Minggu, 29 Mei 2016

Memandang ibadah dari perspektif budi pekerti


Mengapa kita musti beribadah? 
Apakah karena kita muslim? ataukah karena itu adalah kewajiban? Ibadah bukan semata tentang ekspresi ketauhidan. Ia bukan semata tentang konsekuensi sebagai seorang muslim. Ibadah bukan pula semata tentang menggugurkan kewajiban sebagai makhluk ciptaan Tuhan. 

Ibadah adalah tentang mengungkapkan rasa syukur.
Salah satu hal yang membedakan antara kita (manusia) dengan hewan adalah adanya kecenderungan untuk berterimakasih kepada orang lain atas kebaikan yang mereka perbuat bagi kita. Barangkali konsep semacam itu tak ada dalam dunia hewan. Itulah kenapa ada kata ‘’terimakasih’’, ‘’hutang budi’’, dan sebagainya. Ketika mendapati kebaikan dari sesama, setidaknya kita pasti berucap “terimakasih”, atau berupaya memberikan kebaikan lain yang berguna bagi orang yang telah berbuat baik kepada kita sebagai balas budi. Lantas kepada Tuhan, yang kita berhutang banyak budi padaNya, tentu lebih layak lagi untuk mengungkapkan rasa syukur kepadaNya. 


Melalui Agama, Islam, kita diajarkan tentang cara bersyukur kepadaNya.  Bersyukur kepada Tuhan bukan semata diungkapkan lewat kata “terimakasih”, namun ada tata cara yang diajarkan oleh sosok yang dipercaya Alloh untuk mengajari kita tentang bersyukur kepadaNya, yaitu Nabi Muhammad SAW. 

Kembali lagi ke pertanyaan awal, “ Mengapa kita selayaknya beribadah kepada Alloh, Tuhan kita?”
Mari sejenak kita renungkan beberapa hal berikut ini. Kita masih diberi kesempatan untuk bernafas dengan leluasa. Sementara di tempat lain, banyak orang yang untuk bernafas saja butuh alat bantu. Itu masih mending, karena mereka masih memiliki kesempatan untuk mampu kembali normal seperti sediakala. Ada yang bahkan sudah tak bisa bernfas lagi, yang dengannya berarti sudah terputus segala kenikmatan dunia serta kesempatan untuk berbuat banyak demi akhirat yang indah. 

Mungkin hal di atas terkesan klise, karena sudah terlalu sering kita mendengar tentang himbauan untuk bersyukur atas nikmat hidup. Segala kejadian di dunia ini, jika itu bisa menimpa orang lain, maka mungkin pula hal tersebut kita alami. Bukankah begitu? Ada orang yang naik pesawat kemudian pesawat tersebut mengalami kecelakaan hingga nyawanya tak tertolong. Bisa saja Alloh menimpakan kecelakaan tersebut pada kita kan? lantas ketika Alloh tak menghendakinya untuk terjadi kepada kita, apakah tak layak kita bersyukur? Banyak orang yang diberi keterbatasan fisik. Sebagian karena faktor penyakit. Sebagian lainnya karena kecelakaan. Bisa saja hal tersebut terjadi kepada kita kan? Lantas, ketika Alloh tak menghendakinya terjadi kepada kita, dan justru menghendaki kita untuk memiliki fisik yang sempurna, tak layakkah kita bersyukur atas nya?




Alloh menjadikan segala kemalangan yang kita lihat di sekitar kita untuk kita jadikan pelajaran. Tentu kita tak mau menunggu kemalangan-kemalangan tersebut menimpa kita terlebih dahulu baru kita mau menyadari. Selayaknya hal ini menjadikan kita berpikir dan dan memahami apa yang sebaiknya kita lakukan. 

Jika kita memiliki kelimpahan rizqi serta kedudukan sosial yang tinggi, maka kita semestinya beribadah sebagai ungkapan syukur kita kepadanya. Karena dengannya kita bisa melakukan banyak hal, baik yang berupa pemenuhan kesenangan diri semata maupun berupa kebaikan yang kita ciptakan untuk sesama.

Jika kita tak memiliki itu semua, kita masih layak untuk bersyukur karena masih diberi kesehatan, yang dengannya ita bisa meakukan banyak hal untuk mewujudkan keinginan.
Jika tak memilikinya, karena sakit misalnya, kita masih layak untuk bersyukur karena masih dikaruniaiNya nyawa yang melekat di badan. Dengannya kita masih memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, merasakan kasih sayang serta perhatian dari orang-rang tercinta.

Mari kita beribadah kepada Alloh sebagai balasan atas budi baik Alloh kepada kita dengan dikaruniakanNya hidup dan segala kebaikan yang kita rasakan, bukan karena upaya menggugurkan kewajiban semata. 

Dan itulah seminim-minimnya alasan untuk kita beribadah kepadaNya.



Senin, 23 Mei 2016

Shape your life. Make it colorful!


Taken from http://quotesgram.com/laugh-love-quotes-colorful-life/


Sedari 7 tahun lalu, aku sudah menuliskan daftar keinginan yang aku ingin wujudkan dalam hidup. Jumlahnya sangat banyak, ratusan. Gokilnya, daftar keinginan tersebut tidak statis. Setidaknya, telah ada hampir 10 kali revisi atas daftar keinginan tersebut. Aku menyebutnya wish list, untuk membuatnya mudah ketika diucapkan. Makin hari, makin bertambah item daftar keinginanku. 

Bertambahnya item keinginan dalam wish list ku sangat dipengaruhi oleh inspirasi yang aku peroleh dalam mengarungi perjalanan hidup. Aku tak egois. wish list tersebut tak semata seluruhnya egoentris, atau berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan yang berkaitan dengan diri sendiri. Banyak diantaranya berkaitan dengan terwujudnya berbagai kebaikan bagi orang lain. 

Aku senang dan merasa beruntung bahwa aku memiliki sesuatu yang membuat hidup hidupku, yaitu need of achievement. Ia menciptakan gairah untuk menjalani hidup. Need of acievement tersebut pula lah yang memuatku merasa tak puas dengan statisnya hidup. Aku selalu merasa gelisah dengan kondisi monoton. Itu yang membuatku selalu mencari dan mencoba hal-hal baru yang bermanfaat dalam hidup. Keinginan untuk menjalani hidup secara dinamis pula yang menjadikanku memiliki keinginan kuat untuk selalu mencapai sesuatu dalam hidup. 

