Kamis, 09 Desember 2021

Tentang Kampanye Literasi di Sekolah


Saat Anies Baswedan menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan, beliau menggalakkan program 15 menit membaca di awal masuk kelas setiap hari di sekolah. Program tersebut diselenggarakan dengan tujuan untuk mengkampanyekan budaya literasi. Mungkin sebagian orang berpikir bahwa kenapa perlu ada kampanye literasi di sekolah. Bukankah secara nature sekolah merupakan tempat yang semestinya lekat dengan literasi? Bukankah sekolah adalah tempat yang lekat dengan kegiatan membaca dan menulis? Lantas kenapa perlu ada kampanye literasi di sekolah?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata literasi memiliki makna kemampuan dan keterampilan individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Kenapa literasi dianggap penting dan harus dibudayakan, sehingga pemerintah melakukan program kampanye literasi? Karena sudah ada bukti empiris bahwa tingkat literasi berkorelasi positif dengan kemajuan suatu bangsa. Negara-negara yang tingkat literasinya tinggi terbukti memiliki kemajuan yang tinggi dalam berbagai bidang seperti ekonomi, social, politik, budaya, dan lainnya. Sementara tingkat literasi yang rendah juga berpengaruh terhadap kondisi memprihatinkannya suatu Negara. Kondisi tersebut umumnya terjadi di negara-negara yang terbelakang.

Ada kebijakan tentu ada dasar pertimbangannya. Secara logika, adanya program kampanye literasi di sekolah disebabkan karena ada masalah dengan kurangnya budaya literasi di sekolah. Pemerintah tak perlu membuat kebijakan kampanye literasi di sekolah jika para civitas akademika di berbagai sekolah di Indonesia sudah lekat dengan budaya literasi. Untuk mengetahui gambaran seberapa besar prosentase civitas akademika (guru, siswa, kepala sekolah, dan tenaga administrasi) yang lekat dengan literasi, tentu dibutuhkan penelitian. Namun secara hipotesis saya bisa menyimpulkan bahwa masih sangat banyak guru dan siswa yang tidak memiliki kebiasaan yang berhubungan dengan literasi seperti membaca dan menulis.

Bukankah aktivitas belajar di kelas berkaitan erat dengan kegiatan membaca dan menulis? Memang benar bahwa kegiatan di kelas lekat dengan aktivitas baca tulis, namun baca tulis di kelas yang berkaitan dengan pembelajaran suatu mata pelajaran tidak serta merta bisa dijadikan dasar kesimpulan bahwa mereka yang terlibat aktivitas belajar di kelas sudah terbukti memiliki budaya literasi.

Mengakses sumber belajar sebatas untuk keperluan pembelajaran di kelas adalah literasi pada level yang sangat minimal. Siswa yang tak suka membaca pun akan terpaksa membaca ketika itu adalah suatu keharusan sebagai syarat untuk bisa sukses dalam ujian atau ulangan harian, misalnya. Literasi yang diharapkan menjadi budaya adalah literasi yang didasari atas kesadaran akan manfaat literasi bagi kehidupan seorang individu. Seorang individu yang memiliki kesadaran penuh akan manfaat dari literasi bagi kehidupannya akan memiliki motivasi instrinsik untuk melakukan aktivitas baca tulis.

Cara efektif kampanye literasi di sekolah

Kampanye budaya literasi yang efektif di sekolah membutuhkan upaya kolektif kolaboratif dan integrative. Artinya, kampanye literasi tidak bisa diharapkan berhasil jika hanya mengandalkan satu jenis program tunggal dan melibatkan satu pihak saja. Dalam artikel ini, saya ingin mengulas tentang beberapa hal yang harus diintergrasikan sebagai upaya untuk mengkampanyekan budaya literasi.

Pertama, adanya role model. Betapa banyak siswa yang tak mengetahui apa manfaat dari membaca buku. Bahkan sebagian dari mereka masih banyak yang memiliki persepsi negative bahwa membaca adalah aktivitas yang membosankan. Ada juga yang berpikir bahwa membaca adalah aktivitas yang hanya diperlukan untuk sukses menjalani ulangan harian atau ujian akhir semester. Selebihnya membaca dianggap tidak ada relevansinya terhadap kehidupan mereka. Mereka memiliki persepsi negative seperti itu karena mereka tidak memiliki role model yang bisa meyakinkan mereka akan manfaat dari membaca. Supaya para siswa suka membaca dan menulis, maka guru dan kepala sekolah harus menunjukkan attitude kesukaan terhadap membaca dan menulis. Di setiap sesi pembelajaran di kelas, guru perlu meyakinkan siswa tentang apa manfaat membaca bagi mereka. Penjelasan tentang manfaat membaca tersebut tentu harus dikaitkan dengan pengalaman empiris kehidupan siswa.

