Rabu, 13 September 2017

Menyoroti Kurikulum 13

Minggu lalu, ada acara pendampingan implementasi kurikulum 13, melengkapi serangkaian acara pelatihan untuk implementasi kurikulum baru.
Sudah begitu banyak acara demikian dimana saya terlibat sebagai peserta.
Ada beberapa hal yang ingin saya soroti:

1. Nuansa acaranya masih sama, berupa penyampaian materi teoritis tentang kurikulum yang disampaikan oleh instruktur yang telah dibekali pelatihan Training for Trainer. Namun,lagi2 sebagaimana pelatihan kurikulum yang telah terlaksana sebelumnya,tak ada sesi dimana instruktur menunjukkan pelaksanaan pembelajaran dengan dirinya sebagai model.
Entaha apa yang menjadi alasan kenapa instruktur hanya menyampaikan materi teoritis. Padahal contoh praktik mengajar yang selayaknya diperagakan oleh instruktur itu sangat penting,sebagai referensi model pelaksanaan pembelajaran yang kemudian bisa ditiru oleh guru yang mengikuti pelatihan.

2. Ada porsi yang kurang proporsional antara penjelasan mengenai topik yabg berkaitan dengan perangkat pembelajaran (RPP,Silabus, lembar penilaian,dsb) dengan topik mengenai proses pembelajaran.
Topik tentang perangkat mengajar seringnya mendapat porsi lebih besar daripada topik tentang proses pembelajaran.
Perencanaan mengajar memang penting. Namun semua pasti setuju bahwa bagian terpenting dari kurikulum adalah pengejawantahannya dalam proses pembelajaran yang dilakukan.

3. Mengikuti pelatihan kurikulum tersebut, guru terjebak pada orientasi menciptakan perangkat pembbelajaran yang sempurna, alih-alih berorientasi pada melaksanakan praktik mengajar yang lebih baik. Hal tersebut terlhat jelas, dengan begitu intensifnya supervisi terhadap rencana mengajar, yang kurang berimbang dibandingkan dengan supervisi terhadap pelaksanaan pembelajaran. Kurangnya fleksibilitas dalam menyusun perangkat mengajar juga menambah parah mis-orientasi guru.

3. Guru butuh model, untuk benar-benar memahami kurikulum. Oleh karena itu, praktik micro-teaching sebagai bagian dari pelatihan kurikulum itu sangat perlu. Siapa yang melakukan praktik micro-teaching? jawabannya semestinya adalah guru model, instruktur kurikulum. Dengan penyampaian materi teoretis minus model nyata, guru rentan terjebak pada penafsiran subjektif mengenai bagaimana melaksanakan pembelajaran berdasarkan kurikulum tersebut.

4. Kita perlu belajar pada negara-negara yang sudah maju pendidikannya. Di Australia, seringkali diadakan workshop yang fokus pada bagaimana menciptakan proses pembelajaran yang efektif. Di Jepang pun demikian. Para stake holder pendidikan di kedua negara tersebut merumuskan program rutin untuk peningkatan kompetensi mengajar guru. Dalam workshop tersebut ada sharing permasalahan mengajar, ada praktik micro-teaching yang dilaksanakan di dalam sebuah kelas model, dan ada sharing ide mengajar. Keluar dari workshop tersebut, para guru mendapatkan ide-ide baru tentang menyelenggarakan proses pembelajaran yang jauh lebih baik, lebih efektif. Dampak positifnya jelas terasa, yaitu perubahan pada pembelajaran di sekolah.

Selamat Pagi!

Kamis, 09 Maret 2017

Batasi pilihan hidupmu!


Jangan terlalu beri banyak pilihan terhadap nasib hidupmu. Cukup dua saja. Jadi pecundang maksimal, atau jadi pemenang maksimal. Which one is good! Kalau jadi pecundang, jadilah pecundang yang se-pecundang-pecundangnya. Namun kalau kamu memilih jadi pemenang, jadilah pemenang yang semaksimal mungkin. Kesannya aneh. Mengapa harus memasukkan ‘Pecundang’ sebagai pilihan. Bukankah tidak ada manusia yang secara naluriah memilih menjadi pecundang? oke. Maksud dari hal ini sebenarnya adalah bahwa tidak ada pilihan lain selain menjadi pemenang dalam hidup. Menjadi pemenang berarti memberanikan diri mengambil tantanga untuk meraih pencapaian besar dalam hidup. Menjadi pemenang berarti memberanikan diri mengenyahkan rasa takut dalam melangkah. Menjadi pemenang berarti bersungguh-sungguh untuk mendayagunakan kemampuan diri semaksimal mungkin untuk mewujudkan pencapaian yang sangat besar. 

Banyak orang yang berkata bahwa mereka memilih untuk menjadi pemenang. Namun sikap dan langkah yang mereka ambil sejalan dengan jalur untuk menjadi pecundang. Mereka takut dengan rintangan. Ciut nyali ketika tantangan menghadang. Akhirnya waktu mereka semakin habis hingga akhirnya mereka hanya menjadi pecundang belaka. 

Menjadi pemenang berarti menyegerakan diri mewujudkan ide-ide besar. Kenapa harus menyegerakan? Karena dalam hidup ini, kita berpacu dengan waktu. Penundaan sama saja dengan menghabiskan waktu untuk kesia-siaan. 



NB: Tulisan-tulisanku di blog ini lebih dimaksudkan sebagai wadah menyimpan ide-ide dan pemikiranku. Selain itu, ia juga dimaksudkan untuk menjadi nasihat bagi diriku pribadi. 

Selasa, 07 Maret 2017

Perjuangan itu kini menjadi candu

Aku rindu momen saat adrenalinku terpacu dalam seleksi program pendidikan ke luar negeri. Aku rindu haru biru perasaan antara ragu, bimbang, semangat, dan yakin yang bercampur menjadi satu. Aku rindu masa-masa mendebarkan menunggu pengumuman sambil bertekuk lutut pasrah kepada Sang Penentu. Aku rindu merasakan semangat pembuktian bahwa aku mampu. Itu adalah saat yang membuat aku merasa bahwa perjuangan hidup itu menarik. Andai ia adalah sebuah tulisan, maka ia akan menjadi sebuah novel berisi cerita yang menarik untuk dibaca. Menarik bukan semata karena ceritanya yang indah dan tanpa masalah. Namun justru menarik karena lika-likunya, hingga berujung a’aku bisa’. 

Ini yang menjadikanku semakin meresapi bahwa hidup ini indah ketika ada kisah-kisah perjuangan di dalamnya. Kisah-kisah yang kita sendiri adalah pemerannya. Semua orang suka cerita. Apalagi cerita nyata yang kita sendiri berada di dalamnya. Beda dengan cerita yang kita baca di novel atau karya fiksi lainnya, cerita hidup kita akan begitu nikmat untuk dibaca di ‘penghujung laga’. Kenapa di penghujung laga? Karena di awal dan tengahnya ada air mata, keluh kesah, dan emosi lainnya. Namun semua akan menarik dan terasa bernilai pada waktunya, meskipun tak selalu indah. Tak selalu indah namun tetap menarik dan bernilai, itu keren. 