Dalam kamus hidupku, tak ada istilah puncak. Ketika ada suatu puncak yang mampu aku gapai, maka ada puncak-puncak lainnya yang harus aku gapai. Seperti itulah kira-kira konsep menjalani hidup yang aku miliki. Seorang teman pernah berkata padaku, bahwa dia tak paham dengan jalan pikiranku. Ketika orang-orang sebaya ku cenderung berdiam diri dengan tenang menikmati kondisi nyaman yang mereka dapatkan, aku cenderung bergeliat dan terus bergeliat mencari dan melakukan hal-hal baru yang kadang membuatku terlihat seperti orang yang tak nyaman dengan kondisi nyaman yang ada. Pernah suatu ketika dia berpesan, bahwa aku harus banyak-banyak bersyukur. barangkali, dalam kacamata dia,  jalan pikiranku merupakan gambaran ketidaksyukuran terhadap nikmat Tuhan. 
bukan begitu kawan, aku hanya ingin hidupku terasa benar-benar hidup”, begitulah jawaban yang kusampaikan kepadanya, meski tak pernah mampu meredam rasa keheranannya atas sikapku dalam menjalani hidup. 

Ada lagi satu kawan yang mengutarakan unek-uneknya bahwa dia bingung dengan apa yang sebenarnya aku cari dalam hidup. Sudah menjadi guru dengan status PNS, tinggal nunggu waktu menuju sertifikasi, yang berarti bahwa dengannya gajiku akan berubah menjadi dua kali lipat perbulannya, kenapa justru memilih mengambil kesempatan kuliah di luar negeri ketika di tahun yang sama jadwal tes sertifikasiku tiba. Bagiku, sertifikasi adalah hubungannya dengan pendapatan. Pendapatan tak harus berupa sertifikasi atu gaji dari profesi tertentu. Ia bisa berasal dari berbagai sumber lainnya. Mendapatkan sertifikasi tapi melewatkan kesempatan untuk mendapati pengalaman hidup luar biasa yang belum tentu datang lagi adalah sebuah kebodohan, bagiku. Mengambil kesempatan mengikuti shortcourse ke australia dan Teacher Training ke Jepang yang secara keseluruhan berlangsung selama kurang lebih 2 tahun bukanlah semata tentang jalan-jalan atau studi di luar negeri, melainkan tentang pengalaman hidup yang merubah cara ku berpikir dengan lebih baik lagi, yang dengannya aku bisa menjalani hidup dengan lebih baik lagi.


Kedaulatan berpikir dan bersikap

Jika direnungkan, apa sebenarnya hal paling berharga dalam hidup? Ada begitu banyak hal berharga. Namun, untuk menentukan “yang paling”, bagi sebagian orang, butuh perenungan yang dalam. Jawaban orang mungkin beragam. Namun, bagi aku, hal paling berharga dalam hidup adalah kebebasan (freedom). Kebebasan dalam arti luas, dan kebebasan yang bertanggung jawab, tentunya. Tak ada kebebasan mutlak dalam hidup. Yang kumaksud dengan kebebasan disini adalah kebebasan yang memungkinkanku untuk melakukan segala sesuatu yang sesuai daengan prinsip dan pilihan hidupku. 

“we are what we think. if you think you CAN, then you CAN”

Pepatah tersebut cukup populer. Ia mengandung arti bahwa segala sesuatu yang terjadi pada diri manusia banyak dipengaruhi oleh isi pikiran mereka. Benar sekali, karena pikiranlah yang biasanya mengarahkan orang untuk memutuskan melakukan suatu tindakan. Begitu besarnya pengaruh pikiran terhadap kehidupan seseorang diiyakan oleh banyak tokoh besar dunia, hingga lahirlah berbagai karya buku yang berkaitan dengan kekuatan pikiran seperti The power of thought (Henry Thomas Hamblin), The power of Thinking Big (David J Schwartz), Positive thinking Therapy (Ebrahim Elfiky), La Tahzan/Don`t be sad (Dr. Aidh Al-Qarni) dan banyak buku lainnya yang mengulas tentang dahsyatnya kekuatan pikiran. 

Pikiran merupakan produk dari interaksi kita dengan lingkungan, baik lingkungan pergaulan kita dengan sesama manusia maupun lingkunagan interaksi kita dengan hal lain seperti buku yang kita baca, tempat yang kita kunjungi, atau hal-hal yang kita amati. Lingkungan yang salah, bisa melahirkan pemikiran yang salah dan berujung pada tindakan yang salah, bahkan bisa menjadi penjara bagi kedaulatan hidup kita. Banyak orang yang membuat pilihan hidup yang cenderung mengikuti paradigma lingkungan sekitar mereka secara taken for granted. Banyak orang yang pilihan hidupnya disesuaikan dengan arah paradigma lingkungan sekitar. Memang ada kecenderungan bahwa manusia mudah diperngaruhi oleh lingkungan sekitarnya. Sayangnya, kadang mereka tak selektif dengan pengaruh lingkungan. Banyak dari mereka mengukur kemampuan mereka dengan kemampuan orang lain di lingkungan pergaulan mereka. Misalnya, ketika ada orang lain yang mencoba menjalankan suatu bisnis kemudian gagal, serta merta dia berpikir bahwa bisnis di bidang tersebut emang sulit. Padahal boleh jadi, kita bisa melakukan suatu hal yang sama dengan yang dilakukan orang lain, namun membuahkan hasil yang lebih baik dari orang lain. 

Kadang aku heran dengan sebagian orang. Mereka begitu risau dengan penilaian negatif orang lain terhadap pilihan hidup mereka. Mereka merelakan diri untuk menghabiskan waktu dengan menggerutu merespon penilaian orang lain terhadap diri mereka. Padahal, apa sih yang bisa dilakukan orang lain terhadap kita? Logikanya, kalau segala kesedihan, kesulitan dan tantangan yang kita alami kita sendiri yang hadapi, mengapa musti mengacuhkan penilaian negatif orang lain. Apapun yang kita lakukan, sepanjang itu kita yakini kebenarannya, dan merupakan pilihan terbaik bagi kita, maka the show must go on. Sikap penuh kedaulatan diri seperti itulah yang membentuk kebesaran nama para tokoh yang berprestasi dan berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Mereka begitu kuat dalam berpendirian. Mereka tak mudah goyah dengan pengaruh pemikiran lingkungan sekitar. Mereka memiliki keyakinan dan determinasi yang kokoh hingga keinginan yang mereka miliki mewujud nyata. 

Seperti itulah semestinya setiap individu bersikap. Tuhan mmeberikan kebebasan kepada makhlukNya untuk mendesain hidup mereka. Tuhan memberikan kedaulatan penuh kepada makhlukNya untuk memilih jalan yang akan mereka tempuh. Hidup hanya sekali, dan karenanya ia harus dijalani dengan penuh makna.


Design the construct of your life, and hold on tight on your way of building it. Enjoy every minute of life. Make sure that your life is really YOU!