Guru perlu masuk ke dunia siswa untuk bisa meyakinkan mereka tentang manfaat membaca. Misalnya, para siswa pada umumnya adalah remaja yang sedang berada pada masa mencari identitas diri. Ada yang memiliki masalah dengan interaksi sosial. Banyak siswa yang ingin tau bagaimana caranya diterima di berbagai komunitas. Bagaimana caranya agar disukai oleh banyak orang. Bagaimana caranya agar bisa percaya diri. Bagaimana caranya agar bisa berkomunikasi secara efektif. Bagaimana caranya agar bisa belajar bahasa asing dengan mudah. Dalma hal ini, literature bacaan yang teptat yang musti direkomendasikan oleh guru kepada siswa adalah buku-buku self-help, motivasi, prikologi terapan, dan buku-buku “how-to” lainnya. guru bisa berdiskusi dengan siswa tentang permasalahan apa yang sedang mereka hadapi, dan kemudian secara spesifik merekomendasikan buku atau bacaan tertentu yang relevan dengan solusi atas masalah yang mereka hadapi.

Kedua, sediakan fasilitas yang merangsang serta menumbuhkan minat baca. Peran perpustakaan sekolah sangat strategis dalam kampanye literasi di sekolah. perpustakaan seharusnya menjadi tempat yang sangat nyaman bagi siswa. Fasilitas tempat duduk yang nyaman, ruangan yang bersih bebas dari debu, karpet yang tebal, bantal-bantal empuk yang bisa dipakai untuk selonjoran sambil baca-baca, aroma ruangan yang wangi, sirkulasi udara yang sehat, serta pegawai perpustakaan yang ramah semestinya terjamin dalam perpustakaan sekolah. jangan sampai perpustakaan hanya jadi tempat untuk meminjam buku paket mata pelajaran saja. Terlebih jika pegawainya tidak ramah pada siswa. Kenyamanan lingkungan perpustakaan adlaah bagian dari kunci keberhasilan kampanye literasi di sekolah.

Saat mendirikan Rumah Baca, Gol A Gong tidak secara langsung mengarahkan warga sekitar untuk membaca buku-buku koleksi yang disediakan di Rumah Baca tersebut. Gol A Gong lebih memilih pendekatan yang soft. Dia sediakan ruangan yang nyaman, serta berbagai fasilitas yang membuat warga sekitar tertarik untuk masuk ke Rumah Baca tersebut. Hasilnya, lambat laun warga terpancing untuk membaca buku yang ada di Rumah Baca tersebut.

Selain itu, koleksi buku di perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kampanye budaya literasi di sekolah. Pengadaan buku-buku di perpustakaan semestinya disesuaikan dengan kebutuhan literature siswa. Buku buku seputar topic yang tidak berkaitan dengan dunia siswa sebaiknya tidak diprioritaskan, seperti buku politik, contohnya, meskipun itu juga perlu. Buku-buku fiksi yang best-seller, atau buku-buku tentang psikologi terapan sangat perlu untuk diprioritaskan. Buku-buku seputar psikologi remaja akan menarik minat siswa. Namun variasi literature juga perlu diperhatikan, agar jangan sampai ada nuansa monoton atas topic dari buku-buku yang tersedia di perpustakaan.

Ketiga, kampanye literasi melalui program-program OSIS. OSIS sebagai organisasi yang digawangi oleh para siswa memiliki peran strategis dalam kampanye literasi di sekolah. Program bedah buku, training kepenulisan, training copywriting untuk keperluan digital marketing, lomba-lomba menulis, dan program lainnya perlu dirumuskan dan dilaksanakan oleh OSIS.  Lomba-lomba yang berkaitan dengan membaca dan menulis seperti lomba menulis synopsis, novel, cerpen, puisi, atau karya non-fiksi bisa menjadi pelecut semangat siswa untuk aktif dalam membaca dan menulis. Seorang individu pada umumnya membutuhkan goal tertentu sebagai dasar kenapa mereka harus melakukan suatu proses mempelajari sesuatu. Lomba kepenulisan bisa menjadi goal yang membuat para siswa merasa harus terus membaca dan berlatih menulis.

Ada banyak ide yang bisa dilaksanakan sebagai upaya dalam memngkampanyekan budaya literasi di sekolah. Dalam perumusan program, kepala sekolah perlu melibatkan berbagai elemen sekolah, termasuk guru, siswa, orang tua dan komite sekolah. Penyelenggaraan diskusi untuk mendapatkan ide-ide segar kampanye literasi sangat layak untuk dilaksanakan. Semakin banyak kepala yang dilibatkan dalam merumuskan ide, tentu akan semakin bagus demi tercetusnya beragam gagasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar