Sabtu, 22 Agustus 2020

Kerja Kelompok dan Eksistensi Kecerdasan Majemuk

Pengalaman belajarku akhir-akhir ini semakin membuatku mendukung konsep multiple intelligence yang dikemukakan oleh Howard Gardner. Menurut Gardner, sejatinya setiap individu memiliki suatu kecerdasan tersendiri, dari sekian jenis kecerdasan seperti verbal linguistic, logis matematis, spasial, intrapersonal, interpersonal, kinestetik, naturalistic, dan musical. 

Dalam sebuah kerja kelompok yang aku jalani bersama dengan teman-teman dari negara lain, aku aku cukup merasakan tantangan (kesulitan) dalam melakukan olah data statistic. Kebetulan ada salah satu anggota grup yang sangat lihai dalam olah data statistic. Dia sangat familiar dan mahir dalam hal yang berkaitan degan statistic, matematika, dan segala hal yang berkaitan dengan kecakapan logis matematis lainya. Namun, teman yang satu ini merasa “struggle” banget dalam hal presentasi di depan public, hal yang justru menjadi kesukaanku. Dengan demikian, kami berbagi tugas. Untuk urusan presentasi, aku lah yang bertugas melaksanakannya.

Kadang seorang pelajar merasa minder saat mengetahui dia tak mahir dalam suatu bidang pelajaran yang ia harus pelajari. Andai dia tau bahwa setiap individu memiliki kecerdasan sendiri-sendiri, dia semestinya menyadari bahwa dia tak perlu berkecil hati. Pada prinsipnya, terhadap hal-hal yang memang bukan kecakapan kita, kita hanya perlu untuk mencapai level rata-rata saja. Tak perlu kita menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menjadi ahli dalam hal yang memang menjadi titik lemah kita. Porsi besar waktu yang ada difokuskan saja pada hal yang menjadi kelebihan kita. Misalnya, seorang siswa tidak memiliki kecerdasan spasial. Namun di sebuah kelas seni rupa dia diberi tugas untuk mengerjakan tugas menggambar. Tak perlu pusing karena berpikir bahwa dia akan kesulitan melaksanakan tugas tersebut yang berimplikasi didapatkannya nilai yang tak memuaskan. Cukup berusaha sebisanya agar tugas tersebut selesai. 

Dalam konteks kerjasama di sebuah grup, memahami kecerdasan masing-masing penting supaya ada distribusi job yang sesuai dengan ekspertis masing-masing. Seperti yang aku lakukan dengan kelompok tugas yang aku laksanakan sekarang. Ada yang kebagian job melakukan olah data. Ada yang kebagian job melakukan presentasi. Sementara anggota yang lain tinggal menyesuaikan agar tercipta situasi saling melengkapi. 

Tugas kelompok yang dilaksanakan oleh siswa pada mata pelajaran adalah hal yang lumrah. Semestinya adanya tugas kelompok tersebut tidak hanya berorientasi pada tercapainya hasil akhir yang maksimal. Perlu ada pemberian pemahaman kepada mereka tentang hakikat manfaat dari adanya tugas kelompok tersebut. Perlu pemberian pemahaman tentang pentingnya pengasahan kemampuan berkolaborasi antara individu-individu dalam kelompok dengan beragam kecerdasan/potensinya, kreativitas, critical thinking, problem solving serta aspek soft skill lainnya.

Minggu, 09 Agustus 2020

Kursus Pedagogi Bagi Orang Tua Siswa


Picture: https://www.pinterest.com/pin/471048442249830915/

Di balik kesuksesan belajar anak, biasanya ada peran lingkungan sekolah, keluarga, serta komunitas dimana dia tinggal. Sepertinya susah untuk menemukan anak yang memiliki pencapaian luar biasa tanpa dukungan ketiga aspek lingkungan tersebut. Beruntung bagi anak yang memiliki dukungan maksimal ketiga lingkungan tersebut. Namun pada kenyataannya, masih banyak anak yang memiliki kekurangan dukungan dari salah satu atau beberapa lingkungan tersebut untuk belajar.

Di sekolah, aktivitas belajar anak relative lebih efektif dibandingkan dengan aktivitas belajar ketika dilakukan di rumah. Hal tersebut jelas, karena aktivitas-aktivitas sekolah memang dirancang untuk focus pada pembelajaran. Namun bagaimana dengan aktivitas belajar di rumah, apakah memiliki efektivitas yang sama? Jawabannya tentu beragam. Setiap individu memiliki kondisi dan suasana yang berbeda di lungkungan keluarga mereka. Sebagian keluarga memiliki support system yang bagus terhadap belajarnya seorang individu pembelajar. Namun, sebagian keluarga lainnya tidak memilikinya. Support system tersebut sangat dipengaruhi oleh pemahaman orang tua anak akan bagaimana menciptakan atmosfir yang bagus untuk aktivitas belajarnya anak mereka.

Saya masih ingat masa-masa sekolah saya, dimana belajar adalah sebuah tantangan besar. Mengapa dikatakan sebagai sebuah tantangan? Karena saya tidak memahami apa itu belajar. Bagaimana cara belajar yang efektif. Bahkan saya kurang mendapatkan atmosfir yang mendukung kondusivitas belajar di rumah. Di sekolah, saya harus belajar, tanpa mengetahui gaya belajar seperti apa yang saya miliki untuk bisa secara efektif memahami apa yang saya pelajari. Di rumah pun, saya diserukan oleh orang tua untuk belajar, tanpa memiliki pemahaman tetang kenapa saya harus belajar. Apa urgensinya belajar bagi kehidupan saya. Di rumah, tidak jarang orang tua menyeru supaya saya belajar, sementara TV masih dibiarkan menyala, kondisi ruang belajar kurang didukung fasilitas untuk belajar.

Ada banyak variable yang menentukan efektivitas belajar. Sejatinya, setiap individu memiliki gaya belajar masing-masing. Oleh para ahli pendidikan, setidaknya ada tiga kecenderungan utama gaya belajar. Diantaranya adalah visual, auditori, dan kinestetik. Sebagian individu memiliki satu gaya belajar yang menonjol. Sementara sebagian lainnya, memiliki kecenderungan gaya belajar yang merupakan gabungan dari dua atau ketiganya. Semestinya, efektivitas belajar dipengaruhi oleh kondisi otak. Otak kita mengeluarkan beberapa gelombang yang berbeda dalam 24 jam putaran waktu. Dalam buku Quantum Learning, Bobby De Porter menjelaskan bahwa otak kita akan maksimal melakukan aktivitas belajar saat ia memancarkan gelombang alfa.  Ada waktu-waktu tertentu dimana otak kita memancarkan gelombang Alfa tersebut. Pemilihan waktu belajar tentu menjadi berpengaruh terhadap efektivitas belajar. Selain itu, kondusivitas fisik lingkungan belajar juga sangat berpengaruh. Bagaimana seorang pembelajar visual bisa belajar efektif di lingkungan yang penuh berisik, suasana yang tidak nyaman, serta lampu penerangan yang kurang. Masih banyak variable lainnya yang berpengaruh terhadap efektivitas belajar.

Hal-hal tersebut merupakan bagian dari ranah ilmu pedagogi. Mengingat peran orang tua sangat besar terhadap kesuksesan belajar anak-anak mereka, semestinya mereka juga memahami ilmu pedagogi. Selama ini ilmu pedagogi sangat lekat dengan guru. Padahal orang tua juga memiliki peran sebagai pendidik bagi anak-anak mereka, dan oleh karenanya mereka seharusnya memiliki pemahaman yang cukup tentang pedagogi.

Untuk mendukung suksesnya belajar anak, sinergi antara sekolah dengan orang tua adalah sebuah keniscayaan. Lalu bagaimana contoh kongkrit menciptakan sinergi tersebut? Selama ini, hubungan sekolah-orang tua pada umumnya hanya terbatas pada pembahasan masalah pemenuhan kewajiban biaya administrasi anak serta penanganan kenakalan anak di sekolah. Padahal, sekolah dan orang tua harus memiliki visi yang sama untuk mewujudkan berhasilnya pendidikan anak.

Program nyata yang bisa diselengarakan oleh sekolah untuk bersinergi dengan orang tua adalah berupa “Kursus Menciptakan Kondusivitas Belajar”. Program ini dilakukan dengan cara menyelenggarakan seminar atau kuliah pendidikan bagi orang tua tentang bagaimana menciptakan kondusivitas bagi belajar anak. Orang tua diberi pemahaman tentang pedagogi. Orang tua diberi pemahaman tentang menetapkan visi mereka dalam menyekolahkan anak-anak mereka. Ditetapkannya visi tersebut sangatlah penting, agar proses belajar anak sekian tahun di sekolah benar-benar mengarah pada suatu tujuan, bukan sebatas melewati kewajiban masa bersekolah saja. Kursus tersebut bisa dilakukan saat anak memasuki awal tahun pelajaran pada tingkat pertama.

Sekolah juga perlu menyediakan wadah komunikasi dengan orang tua, untuk mendukung sinergi yang berkesinambungan antara keduanya. Perkembangan anak dalam hal perilaku, kompetensi serta kognisi dalam proses belajar bisa didiskusikan melalui wadah komunikasi tersebut. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sangat memungkinkan tersedianya wadah komunikasi tersebut.

 

Jumat, 07 Agustus 2020

Mindset Guru dan Top 10 Skills in 2020

 Ada catatan menarik yang diambil dari laporan dari World Economic Forum 2020.


Dalam kurun waktu 5 tahun saja, secara signifikan ada pergeseran orientasi skill yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan zaman.


Bagaimana jika pendidik masih mengajar dengan cara yang sama bertahun-tahun tanpa ada improvisasi yang selaras dengan tuntutan perubahan zaman?

Bisa diprediksi hasilnya. Yaitu susahnya peserta didik survive dalam menghadapi tantangan zaman.


Kutikulum berubah itu perlu.