Jumat, 20 Mei 2016

...Purple Days... (Novel Edition)


Aku sangat meyakini bahwa tak ada yang terjadi di dunia ini secara kebetulan. Semua hal terjadi by design, dan sang Pencipta lah yang mendesain semuanya. 
        
Aku tak menyangka hari itu akan menjadi momen yang sangat mendebarkan, yang mengaduk-aduk rasa ku, dan menjadikanku laksana makhluk lemah yang lunglai karena terbawa haru birunya suasana jiwa.
        
Pagi-pagi, di hotel tempat aku menginap, aku merias diri. Aku tampilkan diriku sebagai sosok yang berpenampilan menarik. Aku tata rambutku yang telah menyatu dengan minyak rambut tipe `super hard`. Aku kenakan kaos hitam kebanggaanku yang yang kuperoleh saat mengikuti shortcourse di University of Southern Queensland, setahun silam. Seolah hendak menemui seseorang yang istimewa, aku rapikan diriku. Padahal, waktu itu tujuanku adalah menyusuri berbagai tempat di Tokyo, sebagai bagian dari liburan Goolden Week selama 5 hari. Sama sekali tak ada agenda untuk menemui seseorang. Aku merasa seperti `dipersiapkan` untuk menghadapi sebuah momen tertentu. Itu yang aku maksud dengan by design. 

Pukul 11 siang aku check-out dari hotel dan berjalan menuju area makanan halal, Ameyayokocho, yang terletak di sebelah selatan Ueno Station, Tokyo. Senang rasanya bakal mendapati menu halal dengan rasa yang nikmat. Dari sekian banyak kedai menu halal yang ada, yang kebanyakan dimiliki oleh muslim pendatang dari Turki, pakistan, dan Banglades, pilihanku jatuh pada kedai nasi ayam yang bernama Chicken Man. Ku pesan seporsi nasi ayam seharga 600yen. Aku santap begitu lahapnya, hingga seporsi makanan memenuhi rongga lambungku. 

Dan cerita pun dimulai

Tiba-tiba datanglah dia. Gadis yang entah siapa namanya duduk dan memesan nasi ayam dengan porsi yang cukup besar, menurutku, untuk ukuran seorang gadis. Awalnya tak terbersit untuk menyapa, dan mencoba bersikap layaknya sesama pelanggan yang menikmati hidangan di restoran atau kedai yang tak kenal satu sama lain. Wajahnya melayu, dan itu yang membuatku menyangka bahwa dia masih satu ras/bangsa dengan ku. Dugaanku, dia adalah anak Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Jepang. Hati seolah tergerak untuk menyapa, mencoba memenuhi tuntunan adat ketimuranku untuk mulai menyapa sesama, terlebih dengan orang sebangsa yang bersua di negeri orang. Ku sapa dia bukan dengan bertanya nama, melainkan menebak darimana dia berasal.
`` dari Indonesia?, tanyaku.
``Saye dari Malaysia``, jawabnya.

Percakapan pun dimulai, hingga berlangsung sekitar 30 menit. Ternyata dia sedang berada di Jepang dalam rangka menjadi guide bagi orang-orang malaysia yang melancong ke Jepang. Cukup lama dia berada di Jepang, menjalankan pekerjaan yang sepertinya sangat menyenangkan. Siapa yang tak senang bila mendapat pekerjaan yang sejalan dengan hobi traveling. 30 menit terasa begitu singkat. Aku seperti kena candu. Candu untuk berbicara banyak dengan dia. Itu terjadi begitu alami. Hari sudah siang. Waktu menunjukkan pukul 11.30. Aku coba menawarkan untuk mengajak dia dan rombongan yang dia bawa untuk melaksanakan sholat dhuhur di masjid Assalam, yang bisa dicapai dengan berjalan kaki selama 15 menit dari tempat kami makan. Kami pun melaksanakan sholat di sana.

Selesai sholat, kami harus berpisah, karena kami memiliki agenda yang berbeda. Aku ada jadwal untuk pergi ke Tokyo Institute of Technology, untuk mengikuti seminar pendidikan yang dihadiri oleh beberapa tokoh pendidikan indonesia yang menjadi pembicara, salah satunya adalah mantan menteri Pendidikan dan Kebudayaan Repubik Indonesia, Muhamad Nuh. Sedangkan mereka harus melanjutkan perjalanan untuk mengunjungi tempat-tempat menarik di Tokyo. Beruntung sekali, aku sempat mendapatkan nomor telponnya. Sehingga, aku bisa melanjutkan komunikasi dengannya setelahnya. 

Seperti apakah dia?

Sungguh ini akan menjadi kisah yang mungkin tak akan lekang waktu dalam hidupku. Betapa tidak, kisahnya unik dan kadang membuatku tak percaya bahwa itu terjadi. 
Aku suka mendengarkan musik. Salah satu lagu yang cukup sering aku dengarkan dan dendangkan di kala sempat adalah lagu dangdut berjudul `` Gadis Malaysia``, yang dipopulerkan oleh Yus Yunus. Bunyi lirik lagu tersebut yaitu, 

``Baru pertama aku melihat gadis secantik kamu
Berparas melati disanggul jelita….
Nur Azizah… Nur Azizah…..
Gadis malaysia memakai kebaya panjang
Berselendang sutra ungu Hatiku tergoda
Boleh-boleh tak boleh, wajah adik ku pandang
Boleh-boleh tak boleh, aku jatuh cinta
Nur Azizah… Nur Azizah…..
Jangan malu, berikan kepadaku… madu-madu asmara
Semakin kupandang semakin haus pula cintaku
Tutur sapa… tutur sapa dan Bahasa
Menyentuh telingaku bagaikan serunai syahdu
Jawaban cintamu seakan-akan ku tak percaya…
Ku akan persembahkan sebuah rumah kecil
Berdinding bunga-bunga untuk kita berdua..
Boleh-boleh tak boleh wajah adikku pandang
Boleh-boleh tak boleh aku jatuh cinta``
Sepertinya, dalam hal ini, hukum ketertarikan benar-benar bekerja. Hukum ketertarikan/ law of attraction berbunyi, ``segala sesuatu yang kita fokuskan dan sering kita berinteraksi dengannya akan mewujud nyata dalam kehidupan kita, apapun itu``. Dan itu yang terjadi. 

Nama gadis itu adalah ``Azizah``. Dia memintaku memanggilnya ``Azii``. Hanya butuh tambahan ``Nur`` agar namanya sama persis dengan nama yang ada pada lirik lagu di atas, Nur Azizah. Dia berasal dari Malaysia. (haha..Ya Alloh, apa ini?). Dia punya postur tubuh yang tinggi, bahkan sepertinya hanya selisih kurang dari 10cm dari tinggi badanku. Dia sempat cerita bahwa dia menggeluti dunia modelling dan sering diminta menjadi model untuk brand busana muslimah di malaysia. 

