Sabtu, 31 Desember 2022

Refleksi Tahun Lalu dan Resolusi Tahun Baru

 

Sungguh, aku syok ketika melihat pengumuman bahwa aku tak lolos seleksi akhir Pengajar Praktik (PP) untuk program Guru Penggerak. Jujur, aku sangat percaya diri menjalani rangkaian seleksi program pengajar praktik ini. Tidak ada satu tahapan seleksi pun yang aku ragu menjalaninya, atau yang aku merasa tidka maksimal melakukannya. Semuanya terasa mudah. Mudah bukan karena seleksinya mudah, melainkan karena aku cukup menguasai keadaan dan penuh persiapan dalam menjalaninya.

Aku memang nothing to lose terhadap seleksi program PP ini. Bahkan aku sempat khawatir kalau-kalau ketika aku lolos nanti aku akan benar-benar sangat terikat oleh program ini sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya yang penting juga. Namun aku merasa seperti tak percaya bahwa aku tak lolos. Sungguh tak percaya. Serasa ada factor eksternal yang membuatku gagal.

Ada dua tahapan seleksi program tersebut. Tahap pertama adalah seleksi berkas. Aku lolos untuk tahap seleksi ini. Cukup mudah memang, hanya melampirkan berkas-berkas yang aku sudah punya, serta menjawab beberapa pertanyaan essai seputar topic yang sudah sangat aku kuasai. Karena lolos tahap pertama, otomatis aku diarahkan untuk menjalani sleeks tahap kedua. Tahap kedua ini adalah tahap yang menurutku paling mudah. Tahap ini berisi seputar praktik mengajar dan wawancara. Sungguh hal yang menurutku sangat mudah. Meski menganggap seleksi kedua ini mudah, aku tak pernah take it for granted. Aku tetap mempersiapkan diri secara maksimal untuk bisa menjalaninya dengan prima.

Semua terasa mudah. Lantas, yang membuatku syok itu apa? Yang membuatku syok adalah aku ternyata tidak lolos di seleksi tahap kedua ini. Sungguh tidak bisa aku percaya, tapi ini terjadi. Aku mengajar selama lebih dari sepuluh tahun. Pengalamanku tentang pembelajaran sudah sangat banyak. Berbagai praktik baik telah aku lakukan. Aku melakukan upaya peningkatan  kompetensi dan profesionalitas secara berkesinambungan. Berbagai workshop, seminar, belajar otodidak, dan membaca buku dan berbagai artikel terkait berbagai topic tentang pendidikan dan pembelajaran telah aku lakukan. Berbagai program internasional seperti shortcourse sebulan di Queensland, program teacher training selama satu setengah tahun di jepang, student exchange ke Malaysia telah aku jalani. Workshop pendalaman kompetensi penulisan dan penelitian yang disponsori oleh US embassy dan SEAMEO Qitep In Language dan lembaga-lembaga bonafide lainnya telah aku ikuti. Pendidikan master in education dengan berbagai mata kuliah terkait pendidikan telah aku jalani, dan aku lulus dengan IPK cumlaude. Pendidikan terakhirku aku jalani di universitas dengan ranking 100 besar dunia, The University of Adelaide.

Kurang apa kompetensiku? Pengalaman berorganisasi pun telah aku miliki. Menjadi ketua forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris kabupaten telah aku jalani. Menjadi penulis buku teks bahasa inggris untuk jenjang Sekolah Menengah Atas juga telah aku alami. Kurang apa lagi?

Dengan semua pengalaman dan pendidikan yang telah aku miliki, ternyata aku belum dianggap meyakinkan untuk menjadi pengajar praktik program guru penggerak.

Mungkin aku terlalu optimis terhadap proses seleksi yang aku jalani. Namun optimisme tersebut bukan tanpa alasan. Aku persiapkan secara detail hal-hal yang diperlukan untuk sukses menjalani seleksi tersebut. Di tahapan praktik mengajar (microteaching) aku menyiapkan lesson plan dengan pembelajaran model flipped classroom, aku sampaikan justifikasi ilmiah atas penggunaan model tersebut. Aku tidak kekura sumber data ilmiah untuk mendukung desain pembelajaran tersebut, apalagi ingatanku masih kuat tentang hal-hal yang aku pelajari selama kuliah S2 di Australia kemarin. Akses terhadap berbagai artikel ilmiah juga masih kudapatkan. Aku meyakini bahwa persiapanku ini flawless.

Tiba gilirannya aku melakukan microteaching. Waktu yang disediakan adalah 10 menit. Aku yakin bahwa aku melaksanakan tahapan demi tahapan dalam pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip dalam merdeka belajar juga aku terapkan. Meyakini bahwa apa yang telah aku tampilkan adalah maksimal memang subjektif sih. Namun aku punya alasan untuk mengklaim bahwa aku telah menjalankan praktik mengajarklu secara maksimal.

Seleksi terakhir lebih mudah lagi, yaitu seleksi wawancara. Wawancara adalah bagian dari tahapan seleksi yang menjadi faforitku dalam setiap proses seleksi untuk program apa pun. Bukan tanpa sebab, karena aku sudah nglothok dengan how to deal with interview. Penguasaanku tentang how to exell interview sudah berbuah hasil. Terbukti aku lolos di berbagai program pengembangan diri dalam skala internasional, seperti lolos dalam seleksi program shortcourse di The University of Southern Queensland, seleksi program teacher training monbukagakusho, dan seleksi beasiswa S2 LPDP.

Kurang apa aku ini? Mohon maaf, kesannya sombong. Namun aku hanya ingin menunjukkan bahwa I have all it takes to make it. Yang bikin pahit lagi adalah ketika aku mendengar cerita dari seorang teman bahwa ada temannya yang lolos padahal temannya itu menunjukkan sikap tidak professional ketika menjalani proses seleksi. Bentuk ketidakprofesionalannya adalah dia terlambat untuk mengikuti seleksi. Bahkan, assessor harus menelponnya berkali-kali untuk mengundangnya mengikuti seleksi. Pun saat itu dia mengenakan baju yang kurang sesuai, mengenakan pakaian yang tidak formal untuk sebuah acara yang sangat formal tersebut. Profil resume dia juga biasa saja. Lolos dia!

Aku sedang tidak menyalahkan asesor yang tidak meloloskanku. Aku sedang tidak mencari celah-celah kesalahan mereka yang terlibat dalam proses seleksi. Aku hanya heran dengan kenyataan ini, bahwa aku tidak lolos. Aku berharap ada feedback dari penyeleksi, aspek-aspek apa yang membuatku tidak lolos. Namun aku tidak mendapatkannya. Di pengumuman, yang ada hanyalah kalimat yang menyatakan bahwa aku tidak lolos. Hal yang sempat membuatku syok, dan hingga kini aku masih tidak percaya dengan itu.

Ndak papa.

At least I can take a lesson from this.

I might simply be ineligible to their standards.

I have been eligible to the standards of LPDP, MEXT Japan, US Embassy’s RELO, SEAMEO Qitep in Language, and Short course in USQ. As Ssimple as that.

Tak Lolos Seleksi Pengajar Praktik

 

Sungguh, aku syok ketika melihat pengumuman bahwa aku tak lolos seleksi akhir Pengajar Praktik (PP) untuk program Guru Penggerak. Jujur, aku sangat percaya diri menjalani rangkaian seleksi program pengajar praktik ini. Tidak ada satu tahapan seleksi pun yang aku ragu menjalaninya, atau yang aku merasa tidka maksimal melakukannya. Semuanya terasa mudah. Mudah bukan karena seleksinya mudah, melainkan karena aku cukup menguasai keadaan dan penuh persiapan dalam menjalaninya.

Aku memang nothing to lose terhadap seleksi program PP ini. Bahkan aku sempat khawatir kalau-kalau ketika aku lolos nanti aku akan benar-benar sangat terikat oleh program ini sehingga tidak bisa melakukan aktivitas lainnya yang penting juga. Namun aku merasa seperti tak percaya bahwa aku tak lolos. Sungguh tak percaya. Serasa ada factor eksternal yang membuatku gagal.

Ada dua tahapan seleksi program tersebut. Tahap pertama adalah seleksi berkas. Aku lolos untuk tahap seleksi ini. Cukup mudah memang, hanya melampirkan berkas-berkas yang aku sudah punya, serta menjawab beberapa pertanyaan essai seputar topic yang sudah sangat aku kuasai. Karena lolos tahap pertama, otomatis aku diarahkan untuk menjalani sleeks tahap kedua. Tahap kedua ini adalah tahap yang menurutku paling mudah. Tahap ini berisi seputar praktik mengajar dan wawancara. Sungguh hal yang menurutku sangat mudah. Meski menganggap seleksi kedua ini mudah, aku tak pernah take it for granted. Aku tetap mempersiapkan diri secara maksimal untuk bisa menjalaninya dengan prima.

