Sabtu, 25 Desember 2021

Audiobook: A new trending way for personal development and literacy campaign


Akhir-akhir ini, saya sering mengisi waktu luang dengan mendengarkan audiobook. Ini adalah cara yang sangat luar biasa efektif untuk mendapatkan ilmu dari suatu buku cukup dengan mendengarkan summary dari buku tersebut yang disampaikan oleh seorang narrator. Jika membaca buku yang berjumlah ratusan halaman saya harus menghabiskan waktu berjam-jama, atau bahkan berhari-hari. Audiobook menawarkan summary dari buku tersebut hanya dalam hitungan puluhan menit, atau kurang dari satu jam. Audiobook adalah cara yang highly-recommended, terutama bagi orang-orang yang memiliki kecenderungan modalitas belajar auditory atau audiovisual.

Audiobook sudah menjadi cara baru saya dalam melakukan personal development. Banyak insight yang saya dapatkan melalui audiobook. Audiobook sangat efektif dan efisien, karena bisa dilakukan di sela-sela waktu luang. Efektif karena saya tetap bisa mendapatkan ilmu pengetahuan dari suatu buku tebal hanya dalam hitungan belasan atau puluhan menit, dan efisien karena saya bisa hemat waktu dan biaya untuk meraih insight atau pengetahuan baru.

 Dewasa ini, audiobook tersedia dalam berbagai platform. Ada audiobook yang tersaji dalam platform aplikasi berbayar. Walau harus membayar, saya rasa hal tersebut sangat worth it. Logikanya, untuk mendapatkan sebuah buku, kadang kita harus membayarnya. Dengan Audiobook  ini, kita tidak perlu mengeluarkan uang untuk membayar buku, dan cukup dengan mendengarkan summary yang disampaikan secara lisan. Selain melalui aplikasi, kita juga bisa mengakses audiobook secara gratis melalui platform youtube. Sudah begitu banyak channel youtube yang focus pada konten audiobook. Bahkan ada beberapa diantaranya yang melengkapinya dengan ilustrasi visual. Hal tersebut semakin membantu orang memahami konten dari audiobook tersebut, terutama mereka yang memiliki kecenderungan modalitas belajar audiovisual.

Adanya audiobook ini sangat membantu kampanye literasi. Orang mungkin tidak merasa nyaman jika harus membaca buku. Selain karena belum terbiasa, mereka mungkin memiliki suatu kendala tertentu untuk membaca buku. Audiobook ini adalah solusi bagi orang yang ingin meraih pengetahuan dari suatu buku tanpa harus membaca.

Literasi adalah hal yang sangat penting. Bangsa yang maju biasanya memiliki prosentase literasi yang tinggi pada penduduknya. Menyadari pentingnya literasi, pemerintah Indonesia melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan menggalakkan literasi. Bahkan saat kementerian pendidikan dan kebudayaan dipegang oleh Pak Anies Baswedan, ada himbauan supaya setiap sekolah melaksanakan program 15 menit membaca buku bagi siswa di awal memulai kegiatan pembelajaran di sekolah setiap hari.

Inti dari literasi adalah diraihnya pengetahuan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan individu. Jika seseorang rajin membaca namun ia tidak meraih kebermanfaatan apa pun dari apa yang ia baca, maka kegiatan membacanya bisa dikatakan sia-sia. Namun semestinya tidak ada ruginya membaca. Dengan membaca, minimal seseorang meraih suatu pengetahuan yang mungkin bisa dimanfaatkan di kemudian hari. Literasi dikampanyekan dalam system pendidikan di Indonesia, karena ada keyakinan bahwa literasi berdampak positif bagi kehidupan. Banyak solusi atas permasalahan hidup yang tersaji dalam bacaan. Banyak ide baru yang muncul melalui bacaan. Banyak informasi penting yang tersampaikan melalui media bacaan. Itu lah mengapa literasi digalakkan.

Munculnya audiobook yang menjadi trending dewasa ini akan mewarnai kampanye literasi di negeri ini. Orang tidak lagi harus membeli atau membaca buku untuk mendapatkan insight atau pengetahuan. Cukup dengan mendengarkan audiobook yang diputar melalui gadget, seseorang bisa meraih insight atau pengetahuan. Pada akhirnya, kampanye literasi akan berkembang secara dinamis, tidak lagi tentang membiasakan generasi kita dengan kegiatan membaca dan menulis, tapi tentang meraih pengetahuan dengan berbagai cara, termasuk melalui audiobook.  

 

Jumat, 24 Desember 2021

What should have I done?


Aku duduk termenung di ruang belakang tempat tinggalku di Marion Road, Adelaide. Masih kuat dalam ingatan pembicaraan dengan beberapa orang akhir-akhir ini. Obrolanku dengan Khalif, Fathan, dan Faqih membuka menambah insight sekaligus memicu penyesalan yang cukup dalam. Aku mendapatkan insight yang begitu berharga dari obrolan dengan mereka tentang orientasi hidup, tentang memaksimalkan asset waktu selagi muda, tentang keberanian mengambil tantangan dan menghadapi rewarding risks, dsb. Aku juga menyesali betapa selama ini aku menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Waktu adalah asset yang paling berharga yang telah banyak aku siakan.

Ada beberapa hal yang menjadi poin refleksiku. Pertama, I should have never tried to impress anybody. Cukup menjalani langkah-langkah besar dalam hidup berpacu dengan target yang diriku sendiri tetapkan. Impressing other people itu hal yang sangat melelahkan dan tidak worth it sama sekali. People might give applause or salute to particular achievements that I have made, but that is just meaningless. What is the point of having others’ acknowledgement when it means nothing? Aku baru menyadari bahwa yang terpenting untuk menjadi track fokusku adalah meningkatkan value diri sekaligus memberi dampak kebaikan bagi orang lain sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya secara tulus. Acknowledgement is just an effect. But when it becomes your focus, it will just get you exhausted yet meaningless.

Kedua, I should have dared enough to take one big challenge and get ready to face it in all aspects. Aku masih menyesal kenapa dulu tidak berani berusaha secara maksimal untuk mendapatkan beasiswa studi S2 se dini mungkin. Tidak seharusnya ketakutan dan keraguan menghalangiku. Kadang rasanya nyesek juga ketika mendengar cerita teman-teman yang pada melakukan WHV ke Australia. Sepulang dari program mereka, rata-rata mereka memiliki growth mindset yang baru. Mereka berani membuat rencana-rencana baru dan mewujudkannya. Pada usia tertentu yang relative masih muda mereka sudah memiliki banyak asset besar.

Betapa waktu adalah asset yang sangat tak ternilai. Banyak orang yang produktif karena memaksimalkan pemanfaatan waktu untuk hal-hal besar dan positif. Aku sadar, beberapa ruas jalan yang ku lalui selama ini cukup terjal. Itu yang menjadi penghambat pencapaian-pencapaianku. Namun semestinya aku juga sadar bahwa under any circumstance, life must go on and I gotta be strong enough for that.

Kenapa ya, setiap kali ku baca buku-buku baru, semakin ku merasa aku selama ini seperti tidak tau apa-apa.

Kenapa ya, semakin aku bergaul dengan orang-orang yang penuh insight dan energy positif, semakin aku merasa menyesal telah melewatkan momen-momen berharga dan semakin merasa aku belum menjadi pribadi yang berguna. Tp bukan berarti aku harus berhenti membaca buku atau bergaul dengan orang-orang positif, tentunya. Lessonnya adalah, semakin orang “berisi” maka semakin dia menunduk seperti padi, down to earth.

Rabu, 22 Desember 2021

Penilaian Angka Kredit (PAK) dan Distraksi Guru


Tulisan kali ini akan berkaitan dengan Penilaian Angka Kredit (PAK) yang menjadi beban administrasi kepegawaian para Aparatur Sipil Negara. Namun yang menjadi pembahasan khusus adalah PAK guru ASN di suatu Kabupaten. Berawal dari curhatan beberapa teman guru ASN yang mengeluh tentang layanan pembuatan PAK. Ada beberapa guru (mungkin banyak) yang hingga sekarang belum mendapatkan hasil PAK yang diajukan pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini menarik perhatianku. Apa sebenarnya faktor yang menyebabkan begitu lambatnya proses penilaian  angka kredit ASN Guru. Kenapa ada kesan bahwa pengajuan PAK itu begitu sulit. Apakah itu murni karena kompleksnya system penilaian yang membuat prosesnya lama, atau kah ada variable keteledoran/ketidakbecusan kinerja orang-orang yang terlibat dalam penilaian?

Dalam system penilaian PAK di Indonesia, beberapa orang yang memenuhi syarat ditunjuk untuk menjadi tim penilai (assesor) melalui mekanisme tertentu. Tim penilai tersebut pada umumnya adalah guru atau pejabat senior di lingkungan dinas pendidikan dan kebudayaan. Mereka mendapatkan legitimasi menjadi tim asesor melalui Surat Keputusan (SK) penunjukan tim asesor PAK. Selain itu, mereka juga mendapatkan insentif tambahan atas kinerjanya sebagai anggota tim assessor. Secara hak, mereka sudah terpenuhi. Lantas apa yang membuat proses pengajua PAK begitu lama. Sangat tidak masuk akal pengajuan PAK yang berlangsung bertahun-tahun selalu tertunda penyelesaiannya. Hipotesis saya, hal ini ada kaitannya dengan etos kerja tim penilai PAK.  