Segala deskripsi sosok gadis yang ada pada lagu tersebut ada pada dia. HIngga sekarang pun aku belum berhenti takjub dengan hal ini. Seolah sedang membaca sebuah cerita fiksi, tapi ini nyata. Seorang gadis yang dideskripsikan dalam sebuah lagu yang sering aku dengar, hadir mewujud nyata dan aku jumpai dalam hidupku. 

Hari minggu, tanggal 8 Mei, hari terakhir liburanku di Tokyo. Ku perpagi kunjunganku ke Odaiba, sebuah kawasan di tokyo sebelah tenggara yang memiliki taman hijau berpadu dengan bangunan-bangunan modern, serta memiliki icon terkenal berupa patung Liberty dan Jembatan Pelangi. Tak banyak yang aku lakukan disana. Hanya menggugurkan kewajibanku untuk menyempatkan kesana, menggambil beberapa gambar indahnya taman, patung liberty, tepian laut, jembatan pelangi, dan beberapa spot yang nampak indah dalam jepretan kamera smartphone ku. Belakangan, aku merasa ada yang aneh. Tak ada satu pun foto selfie kulakukan di tempat itu, meski sudah kurencanakan. Padahal banyak sekali orang berbangga berfoto selfie ria dengan angle patung liberty dan Jembatan Pelangi dan mempostingnya di Media Sosial. 

Aku sengaja menyegerakan untuk menyudahi petualanganku di Odaiba, karena ada janjian untuk bertemu dan berwisata bersama mengunjungi beberapa tempat di Jepang. Dengan si dia, Azizah. Memang bagai gayung bersambut, ajakanku untuk jalan bersama diiyakan juga olehnya. Pukul 11 telah kami sepakati sebagai waktu untuk kami bertemu di Central Gate stasiun Shinjuku. Ada beberapa alternatif rute dari Odaiba menuju Stasiun Shinjuku. Namun aku mengambil rute paling cepat agar sesegera mungkin tiba disana dan mampu mendahuluinya. Tak ingin lama membuatnya menunggu ternyata menjadi motivasi kuat untuk aku berdisiplin dan datang ke tempat itu. Pukul 10 pagi aku tiba disana, dan benar, aku harus menunggu, karena waktu masih cukup panjang menuju pukul 11. 

Menunggunya menjadi momen yang cukup mendebarkan. Resah, gelisah, dan senang bercampur jadi satu. Senang karena akan punya kesempatan untuk kembali bersua dengannya. Resah karena kadang terbersit rasa ragu bahwa dia benar-benar mau menemuiku, karena kami baru sekali bertemu. Biasanya wanita mudah sekai curiga dengan pria, dan tak mudah percaya, apalagi untuk melakukan janji untuk bertemu. Namun, dia sepertinya punya ‘trust’ atasku, dan itu yang menjadikanku mengharuskan diri untuk memberikan kesan positif kala bertemu. Jam 11 sudah berlalu. Kucoba menghubunginya lewat FB Messenger dan whatssap, namun telat juga dia membalas. Ternyata dia masih di dalam hotel tempatnya menginap. Ada kesan tergesa-gesa dia menjawab pesanku. Sepertinya ia sedang bergegas menuju stasiun tempat kami akan bertemu. 

Dan kami pun bertemu. Bukan di Central gate seperti yang sudah kami sepakati, namun dia langsung masuk ke stasiun menuju Platform 2, mengambil Yamanote line. Kami memulai petualangan kami dengan pergi ke daerah Harajuku untuk mencari masjid dan berburu makanan halal disana. Cukup sulit ternyata untuk mencari masjid disana. Berbekal aplikasi google map, kami memulai pencarian. Ditunjukkan sebuah titik oleh google map dengan rute yang cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Di sana kami akan menemukan masjid, menurut google map. Namun, setibanya di titik tersebut, kami tak dapati masjid, melainkan sebuah bangunan tinggi yang terlihat seperti apartemen. Barangkali, memang disitu lah letak masjid yang dimaksud, berlokasi si suatu lantai tertentu di bagian atas apartemen. kami tak masuk ke dalam gedung tersebut, dan beralih menuju pencarian restoran makanan halal. Kami yakin si pemilik restoran bakal tau masjid terdekat, atau bahkan memberi tumpangan untuk kami melaksanakan sholat dhuhur dan ashar.  

Sampailah kami di restoran makanan halal yang bernama Malay Chan. Itu adalah sebuah restoran yang menyediakan masakan khas malaysia, namun pemiliknya adalah orang Jepang. Aku terkejut, ternyata dia gemar masakan super pedas juga. Kami makan sambil berbincang-bincang perihal pekerjaan, hobi, kesibukan sehari-hari, pengalaman kuliah, cita-cita, dan sebagainya. Sempat aku belajar banyak kosakata melayu dari dia. Kami memang berasal dari negara yang masih satu rumpun. Namun, meski sama-sama menggunakan bahasa melayu, ada banyak perbedaan baik dalam penggunaan kosakata tertentu maupun dalam hal aksen. Hal tersebut lah yang menjadikanku berpikir bahwa andai boleh memilih, aku lebih memilih untuk bercakap dengannya dalam bahasa Inggris. Namun, sekali aku menawarkannya, dia memilih untuk tetap bercakap dalam bahasa yang dia pakai sehari-hari. Makan siang yang cukup lama, hingga waktu tiba untuk menunaikan sholat ashar. Pemilik kedai cukup berbaik hati menawarkan kami untuk melakukan ibadah sholat jamak dhuhur dan sholat ashar di lantai dua kedai tersebut. Kami berdua pun melaksanakan sholat berjamaah tersebut di ruang yang disediakan pemilik kedai. 

Makin lama berjalannya waktu, makin terlihat menonjol pesonanya. Ah…tiba-tiba aku berbicara tentang pesona. Aku suka sifat mandirinya, kedewasaan berpikirnya, dan segala karakternya. Ah… aku tak kuasa untuk berkhayal terlalu jauh. Andai sosok seperti Itu yang ku dapatkan sebagai ……… (parah nih! dah setengah waras. hahaha), bahagianya hati tentunya. 1.5 jam berlalu begitu singkat. Kami bergegas menuju tujuan kami selanjutnya, Shin-okuba. Sebuah tempat dimana ada Muslim Town dan Korea Town. Cukup jauh kami berjalan dari Malay Chan menuju stasiun Ikebukuro, karena kami tak tau persis dimana lokasinya, dan hanya mengandalkan google map sebagai petunjuk jalan. Sesekali aku berusaha mencairkan suasana dengan bercanda. Namun, seringkali gagal membuatnya tertawa, mungkin karena kendala bahasa. Sama-sama melayu, tapi beda. Hanya satu yang sempat membuatnya tertawa. Yaitu saat aku menanyakan berapa nilai geografinya dulu ketika sekolah di SMA. Dia bilang, tak `begitu bagus`. `pantas lah tak jua temukan stasiun meski pakai google map`, sahutku. `sini biar aku yang cari. Dulu nilaiku 90`, tambahku, dan dia pun tertawa. Senangnya bisa sukses membuatnya tertawa.