Semua terasa mudah. Lantas, yang membuatku syok itu apa? Yang membuatku syok adalah aku ternyata tidak lolos di seleksi tahap kedua ini. Sungguh tidak bisa aku percaya, tapi ini terjadi. Aku mengajar selama lebih dari sepuluh tahun. Pengalamanku tentang pembelajaran sudah sangat banyak. Berbagai praktik baik telah aku lakukan. Aku melakukan upaya peningkatan  kompetensi dan profesionalitas secara berkesinambungan. Berbagai workshop, seminar, belajar otodidak, dan membaca buku dan berbagai artikel terkait berbagai topic tentang pendidikan dan pembelajaran telah aku lakukan. Berbagai program internasional seperti shortcourse sebulan di Queensland, program teacher training selama satu setengah tahun di jepang, student exchange ke Malaysia telah aku jalani. Workshop pendalaman kompetensi penulisan dan penelitian yang disponsori oleh US embassy dan SEAMEO Qitep In Language dan lembaga-lembaga bonafide lainnya telah aku ikuti. Pendidikan master in education dengan berbagai mata kuliah terkait pendidikan telah aku jalani, dan aku lulus dengan IPK cumlaude. Pendidikan terakhirku aku jalani di universitas dengan ranking 100 besar dunia, The University of Adelaide.

Kurang apa kompetensiku? Pengalaman berorganisasi pun telah aku miliki. Menjadi ketua forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran Bahasa Inggris kabupaten telah aku jalani. Menjadi penulis buku teks bahasa inggris untuk jenjang Sekolah Menengah Atas juga telah aku alami. Kurang apa lagi?

Dengan semua pengalaman dan pendidikan yang telah aku miliki, ternyata aku belum dianggap meyakinkan untuk menjadi pengajar praktik program guru penggerak.

Mungkin aku terlalu optimis terhadap proses seleksi yang aku jalani. Namun optimisme tersebut bukan tanpa alasan. Aku persiapkan secara detail hal-hal yang diperlukan untuk sukses menjalani seleksi tersebut. Di tahapan praktik mengajar (microteaching) aku menyiapkan lesson plan dengan pembelajaran model flipped classroom, aku sampaikan justifikasi ilmiah atas penggunaan model tersebut. Aku tidak kekura sumber data ilmiah untuk mendukung desain pembelajaran tersebut, apalagi ingatanku masih kuat tentang hal-hal yang aku pelajari selama kuliah S2 di Australia kemarin. Akses terhadap berbagai artikel ilmiah juga masih kudapatkan. Aku meyakini bahwa persiapanku ini flawless.

Tiba gilirannya aku melakukan microteaching. Waktu yang disediakan adalah 10 menit. Aku yakin bahwa aku melaksanakan tahapan demi tahapan dalam pembelajaran tersebut. Prinsip-prinsip dalam merdeka belajar juga aku terapkan. Meyakini bahwa apa yang telah aku tampilkan adalah maksimal memang subjektif sih. Namun aku punya alasan untuk mengklaim bahwa aku telah menjalankan praktik mengajarklu secara maksimal.

Seleksi terakhir lebih mudah lagi, yaitu seleksi wawancara. Wawancara adalah bagian dari tahapan seleksi yang menjadi faforitku dalam setiap proses seleksi untuk program apa pun. Bukan tanpa sebab, karena aku sudah nglothok dengan how to deal with interview. Penguasaanku tentang how to exell interview sudah berbuah hasil. Terbukti aku lolos di berbagai program pengembangan diri dalam skala internasional, seperti lolos dalam seleksi program shortcourse di The University of Southern Queensland, seleksi program teacher training monbukagakusho, dan seleksi beasiswa S2 LPDP.

Kurang apa aku ini? Mohon maaf, kesannya sombong. Namun aku hanya ingin menunjukkan bahwa I have all it takes to make it. Yang bikin pahit lagi adalah ketika aku mendengar cerita dari seorang teman bahwa ada temannya yang lolos padahal temannya itu menunjukkan sikap tidak professional ketika menjalani proses seleksi. Bentuk ketidakprofesionalannya adalah dia terlambat untuk mengikuti seleksi. Bahkan, assessor harus menelponnya berkali-kali untuk mengundangnya mengikuti seleksi. Pun saat itu dia mengenakan baju yang kurang sesuai, mengenakan pakaian yang tidak formal untuk sebuah acara yang sangat formal tersebut. Profil resume dia juga biasa saja. Lolos dia!

Aku sedang tidak menyalahkan asesor yang tidak meloloskanku. Aku sedang tidak mencari celah-celah kesalahan mereka yang terlibat dalam proses seleksi. Aku hanya heran dengan kenyataan ini, bahwa aku tidak lolos. Aku berharap ada feedback dari penyeleksi, aspek-aspek apa yang membuatku tidak lolos. Namun aku tidak mendapatkannya. Di pengumuman, yang ada hanyalah kalimat yang menyatakan bahwa aku tidak lolos. Hal yang sempat membuatku syok, dan hingga kini aku masih tidak percaya dengan itu.

Ndak papa.

At least I can take a lesson from this.

I might simply be ineligible to their standards.

I have been eligible to the standards of LPDP, MEXT Japan, US Embassy’s RELO, SEAMEO Qitep in Language, and Short course in USQ. As Ssimple as that.

Aku, listrik padam, dan signal internet yang hilang

 

Hari ini, di kampungku listrik padam. Sialnya, signal internet juga raib sama sekali. Tak pelak, aktivitas online ku lumpuh. Aku tak bisa berkomunikasi melalui media digital. Sungguh tidak mudah untuk menenangkan pikiran yang sudah terlanjur tergantung pada media digital sebegitu candunya. Pikiran kalut. Emosi meledak, meski aku cukup bisa mengendalikannya. Persis, hari terakhir di tahun 2022 ini aku merasakan gejala ketidaksehatan mental yang akut, hanya karena ketiadaan internet dan listrik.

Mungkin besok semua akan kembali normal. Bisa pagi, siang atau pun malam. Mungkin. Tidak ada yang menjamin. Namun sehari ini saja emosi dan pikiranku sudah kacau, gegara koneksi internet hilang. Hidup di kampung ini, aku harus memiliki kesabaran lebih terhadap keterbatasan kondisi. Persetan dengan ocehan orang yang berkata bahwa aku harus stay di kampong untuk mengabdikan diri kepada masyarakat di kampong. Mungkin aku bisa mengabdi. Namun aku tidak sehat secara mental, emosional dan psikologis. Lantas apa makna dari pengabdian tersebut jika aku tidak enjoy my life?

Di kampong, hidup terasa tenang. Begitu kata orang kota yang terbiasa hidup di lingkungan penuh hingar bingar keramaian. Memang benar, di kampong hidup terasa tenang. Namun jika tinggal di kampong dalam waktu yang lama, tidak nyaman juga rasanya. Ketenangan dan kesunyian butuh takaran. Ia adalah penyeimbang dari hidup keseharian yang penuh dengan kesibukan dan keramaian. Namun  ketenangan dan kesunyian yang melebihi takaran hanya akan berubah menjadi rasa bosan, dan ujungnya wellbeing juga yang kena.

Di satu hari tanpa internet dan listrik ini  aku merenungkan banyak hal. Manusia (aku) sudah sebegitu tergantungnya dengan akses internet. Begitu frustasi rasanya ketika koneksi internet hilang. Aku jadi membayangkan bilamana suatu hari nanti internet benar-benar sudah hilang atau dihilangkan. Tidak ada yang tidak mungkin. Apalagi internet adalah ciptaan manusia. Dan manusia adalah makhluk yang sarat dengan kepentingan. Aku merasa harus belajar menyesuaikan diri dengan keadaan tanpa internet. Bagaimana tetap merasakan kebermaknaan waktu tanpa internet.

Dulu, menghabiskan hari tanpa internet adalah hal biasa. Malah orang masih menyangsikan manfaat dari keberadaan internet. Itu dulu, zaman ketika orang masih bisa bahagia dengan berbagai aktivitas tanpa internet. Sekarang, orang jualan bakso di kampong saja mengandalkan internet untuk mempromosikan dagangannya. Orang ingin bertukar cangkul saja berkomunikasi melalui sarana internet. Orang mau bersilaturahim saja memberitahu orang yang akan didatangi melalui sarana internet. Kini, internet benar-benar seperti darah. Ia menyatu dengan tubuh, dan terasa sangat fatal ketika ada masalah dengannya.

Bukan hanya rasa bosan yang membuatku benci dengan tiadanya internet hari ini. Aku ada urusan yang sangat penting yang mengharuskanku untuk memiliki akses internet. Bisa saja aku pergi ke kecamatan sebelah dengan menempuh perjalanan selama satu jam. Namun, cuaca juga sedang kurang bagus. Hujan deras disertai angin kencang dan hawa dingin yang merasuk ke tulang sangatlah tidak mendukung untuk aku mengambil opsi tersebut.

Hari ini, aku dipaksa belajar tentang tawakkal. Tentang menerima apa pun yang terjadi. Jika kondisi ini berakibat tidak menguntungkan bagiku, maka aku terima. Apa pun aku terima dan aku yakini itu sebagai kehendak Alloh SWT.