Aku sendiri kadang suka menikmati kisah pilu masa lalu. Kisah yang membuatku penuh sumpah serapah ketika mengalaminya, namun tersenyum penuh syukur ketika mengingatnya, bahwa aku pernah mengalaminya. Ini bukan kalimat retoris untuk menjadi bumbu cerita agar terkesan inspiratif, namun ini nyata. Nyata bahwa aku pernah merasakan kehidupan yang aku benci, namun setelah memaluinya aku merasa bersyukur pernah merasakannya. 

Kini, aku merindukan rasanya berjuang. Bukan semata untuk lolos dalam seleksi program pendidikan ke luar negeri, melainkan juga untuk meraih cinta yang didamba, mewujudkan cita-cita besar tentang memberikan kebermanfaatan bagi sesama, dan meraih puncak karya. 


Ah…aku jadi ketagihan dengan yang namanya perjuangan.

Motivasi terkuat adalah Pembuktian

Gambar: https://www.pinterest.com/pin/396246467186551012/

Aku bersyukur pernah merasakan pahitnya diremehkan, disepelekan dan direndahkan. Jujur, aku pernah mengeluarkan sumpah serapah atas pengalaman pahit tersebut. namun belakangan ku sadari bahwa justru itu adalah motivasi yang sangat kuat mempengaruhi pencapaianku dalam hidup. 

 Aku pernah direndahkan atas kondisi fisikku, dikatakan terlihat jauh lebih tua dari orang yang usianya lebih tua dariku, dan itu dikatakan di depan orang banyak. Sialnya, aku adalah orang yang selalu mengalah dengan perasaan ‘tidak enak hati’, sehingga aku tak pernah mengekspresikan kekesalanku/ketersinggunganku kepada orang yang bersangkutan. Aku pernah direndahkan atas keterbatasan finansialku. Aku pernah diremehkan atas status juniorku. Aku pernah direndahkan atas kemiskinanku. Tidak berlebihan, sungguh. Itu semua nyata terjadi. Aku pernah merasakan suatu masa dimana bahkan murid ku sendiri berani bersikap tidak sopan padaku. Aku pernah mengalami suatu masa dimana bahkan temanku sendiri dengan sedikit basa basi mengusirku dari rumahnya yang aku tumpangi. Aku masih ingat, setidaknya ada tiga kali pengusiran yang pernah aku alami. Itu semua terjadi saat aku masih menjadi kontraktor (tinggal di rumah kontrakan). Ya, tiga kali. 

Aku pernah jadi sasaran kata-kata yang tak sopan oleh beberapa orang yang seharusnya hormat padaku. Aku bayangkan, betapa layaknya aku direndahkan saat itu. Aku gagal menjaga diriku untuk terlihat layak dihormati saat itu. Aku pernah jadi sasaran bully oleh beberapa kolegaku. Betapa layak aku dibully saat itu. Tak ada pembelaan dariku atas diriku sendiri. Sedari kecil, aku memang memiliki self-respect yang sangat rendah. Itu ada hubungannya dengan masa kecilku, ku akui. Namun aku tidak ingin menyalahkan keadaan, apalagi menyalahkan masa yang telah berlalu. 

Maaf, aku tidak bermaksud untuk bersikap kufur atas hidup ini. Aku tidak bermaksud untuk menyangkal nikmat yang begitu banyak tak terhitung yang dikaruniakan Alloh kepadaku selama aku hidup. Aku sadari, bahwa hidup ini sendiri adalah sebuah karunia besar. Nafas ini adalah karunia besar. Kesehatan ini adalah karunia besar. Tak bisa aku sebut satu-per satu semua karuniaNya. Aku hanya ingin mengingatkan diri bahwa dalam hidup ini, jika aku tidak berikhtiar untuk menjadikan diri ini bernilai, maka aku akan menjadi sosok yang terlihat tanpa nilai. Sedangkan sosok yang terlihat tanpa nilai sangat rentan untuk diremehkan, untuk direndahkan. 

Aku telah dan selalu ingin membuktikan kepada semua orang bahwa aku layak untuk dihargai dan dihormati. Namun itu semua bukanlah orientasi utamaku dalam menjalani hidup, karena hal terpenting yang ingin kugapai dalam hidup adalah menjadi hamba yang hebat dalam pandangan Tuhanku, serta bisa berkiprah memberikan kebermanfaatan yang sangat sangat banyak kepada sesama. 


Kini, aku merasa bersyukur atas pengalaman pahitku, dan lebih bersiap lagi untuk mewujudkan semua daftar cita-cita muliaku. 

Jumat, 03 Maret 2017

Memilih Masa Depan

Gambar: https://gennextcommoner.wordpress.com/2015/08/06/




Selamat datang, Maret!

Aku memiliki banyak teman, yang kisah hidupnya cukup berharga untuk dijadikan pelajaran hidup.
Temanku yang pertama, bernama Taufiq.
Dia adalah teman kuliah.
Saat kuliah, prestasi akademiknya tak begitu luar biasa. Biasa-biasa saja.
Dia ingin sekali menjadi seorang dosen.
Beberapa tahun kemudian, benar terwujud, dia menjadi seorang dosen, di sebuah perguruan tinggi Negeri yang cukup terkemuka.
Teman yang kedua, bernama Tiar.
Dia juga teman kuliahku saat aku masih jadi mahasiswa.
Prestasi akademiknya luar biasa.
Dia termasuk anak mahasiswa berprestasi.
Dia bercita-cita menjadi seorang guru.
Jadilah dia seorang guru, beberapa tahun kemudian.
Hanya saja, nasib baik rupanya belum berpihak padanya.
Sekian tahun mengabdi jadi guru, belum juga dia mendapat status sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil.

Teman yang ketiga bernama Burhan.
Aku berteman baik dengannya sejak kami sama-sama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
Prestasi akademiknya sangat biasa.
Prestasi non-akademik pun tak ada.
Dia bercita-cita menjadi pengusaha kain yang sukses.
Beberapa tahun kemudian, itu cita-citanya mewujud nyata.

Pembaca yang budiman,
Tulisan ini memang tidak membahas proses tercapainya suatu impian.
Di balik tercapainya suatu impian pasti ada proses yang panjang, berupa aral rintangan.
Namun pesan sederhana yang ingin disampaikan di tulisan ini adalah bahwa kita akan sampai pada posisi yang kita fokuskan untuk kita capai.
Kita hanya akan berada pada kondisi yang kita konsisten dan persisten untuk menggapainya.
Orang pintar belum tentu sukses. Pun demikian orang yang tidak pintar belum tentu tidak sukses.
Hidup adalah pilihan.
Kita hanya akan meraih apa yang kita pilih untuk kita capai, bukan lainnya.
Namun perlu diingat, bahwa jika kita tidak memilih dengan bijak, maka kita akan dipilihkan oleh situasi di luar kendali kita yang belum tentu kita merasa cocok dengannya.