Tibalah kami di daerah shin-okuba, yang bisa dicapai dalam waktu 6 menit dengan kereta dari stasiun Ikebukuro. Kami berjalan menuju Muslim Town. Disana kami temukan beberapa kedai halal dengan aneka masakan. Ada kedai halal Masakan Indonesia, ada kebab Turki, kedai masakan malaysia, masakan Banglades, dan sebagainya. Tak ada masakan disana yang kami coba, karena perut masih terasa kenyang. Bersyukur kami sempat menemukan masjid disana. Sebuah masjid yang terletak di lantai 4 sebuah bangunan tinggi. Cukup untuk menampung jamaah 30 orang pria, untuk ruangan pria. Namun aku tak tau seberapa luas ruangan masjid untuk wanita. Selesai sholat kami bergegas menuju Korean District. kawasan ini lebih luas dibanding kawasan muslim yang kami kunjungi sebelumnya. Berbeda dengan kawasan muslim. Kawasan ini lebih didominasi oleh aneka produk kosmetik dan fashion. Namun ada pula restoran masakan khas korea. Kawasan ini cukup padat, hingga kami harus berjalan pelan menyusuri trotoar dan mengunjungi beberapa toko.

Selesai berkelana di area Shin-okuba, kami berjalan cukup jauh menuju Shinjuku Stastion. Dalam perjalanan, kami temukan sebuah taman bermain. Di sana ada ayunan. Dia mengajakku untuk mencoba ayunan tersebut. Ada beberapa ayunan, yang semuanya sedang dipakai. Dan anehnya, semua pemakainya adalah orang-orang dewasa, alih-alih dipakai oleh anak-anak. Di taman tersebut ada 3 ekor kucing yang sedang bermain dengan pemiliknya. Dia memintaku untuk bertanya kepada si pemilik kucing apakah dia boleh menyentuhnya dan mencoba bermain dengannya. Waah..ternyata dia penyayang kucing. Aku jadi teringat dengan sebuah teori psikologi, bahwa penyayang hewan mempunyai kecenderungan memiliki hati yang lembut dan baik. Makin terpesona aku olehnya. Kami menikmati duduk di ayunan sambil bercengkerama hingga seorang pria tua (penjaga taman bermain) berseru ke semua pengunjung bahwa taman hendak ditutup karena sudah sore. Kami pun melanjutkan perjalanan menuju Shinjuku Station. 
I like this pics

Setibanya di shinjuku, dia mengantarku mencari terminal bus Shinjuku. Cukup lama kami mencari terminal bus karena area Shinjuku begitu luas, dan kami tak pernah kesana sebelumnya. Selang berapa lama, kami menemukan sebuah gedung 4 lantai yang ternyata itulah terminal bus yang kami cari. Bus yang akan aku naiki berada di lantai paling atas. Terminal tersebut sangat luas, dan terlihat begitu modern. Selesai menemukan tempat dimana bus yang akan kunaiki berada, kami menuju sebuah kedai makanan halal untuk makan malam. Kami memilih kedai SHIDIQ, yang menyajikan menu khas banglades, ``Nan``. Menu yang terdiri dari roti dan kare. Ada banyak pilihan kare. Kami memilih menu yang berbeda. Aku memilih kare kambing, sedangkan dia memilih kare udang. Selalu kami memilih menu yang berbeda. Dengan demikian kami bisa saling tukar mencicipi menu pesanan kami. Tapi lebih sering aku yang mencicipi menu yang dia pesan, setelah ada tawaran darinya, tentunya. Ternyata dia tak suka daging kambing. Aroma daging kambing tak sedap, katanya. 

Dia sangat komunikatif dan suka bercerita. Cerita-cerita yang kebanyakan merupakan pengalaman pribadinya. Begitu menarik ia bercerita.   Aku seperti sedang dimanjakan dengan dongeng-dongeng sarat pesan moral. Aku kagum padanya. Dia memiliki rencana yang jelas dengan masa depannya, dengan aktivitas yang akan dia lakukan. Dia pribadi yang mandiri, dan punya kesungguhan kuat untuk membahagiakan orangtuanya. Sebagai anak ke-5 dari 11 bersaudara, dia merasa punya tanggungjawab untuk membantu adik-adiknya yang masih menempuh pendidikan.

Malam makin larut. Waktu menunjukkan pukul 09.45. Namun kedai masih ramai. Akhirnya, saat yang rasanya tak begitu kuharapkan pun tiba. Ya, kami harus berpisah. Dia harus kembali ke Hotel tempat dia menginap, dan aku harus balik ke Sendai dengan naik bus. Di titik persimpangan stasiun kami berpisah. Dia menuju stasiun, dan aku yang setengah enggan membalas salam perpisahannya pun berjalan menuju terminal bus. Dua hari berinteraksi dengannya, tak pernah sekali pun kami sempat bersalaman. Namun, entah mengapa, justru aku bersyukur dengan hal tersebut. 

Episode melankolis

Episode yang aku sangat tak suka pun tiba. Tiba-tiba aku mudah `baper`, apalagi kalau dengerin musik intrumentalia kesukaanku, `Romantic Relaxing Saxofone `, yang aku download dari Youtube, sambil ingat-ingat sehari bersamanya. Aku merasa sedang terbodohi oleh keadaan yang aku tak mampu mengendalikannya. Ah, semua teori tentang bagaimana mengendalikan pikiran yang telah aku pelajari sebelumnya terasa tumpul sudah. Aku merasa seperti tak kuasa atas diriku. Aku jadi merasa malu sama Alloh, Tuhanku. Mengingatnya, tak sampai aku seperti ini, kepikiran berkepanjangan. Tapi terhadap makhluknya, aku bisa sebegitu takluknya. Dia,  baru aku kenal kemarin, namun sekarang sudah mampu menguasai pikiranku. Aku lambaikan kain putih dengan situasi perasaan ini. Namun aku berusaha berdzikir kepada Alloh. Barangkali, ini adalah ujian. Dan ini memang ujian. 

Perasaanku jadi sensitif. Setiap kali aku coba memulai komunikasi dengannya melalui aplikasi Whattsap atau Fb Messenger, selalu merasa harap-harap cemas. Ketika pesan tak langsung berbalas, makin penat lah pikiran. Ketika pesan dibalas, hati pun berbinar laksana mendapatkan cahaya di gelapnya jalan. Seperti ABG yang baru kenal asmara. Terjadi dialog hebat dalam batinku.
’kenapa kamu jadi cengeng, rapuh dan lemah seperti ini?’’ 
‘’kamu ini laki-laki tulen. Tak selayaknya kamu lunglai terbawa perasaan seperti itu’’, 
‘’ah, emang laki-laki tak berhak untuk menuruti perasaan? laki-laki juga manusia’’

Di sinilah paradoksnya cinta

Aku seperti menyaksikan sebuah episode drama yang aku sendiri berperan sebagai aktornya. Asmara… dengannya banyak hati yang mekar berbunga-bunga. Tapi karenanya pula banyak hati lemah patah dan tak berdaya. Sudah se dewasa ini, kadang masih saja bingung bagaimana menghadapi situasi semacam ini. Aku yakin ini adalah ujian. Aku berdoa agar Alloh senantiasa menuntunku ke jalanNya yang lurus. 

’Ya Allah, Jauhkanlah diriku dari perasaan yang sia-sia dan kurniakanlah padaku, hati yang baik dan sentiasa tenang..amin 🙆’’





Selasa, 17 Mei 2016

Belajar Filosofi dan Etos Kerja di Jepang


        Mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program Teacher Training ke Jepang merupakan salah satu anugerah dari Alloh yang luar biasa besar bagi saya. Bukan semata karena dengannya saya bisa memperdalam ilmu dan kecakapan dalam mendidik, melainkan juga karena dengannya saya memperoleh kesempatan untuk menggali lebih dalam pemahaman tentang budaya, gaya hidup, dan karakter-karakter positif masyarakat jepang dalam kehidupan sehari-hari. 
        
        Saya merasa beruntung bahwa program Teacher Training 1.5 tahun di Jepang ini cukup memberikan ruang dan waktu bagi saya untuk melakukan banyak hal di Jepang. Jadwal perkuliahan yang tak begitu padat, serta fleksibilitas mata program yang saya jalani, memungkinkan saya untuk melakukan hal-hal lain yang sesuai dengan minat dan hobi saya. 
        
        Salah satu hal yang menarik minat saya adalah mempelajari karakter masyarakat Jepang dalam bekerja. Interaksi saya dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari menjadikan saya semakin mendapatkan jawaban atas pertanyaan saya selama ini, ‘’bagaimana etos kerja masyarakat jepang sebenarnya?’’ Untuk menggambarkan bagaimana etos kerja masyarakat Jepang, dalam artikel ini akan saya jelaskan beberapa pengalaman saya mengamati kinerja orang Jepang di berbagai bidang. 

Sikap pegawai terhadap pelanggan
        
        Saya termasuk orang yang memiliki hobi yang barangkali kurang begitu lazim bagi kalangan pria, yaitu pergi ke pasar sayuran, buah dan ikan, untuk berbelanja atau sekedar melakukan window shopping (lihat-lihat). Hal yang menarik setiap kali saya pergi ke toko/pasar/supermarket adalah sambutan para pedagang terhada saya, dan terhadap semua pelanggan tentunya. Ketika saya memasuki area dagangan mereka, ucapan ‘’irassaimashe’’ yang berarti ‘’selamat datang!’’ bergemuruh seketika diucapkan oleh emua pegawai yang ada di tempat belanja tersebut. Bagi saya, itu adalah hal yang cukup menarik, mengingat saya tak terbiasa mendapati sambutan seperti itu ketika memasuki pasar /toko di negara asal saya. Di negara asal saya, ketika seorang calon pembeli masuk ke sebuah toko/pasar, biasanya yang diucapkan seketika oleh pedagang adalah langsung berupa penawaran atas dagangan yang mereka miliki. Selain itu, meski dalam satu toko ada banyak pegawai, namun yang menyambut dengan ucapan selamat datang biasanya hanya pegawai yang bertatap muka langsung dengan si calon pembeli. Sedangkan di Jepang, semua pegawai dalam ruangan secara serentak mengucapakan ‘’selamat datang’' kepada setiap pengunjung. Sepertinya itu sudah menjadi Standard of Operating Procedure (SOP) dari setiap perusahaan yang aktivitasnya berinteraksi langsung dengan para pelanggan di Jepang. 
        

        
         Sesungging senyum tulus selalu ditampakkan oleh para pedagang kepada pelanggan. Mereka begitu mudah mengucapkan Arigatougozaimashita ‘(Terimakasih’’) kepada para pelanggan, baik ketika mereka benar-benar melakukan pembelian maupun hanya sekedar melihat-lihat lalu pergi berlalu. Ketika sang calon pembeli melakukan penawaran begitu gigihnya namun tak melakukan pembelian pada akhirnya pun tetap mereka beri ucapan Arigatougozaimashita. Hal unik lain yang terjadi di pasar adalah ketika kita berada di kasir untuk melakukan pembayaran, si pegawai kasir menyebutkan satu persatu harga dan nama masing-masing item barang yang kita beli. Kesannya cerewet, mungkin, tapi menurut saya justru itu menunjukkan kesan positif bahwa mereka benar-benar memastikan bahwa pelanggan membeli barang yang mereka inginkan dengan harga seperti yang tertera pada katalog. Entah apapun itu alasannya, yang jelas, saya secara pribadi menilai bahwa hal tersebut menimbulkan dampak psikologis pada diri pembeli bahwa mereka sangat ‘’receh’’,tak pelit bicara,ramah dan bersungguh-sungguh dalam melayani serta sangat welcome terhadap pelanggan. 

        Mengecewakan pelanggan, walau hanya sedikit saja, sepertinya sudah benar-benar menjadi pantangan bagi para penjual barang/jasa di Jepang. Seringkali saya dapati bahwa ketika mereka melakukan sedikit saja kesalahan yang mungkin merugikan pelanggan, mereka langsung mengucapkan gomennasai atau ‘’mohon maaf’’ yang disertai anggukan kepala beberapa kali untuk menunjukkan kesungguhan mereka meminta maaf pada pelanggan. Hal tersebut tentunya menjadikan para pelanggan merasa sungkan, dan akhirnya menjawab daijobu atau ‘No problem’’.