 Hingga detik aku merangkai tulisan ini, aku masih berjibaku dengan rasa suntuk atas matinya listrik serta tiadanya internet. Ku tengok indicator batre laptop yang menunjukan ketersediaan batre masih sekitar 40%. Biasanya masih bisa dipakai selama kurang lebih 20 menit. Bisa lebih sedikit, bisa kurang.

Aku, padamnya listrik, hilangnya signal internet, hujan beserta angin dan hawa dingin, dan kegalauan.

Alhamdulillah..bersyukur masih tersisa batre di laptopku yang memungkinkanku untuk mencurahkan unek-unek ini.

Kamis, 29 Desember 2022

Keresahan= awal dari perubahan?

 

Dulu aku sempat berpikir bahwa memiliki keresahan atas kondisi hidup itu bagus. Keresahan berarti kita mau berpikir tentang nasib kita. Keresahan berarti awal dari pergerakan. Keresahan berarti awal dari perubahan. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa resah semata tanpa adanya upaya untuk berubah hanya menjadi keresahan semata. Ia tidak merubah apa-apa.

Sadar akan kondisi hidup yang tidak bagus itu penting. Setidaknya itu sering jadi titik awal seorang melakukan perubahan. Namun, yang salah adalah ketika kita berhenti di titik keresahan. Ada hal penting lain yang harus dilakukan untuk memiliki perubahan menuju perbaikan hidup. Yaitu kemauan dan kesungguhan untuk berproses menuju perbaikan.

Jika dirimu resah atas keadaan, cari cara untuk berubah menjadi lebih baik. Praktikkan cara-cara tersebut. Nikmati dan jalani prosesnya. Tidak ada hal yang instan. Semua butuh proses. Uang 100 miliar berawal dari satu rupiah. Puncak gunung tertinggi berawal dari langkah kaki pertama menapaki lereng gunung. 1000 halaman buku berawal dari selesainya halaman pertama. Begitu seterurnya, yang intinya adalah semua pencapaian apa pun berawal dari langkah pertama.

Sedari tahun 2010 aku menuliskan kata-kata bijak. Aku kumpulkan ke dalam file khusus yang aku update setiap ada kesempatan dan setiap ada mood. Ku kira semua itu akan merubah hidupku secara otomatis. Sepuluh tahun lebih berselang, banyak perubahan hidup yang aku alami, memang. Namun masih banyak hal-hal besar yang belum aku capai, permasalahan-permasalahan besar yang belum aku selesaikan. Artinya apa? Artinya adalah kunci dari perubahan adalah bergerak. Artinya adalah mengetahui saja tidaklah cukup. Mengetahui harus dibarengi dengan kemauan untuk melakukan.

Masih ada usia tersisa. Harus digunakan untuk menciptakan banyak kebaikan bagi sesama. Itulah yang akan menimbulkan kebahagiaan. Rasa bahagiaku sekarang sudah lain. Sudah tidak lagi berorientasi pada diri sendiri, melainkan orang lain. Bukan berarti aku bahagia ketika membuat semua orang senang, bukan. Melainkan aku bahagia karena banyaknya kebaikan yang aku berikan kepada mereka. Jalan di kampong masih butuh uluran dana untuk diperbaiki. Butuh 3-4 miliar untuk menyelesaikannya. Pusat-pusat ekonomi di kampong perlu dibangun. Butuh miliaran untuk membangunnya. Sekolah Pemimpin dan pesantren di kampung perlu didirikan. Pelru miliaran untuk mendirikannya. Perpustakaan di kampong perlu dibangun, agar masyarakat bisa memanfaatkannya, sehingga mereka menjadi warga yang melek baca.

Boleh lah kamu pelihara keresahan. Namun kamu harus juga bergerak, agar keresahanmu berubah menjadi perubahan positif.

 

Minggu, 25 Desember 2022

Aku Belajar Dari Teja

 



Di kunjunganku ke Jogja kali ini, aku mendapatkan pelajaran berharga. 

Namanya Teja, seorang sahabat yang ku kenal dari dunia maya. Aku pertama kali bertemu dengannya pada tahun 2020 di Jogja, setelah beberapa tahun sebelumnya berteman dengannya di dunia maya tanpa pernah bersua. Ini kali kedua aku bertemu dengannya, mumpung aku berkunjung ke Jogja. Sebagaimana yang aku dapati saat pertama kali bertemu dengannya, pertemuan kali ini aku mendapatkan begitu banyak pelajaran berharga darinya. Tentang prinsip menjalani hidup, tentang pernikahan, tentang keuangan, tentang persahabatan, tentang menjadi seorang ayah dan suami, tentang mengelola kekayaan, tentang rasa syukur, tentang berbakti kepada orang tua.

"Aku terimakasih banget sama kamu, Ja. Kamu sudah memberiku banyak hal berharga, terutama ilmu. Aku juga minta maaf, karena aku tidak memberimu apa-apa. Orang bijak bilang bahwa persahabatan yang baik adalah yang ada mutualisme dalam hal memberikan value. Harus ada reciprocal give and take. Sedangkan aku hanya mendapatkan banyak value dan kebaikan darimu tanpa aku mengimbangi memberikan sesuatu padamu," begitu kataku padanya, saat makan siang di sebuah warung steak.

Dia menjawab dengan meyakinkanku bahwa aku tak perlu merasa sungkan seperti itu. Menurutnya, pada dasarnya, memberi adalah sebuah ungkapan rasa syukur yang tulus atas segala karunia Tuhan. Tak perlu memberi dengan harapan meraih balasan dari yang diberi. Cukup anggap itu sebagai pajak atas segala karunia tak terhingga yang dikaruniakan oleh Alloh SWT. 

Ini pelajaran spiritual banget buatku, yang disampaikan oleh orang yang menjalani hidupnya secara inspiratif. 

Momen pengubah hidup Teja

Pelajaran selanjutnya yang aku dapatkan dari dia adalah tentang konsep rejeki. Dia bercerita bagaimana awal mulanya dia memulai perjalanannya sebagai seorang pengusaha. Dulu, dia adalah seorang karyawan sebuah perusahaan swasta yang bergerak dalam dunia ekspor impor. Beruntungnya dia, di pekerjaan tersebut dia mendapatkan tugas yang berkaitan dengan hubungan internasional. Dia sering ditugasi oleh perusahaan tempat dia bekerja untuk melakukan negosiasi dan meeting dengan calon client perusahaannya di luar negeri. 

Turning point perubahan hidupnya terjadi saat dia melakukan business trip ke Hongkong. Sebuah kejadian blessing in disguise terjadi. Ceritanya, saat dia selesai dengan urusan pekerjaannya di Hongkong, dia dibelikan tiket pesawat untuk pulang ke Indonesia. Namun, tiket tersebut salah jadwal. Harusnya dia pulang di hari Sabtu, namun tiket pesawat sudah terlanjur issued untuk hari senin berikutnya. Dua hari lagi dia harus extend stay di Hongkong. Menyukai traveling, dia sempatkan mengunjungi Kota Makau, yang berjarak seperjalanan kapal Feri selama 20 menit dari Hongkong. 

Saat berada di sebuah lobby hotel di Makau, dia bertemu dengan orang asing yang nantinya mengubah cerita hidupnya. Orang tersebut berasal dari negara eropa, dan rupanya adalah seorang pengusaha biro perjalanan wisata. Setelah berkenalan dan berbincang-bincang dengan topik khas orang yang baru berkenalan, orang tersebut mengajukan sebuah pertanyaan yang membuat Teja berpikir. "Why don't you try to be an entrepreneur?". Teja menjawab bahwa dia ingin menjadi seorang pengusaha, namun dia tidak tau caranya. Terlebih, dia hanya seorang pegawai perusahaan yang setiap harinya bergelut dengan pekerjaan yang menjadi tupoksinya. 

Bukan hanya bertanya, orang tersebut menawarinya proyek sekaligus. "If you wanna have a try, I will let you handle 30 tourists from my country to visit Indonesia. Just make them Happy, bring them to the places that you thing they will spend their time fascinatingly." 

Dia kaget, merasa seperti mendapatkan anugerah secara tak terduga sekaligu meraih tantangan. Ada perasaan "it is now or never at all". Itu adalah kesempatan berlian, namun di waktu yang sama dia juga berpikir bahwa dia belum siap. Hingga akhirnya dia putuskan untuk mengambil kesempatan berharga tersebut. 

Selepas dari pertemuan dengan orang erpa tersebut, Teja langsung menghubungi temannya yang merupakan seorang pegiat dunia biro perjalanan di Bali. Dia konsultasi dan bekerjasama dengan temannya tersebut. Akhirnya, proyek pertama ini berhasil terlaksana dengan sukses. Dia berpikir, "ternyata mudah juga ya melakukan pekerjaan ini. Hanya dengan membuat orang senang, kemudian mendapatkan duit yang banyak begitu mudahnya". Mulai muncul rasa percaya diri yang membuncah. Energi keyakinan semakin mencapai titik kulminasinya saat dia dipercaya untuk menangani proyek kedua, ketiga dan keempat. Setelah semua terlaksana dengan sukses, terbersit dalam pikirannya untuk menjalani usaha tersebut secara mandiri. 