Urusan administrasi kepegawaian seperti kenaikan pangkat, angka kredit, dsb, harusnya ada system yang mempermudah guru dalam mengurusnya. Tugas utama guru adalah mendidik generasi. Mereka semestinya memiliki supporting system yang mengarahkan mereka pada maksimalnya proses penyelenggaraan pendidikan di lingkungan sekolah. Dengan adanya urusan administrasi kepegawaian yang pelik seperti pengurusan PAK ini, perhatian guru akan terdistorsi dan terdistraksi. Selain berpengaruh terhadap kinerja sebagai pendidik, hal tersebut juga berpengaruh terhadap wellbeing guru. wellbeing itu sangat penting. Di Negara-negara maju, wellbeing pekerja sangat diperhatikan, begitu pula dengan wellbeing guru.

Perlu ada reformasi system pengajuan PAK yang diterapkan di lingkungan kepegawaian. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah kualitas tim penilai. Anggota tim penilai harus dipilih melalui mekanisme yang merit-based. Tidak boleh ada unsur politik atau unsur lain yang tidak ada kaitannya dengan profesionalisme dalam penunjukan tim assessor PAK. Instrumen penilaian yang digunakan dalam seleksi tim penilai PAK juga harus memenuhi aspek validitas dan reliabilitas, sehingga menutup kemungkinan munculnya hasil yang bias.

Yang kedua, harus ada arahan tentang deadline terselesaikannya PAK. Selama ini yang terjadi adalah guru dituntut untuk mengajukan PAK dengan deadline tertentu. Namun secara tidak fair, tidak ada deadline yang jelas kapan guru berhak menerima hasil PAK. Sekalipun ada deadline penyerahan hasil PAK kepada guru, dalam pelaksanaannya biasanya kurang konsisten. Guru tidak boleh terlambat dalam mengajukan berkas PAK, namun tim penilai terkesan bebas menyerahkan hasil PAK tanpa terikat deadline.

Yang ketiga, perlu ada system informasi yang jelas yang berkaitan dengan proses pengajuan PAK. Selama ini guru-guru yang belum memperoleh hasil PAK saat mereka sudah seharusnya mendapatkannya tidak memperoleh jawaban tentang alasan kenapa pengajuan PAK mereka tertunda atau tidak berhasil. Harus ada layanan customer sebagai wadah untuk guru memberikan masukan, mengungkapkan keluhan, dan mengetahui alur proses PAK tersebut. Mirisnya, pernah ada suatu kasus dimana guru harus men-submit ulang berkas PAK yang pernah mereka ajukan, dengan alasan berkas mereka hilang. Adanya berkas yang hilang dan tidak ada pertanggungjawaban dari pihak-pihak terkait merupakan fenomena memilukan yang menyiratkan rendahnya profesionalisme tim PAK.

Yang keempat, guru semestinya menerima pemahaman yang jelas tentang proses pengajuan PAK. Selama ini, kita take it for granted. Menganggap bahwa guru sudah tahu dengan sendirinya tentang cara mengurus berkas PAK. Minimnya pemahaman guru tentang mekanisme pengajuan PAK membuat repot tim penilai dalam melakukan penilaian, karena berpotensi membutuhkan banyak revisi dalam pengajuan PAK. Contohnya, guru yang keliru dalam menentukan bobot nilai suatu aspek penilaian. Banyaknya kesalahan dalam penentuan bobot penilaian atas suatu aspek yang dinilai bisa menuntut banyak revisi, dan tentu hal ini semakin memperlama proses penilaian PAK.

Kadang saya temukan bahwa guru sering terjebak pada hal-hal yang kurang essensial. Guru pusing memikirkan PAK yang pelaksanaannya penuh dengan carut-marut. Sementara, mereka teralihkan perhatiannya untuk fokus meningkatkan kualitas pembelajaran.

Seberapa banyak sih program peningkatan kompetensi guru yang dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan? Jangan sampai guru berlarut-larut terjebak pada hal yang sebenarnya bisa sederhana namun dibuat rumit, kemudian menjadi lalai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan layan terhadap peserta didik.


Mohon maaf jika ada kekeliruan dalam tulisan ini! 

Selasa, 21 Desember 2021

Dikelilingi orang-orang baik dan penuh perhatian

 

“Mas Dahlan, ini ayam semur sama nasinya”, seru Fathan.

Selang beberapa menit kemudian, dia mengetuk pintu kamarku. “Mas Dahlan, ini ada buah cherry”.

Tak lama berselang, ada ketukan pintu lagi, “ Mas Dahlan, ini salad. Tapi salad jawa, soalnya mateng”. Ternyata Faqih yang menawarkan saladnya.

Aku terharu. Baru beberapa hari aku kenal mereka, mereka menunjukkan kebaikan dan perhatian yang luar biasa padaku. Ini sungguh menginspirasiku. Betapa sifat mereka yang penuh kebaikan layak untuk ditiru. Aku jadi teringat dengan temanku, Ahmad Syukri, yang sering tanpa pamrih memberi pertolongan padaku. Aku jadi berpikir, jangan-jangan karakternya yang begitu dermawan dan helpful terbentuk karena berada di lingkungan yang penuh dengan orang-orang baik ini. Oiya, Syukri dulu juga tinggal dengan Fathan dan Faqih. Syukri tinggal di tempat ini selama masa studinya, dua tahun. Sementara Fathan dan Faqih sudah jauh lebih dulu tinggal di sini.

Benar adanya bahwa lingkungan sangat berpengaruh terhadap mindset dan karakter kita. Mendapatkan perlakuan begitu baik dari mereka, aku terpacu untuk menjadi orang yang penolong dan dermawan, sebagaimana mereka yang memiliki kedua sifat tersebut. Makanya, saat aku ditawari untuk menjadi bagian dari tim Warung Konsuler KBRI Australia, aku langsung mengiyakannya. Padahal sangat jarang yang mau terlibat dalam urusan tersebut. Hanya lima orang termasuk aku yang terlibat dalam Warung Konsuler. Aku berharap bahwa dengan ini aku bisa mengasah diri untuk menjadi orang yang penuh manfaat. Tentu ini menjadi pijakan untuk praktik-praktik kebaikan yang akan aku lakukan lainnya. Insya Alloh.

Aku sadar, dikelilinginya aku oleh orang baik tak lepas dari peran doa orang-orang terkasih, terutama orang tuaku. Aku tau, orang tuaku selalu berdoa memohon kepada Alloh SWT agar aku selalu dikelilingi oleh orang-orang baik. Aku jadi merasa semakin bersyukur. Aku yang penuh dosa ini masih tetap dikaruniaiNya banyak kebaikan. Nikmat apalagi yang hendak aku dustakan? Tentunya tidak. Aku bersyukur kepada Alloh SWT. Semoga kedepannya aku bisa menjadi pribadi yang penolong dan penebar kebaikan bagi sesame. Amiin.

Senin, 20 Desember 2021

Pass it on!


Dalam perjalanan hidupku, aku berhutang budi pada banyak orang. Jika aku harus menyebutkan beberapa pengalaman hutang budi yang begitu banyak, ada beberapa yang cukup kuat mengendap di memori. Yang pertama jelas hutang budi pada orang tuaku. Mereka bukan hanya menggugurkan kewajiban menghidupi aku, namun membuat proyek besar yang mengubah hidupku, yaitu mengupayakan agar aku tedidik dengan baik, meski latar belakang pendidikan mereka tidak tinggi. Soal hutang budi sama orang tua tentu tak kan pernah terbayar lunas. Terlalu besar budi mereka padaku untuk aku bayar.

Yang kedua, aku masih teringat momen ketika aku mengalami musibah saat memulai hidup di kota baru untuk studi S1. Aku mengalami musibah dirampok orang. Semua bawaanku raib digasak orang, padahal itu merupakan bekal untuk mejalani kehidupan perkuliahan di Semarang. Beruntung aku dibantu oleh kakak-kakak kelas yang sangat budiman. Kebutuhan makanku saat itu dicukupi oleh mereka. Hatiku dihibur dan dikuatkan oleh mereka. Nama-nama seperti as Atang asal Cirebon, Mas Slamet asal Banjarnegara, Mas Asep asal Kuningan, Mas Idris asal Bogor, dan teman-teman lainnya tak akan pernah aku lupakan. Jasa mereka begitu besar. Budi mereka begitu besar kepadaku. Semoga Alloh SWT melimpahi mereka keberkahan hidup selamanya. Amiin!

Ketiga, aku merasa berhutang budi pada kepala sekolah tempat ku mengajar. Namanya Pak Ircham. Beliau sangat mendukungku untuk melakukan studi lanjut. Beliau memberi dukungan pada saat aku meraih beasiswa Teacher Training Monbukagakusho pada tahun 2015 silam. Beliau juga mendukungku untuk menjalani studi S2 di Australia. Aku menyadari, di balik keberhasilanku meraih kesempatan studi lanjut, ada orang-orang yang aku harus berterimakasih kepada mereka. Tak ada keberhasilan yang aku raih, melainkan di balik semua itu ada peran dan kontribusi orang lain.

Kali ini, aku merasa berhutang budi pada beberapa orang saat menjalani  studi S2 di The University of Adelaide ini. Ada namanya Ahmad Syukri, kakak kelas di kampus. Ada namanya Ira, yang selalu jadi tempat konsultasiku dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu. Ada namanya Fathan, seorang anak muda yang sudah lama menetap di Australia dan sedang menjalani studi S1 di Adelaide. Dari mereka, aku belajara tentang ketulusan dalam membantu sesama. Fathan adalah anak yang begitu baik, yang mau peduli mengurusku selama masa karantina. Dia yang menalangi semua kebutuhan harianku seperti keperluan makan, minum, dan lainnya, karena aku tidak bisa keluar rumah selama menjalani masa karantina ini. Dia yang mau membantu apa pun yang aku minta.

Banyak orang yang terlibat dalam prosesku menjalani studi S2 di Adelaide ini. Ada Stiven Daniel, Pak Anang Kemendagri, brother Mansye dari Ambon, pegawai BKD Provinsi Jateng, dan banyak lainnya. Begitu banyak orang yang terlibat dalam menciptakan kebaikan dalam hidupku, hingga aku tidak bisa menyebutkan semuanya.

Mereka telah membuatku berkomitmen untuk melakukan kebaikan bagi orang lain. Tentu mereka tidak mengharap balas budi atas apa yang mereka berikan padaku. So, I should pass it on to others. Insya Alloh!

Membuat Keputusan yang Salah


Dalam hidup, manusia pasti pernah membuat keputusan yang salah. Saat keputusan salah diambil, biasanya muncul rasa sesal yang dalam. Seperti yang aku alami sekarang ini. Aku salah dalam mengambil keputusan tentang pemilihan tempat karantina saat tiba di Adelaide. Ada dua pilihan karantina sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah South Australia. Kita bisa memilih untuk melakukan karantina di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu, kita juga bisa melakukan karantina di tempat yang kita pilih sendiri, asalkan memenuhi segala aspek yang disyaratkan oleh pemerintah.

Nah, bodohnya, aku memilih karantina mandiri. Kenapa aku menyebutnya bodoh, karena karantina mandiri itu cukup merepotkan diri dan orang lain. Aku harus mencari makanan untuk dikonsumsi setiap hari, sementara aku tidak bisa keluar kemana-mana. Jalan satu-satunya ya merepotkan teman. Memang sih ada teman baik yang mau direpotkan untuk mengurus akomodasiku. Namun hati kecil pasti merasa kurang nyaman ketika begitu banyak merepotkan orang lain atas urusan kita. Soal mencari makanan, melakukan test swab PCR di kota, dan lain sebagainya harus diupayakan oleh sendiri.

Beda dengan karantina di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Segala sesuatu yang ebrkaitan dengan hajat kita bakal diurus oleh para pegawai yang bertugas. Dari urusan makan, pengecekan kesehatan, test swab PCR berkala, dan lainnya, semuanya diurus oleh pegawai yang bertugas. Kita hanya perlu ber-betah diri berada di kamar selama masa karantina. Rasa bosan tentu ada, namun fasilitas karantina yang memadai cukup menjadi support untuk wellbeing kita. Memang sih, karantina di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah itu tidak gratis, mahal malah. Namun semua biaya bisa direimburse ke lembaga pemberi beasiswa.  Setidaknya seperti itu gambaran karantina di fasilitas pemerintah yang dishare oleh seorang teman.

Entah kenapa aku memutuskan karantina mandiri. Padahal semua sudah jelas, bahwa karantina di fasilitas pemerintah jauh lebih membuat nyaman, karena kita tidak perlu mikir apa pun berkaitan dengan hajat kita. Aku sendiri juga tidak tahu, apa yang jadi alasan kuat sehingga aku memilih karantina mandiri di tempat akomodasi. Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa karantina mandiri memungkinkan aku untuk merasa lebih “bebas”. Ternyata tidak. Semua penghuni akomodasi melek aturan. Tetap ada banyak batasan yang harus aku patuhi selama melakukan karantina mandiri. Wilayah gerakku hanya kamar tidur, kamar mandi, dan toilet. Tidak lebih dari itu. Namun ada aspek-aspek lain yang membuatku merasa beruntung. Keberuntungan pertama adalah teman-teman penghuni akomodasi ku sangat sangat baik. Ada dua orang. Mereka sangat enteng dalam membantuku. Bahkan satu di antara keduanya merupakan adik dari temanku saat kuliah S1 dulu. Dunia terasa sempit. Ini yang membuatku yakin bahwa aku bakal betah di sini. Selain itu, tempat akomodasi ini memiliki akses internet yang kencang. Aku yang terbiasa betah berlama-lama menyendiri di ruangan merasa seperti orang yang hobi menyanyi yang disuruh karaoke.

Dari pengalaman membuat keputusan yang salah ini, aku belajar hal yang berharga. Aku belajar menerima kenyataan atas keputusan yang salah. Aku belajar tentang bagaimana merubah situasi sulit menjadi jauh lebih positif dan produktif. Aku sudah memaafkan diri atas keputusan salahku ini. I have embraced this situation. Yang harus kulakukan sekarang adalah mengisi waktu yang ada dengan sederet kegiatan positif nan produktif.

 

Minggu, 19 Desember 2021

Alhamdulillah, akhirnya aku tiba di Australia

 

Rasanya seperti mimpi. Akhirnya kesampaian juga aku menginjakkan kaki di tanah Australia. Setahun setengah ini aku berjibaku dengan ketidakpastian. Bisa merasakan hidup di Australia lagi seperti hanya harapan. Masa pandemic dan sikap pemerintah Australia selama ini telah mengubur harapan, hingga aku putus asa dan tak yakin bisa berangkat ke Australia. Kini di hari kedua aku berada di Australia, aku merasa seperti tidak nyata.

Benar kata orang bijak, bahwa teruslah berdoa. Paksakan diri untuk meyakini bahwa apa yang diharapkan akan terwujud nyata, walau logika seolah menutup semuanya. Alloh, Tuhan sang Maha penguasa atas semesta raya memiliki kuasa untuk merubah segala situasi yang ada. Hal ini semakin membuatku bersyukur, bahwa Alloh tak henti-hentinya memberiku karunia.

Australia sekarang masih terasa kental vibenya sebagaimana Australia yang pertamakali  aku kenal dulu di tahun 2015. Aromanya khas, semerbak buah citrus yang membuat pikiranku selalu terasosiasi dengan Australia setiap kali menciumnya. Udaranya khas, lembut, dingin namun tetap nyaman. Aku merasa seperti I am now being right in the place where I belong. Sepertinya aku bakal betah berlama-lama di sini. Sedihnya, hanya tersisa 6 bulan saja. Tapi taka pa. Masih tetap aku harus bersyukur diberi kesempatan olehNya untuk bisa bersua dengan Australia.

Beruntungnya, aku mendapatkan tempat tinggal yang penuh dengan orang-orang baik. Fathan, anak S1 yang selalu sigap membantuku tanpa pamrih. Faqih, tetangga kamar, yang ternyata adalah adik dari temanku sewaktu kuliah S1 dulu. Dunia terasa begitu sempit. Susah untuk aku menyebutnya sebagai sebuah kebetulan. Ini semua scenario Alloh SWT. Pasti ada khikmah di dalam setiap peristiwa yang digariskanNya.

Kini aku harus berfokus pada menyelesaikan studiku dengan semaksimal yang aku mampu. HD adalah target nilai yang harus aku capai. Disertasi ku harus mendekati sempurna. Tulisanku harus berkualitas dan dimanfaatkan oleh banyak orang. Pikiran-pikiranku harus berdampak besar bagi pendidikan. Terimakasih ya, Alloh. Aku bahagia. Aku berterimakasih atas semu yang Engkau karuniakan kepadaku. Engkaulah yang maha segalanya.

  

Jumat, 10 Desember 2021

Now or never at all!


Waktu terbaik untuk melakukan sesuatu adalah sekarang, jika memang ada waktu. Orang yang membayangkan indahnya atau nyamannya mewujudakn suatu ide di masa nanti/masa yang akan datang, sudah hamper pasti dia tidak akan mewujudkannya sama sekali sampai kapan pun.

Aku telah mempelajari karakteristik dari momentum. Jika kita memiliki suatu rencana dan ingin mewujudkannya, waktu terbaik untuk memulainya adalah sekarang. Misalnya, kita memiliki rencana untuk menulis dan mempublikasikan sebuah buku. Waktu yang terbaik untuk mewujudkan rencana tersebut adalah sekarang. Mulailah walau hanya sekedar membuat kerangka tulisan, atau daftar isi. Berdasarkan pengalaman pribadi, selesai membuat daftar isi, ada rasa lega. Ada sense of accomplishment, which is a good feeling. Namun membuat daftar isi saja tidak cukup. Sense of accomplishment yang muncul sesaat setelah selesai membuat draft bisa menjadi semacam pseudo-relief. Rasa relief sesungguhnya adalah ketika semua proses selesai hingga terwujudlah sebuah buku yang tercetak dan terpublikasikan. Maka, selesai mebuat daftar isi, mulailah untuk menulis satu demi satu poin bahasan, hingga selesai. Semuanya tidak harus selesai in one single sitting, coz it is hardly possible. Namun, jika kita tetapkan deadline untuk penyelesaian setiap poin bahasan dan berkomitmen untuk menyelesaikannya hingga tuntas, maka akhirnya selesai juga.