Kamis, 23 Februari 2017

Berguru kepada Youtube



Siapa sih orang yang tidak kenal Youtube? Mungkin ada. Namun di jaman dimana teknologi sudah berkembang pesat seperti sekarang ini, pasti banyak yang sudah mengenalnya. Ada beragam alsanan orang mengakses Youtube. Diantaranya adalah sebagai sarana hiburan, belajar, dan menyalurkan ekspresi. Namun taukah kawan? Youtube bisa kita perankan sebagai guru kita loh. 

Saya mempunyai sebuah cerita tentang seseorang yang menggunakan Youtube sebagai gurunya, hingga ia bisa mencapai suatu keberhasilan yang sangat besar dalam hidupnya. Namanya adalah Julius Yego, seorang atlit lempar lembing dari negara Kenya. Dalam dunia olahraga, Kenya merupakan negara yag seringkali menjuarai lomba lari marathon. Kenya  sama sekali bukanlah negara yang memiliki profil yang cemerlang dalam olah raga lempar lembing, sebelum seorang atlit bernama Julius Yego menciptakan sejarah dalam olah raga tersebut. 

Yang menarik dari cerita Julius Yego bukanlah semata tentang keberhasilannya menjadi sang juara. Ya, memang benar bahwa dia adalah sang juara lomba lempar lembing. Tidak tanggung-tanggung, dia berhasil menjuarai lomba tersebut di level benua Afrika, dan menjadi juara Dunia pada bidang lomba yang sama di olimpiade Beijing. Namun hal yang menurut saya paling menarik adalah proses yang dia lalui hingga dia menjadi juara. Suatu ketika dia ditanya oleh wartawan tentang prosesnya mencapai prestasi besar tersebut. Dia ditanya tentang apakah negara memfasilitasinya dalma setiap latihan, dan apakah ada seorang guru yang ditunjuk untuk mengajari dan mendampinginya dalam setiap latihan. Jawaban yang dia berikan adalah TIDAK. Ternyata yang dia lakukan selama berlatih adalah berguru kepada Youtube. Dia mengakses Youtube di sebuah warnet yang terletak cukup jauh dari tempat tinggalnya. Dia berkunjung ke warnet tersebut pertamakali ketika dia pergi ke kota. Dari Youtube, dia belajar tentang bagaimana para juara dunia bisa berhasil menjadi juara lempar lembing, tentang teknik-teknik jitu yang mereka gunakan. Begitu banyak video tentang lempar lembing yang dia tonton dan pelajari, dan kemudian dia praktikkan dengan segera. 

Selang 2 tahun setelah dia mulai belajar tentang lempar lembing melalui Youtube, dia menjadi Juara lomba lempar lembing di level Afrika. Setelah itu, dia menjadi juara di berbagai event lomba lempar lembing, hingga puncaknya pada tahhun 2015 dia menjadi Juara Dunia di Beijing. Luar biasa bukan? Sebenarnya semakin hari semakin banyak orang yang mendulang manfaat yang besar dari menonton Youtube. Ada seorang pengelola rumah makan di Malaysia yang belajar dari Youtube untuk meramu suatu masakan hingga menjadi sajian andalan yang membuat rumah makannya laris manis diburu pembeli. Dan mungkin ada banyak cerita lainnya tentang pencapaian besar dalam hidup yang dimulai dari berguru dari Youtube. Youtube bisa kita manfaatkan untuk apa saja. Saya sendiri juga memanfaatkannya untuk belajar bahasa asing, yaitu bahasa Jepang. 


Kita patut bersyukur, perkembangan jaman semakin memudahkan kita untuk mengakses berbagai belajar secara terjangkau. Maka, sudah tidak ada alasan lagi bagi setiap dari kita untuk tidak berhasil dalam hidup. 

Rabu, 22 Februari 2017

Belajar mengasah nyali


Gambar: www.brainyquote.com


Ada satu hal yang semestinya diasah dalam lingkungan pendidikan formal terhadap individu pembelajar. Hal tersebut adalah nyali. Kata nyali memiliki kedekatan makna dengan kata keberanian. Namun nyali lebih sering dilekatkan pada keberanian mengambil resiko. Mengapa ‘nyali’ harus diasah di lingkungan pendidikan? Karena hidup ini penuh tantangan, sementara pintar saja tidak cukup untuk menjawab tantangan tersebut. Apalagi jika pintar yang dimaksud adalah pintar yang diukur dengan instrumen penilaian pendidikan di sekolah, yang berarti seorang peserta didik memiliki nilai yang bagus di berbagai mata pelajaran. Sementara, pendidikan di sekolah sejatinya dimaksudkan untuk menyiapkan individu agar siap menghadapi segala tantangan kehidupan dengan problem solving skill yang mereka miliki sebagai hasil dari proses belajar mereka. Sehingga, pengasahan nyali itu sangat penting untuk diintegrasikan dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. 

Pendidikan tentang nyali mungkin lebih tepat masuk pada ranah pendidikan karakter. Hanya saja, pendidikan karakter di sekolah sepertinya tidak memiliki rumusan yang jelas dan terarah tentang pelaksanaannya. Sudah lebih dari 7 tahun saya menjadi guru. Namun saya temukan bahwa pengasahan nyali peserta didik belum memiliki proporsi yang cukup, jika tidak bisa dikatakan tidak ada sekali. Pendidikan di Indonesia memang sedang gencarnya mengkampanyekan pendidikan karakter. Namun pendidikan karakter yang berkaitan dengan ‘nyali’ sepertinya belum disinggung sama sekali. Memang ada karakter berani sebagai salah satu karakter yang diasah di sekolah. Namun nyali itu lebih dari sekedar berani. Nyali itu berkaitan dengan keberanian mengambil resiko, untuk mewujudkan pencapaian yang sangat besar dalam hidup. 

Dalam hidup ini, kita bisa saksikan betapa banyak contoh pengaruh nyali terhadap pencapaian seseorang dalam hidup. Dalam tulisan ini, ingin saya sampaikan beberapa saja. Ini kisah nyata. Ada dua orang siswa yang di masa depan keduanya meraih pendapatan dalam bidang yang sama, yaitu dari usaha ekspor impor. Siswa yang pertama adalah siswa yang memiliki raport yang sangat memuaskan. Nilainya selalu hampir sempurna. Hingga setelah lulus dia berkesempatan mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri hingga bergelar doktor (S3) di bidang akuntansi. Dia ingin sekali memiliki usaha ekspor impor. namun setelah memperhitungkan berbagai kemungkinan resko yang harus dia hadapi, dia mengurungkan niatnya. Akhirnya, dia memutuskan untuk bekerja sebagai seorang akuntan di perusahaan ekspor impor. Sementara, satu siswa lainnya, tidak memiliki raport nilai yang memuaskan sebagaimana siswa pertama. Sehingga, dia tidak bisa memiliki nasib yang sama dengan siswa pertama, melanjutkan kuliah di luar negeri. Namun, siswa yang satu ini memiliki nyali yang besar. Dia bercita-cita mendirikan perusahaan ekspor impor dengan sukses. Dia mengetahui segala resiko yang harus dia hadapi, namun dia mengambil resiko tersebut. Keduanya sama-sama memperoleh pendapatan dari usaha dalam bidang ekspor impor. Namun bedanya, yang satu bekerja sebagai karyawan, sementara yang satunya sebagai pemilik perusahaan. 

Andai siswa yang pintar tadi memiliki satu kualitas berupa besarnya nyali saja, dia tentunya berkesempatan untuk mendapatkan pencapaian yang lebih besar dari yang dia dapatkan. Namun, dalam hidup ini, pintar saja tidak cukup. BUtuh nyali berlebih untuk bisa memperoleh pencapaian besar. Dan pencapaian besar bisa diperoleh hanya oleh mereka yang memiliki nyali yang besar untuk menghadapi segala resiko yang ada. Bukan oleh mereka yang pintar namun ciut nyalinya ketika mengetahui segala resiko yang harus mereka hadapi. 

Pengasahan karakter bernyali harus dilakukan dalam koridor yang positif. Perilaku membolos sekolah dan berkelahi barangkali juga disebabkan karena tingginya nyali. Namun hal tersebut adalah negatif. Apa artinya keberanian kalo ia diekspresikan dalam hal-hal yang negatif. Contoh tentang pengasahan nyali yang positif bisa didapatkan dari artikel ``Inspirasi pendidikan karakter dari seorang anak SMP di Jepang``.

Ide tentang pendidikan nyali ini mungkin akan terkesan aneh. Bukan karena ia hal baru. Melainkan karena hal ini belum menjadi mainstream. Sebagaimana sudah menjadi sunatulloh, hal-hal yang besifat pembaharuan seringkali mendapatkan penolakan yang hebat di awal. Namun ia akan diterima dan menjadi rujukan ketika sudah berhasil menunjukkan bukti bahwa ia benar adanya.

Rabu, 15 Februari 2017

Action will; your achievement determiner


Benar sekali.
Inspirasi sepertinya mudah didapat, di jaman yang penuh dengan sumber informasi seperti sekarang ini. Pembimbing juga sepertinya mudah didapat di jaman yang penuh dengan kemudahan berkomunikasi seperti sekarang ini. Belajar terasa mudah, karena fasilitas hidup makin berkembang. Namun, untuk sukses, inspirasi saja tidak cukup. Ide saja tidak cukup. Pembimbing saja tidak cukup. Yang paling penting untuk dimiliki adalah action will. Mencapai suatu keberhasilan besar memang membutuhkan proses yang panjang. Ada berbagai variabel pengaruh. Namun, action will lah yang akhirnya menjadi penentu tercapainya keberhasilan.

Pada fase action lah, tantangan besar benar-benar ada. Di situ kita tidak menghadapi siapapun melainkan diri sendiri. Banyak yang kalah dengan mental block yang ada pada diri sendiri. Ketika mendapati inspirasi, terbersit pikiran bahwa speertinya sesuatu itu gampang dilakukan. Namun ketika tiba saatnya kita melakukan eksekusi/aksi, berbagai kebimbangan muncul. Itulah sebenar-benarnya tantangan yang besar. 

Sekali action will sudah ditaklukan, make akan terwujud tepnacapian-pencapaian lainnya. Action will ini ibarat sebum pembuka pintu utama. Ketika ia terbuka, maka lebih udah untuk melangkah selanjutnya. 


Banyak orang dengan segudang ide terjebak pada posisi yang sama, yaitu tidak melakukan apa-apa, tidak kemana-mana, dan tidak mencapai apa-apa. Bukan karena miskinnya ide, inspirasi, atau pembimbing, melainkan karena mereka kalah dalam mewujudkan action will. Nekad untuk mewujudkan action will dengan menghadapi apapun tantangannya, itu lah sebenar-benarnya belajar. 

Resetting my traveling passion



Bepergian ke negara luar setidaknya bisa membuka pikiranku bahwa hidup memiliki begitu banyak pilihan. Benar kata pepatah bahwa dunia ini ibarat buku yang mmeiliki banyak lembar halaman. Mereka yang hanya mendiami suatu tempat dan tidak melakukan perjalanan ke belahan dunia lain ibarat hanya membuka satu halaman buku. 

Aku belajar banyak dari traveling. Belajar tentang hakikat keberagaman dalam hidup, belajar tentang perbedaan, belajar bahwa hidup ini penuh warna, belajar memposisikan diri pada situasi yang aku tak terbiasa di dalamnya, sebelumnya. Semua itu membuat pikiranku semakin terbuka, semakin toleran terhadap perbedaan. Pertamakali aku melakukan traveling ke luar negeri, aku terdorong oleh rasa gengsi. Gengsi bahwa bepergian ke luar negeri itu keren. Aku melakukan berbagai foto selfie dengan kamera yang aku beli dengan uang hasil meminjam teman. Segitunya. Sepertinya hal itu wajar dialami orang yang pertamakali bepergian keluar negeri untuk jalan-jalan, yaitu sekedar memenuhi rasa gengsi. 

Waktu bergulir, masa berganti, aku semakin menyadari bahwa traveling yang aku lakukan haruslah bermanfaat lebih. Cukuplah motif gengsi dalam melakukan traveling disudahi. Kali ini, aku ingin bepergian ke luar negeri sejauh mungkin, sebanyak mungkin, dan dalam waktu bersamaan aku ingin mendapatkan sebanyak mungkin ‘keuntungan’ yang bisa aku raih dari traveling untuk kubawa ke negeriku. Betapa kerennya hidup ketika setiap kali aku traveling, aku membawa ide yang langsung aku terapkan dalam kehidupanku di negeriku, yang kebermanfaatannya besar bagi sesama. 

Kali ini, aku ingin travelingku adalah tentang membuka kran bisnis ke negara tujuan, membuka akses jalan ke berbagai relasi baru, dan memperbesar jangkauan interaksiku dengan masyarakat di seluruh dunia. Relasi-relasi ku ada di berbagai negara afrika, eropa, asia, amerika, dan belahan bumi lainnya. Aku ingin menjadi lebih dari sekedar inspirasi, namun penggerak nyata perubahan menuju kebaikan bagi sesama. Aku tidak berharap popularitas. Aku tidak mendambakan pengakuan. Aku hanya ingin berkarya yang penuh manfaat. Aku ingin menjadi sebaik-baik makhluk hidup di hadapan tuhanku. Itu kepuasanku. 