Persis di tahun 2015, atau setahun setelah momen pengubah hidupnya, Teja memulai kegiatan wirausahanya secara mandiri. Teja wisata berdiri. Seiring dengan berjalannya waktu, usahanya semakin berkembang. Brand Teja Wisata semakin dikenal oleh banyak kalangan. Manuver kegiatan usahanya semakin canggih. Networking terus dia upayakan. Pembenahan di berbagai lini perusahaannya terus dilakukan. Teja Wisata berubah menjadi kompetitor tangguh di tengah ketatnya persaingan usaha di bidang biro perjalanan wisata di Indonesia. 

Rejeki adalah karunia Alloh

Ini bukan kali pertama aku mendapati cerita tentang bagaimana seseorang meraih jalan rejeki berlimpah. Dari semua cerita tersebut, aku melihat sebuah pola. Ada beberapa kesimpulan yang aku ambil. Pertama, rejeki adalah murni kuasa prerogatif Alloh SWT. Banyak orang yang begitu dengan mudahnya ditunjukkan jalan olehNya untuk mendapatkan rejeki yang berlimpah. Sama sekali bukan karena hebatnya orang tersebut, namun karena memang Alloh yang menetapkan waktu untuknya meraih rejeki tersebut dengan cara yang ditunjukkan oleh Alloh SWT.

Kedua, ada kesamaan pola yang dialami orang-orang yang mendapati rejeki berlimpah. Mereka telah menghabiskan waktu dan proses untuk berusaha. Berbagai kegagalan telah mereka lalui. Hal ini nampak sebagai sebuah sunatulloh, bahwa manusia harus melakukan usaha secar giat terlebih dahulu, sebelum Alloh akhirnya menunjukkan kepada mereka jalan rejeki. Aku sering mendengar kata-kata klise yang berbunyi "tugas kita adalah berusaha. selebihnya Alloh yang menentukan". Kata-kata tersebut benar adanya. Mungkin karena kita terlalu sering mendengarnya, kita menganggap bahwa hal tersebut adalah klise. Namun ternyata benar adanya, bahwa kita harus berusaha dulu, jika kita berharap keberhasilan. Tugas kita bukan memberhasilkan diri, melainkan berusaha dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Kita tidak bisa memberhasilkan diri, melainkan Alloh SWT lah yang berkuasa untuk membuat kita berhasil.

Ketiga, ada pola yang sama terjadi pada orang-orang yang sukses secara finansial, yaitu mereka pada umumnya memiliki suatu dorongan untuk berhasil bukan karena uang, melainkan karena ingin bermanfaat dan memiliki nilai. Dengan keberlimpahan, mereka meyakini bahwa mereka bisa mewujudkan berbagai impian serta berbuat banyak kebaikan.

Kesimpulan akhir

Banyak orang sukses yang awalnya tidak tahu menahu bagaimana mencapai kesuksesan tersebut. Alloh SWT menunjukkan jalan. Namun, sebelum mendapatkan jalan tersebut, orang harus sudah siap secara mental dan determinasi. Mereka harus sudah siap untuk sukses. Kesiapan tersebut tidak ditunjukkan dengan kata-kata, melainkan sikap mau menjalani proses apa pun untuk bisa meraih sukses. Siap untuk belajar. Siap untuk berproses. Ada pepatah mengatakan, "Jika seseorang sudah siap menjadi murid, maka guru akan datang dengan sendirinya". Mungkin kita tidak tau, kepada siapa kita bisa belajar. Berdasarkan pepatah tersebut, somehow kita akan mendapatkan seorang mentor hanya ketika kita sudah siap. 

Terimakasih, Teja.

Semoga inspirasi yang kau berikan berbalas pahala dan makin banyaknya karunia penuh keberkahan dari Alloh SWT.


Selasa, 13 Desember 2022

Financial abundance, nothing to lose, and mastermind

 

Setengah hari mengikuti seminar Bersama pak Andri Suwarno telah membuka pikiranku. Tak ada hal baru dalam materi yang beliau sampaikan, sebenarnya. Hanya saja, hal-hal yang penting untuk hidup seringkali kita anggap klise karena sudah sebegitu familiarnya kita terhadap hal-hal penting tersebut.

Hal yang beliau sampaikan adalah soal mindset finansial. Beliau menjadikan diri sendiri sebagai contoh betapa mindset yang positif tentang uang adalah akar dari keberlimpahan finansial.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih khusyuk dalam beribadah.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih percaya diri dalma bergaul.

Dengan keberlimpahan finansial, kita lebih berani untuk beramar ma’ruf nahi mungkar.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih tenang dalam menghadapi tekanan.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa berbuat kebaikan jauh lebih banyak dan lebih besar.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa mendapatkan circle yang penuh dengan orang-orang baik dan positif.

Dengan keberlimpahan finansial, keluarga kita bisa jauh lebih Bahagia.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa jauh lebih Bahagia menjalani hidup.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa lebih sehat.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa menjadi pribadi yang lebih ikhlas.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa menjadi individu yang lebih dicintai oleh sesame.

Dengan keberlimpahan finansial, kita bisa menjadi lebih cerdas dalam berpikir.

Dengan keberlimpahan finansial, kesehatan psikologis, emosi, mental dan fisik kita bisa jauh lebih terjamin.

Dengan keberlimpahan finansial, hidup kita terasa jauh lebih nyaman.

Dengan keberlimpahan finansial, akan jauh lebih banyak kebaikan yang bisa kita lakukan untuk orang lain.

Dengan keberlimpahan finansial, kita akan terhindar dari urusan-urusan sepele yang menguras energi pikiran.

Denagn keberlimpahan finansial, kebahagiaan akhirat mudah didapat.

Dengan keberlimpahan finansial, syurga jauh lebih mudah diraih.

 

Itulah yang akan terasa dalam hidup ketika kita memiliki keberlimpahan finansial. Kira-kira begitu yang disampaikan pak Andri Suwarno.

 

Sebagian orang mungkin akan menyangkal beberapa pertanyaan tersebut dengan berbagai argumentasi.

Bisa jadi apa yang disangkalkan orang tersebut akan benar adanya, terwujud sebagaimana yang dipersepsikannya.

Karena dalam hidup ini, kita bisa memilih mahdzab yang mana pun tentang menjalani hidup.

Bisa kita memilih mahdzab hidup sederhana dalam keterbatasan.

Bisa kita memilih hidup sederhana penuh kebermanfaatan dalam keberlimpahan.

Semuanya benar.

Kita tidak akan dihianati oleh apa yang kita yakini kebenarannya.

Hanya saja, kita jgua harus siap dengan konsekuensi dari apa yang ktia yakini benar.

 

Orang mungkin berpikir bahwa kondisi terbatas finansial akan menjadi lading pahala karena kita diuji dengan kesabaran.

Namun harus siap dengan konsekuensi hidup penuh keterbatasan.

Orang mungkin berpikir bahwa memiliki uang yang sedikit asal berkah itu jauh lebih baik ketimbang uang banyak namun ndak berkah.

Itu benar.

Yang salah adalah kenapa kita membuat Batasan-batasan yang sulit untuk dipilih?

Sama-sama pengandaian, kenapa kita tidak mengandaikan sesuatu yang indah yang baik untuk kita pilih bagi hidup kita?

Kenapa kita ndak tanamkan dalam pikiran kita bahwa memiliki uang berlimpah dan penuh keberkahan jauh lebih baik dari memiliki uang yang terbatas dan ndak berkah pula?

 

“Hidup ini adalah pilihan”, kata Pak Andri. Benar sekali, dan itu adalah kalimat yang sering kali aku dengar. Buatlah pilihan-pilihan yang indah dan baik bagi hidup kita. Selebihnya, hiraukan!

Itu first lesson yang aku dapatkan dari pak Andri.

 

Second lesson yang kudapatkan dari beliau adalah bahwa untuk memiliki keberlimpahan dalam hidup, kita perlu merasa mudah untuk melepaskan. Kita perlu bersikap nothing to lose terhadap hal-hal duniawi. Sering traktir teman, beli hadiah untuk keluarga, sodakoh yang banyak dan berkesinambungan, kasih hadiah orang lain, kasih kejutan orang-orang tersayang, dan berderma secara nothing to lose.

Manusia memiliki pembawaan untuk enggan menyerahkan sesuatu yang mereka miliki, terlebih itu adalah hal yang berharga. Ndak mudah memang. Namun mengembangkan sikap mudah mengikhlaskan sesuatu adalah karakter orang-orang sukses besar.

Lesson ketiga yang ku dapatkan dari pak Andri adalah tentang kekuatan mastermind. Setiap individu yang sukses bisa dipastikan memiliki minimal seorang mentor. Mereka juga memiliki circle yang terdiri dari orang-orang hebat. Bahkan beliau meyakinkan bahwa jumlah penghasilan kita kali ini adalah hasil rata-rata dari total penghasilan lima sampai sepuluh orang yang paling dekat dengan kita. Karakter adalah cerminan dari rata-rata 5-10 orang paling dekat dengan kita.

Well-noted lessons. Thanks Pak Andri for reminding me.