Motivasi seringkali muncul secara random. Ia muncul seketika dan membuat orang tergopoh-gopoh untuk segera melakukan sesuatu. Motivasi memang penting, karena ia mendorong orang melakukan sesuatu. Namun yang membuat suatu rencana terwujud sempurna adalah endurance untuk menjalani proses yang panjang. Saat-saat munculnya motivasi adalah momentum yang tidak boleh dilewatkan untuk segera terjun menjalani proses mewujudkan rencana. Jika hanya karena merasa masih ada waktu yang panjang lantas kita menunda, percayalah bahwa kita akan terus menunda hingga rencana kita tidak kunjung terwujud. Mengapa satu moment penundaan bisa memicu penundaan lainnya? Karena penundaan adalah candu. Saat orang menunda untuk berproses mewujudkan suatu rencana, dia akan cenderung ketagihan untuk melakukan penundaan lagi. Hal tersebut akan diperparah oleh fakta bahwa meraih kembali momentum dimana motivasi muncul tidak lah mudah.

Latihlah diri untuk segera menyelesaikan upaya perwujudan suatu rencana. Tetapkan batasan waktu untuk penyelesaian suatu urusan, atau perwujudan suatu hajat. Membiasakan diri menyelesaikan sesuatu mungkin akan terasa sulit pada awal prosesnya. Butuh pemaksaan diri. Pemaksaan diri yang dibalut dengan kesadaran bahwa selesainya suatu urusan adalah hal yang rewarding, serta kesadaran bahwa tidak selesainya suatu urusan merupakan kerugian.

Sense of accomplishement itu penting. Orang yang sering merasakan sense of accomplishement, maka “otot” kebiasaan menyelesaikan suatu urusan atau mewujudkan ide akan terbentuk secara prima. Sense of accomplishment bisa dilatih dengan mewujudkan target-target kecil yang ditentukan deadline penyelesaiannya. Jika latihan meraih target-target kecil berhasil dilakukan, naikkan level targetnya. Niscaya kita akan terbiasa menyelesaikan target-target besar.

Kamis, 09 Desember 2021

Tentang Kampanye Literasi di Sekolah


Saat Anies Baswedan menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan, beliau menggalakkan program 15 menit membaca di awal masuk kelas setiap hari di sekolah. Program tersebut diselenggarakan dengan tujuan untuk mengkampanyekan budaya literasi. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa kenapa perlu ada kampanye literasi di sekolah. Bukankah secara nature sekolah merupakan tempat yang semestinya lekat dengan literasi? Bukankah sekolah adalah tempat yang lekat dengan kegiatan membaca dan menulis? Lantas kenapa perlu ada kampanye literasi di sekolah?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata literasi memiliki makna kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa literasi dianggap penting dan harus dibudayakan, sehingga pemerintah melakukan program kampanye literasi? Karena sudah ada bukti empiris bahwa tingkat literasi berkorelasi positif dengan kemajuan suatu bangsa. Negara-negara yang tingkat literasinya tinggi terbukti memiliki kemajuan yang tinggi dalam berbagai bidang seperti ekonomi, social, politik, budaya, dan lainnya. Sementara tingkat literasi yang rendah juga berpengaruh terhadap kondisi memprihatinkannya suatu Negara. Kondisi tersebut umumnya terjadi di negara-negara yang terbelakang.

Ada kebijakan tentu ada dasar pertimbangannya. Secara logika, adanya program kampanye literasi di sekolah disebabkan karena ada masalah dengan kurangnya budaya literasi di sekolah. Pemerintah tak perlu membuat kebijakan kampanye literasi di sekolah jika para civitas akademika di berbagai sekolah di Indonesia sudah lekat dengan budaya literasi. Untuk mengetahui gambaran seberapa besar prosentase civitas akademika (guru, siswa, kepala sekolah, dan tenaga administrasi) yang lekat dengan literasi, tentu dibutuhkan penelitian. Namun secara hipotesis saya bisa menyimpulkan bahwa masih sangat banyak guru dan siswa yang tidak memiliki kebiasaan yang berhubungan dengan literasi seperti membaca dan menulis.

Bukankah aktivitas belajar di kelas berkaitan erat dengan kegiatan membaca dan menulis? Memang benar bahwa kegiatan di kelas lekat dengan aktivitas baca tulis, namun baca tulis di kelas yang berkaitan dengan pembelajaran suatu mata pelajaran tidak serta merta bisa dijadikan dasar kesimpulan bahwa mereka yang terlibat aktivitas belajar di kelas sudah terbukti memiliki budaya literasi.

Mengakses sumber belajar sebatas untuk keperluan pembelajaran di kelas adalah literasi pada level yang sangat minimal. Siswa yang tak suka membaca pun akan terpaksa membaca ketika itu adalah suatu keharusan sebagai syarat untuk bisa sukses dalam ujian atau ulangan harian, misalnya. Literasi yang diharapkan menjadi budaya adalah literasi yang didasari atas kesadaran akan manfaat literasi bagi kehidupan seorang individu. Seorang individu yang memiliki kesadaran penuh akan manfaat dari literasi bagi kehidupannya akan memiliki motivasi instrinsik untuk melakukan aktivitas baca tulis.

Cara efektif kampanye literasi di sekolah

Kampanye budaya literasi yang efektif di sekolah membutuhkan upaya kolektif kolaboratif dan integrative. Artinya, kampanye literasi tidak bisa diharapkan berhasil jika hanya mengandalkan satu jenis program tunggal dan melibatkan satu pihak saja. Dalam artikel ini, saya ingin mengulas tentang beberapa hal yang harus diintergrasikan sebagai upaya untuk mengkampanyekan budaya literasi.

Pertama, adanya role model. Betapa banyak siswa yang tak mengetahui apa manfaat dari membaca buku. Bahkan sebagian dari mereka masih banyak yang memiliki persepsi negative bahwa membaca adalah aktivitas yang membosankan. Ada juga yang berpikir bahwa membaca adalah aktivitas yang hanya diperlukan untuk sukses menjalani ulangan harian atau ujian akhir semester. Selebihnya membaca dianggap tidak ada relevansinya terhadap kehidupan mereka. Mereka memiliki persepsi negative seperti itu karena mereka tidak memiliki role model yang bisa meyakinkan mereka akan manfaat dari membaca. Supaya para siswa suka membaca dan menulis, maka guru dan kepala sekolah harus menunjukkan attitude kesukaan terhadap membaca dan menulis. Di setiap sesi pembelajaran di kelas, guru perlu meyakinkan siswa tentang apa manfaat membaca bagi mereka. Penjelasan tentang manfaat membaca tersebut tentu harus dikaitkan dengan pengalaman empiris kehidupan siswa.

Guru perlu masuk ke dunia siswa untuk bisa meyakinkan mereka tentang manfaat membaca. Misalnya, para siswa pada umumnya adalah remaja yang sedang berada pada masa mencari identitas diri. Ada yang memiliki masalah dengan interaksi sosial. Banyak siswa yang ingin tau bagaimana caranya diterima di berbagai komunitas. Bagaimana caranya agar disukai oleh banyak orang. Bagaimana caranya agar bisa percaya diri. Bagaimana caranya agar bisa berkomunikasi secara efektif. Bagaimana caranya agar bisa belajar bahasa asing dengan mudah. Dalma hal ini, literature bacaan yang teptat yang musti direkomendasikan oleh guru kepada siswa adalah buku-buku self-help, motivasi, prikologi terapan, dan buku-buku “how-to” lainnya. guru bisa berdiskusi dengan siswa tentang permasalahan apa yang sedang mereka hadapi, dan kemudian secara spesifik merekomendasikan buku atau bacaan tertentu yang relevan dengan solusi atas masalah yang mereka hadapi.

Kedua, sediakan fasilitas yang merangsang serta menumbuhkan minat baca. Peran perpustakaan sekolah sangat strategis dalam kampanye literasi di sekolah. perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang sangat nyaman bagi siswa. Fasilitas tempat duduk yang nyaman, ruangan yang bersih bebas dari debu, karpet yang tebal, bantal-bantal empuk yang bisa dipakai untuk selonjoran sambil baca-baca, aroma ruangan yang wangi, sirkulasi udara yang sehat, serta pegawai perpustakaan yang ramah semestinya terjamin dalam perpustakaan sekolah. jangan sampai perpustakaan hanya jadi tempat untuk meminjam buku paket mata pelajaran saja. Terlebih jika pegawainya tidak ramah pada siswa. Kenyamanan lingkungan perpustakaan adlaah bagian dari kunci keberhasilan kampanye literasi di sekolah.

Saat mendirikan Rumah Baca, Gol A Gong tidak secara langsung mengarahkan warga sekitar untuk membaca buku-buku koleksi yang disediakan di Rumah Baca tersebut. Gol A Gong lebih memilih pendekatan yang soft. Dia sediakan ruangan yang nyaman, serta berbagai fasilitas yang membuat warga sekitar tertarik untuk masuk ke Rumah Baca tersebut. Hasilnya, lambat laun warga terpancing untuk membaca buku yang ada di Rumah Baca tersebut.

Selain itu, koleksi buku di perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kampanye budaya literasi di sekolah. Pengadaan buku-buku di perpustakaan semestinya disesuaikan dengan kebutuhan literature siswa. Buku buku seputar topic yang tidak berkaitan dengan dunia siswa sebaiknya tidak diprioritaskan, seperti buku politik, contohnya, meskipun itu juga perlu. Buku-buku fiksi yang best-seller, atau buku-buku tentang psikologi terapan sangat perlu untuk diprioritaskan. Buku-buku seputar psikologi remaja akan menarik minat siswa. Namun variasi literature juga perlu diperhatikan, agar jangan sampai ada nuansa monoton atas topic dari buku-buku yang tersedia di perpustakaan.

Ketiga, kampanye literasi melalui program-program OSIS. OSIS sebagai organisasi yang digawangi oleh para siswa memiliki peran strategis dalam kampanye literasi di sekolah. Program bedah buku, training kepenulisan, training copywriting untuk keperluan digital marketing, lomba-lomba menulis, dan program lainnya perlu dirumuskan dan dilaksanakan oleh OSIS.  Lomba-lomba yang berkaitan dengan membaca dan menulis seperti lomba menulis synopsis, novel, cerpen, puisi, atau karya non-fiksi bisa menjadi pelecut semangat siswa untuk aktif dalam membaca dan menulis. Seorang individu pada umumnya membutuhkan goal tertentu sebagai dasar kenapa mereka harus melakukan suatu proses mempelajari sesuatu. Lomba kepenulisan bisa menjadi goal yang membuat para siswa merasa harus terus membaca dan berlatih menulis.

Ada banyak ide yang bisa dilaksanakan sebagai upaya dalam memngkampanyekan budaya literasi di sekolah. Dalam perumusan program, kepala sekolah perlu melibatkan berbagai elemen sekolah, termasuk guru, siswa, orang tua dan komite sekolah. Penyelenggaraan diskusi untuk mendapatkan ide-ide segar kampanye literasi sangat layak untuk dilaksanakan. Semakin banyak kepala yang dilibatkan dalam merumuskan ide, tentu akan semakin bagus demi tercetusnya beragam gagasan.

Are You an Excellent Teacher?

Siapakah excellent teachers?

Seperti apakah gambaran dari excellent teachers?

Dalam system pendidikan di Indonesia, guru diharuskan untuk berupaya memenuhi standard kompetensi. Standar kompetensi guru menurut Undang-Undang nomer 14 tahun 2005 gtentang Guru dan Dosen mencakup kompetensi professional, sosial, pedagogis dan personal. Keempat kompetensi tersebut menjadi tolok ukur kualitas seorang guru, dalam kacamata Undang-Undang tentang Guru dan Dosen. Untuk meraih kompetensi tersebut, dibutuhkan proses yang cukup panjang, karena tidak ada one single professional development program maupun one single teaching experience yang bisa membentuk empat kompetensi tersebut secara penuh.  Selesai menjalankan studi di jurusan keguruan tidak serta-merta menjamin seorang guru mencapai empat kompetensi tersebut. Untuk mencapainya, guru harus menjadi longlife learners and reflective practicers.

Definisi tentang excellent teachers juga dirumuskan oleh Organisation for Economic Cooperation and Development's (OECD). Pada tahun 1990an, OECD mensponsori pelaksanaan penelitian di dua Negara anggota OECD untuk mendapatkan kesimpulan tentang apa itu excellent teachers. Dalam praktik penelitian tersebut, guru-guru dari  dari tujuh sekolah di Amerika dipilih berdasarkan pertimbangan kualitas output siswa, kehadiran siswa di kelas, kenaikan nilai akademik siswa, dan reputasi guru serta sekolah di lingkungan masyarakat. Kehadiran siswa dalam proses pembelajaran di kelas serta pencapaian nilai akademis mereka dimasukkan ke dalam dasar pertimbangan pemilihan guru yang dilibatkan dalam penelitian tersebut, karena OECD meyakini bahwa ada korelasi positif antara kualitas guru dengan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Sementara, penelititan di Selandia Baru, OECD melibatkan lima guru yang dipilih berdasarkan rekomendasi dari sebuah perguruan tinggi keguruan. Guru-guru tersebut dinilai memiliki kualitas mumpuni dan reputasi yang tinggi untuk disebut sebagai guru yang excellent. Pemilihan guru-guru tersebut juga disetujui oleh kepala sekolah masing-masing guru dan kementerian pendidikan setempat.

Guru-guru yang dilibatkan dalam penelitian tersebut diobservasi dan diwawancarai secara intensif selama 20 jam masing-masing. Hasil dari penelitian tersebut disimpulkan bahwa excellent teachers memiliki kualitas sebagai berikut;

1.      Memiliki komitmen dan passion untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi para siswa

2.      Menguasai teori dan praktik pedagogis secara komprehensif

3.      Memiliki rasa cinta yang diwujudkan dalam menjalin hubungan yang penuh kehangatan dan kepedulian dengan siswa

4.      Menguasai dan menggunakan berbagai model pembelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan serta karakteristik siswa

5.      Berkolaborasi dengan rekan sejawat dalam merencanakan, mengobservasi, dan membahas kinerja satu sama lain.

6.      Melakukan praktik refleksi secara konsisten dan berkesinambungan

Hasil dari penelitian yang disponsori oleh OECD tentang excellent teachers kurang lebih sama dengan standard kualitas guru yang digambarkan dalam Undang-Undang no. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mudah untuk semua guru menjadi excellent teachers? Banyak guru yang memiliki excuse bahwa beban guru sangatlah banyak. Semua pekerjaan terkait pembelajaran tidak bisa selesai sepenuhnya di sekolah. terkadang Guru masih harus pulang membawa beban kerja sekolah dan menyelesaikannya di rumah. Bukan hanya terkait perencanaan, pelaksanaan pembelajaran serta penilaian siswa, yang dilakukan oleh guru. Guru juga memiliki beban administrasi yang cukup merepotkan, apalagi jika status guru tersebut adalah guru Aparatur Sipil Negara (ASN). Lantas, apakah masih mungkin guru mengupayakan diri untuk menjadi excellent teachers? Kurang lebih begitu lah excuse yang sering muncul dari guru saat ada diskusi tentang upaya peningkatan kompetensi guru.

Tidak ada excuse yang bisa diterima untuk guru menyerah dalam upaya meningkatkan kompetensi diri. Upaya mencapai standard kompetensi guru semestinya adalah upaya kolektif. Guru sendiri harus memiliki kesadaran penuh untuk terus berbenah dan belajar. Di sini, praktik refleksi secara berkesinambungan snagatlah penting. Namun, stakeholder pendidikan lain seperti kepala sekolah dan dinas pendidikan juga harus proaktif dalam menyelenggarakan kegiatan pengembangan kompetensi guru secara berkesinambungan. Akses terhadap sumber belajar sangat lah banyak. Teknologi informasi dan komunikasi memungkinkan guru mengakses berbagai platform sumber belajar. Proses pengembangan diri guru bisa dilakukan di waktu kapan pun, disesuaikan dengan availability mereka. Guru juga bisa memanfaatkan berbagai komunitas atau forum keguruan untuk meningkatkan kompetensi mereka. Contohnya forum Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Sekolah bisa menjadi fasilitator penyelenggaraan In House Training secara terjadwal dan berkelanjutan. Di sisi lain, kementerian pendidikan juga menyediakan akses belajar secara Cuma-Cuma bagi guru. penyelenggaraan workshop memang penting. Namun seringkali soal pemerataan kesempatan menghadiri workshop masih menjadi isu klasik, karena workshop offline biasanya hanya bisa dihadiri oleh guru dengan jumlah yang terbatas.

So, are you an excellent teacher? Jika belum, are you committed to take process to be excellent teacher? Hanya kemauan lah yang menjadi pembeda antara excellent teachers dan not excellent teachers.

Sekolah itu untuk apa sih?

 

Orientasi paling buruk tentang sekolah adalah bahwa sekolah itu tentang mencari nilai akademik yang tinggi. Tidak ada salah dengan nilai tinggi, memang. Bahkan bagus kalo kita meraih nilai tinggi. Namun yang jadi masalah adalah ketika hal tersebut jadi orientasi, atau jadi focus utama. Kenapa berorientasi terhadap nilai adalah hal yang buruk? Karena berorientasi terhadap nilai tinggi akan membuat kamu melewatkan hal yang jauh lebih penting yang semestinya lebih layak jadi orientasimu dalam bersekolah.

“Nilai yang tinggi mungkin akan mengantarkanmu ke ruang wawancara seleksi kerja atau beasiswa studi lanjut. Namun your personal and professional quality lah yang akan membuatu sukses melewati wawancara tersebut”

Demikian bunyi kutipan dari tokoh entrepreneur dunia, Jack Ma.

Sejatinya, sekolah adalah wahana penempaan diri individu untuk menyiapkan mereka dalam mengadapi tantangan kehidupan, dan agar menjadi warga Negara dan warga dunia yang baik. Tantangan kehidupan berubah begitu dinamis seiring dengan berubahnya peradaban manusia. Oleh karena itu, arah kebijakan pendidikan yang dirumuskan oleh pemerintah berbagai Negara juga selalu berubah, sejalan dengan perkembangan zaman. Di abad 21 ini, system pendidikan diarahkan untuk membantu peserta didik mencapai berbagai kompetensi, yang sering disebut dengan kecakapan abad 21 (21st century skills). Kecakapan tersebut adalah komunikasi, kolaborasi, kreativitas, berpikir kritis dan memecahkan masalah, karakter, serta kewarganegaraan.

Kecakapan-kecakapan tersebut memiliki nilai universal. Terlepas dari keberagaman latar belakang budaya, bahasa, norma, standard nilai dan adat istiadat yang ada pada berbagai Negara, kecakapan tersebut sangat relevan untuk dikuasai oleh peserta didik karena dinilai mampu menjadi jawaban atas tantangan di abad 21 ini.

Sekarang kita bahas sejauh mana bukti bahwa orientasi nilai tinggi dalam bersekolah adalah orientasi yang keliru. Dalam sebuah wawancara, Elon Musk, orang amerika yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di planet bumi, ditanya tentang bagaimana cara dia merekrut orang untuk dilibatkan dalam tim di perusahaannya. Jawaban Elon Musk kurang lebih adalah “Saya akan merekrut orang berdasarkan sejauh mana ia mampu mengatasi berbagai masalah. Saya tak peduli aspek lainnya. Yang jelas, jika dia bisa mengatasi masalah apa pun, dalam situasi apa pun, dalam konteks menjalankan roda perusahaan, maka saya akan rekrut dia”.

Jawaba Elon Mask pada penggalan sesi wawancara tersebut menyiratkan pentingnya kemampuan memecahkan masalah, atau mencari solusi atas masalah. Dalam merekrut pegawai, elon Musk sama sekali tidak menunjukkan ada penekan pada seberapa jauh kemampuan akademik yang dimiliki oleh seorang kandidat. Kemampuan mengatasi masalah bukan lah sebuah kompetensi tunggal. Ia adalah ekstraksi dari berbagai skill yang mencakup leadership skill, communicative skill, collaborative skill, critical thinking skill, character, serta aspek kualitas diri lainnya.

Abad 21 ini sering disebut sebagai era disrupsi. Kenapa disebut sebagai era disrupsi? Jawabannya adalah karena banyak perubahan secara drastis yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Di era disrupsi ini, orang dituntut untuk melakukan banyak penyesuaian. Di jaman sebelum era disrupsi, orang bisa sukses hanya dengan melalui one man show. Di jaman disrupsi ini, orang harus melakukan kolaborasi untuk mencapai keberhasilan maksimal. Pada jaman dahulu, individu dididik melalui system pendidikan untuk memiliki competitiveness (daya saing). Itu lah alasannya kenapa di sekolah ada istilah ranking. Peserta didik dituntut untuk berusaha dan berlomba-lomba meraih ranking yang paling tinggi. Namun di era sekarang, kerja kerja kolaboratif akan mengungguli kerja-kerja yang menekankan pada individual competitiveness.

Era disrupsi dipengaruhi oleh perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat. Era disrupsi ini, orang dituntut untuk memiliki kerativitas agar bisa survive. Dalam konteks mencari pendapatan, misalnya. Dulu, orang harus punya modal besar untuk menjalankan usaha/bisnis. Setidaknya, pada umumnya dibutuhkan tempat usaha yang representative dan produk yang berkualitas tinggi agar seseorang bisa jualan dan menghasilkan uang. Namun sekarang kreativitas memungkinkan orang untuk mendapatkan uang sambil santai di rumah. Bahkan, hanya dengan membuat konten video yang diunggah di berbagai kanal media social bisa menjadi jalan orang mendapatkan uang. Dengan kreativitas yang ditopang oleh teknologi, seorang penjual tidka perlu bertatap muka dengan calon pembeli dari Negara lain. Semua proses transaksi bisa dilakukan dari jarak jauh. Dengan kreativitas yang ditopang oleh teknologi informasi pula, seorang petani tidak harus risau mencari tengkulak untuk memborong hasil pertaniannya. Mereka bisa memasarkan produk pertanian mereka melalui berbagai marketplace yang ada.

Semua yang dijabarkan di atas adalah gambaran tentang dinamika tantangan kehidupan yang harus dijawab oleh setiap individu melalui pendidikan. Semua contoh di atas menggambarkan betapa orientasi dalam menjalani kegiatan pendidikan di sekolah semestinya diluruskan. Nilai akademik tinggi memang bagus, namun semestinya yang diutamakan adalah peningkatan kualitas-kualitas yang disebut sebagai kecakapan abad 21, karena itu yang akan membawa seseorang survive dalam menghadapi tantangan zaman.

Memasyarakatkan orientasi pendidikan di sekolah

Pada kenyataannya, banyak peserta didik maupun orang tua peserta didik yang belum memiliki orientasi pendidikan di sekolah yang bagus. Masih banyak di antara mereka yang memiliki orientasi yang keliru. Bahkan banyak yang berpikir bahwa sekolah hanya sebatas mencari ijasah. Tentu sangat rugi sekali jika peserta didik menjalani satu jenjang pendidikan selama tiga tahun hanya sebatas untuk mencari ijasah. Oleh karena itu, sekolah semestinya menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam memasyarakatkan orientasi belajar peserta didik. Peserta didik dan orang tua perlu diberi pemahaman tentang bagaimana merumuskan visi pribadi dalam menjalani kegiatan pendidikan di sekolah. Mereka perlu diberi pemahaman tentang kecakapan abad 21, dan relevansinya terhadap tujuan pendidikan.

Momen strategis untuk memasyarakatkan orientasi sekolah yang bagus adalah di pada masa awal tahun ajaran baru. Biasanya sekolah mengadakan rapat dengan orang tua peserta didik. Forum rapat tersebut semestinya dimanfaatkan oleh sekolah untuk memberikan pemahaman tentang orientasi pendidikan di sekolah yang baik kepada orang tua dan peserta didik. Jika ada kesamaan orientasi antara pihak sekolah, orang tua dan peserta didik maka akan lebih mudah mengarahkan pendidikan pada tercapainya kecakapan abad 21 peserta didik.

 

Selasa, 07 Desember 2021

Gambaran Hidup Ideal Julio

 

Jadi si Julio kayaknya enak ya. Bisnis ekspor nya jalan dan sukses. Yayasan amal nya jalan dan semakin hari semakin bertambah target sasaran donasinya. Bebebrapa bulan sekali dia pergi ke luar negeri untuk bertemu client sembari jalan-jalan. Andai dia mau, dia bisa umroh atau mengumrohkan orang tiap bulan. Semua kebutuhan sanak familinya dicukupinya. Bahkan dia punya banyak anak asuh yang disekolahkannya di berbagai lembaga pendidikan.

Enak ya jadi si Julio. Popularitasnya meningkat, seiring dengan meningkatnya efektivitas personal branding yang dia upayakan. Setelah sekian lama berjuang membuat system yang autopilot, kini kesibukannya hanyalah membuat konten untuk edukasi melalui berbagai kanal media sosial. Gak kebayang berapa banyak amal yang dia buat melalui ilmu-ilmu penuh manfaat yang berdampak luas nan signifikan bagi masyarakat luas.

Enak ya jadi si Julio. Setelah bisnis utamanya stabil, kini dia bisa ekspansi ke bisnis lainnya. Soal modal dia tidak ada masalah. Kalaupun harus rugi 10% dari total asset yang dimilikinya pun dia bisa nothing to lose, karena dia punya strong capital.

Enak ya jadi si Julio. Dia bisa mengekspresikan diri terjun dalam berbagai komunitas. Dia diterima di berbagai kalangan, karena memang keberadannya benar-benar dirasa penting bagi banyak orang. Di saat banyak orang eksis di berbagai komunitas untuk mendapatkan keuntungan material dari komunitas-komunitas tersebut, Julio justru menghidupi berbagai komunitas tesebut.  

Enak ya jadi si Julio. Banyak langkah hidup yang dia jalani yang benar-benar ada dalam kendalinya. Dia meredeka secara finansial. Dia merdeka secara pikiran. Dia merdeka dari segala tekanan. Dia merdeka secara waktu. Dia merdeka dalam memilih aktivitas apa pun yang dia mau. Dia benar-benar merdeka.

Enak ya jadi si Julio. Mau berdonasi tiap minggu 50 juta, bisa. Mau menyantuni anak yatim sejumlah 2000 orang, bisa. Mau mendirikan masjid besar yang jadi pusat kegiatan keislaman, bisa. Mau jalan-jalan ke berbagai tempat di berbagai belahan dunia, bisa. Mau mewujudkan WISH LIST yang telah dia buat, bisa. Mau ngasi uang ke pedagang keliling dengan jumlah yang nilainya berkali lipat dari nilai barang yang dia beli, bisa. Banyak hal yang dia bisa wujudkan. Mau ngasi hadiah istri berupa tas LV atau Gucci, bisa, meski itu ndak begitu perlu. Mau nyekolahin anak ke skeolah berkualitas internasional, bisa. Semua bisa dia lakukan. Bukan semua, lebih tepatnya adalah banyak hal yang bisa dia lakukan.

Enak ya jadi si Julio. Jalan-jalan ke luar negeri untuk nyari inspirasi dan peluang usaha yang dapat dieksekusi di dalam negeri sambil nonton pertandingan Liga Champions, bisa. Sambil jalan-jalan, dia bisa give charity dan beramal shodakoh lainnya. Cari orang-orang yang kurang beruntung yang membutuhkan pertolongan. Dengan mudahnya dia menolong orang-orang tersebut tanpa perhitungan.

Hidupnya si Julio benar-benar hidup yang idaman. kalo si Julio saja bisa, orang lain pun pasti bisa, asal berdoa dan berusaha.

 

Minggu, 05 Desember 2021

Dosen Pembimbing yang Humanis


Di sebuah mata kuliah yang bernama Education Dissertation, aku diharuskan melakukan penelitian yang dibimbing leh dua orang dosen. Aku merasa sangat beruntung memiliki dua dosen pembimbing yang sangat supportive. Bukan hanya urusan akademik saja aku mendapatkan bantuan dan bimbingan dari mereka. Hal-hal yang berkaitan dengan personal life dan mental wellbeing ku juga menjadi concern mereka.

Kami melakukan pertemuan rutin setiap minggu. Sejauh yang aku alami, dosen pembimbingku selalu memastikan bahwa kondisiku baik baik saja. Mereka memahami bahwa kondisi mental mahasiswa memang harus dipastikan aman. Sehingga, saat memulai sesi konsultasi, hal pertama yang ditanyakan oleh dosen pembimbing adalah kondisi personal life ku, khususnya wellbeing ku. Mereka memahami bahwa mental and physical health adalah dua hal yang harus dipastikan aman, karena keduanya sangat berpengaruh terhadap perjalanan penelitian mahasiswa mereka.

Sejauh yang aku alami, dosen pembimbingku sangat berperan dalam membantu progress penelitianku. Mereka akan menanyakan apakah ada kendala yang aku hadapi, dan apakah ada bantuan yang aku kehendaki pada mereka. Mereka tidak memposisikan diri sebagai judge atas progress penelitianku. Tidak ada istilah vonis salah. Tidak ada kritikan yang menjatuhkan. Tidak ada teguran dengan kata-kata bernada tinggi atau keras. Yang ada adalah sebaliknya, setiap ada aspek yang bagus, mereka menunjukkan apresiasi. Setiap ada hal yang dirasa perlu diperbaiki, mereka akan dengan santun memberi masukan. Mereka memberikan masukan seperlunya. Independensi mahasiswa benar-benar sangat terlihat dalam proses bimbingan penelitian di kampus tempatku belajar. Mereka sangat supportive, sehingga selesai sesi bimbingan, perasaan senang penuh dukungan lah yang terasa. Selesai bimbingan, aku selalu merasa mendapatkan bekal yang cukup untuk melakukan proses selanjutnya.

Cara berkomunikasi dosen sangat humanis. Tidak ada nuansa atasan-bawahan, senior-junior, ahli-amatiran, maupun nuansa relasi yang menunjukkan perbedaan kasta lainnya. Bahkan, mereka menolak untuk dipanggil professor. Cukup nama saja. Untuk soal ini memang berkaitan dengan konteks budaya yang berlaku dalam lingkungan pergaulan di Australia,termasuk dalam lingkungan pergaulan di lingkungan akademik. Tentu hal tersebut tidak bisa dipaksakan untuk dipraktikan di Negara dimana tata sopan santun sedemikian rupa sehingga untuk memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan nama saja tidak bisa diterima secara etika.

Mengalami perlakuan yang sangat positif dari dosen pembimbingku selama menjalani berbagai sesi konsultasi, aku jadi ter-trigger untuk membandingkannya dengan pengalaman bimbingan penelitian yang dialami baik olehku sendiri maupun oleh orang-orang yang ku kenal. Banyak cerita miris yang kudapatkan, seperti dimarahi dosen, dikritik habis-habisan tanpa diimbangi dengan masukan solusi yang cukup, dan pulang dari sesi bimbingan dengan perasaan galau, down, sedih, dan under presure. Tentunya tidak semua pengalaman bimbingan penelitian yang dialami oleh semua mahasiswa di Indonesia seperti itu. Namun pengalaman seperti itu sangat banyak, sehingga aku jadi berpikir kalau hal tersebut memang tipikal pengalaman bimbingan penelitian di Indonesia.

Andai semua dosen pembimbing penelitian bersikap secara humanis dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan mahasiswa yang melakukan penelitian, tidak perlu lagi ada mahasiswa yang stress atau depresi karena mengurus penelitian. Proses penelitian memang menguras banyak hal, tenaga, pikiran, waktu, dan biaya. Hal tersebut rentan membuat mahasiswa depresi. Dengan jalinan komunikasi dan interaksi yang humanis, mahasiswa akan merasa memiliki dukungan psikologis. Dukungan psikologis tersebut sangat bermanfaat untuk membantu mereka mengarungi proses penelitian hingga selesai.  

Sabtu, 04 Desember 2021

Adversity Privilege: Faktor pendorong kesuksesan

 

Ketika kita membahas public figure atau orang-orang sukses dan berpengaruh besar di dunia, seringkali hal yang masuk ke dalam topic pembicaraan adalah tentang privilege. Privilege memang menjadi topic menarik karena pada kenyataannya banyak orang yang terlahir dengan privilege tertentu sehingga mereka menjadi figure sukses. Konon, orang-orang kaya dunia seperti Steve Jobs, Bill Gates, Mark Zuckerberg, Warren Buffet, Jeff Bezos dsb terlahir dari keluarga berada. Mereka memperoleh akses pendidikan yang layak, karena mereka mendapatkan kondisi penuh kecukupan sejak lahir.

Jenis privilege kedua yang sering dibahas adalah circle pertemanan. Banyak orang menjadi sukses karena mereka memiliki privilege pertemanan yang positif dan mendukung mereka untuk sukses. Sandiaga S Uno memiliki privilege berteman dengan anak seorang konglomerat Indonesia. Sehingga, saat ia lulus kuliah dari sebuah perguruan tinggi di amerika, dia bisa memulai menjalankan bisnis besar dan akhirnya sukses dengan perusahaannya. Warga Negara Indonesia keturunan juga banyak yang menuai kesuksesan karena privilege circle pergaulan antar sesama warga keturunan yang sukses. Itulah kenapa kita dapati image sukse melekat kepada WNI keturunan.

Para figure terkenal seperti petinju, pesepakbola, politisi, pebulutangkis, pebalap, dan aktris juga pada umumnya memiliki privilege berupa berada pada circle yang mendukung mereka untuk mencapai kesuksesan di bidang mereka masing-masing. Megawati mungkin tidak akan jadi politisi terkenal dan berpengaruh jika dia tidak terlahir dari Rahim istrinya Soekarno. Rizky Febian mungkin juga tidak akan mudah untuk menjadi penyanyi terkenal jika dia bukan anak seorang comedian terkenal, Sule. Intinya, kesuksesan dalam bidang apa pun seringkali dinilai ada kaitannya dengan privilege. Dan itu memang benar.

Meski pengaruh privilege itu nyata, banyak orang yang mendefinisikan privilege secara sempit sebagai sebuah kondisi ketercukupan. Cukup akan kebutuhan materi yang dengannya orang bisa memulai menjalankan suatu proyek besar dalam hidupnya. Cukup akan supporting system yang sangat mendukung orang tersebut meraih pencapaian besar. Pada kenyataannya, ada situasi yang kontradiksi dengan ketercukupan yang sebenarnya itu adalah privilege. Ada seorang anak yang meraih pendidikan tinggi bukan karena dia mampu secara ekonomi, namun karena dia memiliki privilege berupa situasi sulit (adversity) yang ia alami sejak kecil yang mendorongnya untuk berubah. Konon, Liem Goh Tong, pendiri Genting Highland Resort Malaysia, hijrah dari negeri Tiongkok ke Malaysia dengan kondisi telanjang badan. Artinya, dia sama sekali tidak membawa bekal lebih untuk mengarungi kehidupan barunya di Negara tempat dia berhijrah. Situasi sulit yang mem ia alami membuatnya bersikeras untuk survive. Proses yang dia jalani untuk menjadi survive ternyata justru berbuah kesuksesan besar. Bukan hanya survive yang ia raih, melainkan juga keberlimpahan.