Terkadang aku terburu-buru ingin menularkan apa yang ada dalam pikiranku kepada murid-muridku, melalui kata-kata. Aku lupa bahwa dengan karya nyata yang aku ciptakan, tak perlu kata-kata untuk aku bisa menularkan energi positif dan inspirasi kepada mereka. Sudah sekian lama, ide terpendam mengendap di dalam pikiran. Kini saatnya ia diterbangkan dan diterapkan. Mulut, secukupnya saja untuk bersuara. Selebihnya karya nyata beserta tulisan untuk mengekspresikannya. Nyatanya lebih banyak orang mendunia karena tulisanya, dibanding karena kecakapan retorikanya. 

Aku siap berangkat…
Berangkat kemana-saja semauku…
Sebelum jatah hidupku digenapkan oleh sang pencipta…

Bismillah…

Senin, 06 Februari 2017

Mendidik untuk membesarkan Kapasitas Pikiran

Sudah lama saya bergelut dengan dunia pendidikan. Semakin saya jalani, semakin saya memahami betapa nuansa pendidikan terasa seolah menjadi dunia tersendiri lepas dari kehidupan nyata. Maksudnya begini, semua pasti sepakat bahwa tujuan pendidikan untuk membentuk pribadi yang siap menghadapi tantangan kehidupan. Di sana ada domain kepribadian, ada domain pikiran/kognisi berupa kecerdasan, ada domain keterampilan (hard skill). Tapi sayangnya pendidikan di sekolah-sekolah formal terasa kurang memiliki link and match dengan kehidupan nyata. Hampir bisa dikatakan kurang ada korelasi antara kecakapan peserta didik dengan kemampuan mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan paska sekolah. Buktinya banyak. Ada begitu banyak peserta didik yang minim prestasi ketika belajar di lembaga formal, namun bisa menjadi pribadi yang luar biasa berprestasi dan mampu memberikan kebermanfaatan yang banyak (sukses) di kehidupan paska sekolah. Sementara, banyak banyak yang berprestasi ketika mengenyam pendidikan di sekolah, namun tak bisa survive dalam menghadapi tantangan kehidupan paska sekolah, dengan menjadi pengangguran, misalnya.

Tulisan ini sama sekali bukan tentang kampanye negatif atas pendidikan formal (sekolah). Namun sebuah kritik, sekaligus kritik diri, karena saya juga merupakan bagian dari pendidikan formal (guru). Ini adalah sebuah tulisan mengenai curhatan yang barangkali getir untuk dibaca. Tapi saya mengatakan apa adanya. Ada bahan evaluasi yang ketika dibuka mungkin membuat sebagian kalangan mengernyitkan dahi. Ingin membantah suatu hal tapi itu nyata. Saya memiliki banyak cerita untuk disampaikan, untuk membuktikan bahwa seringkali tidak ada link and match antara sekolah dengan kesiapan peserta didik dalam menghadapi kehidupan mandiri. Namun, cukup beberapa saja saya sampaikan di sini. 

Saya memiliki seorang teman yang kisah hidupnya hingga sekarang cukup memberikan saya pelajaran mengenai hidup yang luar biasa. Sama sekali bukan siswa beprestasi di sekolah, namun di kehidupannya saat dewasa dia mampu menjadi orang yang bermanfaat bagi banyak orang, mampu mempekerjakan banyak orang melalui kiprahnya sebagai pengusaha. Ada juga seorang murid yang sama sekali tak memiliki prestasi akademis namun ketika lulus sekolah dia bisa hidup mandiri, berkecukupan dan bisa memberdayakan banyak orang. Bukan tentang sisi entrepreneurship yang saya tekankan di sini. Melainkan tentang kemampuan melakukan hal besar (yang tak semua orang mampu melakukanya) dan bermanfaat bagi orang banyak. Itu yang membuat saya kagum. Sementara, tidak sedikit orang, baik teman-teman sekolah maupun mantan murid saya, yang berprestasi gemilang di sekolah, namun jangankan mampu memberdayakan sesama, berusaha untuk memandirikan diri saja tak bisa. Ada kisah miris seorang yang ketika sekolah sering juara kelas, bahkan ranking satu di angkatannya. Namun hingga tulisan ini dibuat, dia masih berstatus sebagai seorang wiyata bakti dengan penghasilan yang relatif jauh dari kata cukup. ‘’Ah..jangan mengukur segala sesuatu dengan penghasilan/uang. Barangkali orang tersebut bahagia dengan kehidupannya’’ Boleh lah berkata demikian. Namun kita pasti merasa miris membayangkan bagaimana kehidupan orang yang hingga usia dewasa tidak mampu menjawab tantangan kehidupan secara gemilang, padahal dia termasuk orang yang ‘berprestasi’ ketika berada di lembaga pendidikan yang notabenenya menggemblengnya menjadi pribadi yang siap dengan tantangan zaman. 

Saya jadi berpikir bahwa ada sesuatu yang barangkali sangat penting namun alpa untuk disampaikan/diajarkan di sekolah. Hal tersebut adalah kapasitas pikiran. Ya, kapasitas pikiran. Orang-orang yang mampu meraih kesuksesan besar serta mampu memberikan kebermanfaatan yang besar bagi sesama pada umumnya memiliki kapasitas pikiran yang besar. Mereka memiliki pikiran ‘mampu melakukan hal besar’. Darimana dan bagaimana pikiran tersebut didapat? Nah, ini yang menjadi titik renungan tentang pendidikan. Dalam dunia pendidikan formal (sekolah), ada domain kognisi. Peserta didik dididik untuk terasah intelektualitasnya. Hanya saja, pendekatan yang digunakan kurang (tidak) berpengaruh terhadap membesarnya kapasitas pikiran. Peserta didik perlu dididik untuk memiliki keyakinan bahwa mereka MEMILIKI KEMAMPUAN (self-esteem) dalam setiap menghadapi segala situasi. Bagaimana caranya? apakah semudah dengan menyebutkan kata-kata mutiara seperti ‘if you think you can, then you can’? Kemudian serta merta mereka akan berubah menjadi pribadi yang memiliki self-esteem yang tinggi? Ternyata tidak begitu adanya. Butuh proses yang lebih dari sekedar kata-kata. 

Proses menumbuhkan keyakinan MAMPU (self-esteem) perlu dilakukan melalui proses yang berkesinambungan dan terintegrasi dalam segala kegiatan di lingkungan pendidikan. Peserta didik perlu diyakinkan bahwa mereka memiliki kemampuan. Itu sangat penting. Keyakinan tersebut akan sangat berguna bagi mereka dalam menghadapi tantangan kehidupan di kemudian hari. Saya kadang berpikir, jangan-jangan justru penyelenggaraan pendidikan di sekolah justru membunuh self-esteem peserta didik. Kemudian saya meraba dan mengingat-ingat, barangkali memang ada kalanya justru pendidik adalah pihak yang seringkali menjadi penghambat/pembunuh semaian benih-benih self-esteem pada peserta didik. 

Pendidik perlu memahami ilmu psikologi dengan benar-benar paham. Psikologi tentang pembelajaran, dan psikologi tentang peserta didik. 


Tulisan ini bersambung………..




Selasa, 31 Januari 2017

What if money is no longer a matter in your life?



What if money is no longer a matter in your life?

This is the question that i have been thinking to answer, not by simply describing what i might be able to do, but by trying to make it true. Money often becomes big concern to people in their life. Even many spend almost their whole life dealing with it. Would it be possible that one day money is not your concern, so that you can have more time for doing other things like your hobbies? The answer is ‘absolutely possible’’. 

There are, as a matter of fact, many models that you can look up for this. First thing you gotta do is making sure that you surround yourself with the right people. People who either direct or indirectly can lead you to be what you want to be, finished with money concern. 

Many great things are worth-doing in this life. But,many people often run out of time as they focus too much on how to get money. Make yourself DONE with money! make yourself have more time for hobbies, for personal development, for charity, for spending time with beloved ones, for helping people in need, for being light to others, and for giving the best to the glory of your ‘deen’. Make yourself DONE as soon as possible with money. Think and act smart! 

Imagine the moment when you can run your own perfect-designed and well-managed library, as you have been dreaming of so far. Imagine when you can travel to places as far as you want. Imagine the moment when you have chances to speak in front of teachers from many schools about school management and inspiring ideas on education. Imagine when you have more time to write books and then publish them. Imagine the moment when you can go to bookstore anytime and fill your bucket with books you find them interesting. Imagine the moment when you have time to travel for learning business ideas and then make it actualised upon your returning home. Imagine the moment when you can give surprises affording people to do pilgrimage to Mecca and Medina. Imagine the moment when you build your own schools and apply all brilliant ideas on it. Imagine the moment when you have time to empower many young people to think and act right until they make great achievements. Imagine the moment when you are the pioneer of people empowerment so that they become productive and dynamic. Imagine the moment when you can just fly abroad to watch football match live in the stadiums. Imagine the moment when you can fulfil you self-expression up to the fullest. Imagine all beautiful moments you possibly can grab in your life. It is all possible.

It is all awesome if you can make them come true,  isn't it? Make yourself DONE with money first if you want to make them real. Do everything RIGHT by surrounding yourself with right people, doing RIGHT mistakes, and act in right ways. DO it as soon as possible!


Sabtu, 28 Januari 2017

The life as I wanna be

Picture: http://drodgereport216.web.fc2.com/essay

The more i live my life, the more i am thirst of hitting my maximum potential up to the most. This might be what so-called as self-actualisation. I used to think that money was everything in life. Somehow, it is almost true, as being abundant in the possession of money can afford many things that can make us happy and live better life. However, soon i realise that life is about making stories. There are many chapters in stories, and making money is just one of them, not the main point of it. 

Just imagine how it would feel like if you were full of money yet you have just normal days. No doubt, it is such a boring, isn't it? Life is about making story. And pretty sure, i am striving for making the best stories i have in life. This is not to suggest anyone else, but me myself. Here i want to talk about my own sights of how my life is heading to.

I have been visualising how in this life i have more time to do what i feel like to do. Giving charity, being travelling to where i want to travel, teaching and empowering people without losing my ‘me’ time, having resources to actualise my ideas, and exactly doing good deeds more and more for the others’ sake. Imagine the days when I have no problem with resources for bridging the wishes and reality. I name myself as a professional dream-catcher. Yes!!! Cool, isn't it?? 

When i was child and being teenager, i needed more listening to others than relying myself on determining what to do, especially when i was all at sea. Yet, the more i am growing the more i need to listen to myself and focus on the pure voice of my heart. I thank God for having me meeting many inspirational people and gaining new enlightening sights. 

My life is about actualising ideas and new ideas, travelling around the world, giving charity, giving maximum love and care to those beloved, empowering people, being update with everything new, taking worth-it risks, making friends with people from all around the globe (unless flat earth is truly proven lol), rising and giving the best education for my children, writing books, keep on learning and learning and learning, and dedicating all to my God, Alloh, till it is time to ‘go home’ in khusnulkhstimah. 

It is true that God creates every human with two ears and one mouth so that they will listen more than speak. However, there is a moment when it is better to shut up the both ears than let it open. In whatever we do, there is always comments from other people. I am not to show them what i am doing, neither to prove them that what i am doing is totally correct. Yet i am to do whatever i believe it to be true that benefits me myself and others. Listening to others is good, but sometimes it means risking my fabulous life. Something paradox it sounds, yet it is arguably the true, as the way it is. 


This is my life!

Senin, 23 Januari 2017

Membiasakan Kerja Tuntas

Gambar: http://selaseptian020.blogspot.jp/

Aku jadi semakin menyadari pentingnya kerja tuntas. Masalah-masalah yang sering aku alami berkaitan dengan hal ini. Kerja yang tak tuntas. Meski pahit, namun aku harus jujur bahwa aku terbiasa sedari kecil dengan ketidaktuntasan dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Kadangkala, aku bisa menuntaskan suatu pekerjaan, namun itu terjadi seringkali ketika aku memaksa diri untuk menuntaskannya. Jadi, ketuntasan tersebut terjadi karena dipaksa, bukan karena terbiasa. 

Kerja tuntas, cukup sulit bagi sebagian orang, terutama bagi orang yang memiliki sifat perfeksionis seperti aku. Orang perfeksionis cenderung terlalu ‘njlimet’ dalam mempertimbangkan sesuatu. hingga dia menunda dan terus menunda menuntaskan suatu urusan. Orang perfeksionis cenderung terlalu kritis terhadap diri sendiri dan semua hal yang dilakukan oleh diri sendiri, bahkan kritis yang sebenarnya tak perlu terhadap suatu hal. Repotnya, orang perfeksionis cenderung mengakhirkan penyelesaian suatu urusan hingga detik-detik injury time. Ada perasaan bawah sadar bahwa di injury time nanti akan ada kesempurnaan hasil, sesuatu yang nyatanya seringkali tidak terjadi. 

Aku jadi membandingkan diriku sendiri dengan kakak ku. Ketika masih kecil, kami memiliki tugas yang sama untuk dilakukan secara rutin setiap hari, yaitu memetik rumput untuk pakan ternak. Di hari minggu, kami harus menghasilkan, at least, masing 2 karung besar agar di hari senin kami tidak perlu memetik rumput. Kakak ku seringkali menyelesaikan tugasnya dengan bersegera menyelesaikan tugas tersebut, baru dia menikmati waktu istirakhat. Berbeda dengannya, aku seringkali mengulur waktu untuk menyelesaikannya. Ketika satu karung rumput sudah kudapat, aku cenderung mengakhirkan waktu untuk menghasilkan sekarung rumput yang kedua hingga hari agak sore. 