 

Sabtu, 03 Desember 2022

3 Idiots dan Persahabatan Sejati

 

Pagi ini, aku putar kembali film 3 idiots karya Amir Khan. Ini film terbagus yang tak pernah bikin aku bosan. Tiap kali aku tonton, tiap kali itu pula aku meneteskan air mata. Tak habis-habisnya film ini mengaduk-aduk emosiku, meski sudah berkali-kali aku menontonnya.

Semua bagian dari film ini sempurna, menurutku. Namun bagian yang paling menarik adalah tentang persahabatan yang tulus. Rancho (yang diperankan oleh Amir Khan) adalah sosok sahabat yang penuh kasih sayang dan ketulusan. Apa pun dia lakukan demi kebaikan sahabat-sahabat terdekatnya, Raju Rastogi dan Farhan.

Sangkin inspiratifnya kisah persahabatan antara ketiga karakter tersebut, aku pernah terobsesi untuk memiliki apa yang disebut dengan sahabat sejati. Persahabatan yang seperti diperankan oleh ketiga karakter tadi. Tak masalah jika dalam kisah persahabatan itu aku berperan sebagai Rancho, Raju atau pun Farhan. Begitu lama aku terobsesi untuk memiliki persahabatan seperti itu, sejak aku menonton film tersebut di tahun 2010. Namun tak pernah aku mendapatkannya.

Kadang aku penasaran, seperti apa rasanya memiliki dan menjadi sahabat sejati. pernah aku berpikir bahwa sepertinya aku akan memiliki persahabatan yang sejati, namun kandas karena factor kurang cocoknya karakter, ego, dan gesekan kepentingan. Aku jadi berpikir, apakah persahabatan sejati layaknya yang ada dalam film 3 idiots tersebut hanyalah sebuah dogeng perfileman. Rasanya seperti susah untuk mewujudkannya dalam kehidupan nyata. Setidaknya, itu yang aku rasakan.

Kadang aku menjalin persahabatan dengan seorang teman yang aku yakini bakal menjadi teman sejati. namun persahabatan tersebut kandas karena urusan hutang. Dia berhutang, tidak mengembalikkannya dalam waktu yang lama. Hingga hal tersebut memutus komunikasi antara kami. Bukan aku yang memutus, namun entah napa dia yang sepertinya ingin menjaga jarak dariku. Padahal aku menagih dengan cara sewajarnya, toh aku memang memiliki kewajiban untuk menagihnya.

Pernah aku menjalin persahabatan dengan seorang teman yang aku kira akan menjadi sahabat sejati. namun ternyata kandas karena masalah karakter. Dia terlalu perhitungan untuk aku yang berusaha selalu dermawan. Mana ada sahabt sejati yang terlalu perhitungan. Itu bukan persahabatan sejati yang aku maksud dan inginkan.

Pernah pula aku menjalin persahabatan dengan seorang teman. Aku kira bakal menjadi sahabat sejati, namun kandas juga di tengah jalan. Sahabat sejati itu penuh mutualisme. Aliran pemberian kebaikan selayaknya dua arah, bukan searah. Yang terjadi adalah sahabatku ini terkesan oportunis. Inginnya aku beri manfaat mulu, sementara dia tidak mengimbanginya. Aku jadi merasa ini bukan model sahabat sejati yang aku dambakan. Dia terlalu pragmatis untuk disebut sebagai seorang sahabat sejati.

Lantas, sahabat sejati itu yang seperti apa? Aku masih penasaran. Aku merasa masih belum bisa mendapatkan sahabat sejati sebagaimana kisah persahabatan Rancho, Raju dan Farhan. Aku jadi bertanya-tanya kepada diri sendiri. Jangan-jangan aku sendiri lah yang memupuskan harapan terjalinnya persahabatan sejati yang selama ini aku dambakan. Aku jadi berpikir banyak hal. Andai aku tak perlu mempedulikan betapa pragmatisnya temanku tadi, mungkin aku bisa mendapatkan sahabt sejati. Namun persahabatan sejati macam apa yang terjalin dengan salah satu pihak meraih manfaat sementara yang satunya tidak sama sekali. Aku juga berpikir, andai aku ikhlaskan saja hutang yang aku beri, mungkin aku masih bisa menjadikan temanku sahabat sejati. Namun aku berpikir pula, persahabatan sejati macam apa yang bisa terwujud ketika seorang teman yang berhutang tidak beritikad baik untuk melunasi hutangnya?

Mungkin belum menjadi rejeki aku untuk memiliki sahabat sejati. hingga sekarang hal itu masih jadi misteri. Rasa penasaranku masih tinggi, seperti apa rasanya menjalin persahabatan sejati itu. Namun aku masih ingat, bahwa apa pun yang kita dambakan dengan penuh focus akan mewujud jadi nyata. Akankah sahabat sejatiku akan mewujud dalam sosok yang bernama istri? Nah…ini juga misteri, karena aku belum beristri.

Sabtu, 26 November 2022

Peran PGRI dalam Pengarusutamaan Wellbeing Guru

 


Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) adalah sebuah organisasi profesi keguruan yang memiliki posisi yang sangat strategis. Keberadaan organisasi ini tidak hanya berpengaruh secara positif terhadap guru, namun juga terhadap kualitas pendidikan di Indonesia. Peran yang ditunjukkan oleh PGRI sudah begitu nyata dampaknya bagi para guru pada khususnya dan pendidikan di Indonesia pada umumnya.

Kiprah PGRI selama ini nampak dalam bentuk advokasi-advokasi yang berkaitan dengan hajat hidup para guru. Terealisasinya anggaran pendidikan 20% dari Anggaran Pengeluaran dan Belanja Negara (APBN), terwujudnya sertifikasi guru, dan pengangkatan tenaga honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di beberapa periode waktu sedikit banyak merupakan hasil dari advokasi yang dilakukan oleh PGRI. Upaya positif tersebut sudah semestinya dilakukan oleh PGRI, mengingat isu-isu penting yang terkait dengan pendidikan memang menjadi pusat perhatian PGRI.

Di antara sekian banyak isu dalam dunia pendidikan, ada satu isu yang sangat penting namun sepertinya masih luput dari perhatian PGRI. Isu tersebut adalah wellbeing guru. Di negara-negara dengan sistem pendidikan yang sudah maju, wellbeing guru mendapat perhatian serius. Perhatian tersebut termanifestatikan dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang berpihak pada wellbeing guru. Misalnya, kebijakan cuti tahunan, penyediaan sarana prasana yang menunjang efektivitas mengajar, proporsi beban kerja guru, program pengembangan kompetensi guru dan lainnya.

Di indonesia, isu tentang wellbeing belum menjadi perhatian utama para stakeholder pendidikan. Setidaknya, hal tersebut tercermin dalam kebijakan di sektor pendidikan yang belum mengarusutamakan wellbeing guru. Ada berbagai kemungkinan yang membuat wellebing guru belum menjadi perhatian yang serus di dunia pendidikan di Indonesia. Kemungkinan pertama adalah bahwa konsep wellbeing dianggap masih belum jelas. Bahkan, secara harfiah, belum ada padanan kata wellbeing dalam bahasa Indonesia. Dalam berbagai literatur, kata wellebing masih diadopsi secara utuh dan ditulis dengan cetak miring sebagai istilah serapan dari bahasa asing. Yang kedua, perhatian dunia penelitian dalam bidang pendidikan di Indonesia terhadap topik tentang wellbeing guru belum begitu masif. Kurangnya penelitian dan publikasi ilmiah yang berkaitan dengan wellbeing guru membuat stakeholder di sektor pendidikan kurang memiliki kesadaran akan pentingnya wellbeing. Sementara, hasil penelitian biasanya menjadi salah satu dasar atau referensi dalam perumusan kebijakan dalam berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan.

Berkaitan dengan definisi, Turner dan Theilking (2019) mengartikan wellbeing guru sebagai kesehatan mental, emosional, psikologis, dan fisik seorang individu dalam menjalankan profesinya sebagai guru. Sementara, Seligman (2018) menyatakan bahwa wellbeing guru bisa dikatakan 2 bagus ketika mereka mendapatkan berbagai aspek yang mencakup emosi positif, flow dalam bekerja, kualitas hubungan antar individu dalam komunitas, kebermaknaan dari apa yang dikerjakan, serta tercapainya keberhasilan (achievement).

Lantas, apa pentingnya mengarusutamakan wellbeing guru? Mengapa wellbeing guru harus dieprjuangkan? Ada berbagai hasil penelitian yang meyakinkan pentingnya wellbeing guru. Yang pertama, wellbeing guru terbukti berkorelasi positif terhadap performa guru dalam mengajar. Wellbeing guru berpengaruh terhadap efektivitas pembelajaran (Hwang et al, 2017; McCallum & Price, 2015; Mehdinezhad, 2012). Sementara, guru yang mengalami gejala psikologis seperti stress, depresi, burnout, cenderung kurang efektif dalam mengajar (Pillay et al, 2005). Yang kedua, wellbeing guru bisa menjadi mediating factor (faktor mediasi) yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap performa dan hasil belajar peserta didik (Adler, 2016; Roffey, 2012). Secara logis, efektivitas pembelajaran yang diciptakan oleh guru dengan wellbeing yang bagus akan berpengaruh terhadap output belajar peserta didik. Yang ketiga, guru adalah manusia yang secara kodrat membutuhkan keseimbangan, atau yang sering dikenal dengan istilah work-life balance. Ketika keseimbangan hidup dan bekerja tidak terpenuhi, tentu ada efek negatif yang berpotensi muncul. Konsekuensinya, efek negatif tersebut berpengaruh tidak hanya terhadap kehidupan individual guru, namun juga pekerjaan mereka.