WNI keturunan pada umumnya termasuk kalangan menengah ke atas, karena secara ekonomi mereka unggul. Kadang kita tidak menyadari bahwa keunggulan ekonomi mereka didasari atas situasi penuh keterbatasan yang mereka alami. Dulu, mereka tidak bisa mendaftarkan diri menjadi Aparatur Sipil Negara. Karena kondisi tersebut, mereka mau tidak mau harus berwirausaha. Justru dari situasi tersebut mereka menjadi kaya raya. Bahkan, diremehkan, direndahkan, dan dicaci-maki juga bisa dikatakan sebuah privilege. Banyak orang yang mengalami perlakuan negative seperti itu yang justru terlecut semangat dan tekadnya untuk menjadi orang sukses. Mereka mengupayakan pembuktian kepada orang-orang yang telah memperlakukan mereka secara negative bahwa mereka bisa sukses. Akhirnya, benar-benar sukses lah mereka. Seandainya tidak menerima perlakuan negative yang mendorong upaya pembuktian, mungkin orang-orang tersebut tidak meraih apa-apa dalam hidupnya. Maka dari itu, itu termasuk privilege.

Privilege bukan hanya soal ketercukupan akses. Privilege juga tentang situasi sulit yang mendorong seseorang untuk bangkit. Kondisi penuh keterbatasan bisa menjadi privilege ketika ia bisa mendorong seseorang untuk bergerak dan berusaha merubah keadaan. Saya menyebutnya Adversity Privilege. Semua orang yang sukses besar di bidang mereka masing-masing pasti memiliki privilege. Itu benar. Namun, privilege yang orang-orang dapati beragam, bukan hanya privilege berupa kondisi ketercukupan, melainkan juga privilege berupa situasi negative yang mendorong mereka untuk bangkit dan akhirnya sukses.

Kamis, 02 Desember 2021

Keresahan adalah awal dari perubahan?

 


Dulu aku sempat berpikir bahwa resah atas situasi yang ada adalah hal bagus yang mengawali perubahan hidup. Aku bahkan sempat merasa senang atas keresahan yang ku alami waktu itu, karena meyakini bahwa perubahan yang besar ke arah lebih baik akan terjadi pada hidupku. Aku mendapati kesimpulan itu setelah mengamati perubahan kehidupan berbagai tokoh terkenal. Memang benar bahwa perubahan hidup yang mereka lakukan pada umumnya bermula dari keresahan atas situasi yang tidak mereka inginkan. Namun setelah sekian lama, aku tersadar bahwa resah saja tidaklah cukup. Ada tahapan yang harus dilalui untuk menuju pada perubahan besar dalam hidup.

Belakangan aku merasa bahwa keresahan atas situasi dalam hidupku tidak membawaku kemana-mana. Aku merasa bahwa aku tidak mencapai titik perubahan signifikan. Apa yang dulu kuresahkan masih saja terjadi dalam hidupku. Aku mencoba melakukan refleksi diri. Dari refleksi diri tersebut, aku menyimpulkan bahwa ada blocking stone yang semestinya telah aku robohkan saat mengalami keresahan tersebut, yaitu melakukan tindakan yang berani, penuh determinasi dan persistensi.

Dulu, aku sempat resah dengan diriku yang belum mencapai level freedom dalam segala hal, seperti waktu, finansial, ruang gerak, dan ekspresi. Posisiku sebagai seorang yang bekerja di bawah control system yang di luar kendaliku membuatku merasa kurang memiliki freedom. Terlebih, hobiku akan traveling membuat rasa resah ku semakin menggelora. Setelah aku evaluasi diri, ternyata yang jadi masalah bukanlah resah tersebut, melainkan tidak adanya kesungguhan untuk melakukan breakthrough.

Untuk mencapai freedom yang kuinginkan, semestinya aku telah lama menggeluti bidang kewirausahaan. Selain itu, aku semestinya sudah membentuk support system yang bagus. Apa yang aku capai selama ini tidak lah salah. Namun hal tersebut tidak selaras dengan keinginan untuk membuat perubahan hidup yang telah lama ingin ku wujudkan. Aku resah karena belum mencapai freedom dalam hidup, namun selama ini yang kulakukan adalah mengejar beasiswa studi ke luar negeri. Terwujud sih, dan itu keren, di satu sisi. Namun itu tidak selaras dengan hal yang jauh lebih besar yang sebenarnya ingin aku capai.

Focus ternyata telah menjadi ujian nyata dalam hidupku. Segala hal terlihat begitu penting, hingga aku melakukan banyak hal yang akhirnya men-distract focus utama dalam hidup, yaitu mencapai freedom. Kini, usiaku semakin bertambah, yang berarti bahwa kesempatan ku untuk melakukan hal-hal besar dalam hidupku semakin berkurang. Aku harus memanfaatkan sisa umurku semaksimal mungkin. Tidak ada kata terlambat untuk menjawab keresahan yang sejak dulu kualami. Masih ada kesempatan untuk melakukan lompatan tinggi dan panjang untuk hingga mencapai titik freedom. Namun kini definisi “freedom” ku sudah berubah. Freedom yang ku mau bukan sebatas pada pencapaian kebebasan materi, waktu dan ekspresi, melainkan freedom untuk berbagi kebermanfaatan terhadap lingkungan dan kehidupan banyak orang.

Rabu, 01 Desember 2021

Australia menunda open border nih, ntah sampai kapan. Hiks!!!


Baru beberapa hari mendapatkan kabar yang menggembirakan tentang dibukanya border Australia, 28 November 2021 hatiku harus hancur lagi setelah mendengar kabar pembatalan kebijakan buka border tersebut. Aku yang sebelumnya begitu riang dan optimis, tiba-tiba terjatuh lunglai merasakan hancurnya harapan. Perasaan seperti ini umumnya dirasakan oleh semua mahasiswa yang berstatus sebagai mahasiswa di kampus Australia yang harus menjalani kuliah secara online akibat kebijakan penutupan border. Aku tidak menyebut bahwa situasi tersebut terjadi akibat pandemic, karena berbagai Negara di dunia tetap membuka border untuk traveller internasional khususnya mahasiswa asing. Sedangkan Australia memang sejak awal menerapkan kebijakan penutupan border penuh. Memang, ada kebijakan pengecualian (exemption) bagi beberapa traveller tertentu. Namun untuk dinyatakan qualified sebagai penerima exemption, banyak prasyarat yang mustahil untuk aku penuhi.

Orang atheis atau agnostic akan menyebut situasi ini sebagai kesialan. Sementara orang yang beragama yang mau berpositif thinking mungkin akan menyebutnya sebagai sebuah cobaan. Terlepas dari kesialan atau cobaan, situasi ini benar-benar menuntut kesabaran. Aku sudah lama bersabar. Kesabaranku sudah teruji. Meski sudah berkali-kali dibohongi oleh pemerintah Australia, namun kali ini terasa begitu sakit. Terasa sakit karena pemerintah Australia memberikan harapan yang begitu meyakinkan, hingga akhirnya mereka jilat ludah sendiri dengan mengumumkan pembatalan kebijakan open border.

Orang awam mungkin akan berkata bahwa kebijakan seperti itu wajar dikeluarkan pemerintah untuk melindungi kesehatan dan keselamatan warganya. Namun sikap mereka sungguh begitu menyakitkan dan merugikan banyak pihak. Sebagai Negara yang terkenal akan layanan kesehatan yang bagus, sikap tertutup Australia secara terus-menerus menunjukkan bahwa mereka tak ubahnya sebuah Negara lemah yang memilih untuk menghindari melawan wabah virus dengan segala kecanggihan teknologi medisnya. boleh lah kalau dikatakan bahwa merkea memiliki hak prerogative atas kebijakan apa pun terkait keamanan warga Negara Australia. Namun mereka semestinya bisa bersikap fair, dengan memberikan kompensasi atas kerugian materiil dan immaterial yang dialami leh orang-orang yang sudah membayar mahal untuk kuliah di Australia. Faktanya, mereka terus membiarkan uang dari mahasiswa internasional masuk ke rekening mereka, sementara mereka tidak memberikan kompensasi yang sepadan. Dalam hal ini, mereka tak jauh beda dari segerombolan bajingan yang berlabel negara.

Mereka tidak pedulikan nasib seorang mahasiswa dari india yang bunuh diri karena kecewa sudah mengeluarkan uang banyak demi masuk Australia namun akhirnya upayanya sia-sia. Mereka tidak peduli berapa banyak kesehatan mental yang terpuruk atas kebijakan mereka. Mereka tidak peduli atas berapa kerugian materiil yang dialami banyak orang atas kebijakan mereka.

Sekarang situasinya begitu sulit. Aku ingin lekas berangkat, namun melihat sikap pemerintah Australia yang begitu labil, aku jadi menahan diri untuk tidak terlalu bersikap optimis atas keadaan. Ini benar-benar ujian kesabaran yang nyata. Doaku tak pernah putus. Aku pasrah terhadap keadaan, sembari tetap menaruh sedikit asa akan turunnya keajaiban Tuhan. Memang benar bahwa aku tetap harus terus bersyukur apa pun keadaannya. Namun rasa kecewa ini begitu nyata. Semoga Alloh SWT berikan aku kesempatan untuk berangkat ke Australia segera.