Hal tersebut kesannya sepele. Namun, ternyata berdampak cukup signifikan terhadap tahap perkembangan hidup selanjutnya. Benar adanya bahwa kebiasaan yang terbentuk sejak kecil akan berdampak ke kebiasaan di fase hidup selanjutnya hingga dewasa. Tidak ada yang tak mungkin, memang, untuk merubah kebiasaan. Namun, merubah kebiasaan yang sudah menjadi karakter membutuhkan upaya yang cukup besar, bahkan sangat besar. 

Kebiasaan tidak tuntas dalam menyelesaikan urusan/pekerjaan berpotensi menimbulkan masalah yang cukup serius. Saya teringat dengan seorang profesor yang memberikan ilustrasi kepada mahasiswanya bahwa dalam hidup yang jadi masalah sebenarnya bukan masalah itu sendiri, melainkan seberapa lama kita membiarkan masalah tersebut ada. Ibarat memegang suatu benda dengan berat 5 kg. Bukan masalah berat benda tersebut yang mmebuat kita capek, atau tangan terasa pegal memegangnya, melainkan lamanya kita memegang benda tersebut. Andai kita sebentar saja memegangnya, tentu tak akan terasa berat yang berlangsung lama. Seperti halnya masalah. Yang menjadikan ia terasa ringan atau berat adalah seberapa lama kita membiarkannya ada. Bersegera menyelesaikan masalah/suatu urusan adalah ibarat bersegera meletakkan benda yang dipegang. Tak akan jadi masalah buat hidup.


Andai saja satu jenis karakter ini bisa teratasi, begitu banyak efektifitas hidup yang bisa diraih. Sebagian urusan dalam hidup teratasi karena tak perlu lagi menghadapi masalah akibat kebiasaan tidak tuntas dalam menyelesaikan urusan. Dari hal ini, aku semakin menyadari betapa pentingnya pendidikan karakter diimplementasikan secara nyata, terutama di lembaga pendidikan formal yang memiliki posisi strategis dalam membentuk karakter generasi muda. 

How Nishigaoka Elementary School Builds Students' Confidence

Picture taken from http://s3.amazonaws.com

Today I paid a visit to an elementary school in Nishigaoka, western part of Miyagi Prefecture, with friends. Our visit was for being a guest assessor/commentator for students’ presentation, as well as doing our own presentation in front of students. We were divided into groups, where each group of students was accompanied by one foreign student from Miyagi University of Education. 

It was such a mind-blowing experience that opened my mind idea about how school can effectively encourage students to be confident individuals. First session in our group was filled with students’s presentation done in groups of three. There were 7 groups of presenters in total in the group where i belonged. To my surprise, they took turn doing presentation in such awesome way. I believe that they must be well-prepared. It might have taken at least 2 weeks for them to get prepared for that. Each of the group had their own topic to put forward. Not only conveying orally what they present, they also brought some handicraft that helped them give illustration of what they conveyed.

They must have memorised a lot of words, or even all, they convey. Some of them even simply read texts occasionally. To me, it does not really matter as long as it helped them to conquer the fear of being in front of people, something that is not easy for them, i believe. Each personal in each group got turn to speak. There might be teachers’ interference for making sure that students were ready for the presentation. 

To me, it is not about how fluent and how they looked ready that really matters. But, it is about how such activity could be a brilliant idea to foster students’ confidence. Education at schools should give much opportunity for students to build up their confidence. The idea of ‘doing presentation by students’ is such a simple yet blew away my mind. 

From that activity, i can infer two points, to the least. First, building students confidence can be done through presentation activity. ‘’Is it possible?’’, some may ask. ‘What if the students are a silent guy?’’ We may be pessimistic how such activity can boost students’ confidence. Some might think that such activity is decreasing confidence, instead, because those who feel being failed in the presentation tend to get even worse feeling of low self-esteem. In fact, this school made it. Secondly, in order to achieve its goal, teachers should make sure that students are well-prepared. Never let students take the whole process of preparation independently. Students should be given freedom to express the ideas they will put forward, yet they must be under guidance of teacher. Students, as a matter of course, will come across some challenge/difficulties. That is the time when teachers are necessary to give hand. Some students are a bit clumsy. They might need a text to read to at least help them convey their ideas. Thirdly, there should be an effort of creating situation where students feel free from negative remarks that are potentially discouraging and demotivating. Teachers should create situation where no laugh for mistake students make, as it is unbearably often discouraging. For Japan, it is not a big deal, as people are somehow having character of respecting each other. 

We have to remember that the main objective of this activity is to boost students’ confidence. It is not about the students are being good communicator or not as indicator of the success of the activity. We surely cannot expect them to be good communicator in such pretty young age yet. How the activity impacts on their character or personal quality is what really matters. 


Building character in such early stage of life should become the main focus of education. Therefore, elementary schools should provide character building-based programs for students. Japan is good example for this. 

Sabtu, 21 Januari 2017

Kamu dan Lingkungan Pergaulanmu


Ketika seseorang masih berpikir tentang rencana di masa depan membangun bisnis yang menghasilkan ratusan juta rupiah, di saat yang sama ada orang yang berussia yang sama dengannya sudah mampu meraih pencapaian tersebut. 
Ketika seseorang sedang berpikir tentang kuliah di luar negeri dengan beasiswa, di saat yang sama ada orang yang sudah meraih pencapaian tersebut.
Ketika seseorang masih berpikir tentang melakukan pengabdian sosial atau menjadi filantropis menyantuni orang-orang yang membutuhkan, di saat yang sama ada orang seusia yang sudah mewujudkan hal tersebut.

Entah kamu termasuk yang mana. Orang yang masih merencanakan, ataukah orang yang sudah mewujudkan suatu pencapaian. 
Pernahkah kamu berpikir sejenak bahwa apa yang terjadi pada hidupmu, sejauh mana pencapaian yang kamu raih, itu semua terpengaruh oleh lingkungan pergaulanmu?
Coba merenung sejenak!
Orang menjadi pribadi yang biasa-biasa saja karena dia membiarkan diri bergaul dengan lingkungan yang berisi orang-orang yang biasa-biasa saja. 
Arah pemikiran orang-orang di lingkungan pergaulan itu sangat berpengaruh pada diri kita.
Keberadaan mereka dengan segala yang ada pada diri mereka mempengaruhi bentuk cita-cita yang kita ingin wujudkan.

Ada yang berkata, ‘’bergaul itu jangan pilah-pilih orang!”
Namun kita harus menyadari bahwa orang yang kita bergaul dengannya akan mempengaruhi kebiasaan,pemikiran, orientasi dan arah hidup kita.