Hal berikutnya yang harus didiskusikan adalah bagaimana langkah kongkrit PGRI dalam memperjuangkan terakomodirnya wellbeing guru. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh PGRI adalah mengidentifikasi berbagai isu faktual yang berkaitan dengan wellbeing guru, baik di level daerah maupun nasional. Contoh isu faktual terkait wellbeing guru adalah tentang kebijakan terkait hari libur untuk guru. Sejak adanya desentralisasi kebijakan pendidikan, berbagai daerah di Indonesia merumuskan kebijakan yang berbeda dari daerah lain terkait cuti tahunan guru. Di beberapa wilayah seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta, guru jenjang sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sekolah menengah Kejuruan (SMK) mendapatkan hak cuti sejumlah 12 hari per tahun. Hal tersebut sama artinya dengan guru diperlakukan sebagaimana ASN pada umumnya, atau pegawai kantoran swasta pada umumnya. Banyak guru yang mengeluhkan kebijakan tersebut, terlebih tidak ada fleksibilitas terkait waktu kapan hak cuti tersebut bisa diklaim. Contoh isu faktual lain adalah tentang kesejahteraan finansial guru. Kesejahteraan finansial adalah isu faktual yang sangat berpengaruh terhadap wellbeing guru dan berimbas pada performa mengajar mereka. Selain isu-isu tersebut, masih banyak isu faktual lain terkait wellbeing guru yang bisa diidentifikasi oleh PGRI.

Setelah mengidentifikasi masalah, hal yang perlu dilakukan oleh PGRI adalah melakukan advokasi terhadap otoritas terkait, baik di level daerah maupun pusat, sesuai dengan konteks geografis dimana permasalahan tersebut berada. Sebagai sebuah organisasi profesi yang legal dan strategis, PGRI tentunya diberi ruang oleh pemerintah untuk menyampaikan aspirasinya. Ruang penyampaian aspirasi ini lah yang bisa menjadi celah bagi PGRI untuk menyuarakan kebijakan 3 pengarusutamaan wellbeing bagi guru. hal ini merupakan salah satu bentuk tindakan konkrit PGRI dalam memperjuangkan nasib guru.

 

Sumber Pustaka

Adler, A. (2016). Teaching well-being increases academic performance: Evidence from Bhutan, Mexico, and Peru. University of Pennsylvania.

Hwang, Y. S., Bartlett, B., Greben, M., & Hand, K. (2017). A systematic review of mindfulness interventions for in-service teachers: A tool to enhance teacher wellbeing and performance. Teaching and Teacher Education, 64, 26-42.

McCallum, F., & Price, D. (2015). Teacher wellbeing. In Nurturing wellbeing development in education (pp. 122-142). Routledge.

Mehdinezhad, V. (2012). Relationship between High School teachers’ wellbeing and teachers’ efficacy. Acta Scientiarum. Education, 34(2), 233-241. Roffey, S. (2012). Pupil wellbeing—Teacher wellbeing: Two sides of the same coin?. Educational and child psychology, 29(4), 8.

Seligman, M. (2018). PERMA and the building blocks of well-being. The journal of positive psychology, 13(4), 333-335.

Turner, K., & Theilking, M. (2019). Teacher wellbeing: Its effects on teaching practice and student learning. Issues in Educational Research, 29(3), 938-960.

Pillay, H., Goddard, R., & Wilss, L. (2005). Well-being, burnout and competence: implications for teachers. Australian journal of teacher education, 30(2), 21-31. 4

Penulis Nama : Dahlan, S.Pd Instansi: SMA N 1 Paninggaran, Kab. Pekalongan, Jawa Tengah

Jumat, 18 November 2022

Honeymoon Teknologi Komunikasi

 


Ibuku sedang honeymoon teknologi. Beliau sedang senang-senangnya “me-time” dengan ponsel pintar. Dikit-dikit, telpon anak-anaknya. Dikit-dikit telpon saudara jauh yang kebetulan nomornya beliau simpan. Bagi kita-kita yang sudah terbiasa menggunakan ponsel, tentu hal itu menggelikan. Namun bagi seseorang yang baru honeymoon teknologi digital seperti ibuku, tentu itu adalah hal yang sangat membahagiakan. Dan aku pun bahagia melihat beliau bahagia dengan ponselnya. Sepertinya sudah saatnya TV dirumah diganti dengan Smart TV. 

Aku menyesal, kenapa dulu aku sempat tak yakin bahwa orang tuaku bisa akrab dengan tekologi. Dari dulu, ponsel yang aku belikan untuk mereka adalah ponsel konvensional yang hanya bisa dipakai untuk berkomunikasi via pesan dan telpon manual. Namun ternyata melek digital itu bisa dipelajari oleh siapa saja, termasuk oleh orang tua. Apalagi kalau orang tua kita belum tua-tua amat. Andai aku tahu sedari dulu, tentu aku tidak repot-repot untuk top up Skype yang cukup mahal, hanya agar bisa menelpon orang tua sewaktu aku masih berada di Jepang dan Australia.

Memang benar bahwa never take anything for granted. Sekarang aku jadi berpikir bahwa sepertinya boleh juga kalo aku ajari Bapak Ibuku bahasa Inggris. Biar mereka tidak repot lagi menjalin komunikasi dengan teman-temanku dari Negara luar ketika mereka datang berkunjung. Ini bakal jadi ide gila sih. Secara, mengajari bahasa asing kepada murid-muridku yang masih remaja saja cukup susah, terutama yang motivasi belajar bahasa asingnya rendah. Apalagi ini orang tua. Tapi kesalahan yang sama tidak boleh terulang. Aku tak boleh take my parents for granted. Barangkali yang terjadi adalah sama seperti bagaimana orang tuaku bisa menggunakan ponsel pintar, yaitu mereka sebenarnya bisa berbahasa asing jika diajari dengan sabar dan diyakini bisa.

“Kita tidak pernah tau bahwa sesuatu bisa terwujud hingga kita memastikannya”

Minggu, 13 November 2022

Mengatasi Bullying di Sekolah


Seorang siswa kelas 11 datang ke ruang Bimbingan dan Konseling. Dia mengeluhkan perlakuan beberapa temannya yang dia nilai selalu membullynya. Sambil sesenggukan menangis, dia mengungkapkan segala keluh kesahnya. Anak ini berperawakan kecil, dan itu salah satu hal yang menjadi objek bullyannya, katanya. Dia bercerita bahwa teman-temannya sering mengatainya “kecil”, dan dia tidak nyaman dengan perkataan itu. Oiya, aku mengetahui hal tersebut karena aku sedang berada di ruang BK, numpang mengerjakan suatu pekerjaan menggunakan komputer di ruang BK. Sehingga, aku mendengarkan semuanya.

Melihat anak tersebut menangis sesenggukan sambal bercerita, aku bisa membayangkan ketidaknyamanan yang ia rasakan atas perlakuan beberapa temannya. Terlepas apa yang sebenarnya terjadi, namun hal ini harus diselesaikan. Meski bukan seorang guru BK, aku cukup merasa bertanggungjawab secara moral untuk menyelesaikan masalah ini. Bagi orangd ewasa, hal ini mungkin hal remeh. Namun bagi anak usia belasan tahun seperti dia, tentu ini perkara yang tak mudah dan tak bisa disepelekan.

Aku pernah juga menjadi korban pembullyan saat masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Waktu itu belum ada istilah bullying. Namun semua hal yang aku rasakan atas perlakuan beberapa temanku sangatlah memenuhi kriteria istilah bullying. Soal pembullyan, ada beberapa hal yang bisa menjadi latar belakang. Hal ini aku simpulkan setelah sekian lama aku merenungi dan mengamati berbagai kasus pembullyan.

Hal pertama yang bisa menjadi penyebab bullying adalah penampilan seorang individu yang bullyable. Kalo kita amati, banyak para korban bully yang secara penampilan mereka bullyable. Ekspresi wajah mereka, cara berjalan mereka, bahkan cara bicara mereka, secara default menampilkan seorang individu yang bullyable. Badan kecil juga bisa menjadi penyebab seseorang diremehkan oleh orang lain, hingga menjadi objek bullying.

Hal kedua yang bisa menjadi penyebab bullying adalah factor internal korban bullying. Bisa jadi, orang yang mudah dibully adalah orang yang tidak memiliki hal yang lebih worth it untuk dipikirkan. Ada banyak orang yang secara fisik kecil dan terlihat remeh, namun mereka tidak terlihat bullyable. Mereka adalah individu-individu yang memiliki kesibukan berarti seperti kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pencapaian prestasi. Dengan focus pada pengukiran prestasi, maka seseorang tidak akan terlalu sensitive terhadap penilaian dan perlakuan orang lain.

