beserta angin dan hawa dingin, dan kegalauan.

Alhamdulillah..bersyukur masih tersisa batre di laptopku yang memungkinkanku untuk mencurahkan unek-unek ini.

Kamis, 29 Desember 2022

Keresahan= awal dari perubahan?

 

Dulu aku sempat berpikir bahwa memiliki keresahan atas kondisi hidup itu bagus. Keresahan berarti kita mau berpikir tentang nasib kita. Keresahan berarti awal dari pergerakan. Keresahan berarti awal dari perubahan. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa resah semata tanpa adanya upaya untuk berubah hanya menjadi keresahan semata. Ia tidak merubah apa-apa.

Sadar akan kondisi hidup yang tidak bagus itu penting. Setidaknya itu sering jadi titik awal seorang melakukan perubahan. Namun, yang salah adalah ketika kita berhenti di titik keresahan. Ada hal penting lain yang harus dilakukan untuk memiliki perubahan menuju perbaikan hidup. Yaitu kemauan dan kesungguhan untuk berproses menuju perbaikan.

Jika dirimu resah atas keadaan, cari cara untuk berubah menjadi lebih baik. Praktikkan cara-cara tersebut. Nikmati dan jalani prosesnya. Tidak ada hal yang instan. Semua butuh proses. Uang 100 miliar berawal dari satu rupiah. Puncak gunung tertinggi berawal dari langkah kaki pertama menapaki lereng gunung. 1000 halaman buku berawal dari selesainya halaman pertama. Begitu seterurnya, yang intinya adalah semua pencapaian apa pun berawal dari langkah pertama.

Sedari tahun 2010 aku menuliskan kata-kata bijak. Aku kumpulkan ke dalam file khusus yang aku update setiap ada kesempatan dan setiap ada mood. Ku kira semua itu akan merubah hidupku secara otomatis. Sepuluh tahun lebih berselang, banyak perubahan hidup yang aku alami, memang. Namun masih banyak hal-hal besar yang belum aku capai, permasalahan-permasalahan besar yang belum aku selesaikan. Artinya apa? Artinya adalah kunci dari perubahan adalah bergerak. Artinya adalah mengetahui saja tidaklah cukup. Mengetahui harus dibarengi dengan kemauan untuk melakukan.

Masih ada usia tersisa. Harus digunakan untuk menciptakan banyak kebaikan bagi sesama. Itulah yang akan menimbulkan kebahagiaan. Rasa bahagiaku sekarang sudah lain. Sudah tidak lagi berorientasi pada diri sendiri, melainkan orang lain. Bukan berarti aku bahagia ketika membuat semua orang senang, bukan. Melainkan aku bahagia karena banyaknya kebaikan yang aku berikan kepada mereka. Jalan di kampong masih butuh uluran dana untuk diperbaiki. Butuh 3-4 miliar untuk menyelesaikannya. Pusat-pusat ekonomi di kampong perlu dibangun. Butuh miliaran untuk membangunnya. Sekolah Pemimpin dan pesantren di kampung perlu didirikan. Pelru miliaran untuk mendirikannya. Perpustakaan di kampong perlu dibangun, agar masyarakat bisa memanfaatkannya, sehingga mereka menjadi warga yang melek baca.

Boleh lah kamu pelihara keresahan. Namun kamu harus juga bergerak, agar keresahanmu berubah menjadi perubahan positif.

 

Minggu, 25 Desember 2022

Aku Belajar Dari Teja

 



Di kunjunganku ke Jogja kali ini, aku mendapatkan pelajaran berharga. 

Namanya Teja, seorang sahabat yang ku kenal dari dunia maya. Aku pertama kali bertemu dengannya pada tahun 2020 di Jogja, setelah beberapa tahun sebelumnya berteman dengannya di dunia maya tanpa pernah bersua. Ini kali kedua aku bertemu dengannya, mumpung aku berkunjung ke Jogja. Sebagaimana yang aku dapati saat pertama kali bertemu dengannya, pertemuan kali ini aku mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga darinya. Tentang prinsip menjalani hidup, tentang pernikahan, tentang keuangan, tentang persahabatan, tentang menjadi seorang ayah dan suami, tentang mengelola kekayaan, tentang rasa syukur, tentang berbakti kepada orang tua.

"Aku terimakasih banget sama kamu, Ja. Kamu sudah memberiku banyak hal berharga, terutama ilmu. Aku juga minta maaf, karena aku tidak memberimu apa-apa. Orang bijak bilang bahwa persahabatan yang baik adalah yang ada mutualisme dalam hal memberikan value. Harus ada reciprocal give and take. Sedangkan aku hanya mendapatkan banyak value dan kebaikan darimu tanpa aku mengimbangi memberikan sesuatu padamu," begitu kataku padanya, saat makan siang di sebuah warung steak.