Lebih perlu lagi adalah perubahan mindset serta bertambahnya kecakapan guru dalam mendidik.


Mendidik dengan cara-cara lama, berpedoman pada paradigma lama, yang disebabkan oleh keengganan untuk belajar dan meng-upgrade ilmu, menciptakan gap besar antara apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh peserta didik dengan apa yang diajarkan pada mereka.


Proses pembelajaran daring di masa pandemi ini bisa menjadi gambaran, apakah guru benar-benar memiliki mindset perubahan, ataukah masih terpaku pada mindset lama.


Betul memang bahwa pembelajaran dari sekarang melibatkan teknologi informasi dan komunikasi.

Kesannya keren, canggih, dan mutakhir.


Tapi tunggu dulu!


Mindset anti perubahan akan tetap tercermin dalam praktik penyelenggaraan pembelajaran daring yang menggunakan teknologi tersebut.


Pembelajaran daring yang isinya hanya penugasan membaca materi, disusul serangkaian instrumen penilaian berupa pertanyaan-pertanyaan yang dalam skala Taksonomi Bloom hanya menyentuh ranah dasar seperti memahami dan mengingat, jelas menunjukan belum berubahnya mindset guru dalam melaksanakan pembelajaran.

Ini salah satu contoh saja.


Poinnya adalah bahwa pengembangan kompetensi dan mindset guru harus jadi salah satu pethatian utama dalam pengambilan kebijakan pendidikan.

Harus ada banyak program pengembangan profesionalitas guru yang dilaksanakan secara berkesinambungan, bukan secara sporadis.


Laporam World Exonomic Forum.memberikan gambaran tentang perubahan prioritas skill yang harus dimiliki oleh individu untuk bisa survive dan menang dalam menghadapi tantangan zaman.

Hal tersebut bisa menjadi acuan bagi pemerintah setiap negara untuk mengadaptasikan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. 

Namun yang menjadi jembatan untuk mewujudkan pendidikan yang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman adalah guru.


Konsekuensi logisnya adalah upaya mendorong guru untuk memiliki mindset perubahan sangatlah penting.

Pengembangan kompetensi guru secara berkesinambungan harus dilakukan.

Minggu, 02 Agustus 2020

Statistics : from sick to addict

Mulai seminggu terakhir ini, aku dipaksa oleh sebuah keadaan untuk belajar ilmu statistik. Ada sekian aplikasi, salah satunya adalah SPSS (Statistical Package for Social Science), yang aku mau tidak mau harus familiar dengannya.

Bagi sebagian orang, statistic adalah ilmu yang mudah dan menyenangkan. Namun tidak bagiku. Pikiran dan perasaan sudah terlanjur tidak nyaman dengan hal yang berhubungan dengan olah data, angka, dan hitung-hitungan lainnya yang rumit.

Menghadapi ilmu statstik rasanya seperti sebuah pertaruhan bagi diriku. Pertaruhan tentang apakah aku bisa memotivasi diri untuk bisa menyenangi hal yang harus aku pelajari. Sebuah motivasi yang selama ini kerap aku sampaikan kepada anak didikku.

Andai aku tak bisa menang atas pertaruhan ini, dengan kata lain aku tidak berhasil menyenangi ilmu ini, maka sama saja untaian kata-kata mutiaraku saat memotivasi para anak didik untuk belajar adalah omong kosong belaka.

Cukup frustasi dengan awal perkenalan dengan ilmu statistic yang kurang menyenangkan, aku berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana caranya bisa menyenangi ilmu tersebut. Aku coba gali untuk memahami secara dalam tentang apa manfaat yang bisa aku raih dengan mempelajari ilmu statistic ini. Sekian banyak literature dan sumber inspirasi aku akses, hasilnya aku mendapatkan jawaban dalam waktu yang relative tidak lama.

Perlahan aku meyakini bahwa ilmu statistik beserta semua pernak pernik turunannya, akan sangat bermanfaat bagiku dalam melakukan penelitian-penelitan di masa yang akan dating.

Sedari kuliah S1 aku selalu menghindari statistic. Itulah alas an utama kenapa aku melakukan penelitian kualitatif saat mengerjakan skripsi S1 dulu.

Memahami ilmu statistic juga aku rasa akan sangat bermanfaat untuk keperluan bisnis. Untuk hal yang satu ini, memang seperti masih abstrak. Namun aku ada gambaran jelas dalam pikiran tentang manfaat ilmu statistic terhadap bisnis.

Kini, aku memiliki alas an jelas kenapa aku harus belajar statistic, mulai dari dasar. Dengan demikian, belajarku akan ilmu tersebut aku lakukan secara sukarela, sebagai sebuah kebutuhan, ketimbang sebuah pemenuhan kewajiban yang tentu memberi beban secara psikologis.

Aku merasa menang atas pertaruhan ini. Aku bisa memenuhi tanggungjawab moral untuk bisa membuktikan sendiri kata-kata mutiara sebagai motivasi yang selama ini sering aku sampaikan ke anak didik ku.