Hal ketiga, bullying juga bisa berkaitan dengan karakter dasar seseorang. Orang yang circle pergaulannya sempit alias terbatas lingkup pertemanannya, wawasannya sempit, berkarakter introvert dan pendiam, punya potensi untuk merasa terbully. Bullying bukan semata masalah tindakan bullying yang nyata. Ia bisa juga berupa persepsi. Seseorang mungkin tidak merasa membully orang lain melalui perlakuan tertentu yang dia perbuat pada orang lain tersebut. Namun karena adanya sensitivitas perasaan, orang lain tersebut menilainya atau mempersepsikannya sebagai sebuah tindakan bullying.

Hal keempat yang bisa menjadi penyebab peristiwa bullying, dan ini masih berkaitan dengan factor internal individu korban bullying, adalah rendahnya resiliensi seorang individu. Seorang idnividu yang tervbiasa hidup tanpa tantangan, atau selalu termanjakan oleh situasi akan cenderung memiliki resiliensi yang rendah. Mereka bisa merasa sensitive terhadap perlakuan orang lain yang tidak menyenangkan. Bagi orang yang memiliki resiliensi yang tinggi, perlakuan orang lain yang tidak memnyenangkan bisa saja hanya disikapi dengan melupakannya karena hal tersebut dinilai tidak layak untuk ditanggapi. Namun bagi orang yang resiliensinya rendah, hal tersebut dianggap sebagai hal besar yang sangat mengganggu pikiran dan perasaan.

Hal terakhir, bullying bisa disebabkan karena karakter dasar pembully yang memang suka membully orang lain. Individu tipe pembully bisaanya membully orang lain karena ada kepuasan psikologis tersendiri dari tindakan membully tersebut. Namun, mereka juga cenderung memilih target bullying. Mereka tentu akan berpikir berkali-kali jika ingin membully oran-orang yang nampak percaya diri dan tidak bullyable. Mereka akan peka untuk memilih mana orang yang layak dibully. Individu yang memang memiliki karakter dasar sebagai pembully seperti ini memang perlu penanganan khusus. Mereka perlu diberi pemahaman bahwa tindakan mereka itu salah. Seorang guru bisa menggunakan berbagai logika untuk meyakinkan bahwa tindakan bullying itu tidak baik. Guru juga bisa menggunakan pemahaman keagamaan untuk meyakinkan bahwa bullying tidak selayaknya dilakukan. Misalnya dengan mengatakan bahwa dalam ajaran agama, orang-orang yang didzolimi itu doanya terkabul, baik itu doa baik maupun doa keburukan bagi pelaku bullying.

Menangani bullying perlu penyikapan yang komprehensif. Seorang guru yang menangani kasus bullying perlu mendengarkan perspektif kedua pihak, baik korban maupun orang yang dinilai pelaku bullying. Melalui mempertimbangkan perspektif kedua pihak, guru bisa mengambil langkah yang sesuai untuk menangani peristiwa bullying tersebut. Apapun langkah yang dilakukan oleh guru dalam menangani bullying, haruslah mengedepankan tujuan untuk mendidik.

Selasa, 08 November 2022

Tidak cukup hanya dengan kompetensi. Butuh posisi

 

Saat kuliah Magister kemarin, aku banyak mempelajari hal-hal penting tentang berbagai prinsip dalam pendidikan. Ada tentang pedagogi. Ada tentang pentingnya wellbeing. Ada tentang bagaimana mengatur manajemen lembaga pendidikan, tentunya ketika posisi kita adalah seseorang yang memiliki otoritas kepemimpinan. Ada tentang neurosains, mempelajari tentang berbagai karakteristik otak manusia. Aku juga belajar banyak tentang kurikulum.

Perkuliahan yang aku jalani memang memantapkanku menjadi seorang pendidik yang penuh dengan kompetensi. Namun, ketika lulus kuliah dan kembali ke tempat ku mengajar, aku sadari ada satu hal yang tidak dapat dipenuhi oleh perkuliahanku kemarin. Yaitu tentang bagaimana caranya mewujudkan semua ide idealis menjadi nyata. Semua hal yang dipelajari tersebut memang penting. Wellbeing, pedagogi, kepemimpinan pendidikan, neurosains, kurikulum dsb memang penting. Namun untuk memanifestasikan semua konsep tersebut ke dalam praktik penyelenggaraan pendidikan yang nyata, dibutuhkan akses terhadap pengambilan kebijakan.

Percayalah, sepintar apa pun kita, jika kita tidak memiliki otoritas untuk menentukan kebijakan, maka sulit untuk mewujudkan ide tentang penyelenggaraan pendidikan yang ideal. Sebagai bagian dari organisasi lembaga pendidikan, kita mungkin memang memiliki kesempatan untuk bersuara. Namun, jangan berharap banyak bahwa suara aspirasi kita akan selalu mewujud menjadi program nyata. Kadang, atau mungkin seringkali, ide-ide kita akan terbentur oleh ego pemimpin organisasi (kepala sekolah, kepala dinas, atau pembuat kebijakan lainnya). Kadang, ide-ide kita sulit terwujud karena miskin dukungan dari rekan sejawat.

Jangan berpikir bahwa dukungan dari rekan sejawat itu tidak penting. Sangat penting, bahkan. Dukungan rekan sejawat, walau hanya dukungan moril, sangat lah penting. Efek minimal yang kita rasakan atas dukungan rekan sejawat adalah kenyamanan psikologis. Mereka mungkin tidak akan berbuat banyak. Namun, setidaknya diamnya mereka, atau sikap tolerannya mereka tidak akan menghambat laju upaya perwujudan ide-ide kita.

Lulus dari sebuah kampus ternama dari laur negeri, terlebih kampus yang bereputasi besar, sedikit banyak membuat egoku melambung tinggi. Kadang terbersit pikiran bahwa kata-kata ku harus didengar. Terkadang terbersit pikiran bahwa ide-ide besarku harus diakomodir. Terkadang egoku mendesak bahwa aku harus diberi kesempatan untuk menempati posisi-posisi strategis. Kadang egoku mengeluhkan situasi dimana orang-orang yang tak memiliki idealisme, miskin ide, dan tak memiliki dedikasi tinggi tidak mau mengalah dan terkesan tidak tau diri. Namun aku harus sadar, bahwa aku hidup di negara dengan kultur dimana orang-orang yang tak berkompetensi pada memiliki ambisi tinggi yang semata hanya demi memenuhi kebutuhan eksistensi diri.

Aku ingin memimpin, namun terbentur oleh hirarki birokrasi. Aku sempat berpikir bahwa tempatku bukan di sini. Jika ingin berbakti dan mengabdi kepada negeri dengan maksimal, aku harus mandiri. Menunggu mereka tau diri akan lama, dan waktunya tidak pasti. Menunggu aku mendapat giliran mungkin akan lama, dan memang sudah terbukti aku sudah lama di sini namun masih di posisi seperti ini.

Aku memang harus mandiri.

Kamis, 27 Oktober 2022

Getting rid of the waste in my mind

 

Somehow, I feel tired easily nowadays. Whereas I feel like I never do any hard work, actually. However, by the end of the teaching hours, I can’t help to stay relaxed and not do anything. All I need is to rest, do fun yet less physical things, and remain comfortable for the rest of the time until it is time to sleep. I tried to figure out what could have led me to get easily tired. Soon after, I discovered that it has something to do with psychological, emotional and mental health, which affects physical fitness. 


Body and soul are two interdependent things. “Men sana in corpore sano”. A healthy soul lies within a healthy body. On the other hand, a healthy soul also affects a healthy body. This is the case. My mind and soul are not okay. It has definitely influenced my body. 


I took time to contemplate, to see what was going on. Thank Goodness that it does not take long until I find the causes. As far as I have identified, my tiredness is caused by a lot of “waste” in my brain. 

What is the waste in question?


All begins from countless undone plans, either small, medium or big. Yeah, I like making a plan, but I forgot that letting those plans be abandoned without accomplishment creates waste in my mind. It is precisely like the way computers or smartphones work. The more things stored in the memories, the slower the gadgets perform. All waste in my brain due to many unaccomplished plans exacerbates my work speed. It worsens my physical performance. This makes me understand why I feel burnout easily. 

It is critical to get things done in time. Nothing is insurmountable. There is a challenge, and there is a key to facing the challenge. 


All I need to do now is getting rid of the waste in my brain. The thing about how it works is not similar to how we clear up storage in the gadget’s memory which only takes a second using the “delete” button. Getting rid of waste in the brain takes time. I need to accomplish every plan I have made, so there will be a wider space in my memory. This is how my “gadget” will perform faster, more effectively and with more durability.  

 

Sabtu, 22 Oktober 2022

Building My Own Pond

 

It is just like a fish. The bigger it grows, the more it needs a much larger pond. The bigger people's capacity and competence, the more challenges they need. I am currently in high need of achievement. I feel like the current pond does not suit my growth. 