Dia menjawab dengan meyakinkanku bahwa aku tak perlu merasa sungkan seperti itu. Menurutnya, pada dasarnya, memberi adalah sebuah ungkapan rasa syukur yang tulus atas segala karunia Tuhan. Tak perlu memberi dengan harapan meraih balasan dari yang diberi. Cukup anggap itu sebagai pajak atas segala karunia tak terhingga yang dikaruniakan oleh Alloh SWT. 

Ini pelajaran spiritual banget buatku, yang disampaikan oleh orang yang menjalani hidupnya secara inspiratif. 

Momen pengubah hidup Teja

Pelajaran selanjutnya yang aku dapatkan dari dia adalah tentang konsep rejeki. Dia bercerita bagaimana awal mulanya dia memulai perjalanannya sebagai seorang pengusaha. Dulu, dia adalah seorang karyawan sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam dunia ekspor impor. Beruntungnya dia, di pekerjaan tersebut dia mendapatkan tugas yang berkaitan dengan hubungan internasional. Dia sering ditugasi oleh perusahaan tempat dia bekerja untuk melakukan negosiasi dan meeting dengan calon client perusahaannya di luar negeri. 

Turning point perubahan hidupnya terjadi saat dia melakukan business trip ke Hongkong. Sebuah kejadian blessing in disguise terjadi. Ceritanya, saat dia selesai dengan urusan pekerjaannya di Hongkong, dia dibelikan tiket pesawat untuk pulang ke Indonesia. Namun, tiket tersebut salah jadwal. Harusnya dia pulang di hari Sabtu, namun tiket pesawat sudah terlanjur issued untuk hari senin berikutnya. Dua hari lagi dia harus extend stay di Hongkong. Menyukai traveling, dia sempatkan mengunjungi Kota Makau, yang berjarak seperjalanan kapal Feri selama 20 menit dari Hongkong. 

Saat berada di sebuah lobby hotel di Makau, dia bertemu dengan orang asing yang nantinya mengubah cerita hidupnya. Orang tersebut berasal dari negara eropa, dan rupanya adalah seorang pengusaha biro perjalanan wisata. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang dengan topik khas orang yang baru berkenalan, orang tersebut mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Teja berpikir. "Why don't you try to be an entrepreneur?". Teja menjawab bahwa dia ingin menjadi seorang pengusaha, namun dia tidak tau caranya. Terlebih, dia hanya seorang pegawai perusahaan yang setiap harinya bergelut dengan pekerjaan yang menjadi tupoksinya. 

Bukan hanya bertanya, orang tersebut menawarinya proyek sekaligus. "If you wanna have a try, I will let you handle 30 tourists from my country to visit Indonesia. Just make them Happy, bring them to the places that you thing they will spend their time fascinatingly." 

Dia kaget, merasa seperti mendapatkan anugerah secara tak terduga sekaligu meraih tantangan. Ada perasaan "it is now or never at all". Itu adalah kesempatan berlian, namun di waktu yang sama dia juga berpikir bahwa dia belum siap. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mengambil kesempatan berharga tersebut. 

Selepas dari pertemuan dengan orang erpa tersebut, Teja langsung menghubungi temannya yang merupakan seorang pegiat dunia biro perjalanan di Bali. Dia konsultasi dan bekerjasama dengan temannya tersebut. Akhirnya, proyek pertama ini berhasil terlaksana dengan sukses. Dia berpikir, "ternyata mudah juga ya melakukan pekerjaan ini. Hanya dengan membuat orang senang, kemudian mendapatkan duit yang banyak begitu mudahnya". Mulai muncul rasa percaya diri yang membuncah. Energi keyakinan semakin mencapai titik kulminasinya saat dia dipercaya untuk menangani proyek kedua, ketiga dan keempat. Setelah semua terlaksana dengan sukses, terbersit dalam pikirannya untuk menjalani usaha tersebut secara mandiri. 

Persis di tahun 2015, atau setahun setelah momen pengubah hidupnya, Teja memulai kegiatan wirausahanya secara mandiri. Teja wisata berdiri. Seiring dengan berjalannya waktu, usahanya semakin berkembang. Brand Teja Wisata semakin dikenal oleh banyak kalangan. Manuver kegiatan usahanya semakin canggih. Networking terus dia upayakan. Pembenahan di berbagai lini perusahaannya terus dilakukan. Teja Wisata berubah menjadi kompetitor tangguh di tengah ketatnya persaingan usaha di bidang biro perjalanan wisata di Indonesia. 