        Sikap service-oriented yang ditunjukkan masyarakat jepang dalam bekerja ternyata menyebar begitu merata di semua bidang pekerjaan. Beberapa kali saya pergi ke kantor Bank, dan setiap kali saya memasuki ruangan bank tersebut selalu ada sambutan dengan ucapan irassaimashee yang diucapkan secara serentak meski tak begitu kompak oleh seluruh pegawai di ruang kantor tersebut. Sambutan hangat pegawai terhadap pelanggan juga saya temukan di tempat-tempat seperti restoran/rumah makan, rumah sakit, kantor pos, dan tempat-tempat lainnya. Saya selalu mendapati aura wajah penuh keramahan terhadap pelanggan di setiap tempat usaha di jepang. Mungkin itu semua berawal dari SOP yang dijalankan oleh perusahaan-perusahaan di jepang, namun akhirnya mengakar menjadi budaya masyarakat. Mungkin juga sebaliknya, sebuah karakter positif yang telah membudaya dalam kehidupan sehari-hari dan mereka bawa ke dalam lingkungan kerja.

Saya menjadi semakin familiar dengan tiga kata yang seolah menjadi kata ajaib  (three magic words) ketika berinteraksi dengan masyarakat di Jepang. Kata-kata tersebut yaitu Irassaimashe, arigatogozaimashita, dan gomennasai. Inilah budaya positif yang layak ditiru dan dibumikan di lingkungan tempat tinggal dimana saya berasal. 

Add caption


Etos kerja masyarakat jepang

        Setelah selesai mengikuti program intensif belajar bahasa jepang di Tohoku University, dan merasa memiliki bekal yang cuku untuk berkomunikasi secara lisan secara lebih berterima dengan penutur asli bahasa Jepang, saya memberanikan diri untuk melakukan kerja sampingan (baito). Waktu luang yang cukup banyak, keinginan untuk mendapatkan uang tambahan sebagai modal untuk mengeksplor beberapa tempat di Jepang yang sudah masuk dalam wish list saya, dan keinginan kuat untuk mempelajari budaya dan karakter masyarakat Jepang secara lebih dalam, mendorong saya untuk melakukan baito

        Saya bersyukur mendapatkan part time job yang makin memperkaya pemahaman saya tentang etos kerja masyarakat Jepang. Saya memutuskan untuk mengambil 3 hari  kerja dalam setiap minggunya. Pekerjaan tersebut berlangsung selama 3-5 jam pada malam hari, dan dimulai pada pukul 9.00. Itu adalah pekerjaan yang membutuhkan energi fisik yang cukup prima, karena berhubungan dengan memindahkan barang yang berat. Ada sekitar 15 orang di tempat kerja tersebut. Sejatinya, itu adalah pekerjaan lembur, dimana sebagian besar pekerjanya sudah melakukan pekerjaan utama di siang hari. Namun , yang membuat saya takjub adalah kinerja para pekerja Jepang yang luar biasa. Mereka seperti tak kehabisan tenaga. Mereka begitu cekatan dalam bekerja. Saya selalu berusaha mengikuti ritme mereka dalam bekerja. Namun sepertinya memang butuh pembiasaan yang lama agar bisa menyamai level mereka dalam kinerjanya. Tak pernah saya temukan komplain dari mereka atas pekerjaan yang mereka tangani. Mereka memang sesekali terlihat lelah, namun tak menunjukkan sikap lemah, dan terus bekerja. Sempat saya curiga bahwa jangan-jangan mereka mengonsumsi semacam obat doping agar tenaga mereka bisa selalu prima sepanjang waktu bekerja. Namun, ternyata asumsi saya keliru. Mereka bekerja seperti itu karena memang hal tersebut sudah menjadi etos kerja mereka. Saluut!
        
        Saya suka mengamati perilaku orang Jepang ketika bekerja. Dari pengamatan tersebut saya melihat tak ada orang Jepang yang bekerja sambil mengobrol, apalagi membicarakan hal-hal di luar topik seputar pekerjaan. Menjadi negara yang maju dalam teknologi juga tak lantas menjadikan masyarakatnya menggunakan teknologi sepanjang waktu. Terbukti, ketika sedang bekerja, apapun bidang pekerjaan yang ditekuni, tak ada orang jepang yang asyik bercengkerama dengan gadget untuk sekedar mendengarkan musik atau menggunakannya untuk hal lainnya. Di sini, ada pelajaran tentang fokus, fokus dalam bekerja. Pernah suatu ketika, ada pekerja asing yang bekerja di sebuah pabrik di Jepang. Setiap jeda istirahat makan siang yang ebrlangsung selama 1 jam, sebagian pekerja asing tersebut bermain-main dengan gadget mereka, alih-alih memanfaatkan waktu istirahat untuk mengendurkan otot dengan rebahan sejenak agar memperoleh kebugaran kembali. ternyata, hal tersebut mempengaruhi produktivitas pabrik tersebut. Oleh karena hal tersebut, pihak manajemen perusahaan tersebut memutuskan semua pekerja yang bekerja di pabrik tersebut dilarang menggunakan gadget apapun selama berada di lingkungan pabrik, kecuali pekerja yang berhubungan dengan komunikasi jarak jauh dengan pihak luar. 

Filosofi dalam bekerja

        Setiap Selasa, Rabu dan Kamis malam, di saat orang-orang pada umumnya sedang mulai beristirahat, saya justru mulai bekerja. Lazimnya, ketika kita bersua dengan orang di malam hari, yang kita ucapkan adalah ‘’selamat malam’'. Namun di tempat saya bekerja, ketika berjumpa dengan para pekerja, kata yang diucapkan adalah ohayougozaimasu (selamat pagi). pertama kali mengetahui hal tersebut saya sempat bingung. ‘’apa gak slah yang mereka ucapkan itu?’’ belakangan, saya memperoleh penjelasan bahwa ucapan ohayougozaimasu yang diucapkan meski di waktu selain pagi memiliki makna filosifis yang dalam. kata ‘pagi’ berkonotasi positif dengan semangat, waktu dimulainya hari, dan awal yang baik. pengucapan ohayougozaimasu tersebut dimaksudkan untuk memberikan kesan semangat untuk bekerja. 

        Semakin jauh berpetualang, semakin banyak pengalaman berharga yang diperoleh, semoga semakin menjadikan kita bersyukur dan mampu mengkapitalisasi semua pengalaman tersebut untuk kebaikan di negara asal.

Minggu, 15 Mei 2016

Bermalam di Capsule Hotel

      Tiap tahun, semakin banyak orang indonesia yang melancong ke negeri Jepang. Jepang memang menawarkan begitu banyak tempat wisata yang membuat orang kepincut untuk mengunjunginya. Kota-kota besar seperti Tokyo, Osaka, Kyoto, Nagoya dan kobe sering menjadi tempat tujuan wisata ketika berkunjung ke Jepang. Sehingga, butuh waktu berhari-hari untuk bisa mengunjungi sebanyak mungkin tempat menarik di berbagai sudut Jepang. 