SIlakan kamu bergaul dengan anak-anak yang masih kecil, namun semestinya dengan tujuan untuk memberi inspirasi kepada mereka.
Silakan kamu bergaul dengan penganguran dan orang yang miskin kesibukan serta prestasi, namun semestinya dalam rangka untuk menjadi inspirasi bagi mereka.
Silakan kamu bergaul dengan orang-orang ‘kerdil’, namun dalam rangka untuk memberikan pengaruh positif bagi mereka.
Namun itu semla dilkaukan ketika diri pribadimu sudah benar-benar terbentuk secara matang.
Jika kamu sendiri masih menjadi pribadi yang labil dan belum meraih pencapaian besar dalam hidup, fokuslah untuk memperbanyak orang-orang yang memberikan dampak positif yang luar biasa besar pada diri kita. Orang-orang yang menjadikan kita figur besar yang layak dijadikan panutan sesama.

Begaullah dengan mereka yang sudah meraih pencapaian besar SEKARANG.

Jumat, 06 Januari 2017

"Om OLEH-OLEH Om..."



____________________________
Siang tadi, aku dapet oleh-oleh dari seorang dosen.
Dua bungkus roti kering dan cracker.
Ceritanya, winter holiday kemaren, beliau berlibur ke korea selatan.
Bukan cuma aku yang diberi oleh-oleh tsb, melainkan beberapa teman dan dosen lain.
Dosen tersebut memang begitu akrab dengan aku.
Aku melihat ada ekspresi bahagia dan penuh rasa terimakasih yang ditunjukkan teman-teman dan dosen yang diberi oleh-oleh tersebut.
Oleh-oleh yang mungkin terbilang ‘biasa’ bagi sebagian orang, terutama orang dari negeriku, Indonesia.
___________________________
Oleh-oleh semacam itu mungkin sekali dikatakan ‘Biasa’ untuk ukuran sebuah oleh-oleh dari orang yang baru pulang dari luar negeri.
Namun, ekspresi yang ditunjukkan oleh semua orang yang diberi oleh-oleh begitu luar bisa, penuh rasa terima kasih.
Begitulah kira-kira budaya OLEH-OLEH di Jepang.
Aku sudah beberapa kali mendapatkan oleh-oleh dari teman atau dosen Jepang.
Aku juga suka mengamati bagaimana reaksi mereka yang diberi oleh-oleh.
Kesimpulannya sama.
Bahwa yang diberi oleh-oleh umumnya menunjukkan rasa terima kasih yang begitu tulus.
Tak ada ‘negative remark’.
___________________________________
Aku jadi ingat pengalaman 2 tahun lalu, ketika pulang dari Australia dan memberikan oleh-oleh kepada seorang teman berupa sebuah kaos.
(Maaf, ini bukan tentang pamer, namun untuk dijadikan pelajaran bersama).
Ada kata terima kasih yang dia ucapkan.
Namun sayangnya dia juga memberikan penilaian yang sangat tidak nyaman didengar.
Dia komplain bahwa kaosnya bukan Made in Australia asli.
‘’yee…kaosnya ndak orisinil nih ye, Bro!’’
Aku ngelus dada saja dengerinnya.
Aku beli oleh-oleh tersebut dengan uangku sendiri.
Aku bawa jauh-jauh dari negeri luar.
Dia enak tinggal minta, tinggal sebutin password 'jangan lupa oleh-olehnya'.
Tapi dapet balesan komentar yang cukup membuatku belajar tentang sabar.
_______________________________
Aku beli kaos tersebut di Gold Coast.
Di sana, banyak toko oleh-oleh yang kebetulan produk dari luar Australia.
Produk New Zealand, Banglades, vietnam, Indonesia, Thailand, China, dan sebagainya.
Harga sebuah kaos pun bervariasi.
Namun umumnya minimal Aus$ 15 (atau sekitar Rp 150 ribu).
Dan aku memang beli harga yang paling murah.
Maklum, aku beli banyak, karena yang sudah ngantree nunggu oleh-oleh buanyak banget.
Sampe jadi beban pikiran pas mau pulang dari Australia.
________________________________
Ah…saat itu aku kalah sama perasaan ‘ndak enak’ (dalam bahasa jawa ‘Rikuh/ ewuh’).
Hingga ta iyakan aja permintaan oleh-oleh segitu banyak orang.
Aku jadi membayangkan, andai nanti aku pulang, kemudian ngasih oleh-oleh ke teman berupa dua bungkus snack seperti yang diberikan oleh dosenku…
ah, sudah cukup mampu aku menebak respon yang bakal muncul.
‘Hello, jauh-jauh dari luar negeri oleh-olehnya macem itu?’
‘pliz deh ah, snack gituh? yakin loh?’
‘yee, kaya gituan mah aku juga bisa beli disini’
Mungkin kalimat-kalimat tersebut ndak bakal secara langsung kita dengar (kecuali dari teman yang biasa ngocol dan asal nyeblak aja), karena biasanya akan muncul di belakang kita berupa gumaman, atau minimal cibiran dalam hati.
Namun, tetap lah itu ndak asik banget.
Maaf, aku ndak bermaksud negatif thinking.
Namun pake logika aja, kaos saja dicibir, gegara bukan asli buatan dari negeri dimana aku membelinya, apalagi ‘sekadar’ sebuah snack.
_________________________________
BEDANYA…
Aku amati, di Jepang tak ada budaya orang minta oleh-oleh ketika mengetahui orang lain/teman bepergian ke luar negeri atau berlibur.
Mereka umumnya malah mndoakan dengan kata-kata;
‘Semoga happy di sana!’
‘hati-hati ya dalam perjalanan’, dan sebagainya.
Tak ada embel-embel kata-kata seperti ‘jangan lupa oleh-olehnya’.
Tidak ada budaya berharap diberi oleh-oleh.
Biasanya, yang baru pulang dari luar memberi oleh-oleh, pun sederhana.
Tak memberatkan, baik dalam hal kuantitas barang maupun jumlah uang yang harus dikeluarkan.
SEMENTARA, di negeriku, aku sudah akrab dengan kata-kata ‘jangan lupa ya oleh-olehnya’.
Mungkin itu adalah kata-kata klise, yang terucap karena sudah menjadi kebiasaan.
Namun, tak jarang juga kata-kata tersebut disertai harapan besar dan dinanti-nantikan.
Mungkin ada yang bilang?�‘kenapa sih membandingkan hal begituan, dengan kesan mengunggulkan Jepang atas Indonesia?’
Begini jawabannya.
Jepang memang bukan negara sempurna.
Ada banyak plus-minus yang dia miliki.
Namun, tidak ada salahnya hal positif yang ada pada negara lain kita contoh dan budayakan di negeri kita.
Keluhuran budaya itu terbentuk melalui belajar dari orang (negara) lain juga kan.
‘lah..itu kan sudah menjadi budaya kita. beda negara beda tata nilai dunk?’
Memang benar, namun ketika suatu hal yang dianggap budaya sudah menimbulkan keresahan hati dan pikiran dari banyak orang yang menjadi bagian dari budaya tersebut, berarti ada sesuatu yang perlu diluruskan dengan budaya tersebut.
Begitu sih.