Once I complained about the situation until a friend of mine softly reminded me that there was no better option than creating my own pond. Suddenly I nodded my head and figured out that her comment was all logical. 

Creating my own pond is a proving statement that I have competence. Meanwhile, relying on others to provide me with the bigger pond legitimates my weakness and denies my capacity. 

When it comes to building my own pond, there should be real programs that I need to carry out. These programs will eventually justify my big capacity. I know that I can do that. But I need to prove if I want to earn people's acknowledgement. ea

Well, I got to focus on several areas of programs. First is building a literacy community. The output of this program is publishing books collectively. It can be in the collective works of students and teachers separately. It should be a sustainable school program from then on. In turn, the school has to run its own publishing house. Publishing the works of students and teachers should be done sustainably and regularly. 

The second program is an online seminar on debating technicality using the Australasian parliamentary system. This program is attended by students representing senior high schools across Pekalongan Regency. We need to obtain MKKS's approval for the program. 

The third program is that I publish several books. Every beginning is determining. I can begin by writing a book about practical ideas to create meaningful education at school. Then, I will write a book about ideas to campaign for literacy at schools. Next, I will write a practical guide to do classroom research. Then, I will write a practical guide to conduct flipped classrooms to address several critical issues on students' learning like students' engagement, students from low resource communities, student-centred learning and the HOTS-based learning process. Then, I will write a book about ideas on how to conduct HOTS-based learning in the classroom. The last one is writing a book about how to conduct HOTS-based learning in an EFL classroom setting. I found a community of learners. We conduct online discussions regularly. 

 

Minggu, 16 Oktober 2022

Terimakasih, Ya, telah mengendalikan Yi, Sehingga aku tenang

 

“Aku mulai merasa tidak puas dengan kedaan sekitar”.

“Aku mengeluh dengan perlakuan lingkungan terhadapku”.

“Aku merasa bisa berbuat banyak, namun rasanya aku tidak diberdayakan”.

“Aku merasa mereka tidak memanusiakanku”.

“Aku merasa tidak diberi ruang untuk berkontribusi”.

“ Aku merasa masih dianggap sepele dan diremehkan”.

 

Terbersit begitu banyak keluh kesah dalam ruang pikiran dan perasaanku. Aku merasa tidak diberdayakan, padahal aku memiliki kapasitas untuk berkontribusi lebih. aku berpikir bahwa mereka terlalu tak tau diri untuk mendominasi, sementara mereka tidak mengimbangi diri dengan kapasitas dan kompetensi untuk berkontribusi. Melihat mereka, yang ada aku mengernyitkan dahi. Terkesan sombong, namun ini adalah puncak dari rasa muak ku kepada mereka yang tak memiliki idealisme namun memaksakan diri untuk selalu terus berada di depan. Tak rela mereka mengalah, untuk memberi ruang bagi yang lebih layak untuk membuat perubahan.

Segala sumpah serapah keluar dari pikiranku. Tak puas dengan keadaan. Mereka salah, dan aku benar. Begitu egoku. Kemudian aku duduk dan merenung. Kusimpulkan satu hal. Untuk apa aku menunggu situasi di luar untuk berpihak kepadaku. Mereka tidak berhutang apa-apa padaku. Aku sendiri lah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi padaku. Seharusnya aku sadar dari dulu, bahwa berharap kepada manusia hanya akan berbuah rasa kecewa. Mengandalkan diri untuk membuat aksi adalah hal yang semestinya aku lakukan. Daripada mengeluhkan hujan di jalan, mending aku berteduh. Daripada mengeluhkan masakan warung yang tidak enak, mending aku masak sendiri. Ya, aku bertanggungjawab atas diriku sendiri.

Aku adalah dua sisi yang bersemayam dalam satu tubuh. Satu sisiku (Yi) adalah si pengeluh. Sisi satunya (Ya) adalah si bijaksana. Dan aku bersukur atas adanya dua sisiku ini.

Coba kau tanyakan pada dirimu sendiri. Apakah selama ini kau berharap akan pujian manusia atas kontribusi yang engkau berikan?

Yi: “Apakah aku salah, jika aku berharap untuk diberi kesempatan untuk berkontribusi lebih?. aku manusia normal, yang memiliki kebutuhan aktualisasi diri. Memiliki kebutuhan untuk dihargai. Memiliki keinginan untuk diberi kepercayaan karena aku punya kemampuan untuk membuktikan”.

Ya: “Tidak salah, memang. Namun kamu harus tahu, bahwa berharap pada manusia untuk berbuat adil padamu hanya akan meninggalkan kekecewaan. Fokuslah pada upaya perwujudan rencana-rencanamu. Fokuslah untuk mencapai titik keberhasilanmu. Bukan untuk pembuktian terhadap orang lain, karena itu tidak perlu. Melainkan untuk pembuktian terhadap dirimu sendiri. Agar kau semakin meyakini, bahwa kau bisa berdikari. Bahwa kamu bisa mencapai titik puncak tertinggi tanpa uluran tangan mereka”.

Seketika aku tersadar, “Iya juga ya. Jika memang aku berkapasitas dan berkompetensi, semestinya aku mengandalkan diri sendiri. Focus pada rencana yang aku miliki, dan mewujudkannya sendiri”.

Ya telah menyadarkan Yi, sehingga aku tenang.

Senin, 10 Oktober 2022

Nda' papa!

 

Yang aku rasakan, hidup di luar negeri seperti Australia dan Jepang untuk waktu yang relatif lama tuh seperti hidup di planet lain yang untuk memasukinya aku harus bersusah payah melewati suatu portal. Ketika sudah ada di sana, segalanya terasa mudah. Namun proses masuknya begitu sulit. Aku belajar satu hal, bahwa ketika sudah berada di sana, jangan menoleh ke belakang, alias berpikir untuk pulang, kecuali visi misi sudah tercapai. Soalnya ketika sudah balik ke negara asal, kita harus memulai lagi prosesnya dari nol.

Aku cukup menyesal kenapa ketika kemarin setelah studi master di Australia aku buru-buru pulang. Memang sih, beasiswa mengharuskanku untuk kembali ke tanah air guna mengamalkan ilmu yang ku raih dan mengabdikan diri bagi negara. Namun sebenarnya ada celah untuk aku stay longer di sana. Aku bisa saja mengambil kesempatan untuk internship di sekolah di sana, mengajarkan bahasa indonesia, budaya, sekaligus observasi kelas bahasa inggris untuk non-english speaker. Mustinya kesempatan itu aku ambil, toh hal itu legal di mata pemberi beasiswa.

Andai saja aku masih di Australia setelah selesai studi, tentu akan lebih mudah untuk mengurus semua hal yang ebrkaitan dengan proses studi lanjut. Aku dekat dengan profesor calon dosen pembimbing. Aku juga dekat dengan kampus, yang sewaktu-waktu bisa menjadi tempat ternyaman untuk menulis dan menyusun proposal. Aku juga bisa lebih produktif menulis. Target menerbitkan buku kayaknya lebih mudah untuk terwujud, andai aku masih di sana. Aku juga bisa fokus mengumpulkan pundi-pundi dolar untuk membiayai haji dan membeli properti. Gaji untuk ortu juga bisa lebih besar, di banding ketika aku berada di dalam negeri.

Ah…ndak papa. Sudah terlanjur. Pasti semua ada hikmahnya. Nda papa aku mulai lagi dari nol. Toh di sini aku memang bener-bener bisa berkontribusi. Menyelenggarakan kelas bahasa inggris yang menarik bagi murid-muridku, mengisi berbagai seminar dengan beragam topik, mencari jodoh, dekat dengan orang tua, dan sebagainya. Akan aku mulai lagi dari nol.

Kembali ke kampung halaman, berarti aku kembali ke rutinitas. Kembali ke jadwal mengajar harian dimana aku harus berangkat pagi buta pulang petang. Kadang terbesit pikiran bahwa apa yang aku upayakan selama ini sia-sia, karena tidak merubah rutinitasku. Namun aku yakin semua tidak sia-sia. Suatu saat, pasti akan ada pencapaian besar, sebagai reward dari semesta atas upaya yang aku lakukan selama ini.

Fokusku kini adalah menyelesaikan draft buku, hingga benar-benar terbit. Fokus ku kini adalah mendapatkan jodoh untuk menemani hari-hariku. Fokusku kini adalah belajar tentang cara dagang rosululloh, yang daya jangkau nya melewati batas negara. Fokusku kini adalah menebarkan kebaikan, berbagi tips kepada sesama rekan kerja. Fokusku adalah memperbaiki diri, untuk bertanggungjawab secara konsekuen membuktikan diri sebagai umat rosululloh yang berakhlakul karimah dan bermanfaat bagi sesama.

Aku cukup menyesal kenapa kemarin buru-buru kembali ke tanah air. Namun aku yakini, bahwa ini ada hikmahnya. Daripada meratapi beras yang sudah menjadi bubur, mending mencari bahan-bahan apa yang bisa dijadikan bumbu dan topping untuk bubur tersebut sehingga enak disantap.