      Semakin lama kita di jepang, tentu mengharuskan semakin lama pula kita menginap di sana. Zaman makin berkembang. Banyak diantara para pelancong yang mencari kesempatan untuk mendapatkan tumpangan menginap secara gratis via berbagai media sosial seperti hospitalityclub.org, couchsurfing, maupun media lainnya. Namun, mencari teman sesama pengguna media tersebut untuk memberikan kita tumpangan menginap tak selalu berhasil. Hal tersebut mengharuskan kita untuk mencari tempat menginap yang berbayar. Bagi kalangan jetset, tentu hal tersebut mudah. Tinggal mencari hotel sesuai selera, seberapa pun tarifnya permalam, tinggal bayar. Namun bagi para pelancong yang memiliki budget yang terbatas, mereka harus mencari cara agar bisa mendapatkan tempat menginap yang terjangkau. 

      Di berbagai kota besar di jepang, ada tempat menginap yang cukup terjangkau bagi para backpacker, namun memiliki fasilitas yang cukup nyaman dan memuaskan. Penginapan tersebut bernama Capsule Hotel. Hotel tersebut menggunakan istilah ‘capsule’ karena bentuk dan ukurannya yang mirip ruang capsule yang ada pada ruang perawatan intensif di rumah sakit. Bentuknya hampir seperti lemari yang direbahkan. Sangat jauh dari ukuran kamar hotel pada umumnya. kamar yang tersedia di capsule hotel hanya cukup untuk menampung ukuran tubuh kita. Memiliki panjang sekitar 230 cm dengan lebar dan tinggi kira-kira 100cm. Penghuni bisa duduk lurus, namun tak bisa berdiri di dalamnya. Meski sempit, ruang Capsule tersebut umumnya dilengkapi dengan TV serta lampu yang semuanya bisa dikendalikan dengan mengatur tombol panel di sisi sebelah kanan dalam ruangan.
Kamar Capsule Hotel
Hotel Sauna and Capsule New century Hotel (Bagian depan)
Kamar di Capsule Hotel tersusun seperti lemari
       Ruangan yang relatif sempit tersebut tentunya tak menyediakan tempat mandi/toilet di dalamnya. Untuk keperluan bersih-bersih badan, pelanggan bisa memanfaatkan shared bathroom dan shared toilet. Karena sempitnya ruangan, pelanggan biasanya diminta untuk menyimpan tas/barang-barang yang mereka bawa di locker yang telah disediakan. Sepatu yang mereka kenakan juga harus disimpan di locker khusus sepatu. Selain faktor sempitnya ukuran kamar, keharusan menyimpan barang di locker juga disebabkan tak adanya kunci di kamar tidur. Dengan hal tersebut, pihak manajemen hotel bermaksud menjamin keamanan pengunjung. Namun pengunjung diperbolehkan untuk menyimpan barang-barang yang mereka bawa di dalam tempat tidur, dengan konsekuensi keamanan yang harus ditanggung sendiri oleh pengunjung, tentunya.
Vending Machine
Locker sepatu/alas kaki
Ruang Massage
Shared Bathroom and pool
Dinning room
Dapur umum

Locker Sepatu
Ruang Perawatan tubuh


Shared Toilet

Ruang kosmetik

locker tas/barang berharga


Ruang Perawatan tubuh

      Capsule Hotel sudah menjadi trend di Jepang. Banyak pilihan Capsule Hotel yang tersedia di sana. Ada yang menawarkan fasilitas seadanya, yang hanya menyediakan fasilitas untuk keperluan-keperluan primer seperti tidur dan bersih-bersih badan. Ada pula Capsule hotel yang menyediakan fasilitas tambahan yang lebih lengkap, sehingga menarik minat pengunjung. Tentunya, yang kedua menetapkan tarif ynag lebih mahal dari yang pertama. Rentang tarif yang ditetapkan di capsule hotel berkisar antara 2000-6000 yen. Murah mahalnya tarif tak semata ditetukan oleh kondisi fasilitas, namun juga oleh jumlah permintaan pemesanan. Di waktu peak season seperti masa libur Golden week, dimana permintaan reservasi di Capsule Hotel sangat besar, biasanya tarif hotel naik. Namun di waktu normal, kadang justru pihak hotel memberikan diskon yang cukup signifikan untuk tarif meninap permalamnya. 

       Penulis pertama kali mencoba menginap di Capsule Hotel di daerah Taito, sebelah barat stasiun Ueno, Tokyo. Hotel tersebut bernama Capsule and sauna new century hotel. Penulis memilih hotel tersebut karena tarif yang cukup murah, hanya 2000 yen per malam, dan banyaknya fasilitas yang tersedia. Di hotel tersebut, ada fasilitas ruang perawatan tubuh yang dilengkapi dengan berbagai peralatan kosmetik dan peralatan perawatan tubuh lainnya seperti hairdryer, pencukur kumis dan janggut, sikat gigi, minyak rambut, tonik rambut, lotion untuk kulit wajah dan tubuh, dan lainnya. Selain itu, ada tempat sauna, kolam renang mini dengan pilihan air dingin dan hangat, ruang makan, ruang laundry, dapur, ruang santai yang difasilitasi dengan TV layar datar, kursi-kursi sofa yang bisa disetting untuk tidur, Minuman dingin dan hangat gratis, serta koneksi free wifi yang memiliki kecepatan yang memuaskan. 

      Menginap di Capsule and sauna new century hotel  tears sancta menyenangkan. Hanya saja, kelemahannya adalah lokasinya yang cukup sulit untuk dicari pertama kali. Penulis mencoba mencari lokasi hotel tersebut menggunakan fitur Google Map. Namun, karena bagian depan gedung yang cukup sempit untuk ukuran muka bangunan sebuah hotel, maka terasa cukup menyita banyak waktu untuk mencarinya. Bahkan, penulis sempat salah masuk ke beberapa hotel, karena memang ada beberapa Capsule Hotel yang memiliki nama yang hampir sama, menggunakan kata ‘’Sauna n Capsule Century’’. Meski hotel-hotel masih berada dalam satu grup perusahaan, namun sejatinya memiliki manajemen yang berbeda. Ada yang century Capule Hotel, ada yang sauna and Capsule Hotel, dan ada yang bernama Sauna and Capsule new Century Hotel. 

       Bagi para pelancong yang ingin mengembara di kota-kota besar di Jepang, tinggal di Capsule Hotel sepertinya layak dicoba. Untuk melakukan reservasi, sangatlah mudah. Reservasi bisa dilakukan tanpa keharusan untuk melakukan transaksi pembayaran secara langsung saat reservasi, karena pembayaran bisa dilakukan ketika kita sudah tiba di hotel. 
Selamat mencoba pengalaman baru!