Rejeki adalah karunia Alloh

Ini bukan kali pertama aku mendapati cerita tentang bagaimana seseorang meraih jalan rejeki berlimpah. Dari semua cerita tersebut, aku melihat sebuah pola. Ada beberapa kesimpulan yang aku ambil. Pertama, rejeki adalah murni kuasa prerogatif Alloh SWT. Banyak orang yang begitu dengan mudahnya ditunjukkan jalan olehNya untuk mendapatkan rejeki yang berlimpah. Sama sekali bukan karena hebatnya orang tersebut, namun karena memang Alloh yang menetapkan waktu untuknya meraih rejeki tersebut dengan cara yang ditunjukkan oleh Alloh SWT.

Kedua, ada kesamaan pola yang dialami orang-orang yang mendapati rejeki berlimpah. Mereka telah menghabiskan waktu dan proses untuk berusaha. Berbagai kegagalan telah mereka lalui. Hal ini nampak sebagai sebuah sunatulloh, bahwa manusia harus melakukan usaha secar giat terlebih dahulu, sebelum Alloh akhirnya menunjukkan kepada mereka jalan rejeki. Aku sering mendengar kata-kata klise yang berbunyi "tugas kita adalah berusaha. selebihnya Alloh yang menentukan". Kata-kata tersebut benar adanya. Mungkin karena kita terlalu sering mendengarnya, kita menganggap bahwa hal tersebut adalah klise. Namun ternyata benar adanya, bahwa kita harus berusaha dulu, jika kita berharap keberhasilan. Tugas kita bukan memberhasilkan diri, melainkan berusaha dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Kita tidak bisa memberhasilkan diri, melainkan Alloh SWT lah yang berkuasa untuk membuat kita berhasil.

Ketiga, ada pola yang sama terjadi pada orang-orang yang sukses secara finansial, yaitu mereka pada umumnya memiliki suatu dorongan untuk berhasil bukan karena uang, melainkan karena ingin bermanfaat dan memiliki nilai. Dengan keberlimpahan, mereka meyakini bahwa mereka bisa mewujudkan berbagai impian serta berbuat banyak kebaikan.

Kesimpulan akhir

Banyak orang sukses yang awalnya tidak tahu menahu bagaimana mencapai kesuksesan tersebut. Alloh SWT menunjukkan jalan. Namun, sebelum mendapatkan jalan tersebut, orang harus sudah siap secara mental dan determinasi. Mereka harus sudah siap untuk sukses. Kesiapan tersebut tidak ditunjukkan dengan kata-kata, melainkan sikap mau menjalani proses apa pun untuk bisa meraih sukses. Siap untuk belajar. Siap untuk berproses. Ada pepatah mengatakan, "Jika seseorang sudah siap menjadi murid, maka guru akan datang dengan sendirinya". Mungkin kita tidak tau, kepada siapa kita bisa belajar. Berdasarkan pepatah tersebut, somehow kita akan mendapatkan seorang mentor hanya ketika kita sudah siap. 

Terimakasih, Teja.

Semoga inspirasi yang kau berikan berbalas pahala dan makin banyaknya karunia penuh keberkahan dari Alloh SWT.


Selasa, 13 Desember 2022

Financial abundance, nothing to lose, and mastermind

 

Setengah hari mengikuti seminar Bersama pak Andri Suwarno telah membuka pikiranku. Tak ada hal baru dalam materi yang beliau sampaikan, sebenarnya. Hanya saja, hal-hal yang penting untuk hidup seringkali kita anggap klise karena sudah sebegitu familiarnya kita terhadap hal-hal penting tersebut.

Hal yang beliau sampaikan adalah soal mindset finansial. Beliau menjadikan diri sendiri sebagai contoh betapa mindset yang positif tentang uang adalah akar dari keberlimpahan finansial.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih khusyuk dalam beribadah.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih percaya diri dalma bergaul.

Dengan keberlimpahan finansial, kita lebih berani untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih tenang dalam menghadapi tekanan.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa berbuat kebaikan jauh lebih banyak dan lebih besar.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa mendapatkan circle yang penuh dengan orang-orang baik dan positif.

Dengan keberlimpahan finansial, keluarga kita bisa jauh lebih Bahagia.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa jauh lebih Bahagia menjalani hidup.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih sehat.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa menjadi pribadi yang lebih ikhlas.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa menjadi individu yang lebih dicintai oleh sesame.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa menjadi lebih cerdas dalam berpikir.

Dengan keberlimpahan finansial, kesehatan psikologis, emosi, mental dan fisik kita bisa jauh lebih terjamin.

Dengan keberlimpahan finansial, hidup kita terasa jauh lebih nyaman.

Dengan keberlimpahan finansial, akan jauh lebih banyak kebaikan yang bisa kita lakukan untuk orang lain.

Dengan keberlimpahan finansial, kita akan terhindar dari urusan-urusan sepele yang menguras energi pikiran.

Denagn keberlimpahan finansial, kebahagiaan akhirat mudah didapat.

Dengan keberlimpahan finansial, syurga jauh lebih mudah diraih.

 

Itulah yang akan terasa dalam hidup ketika kita memiliki keberlimpahan finansial. Kira-kira begitu yang disampaikan pak Andri Suwarno.

 

Sebagian orang mungkin akan menyangkal beberapa pertanyaan tersebut dengan berbagai argumentasi.

Bisa jadi apa yang disangkalkan orang tersebut akan benar adanya, terwujud sebagaimana yang dipersepsikannya.

Karena dalam hidup ini, kita bisa memilih mahdzab yang mana pun tentang menjalani hidup.

Bisa kita memilih mahdzab hidup sederhana dalam keterbatasan.

Bisa kita memilih hidup sederhana penuh kebermanfaatan dalam keberlimpahan.

Semuanya benar.

Kita tidak akan dihianati oleh apa yang kita yakini kebenarannya.

Hanya saja, kita jgua harus siap dengan konsekuensi dari apa yang ktia yakini benar.

 

Orang mungkin berpikir bahwa kondisi terbatas finansial akan menjadi lading pahala karena kita diuji dengan kesabaran.

Namun harus siap dengan konsekuensi hidup penuh keterbatasan.

Orang mungkin berpikir bahwa memiliki uang yang sedikit asal berkah itu jauh lebih baik ketimbang uang banyak namun ndak berkah.

Itu benar.

Yang salah adalah kenapa kita membuat Batasan-batasan yang sulit untuk dipilih?

Sama-sama pengandaian, kenapa kita tidak mengandaikan sesuatu yang indah yang baik untuk kita pilih bagi hidup kita?

Kenapa kita ndak tanamkan dalam pikiran kita bahwa memiliki uang berlimpah dan penuh keberkahan jauh lebih baik dari memiliki uang yang terbatas dan ndak berkah pula?

 

“Hidup ini adalah pilihan”, kata Pak Andri. Benar sekali, dan itu adalah kalimat yang sering kali aku dengar. Buatlah pilihan-pilihan yang indah dan baik bagi hidup kita. Selebihnya, hiraukan!

Itu first lesson yang aku dapatkan dari pak Andri.

 

Second lesson yang kudapatkan dari beliau adalah bahwa untuk memiliki keberlimpahan dalam hidup, kita perlu merasa mudah untuk melepaskan. Kita perlu bersikap nothing to lose terhadap hal-hal duniawi. Sering traktir teman, beli hadiah untuk keluarga, sodakoh yang banyak dan berkesinambungan, kasih hadiah orang lain, kasih kejutan orang-orang tersayang, dan berderma secara nothing to lose.

Manusia memiliki pembawaan untuk enggan menyerahkan sesuatu yang mereka miliki, terlebih itu adalah hal yang berharga. Ndak mudah memang. Namun mengembangkan sikap mudah mengikhlaskan sesuatu adalah karakter orang-orang sukses besar.

Lesson ketiga yang ku dapatkan dari pak Andri adalah tentang kekuatan mastermind. Setiap individu yang sukses bisa dipastikan memiliki minimal seorang mentor. Mereka juga memiliki circle yang terdiri dari orang-orang hebat. Bahkan beliau meyakinkan bahwa jumlah penghasilan kita kali ini adalah hasil rata-rata dari total penghasilan lima sampai sepuluh orang yang paling dekat dengan kita. Karakter adalah cerminan dari rata-rata 5-10 orang paling dekat dengan kita.

Well-noted lessons. Thanks Pak Andri for reminding me.

 

Sabtu, 03 Desember 2022

3 Idiots dan Persahabatan Sejati

 

Pagi ini, aku putar kembali film 3 idiots karya Amir Khan. Ini film terbagus yang tak pernah bikin aku bosan. Tiap kali aku tonton, tiap kali itu pula aku meneteskan air mata. Tak habis-habisnya film ini mengaduk-aduk emosiku, meski sudah berkali-kali aku menontonnya.

Semua bagian dari film ini sempurna, menurutku. Namun bagian yang paling menarik adalah tentang persahabatan yang tulus. Rancho (yang diperankan oleh Amir Khan) adalah sosok sahabat yang penuh kasih sayang dan ketulusan. Apa pun dia lakukan demi kebaikan sahabat-sahabat terdekatnya, Raju Rastogi dan Farhan.

Sangkin inspiratifnya kisah persahabatan antara ketiga karakter tersebut, aku pernah terobsesi untuk memiliki apa yang disebut dengan sahabat sejati. Persahabatan yang seperti diperankan oleh ketiga karakter tadi. Tak masalah jika dalam kisah persahabatan itu aku berperan sebagai Rancho, Raju atau pun Farhan. Begitu lama aku terobsesi untuk memiliki persahabatan seperti itu, sejak aku menonton film tersebut di tahun 2010. Namun tak pernah aku mendapatkannya.

Kadang aku penasaran, seperti apa rasanya memiliki dan menjadi sahabat sejati. pernah aku berpikir bahwa sepertinya aku akan memiliki persahabatan yang sejati, namun kandas karena factor kurang cocoknya karakter, ego, dan gesekan kepentingan. Aku jadi berpikir, apakah persahabatan sejati layaknya yang ada dalam film 3 idiots tersebut hanyalah sebuah dogeng perfileman. Rasanya seperti susah untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Setidaknya, itu yang aku rasakan.

Kadang aku menjalin persahabatan dengan seorang teman yang aku yakini bakal menjadi teman sejati. namun persahabatan tersebut kandas karena urusan hutang. Dia berhutang, tidak mengembalikkannya dalam waktu yang lama. Hingga hal tersebut memutus komunikasi antara kami. Bukan aku yang memutus, namun entah napa dia yang sepertinya ingin menjaga jarak dariku. Padahal aku menagih dengan cara sewajarnya, toh aku memang memiliki kewajiban untuk menagihnya.

Pernah aku menjalin persahabatan dengan seorang teman yang aku kira akan menjadi sahabat sejati. namun ternyata kandas karena masalah karakter. Dia terlalu perhitungan untuk aku yang berusaha selalu dermawan. Mana ada sahabt sejati yang terlalu perhitungan. Itu bukan persahabatan sejati yang aku maksud dan inginkan.

Pernah pula aku menjalin persahabatan dengan seorang teman. Aku kira bakal menjadi sahabat sejati, namun kandas juga di tengah jalan. Sahabat sejati itu penuh mutualisme. Aliran pemberian kebaikan selayaknya dua arah, bukan searah. Yang terjadi adalah sahabatku ini terkesan oportunis. Inginnya aku beri manfaat mulu, sementara dia tidak mengimbanginya. Aku jadi merasa ini bukan model sahabat sejati yang aku dambakan. Dia terlalu pragmatis untuk disebut sebagai seorang sahabat sejati.

Lantas, sahabat sejati itu yang seperti apa? Aku masih penasaran. Aku merasa masih belum bisa mendapatkan sahabat sejati sebagaimana kisah persahabatan Rancho, Raju dan Farhan. Aku jadi bertanya-tanya kepada diri sendiri. Jangan-jangan aku sendiri lah yang memupuskan harapan terjalinnya persahabatan sejati yang selama ini aku dambakan. Aku jadi berpikir banyak hal. Andai aku tak perlu mempedulikan betapa pragmatisnya temanku tadi, mungkin aku bisa mendapatkan sahabt sejati. Namun persahabatan sejati macam apa yang terjalin dengan salah satu pihak meraih manfaat sementara yang satunya tidak sama sekali. Aku juga berpikir, andai aku ikhlaskan saja hutang yang aku beri, mungkin aku masih bisa menjadikan temanku sahabat sejati. Namun aku berpikir pula, persahabatan sejati macam apa yang bisa terwujud ketika seorang teman yang berhutang tidak beritikad baik untuk melunasi hutangnya?

Mungkin belum menjadi rejeki aku untuk memiliki sahabat sejati. hingga sekarang hal itu masih jadi misteri. Rasa penasaranku masih tinggi, seperti apa rasanya menjalin persahabatan sejati itu. Namun aku masih ingat, bahwa apa pun yang kita dambakan dengan penuh focus akan mewujud jadi nyata. Akankah sahabat sejatiku akan mewujud dalam sosok yang bernama istri? Nah…ini juga misteri, karena aku belum beristri.