Senin, 29 Maret 2021

The VARK Questionnaire

Here are VARK Questionnaire version 8.01

Choose the answer which best explains your preference and click the box next to it. Please click more than one if a single answer does not match your perception. Leave blank any question that does not apply.

 

I want to assemble a wooden table that came in parts (kitset). I would learn best from:

diagrams showing each stage of the assembly.

written instructions that came with the parts for the table.

advice from someone who has done it before.

watching a video of a person assembling a similar table.

I have finished a competition or test and I would like some feedback. I would like to have feedback:

using examples from what I have done.

using a written description of my results.

using graphs showing what I achieved.

from somebody who talks it through with me.

When choosing a career or area of study, these are important for me:

Communicating with others through discussion.

Working with designs, maps or charts.

Using words well in written communications.

Applying my knowledge in real situations.

I want to learn how to take better photos. I would:

use the written instructions about what to do.

ask questions and talk about the camera and its features.

use examples of good and poor photos showing how to improve them.

use diagrams showing the camera and what each part does.

I prefer a presenter or a teacher who uses:

demonstrations, models or practical sessions.

handouts, books, or readings.

question and answer, talk, group discussion, or guest speakers.

diagrams, charts, maps or graphs.

I have a problem with my heart. I would prefer that the doctor:

showed me a diagram of what was wrong.

gave me something to read to explain what was wrong.

used a plastic model to show me what was wrong.

described what was wrong.

I want to learn to do something new on a computer. I would:

talk with people who know about the program.

start using it and learn by trial and error.

read the written instructions that came with the program.

follow the diagrams in a book.

A website has a video showing how to make a special graph or chart. There is a person speaking, some lists and words describing what to do and some diagrams. I would learn most from:

seeing the diagrams.

reading the words.

watching the actions.

listening.

I need to find the way to a shop that a friend has recommended. I would:

use a map.

ask my friend to tell me the directions.

find out where the shop is in relation to somewhere I know.

write down the street directions I need to remember.

I want to save more money and to decide between a range of options. I would:

read a print brochure that describes the options in detail.

use graphs showing different options for different time periods.

consider examples of each option using my financial information.

talk with an expert about the options.

I want to learn about a new project. I would ask for:

an opportunity to discuss the project.

examples where the project has been used successfully.

a written report describing the main features of the project.

diagrams to show the project stages with charts of benefits and costs.

I want to learn how to play a new board game or card game. I would:

listen to somebody explaining it and ask questions.

watch others play the game before joining in.

use the diagrams that explain the various stages, moves and strategies in the game.

read the instructions.

I want to find out more about a tour that I am going on. I would:

read about the tour on the itinerary.

use a map and see where the places are.

talk with the person who planned the tour or others who are going on the tour.

look at details about the highlights and activities on the tour.

When learning from the Internet I like:

interesting written descriptions, lists and explanations.

videos showing how to do or make things.

interesting design and visual features.

audio channels where I can listen to podcasts or interviews.

I want to find out about a house or an apartment. Before visiting it I would want:

a plan showing the rooms and a map of the area.

a discussion with the owner.

a printed description of the rooms and features.

to view a video of the property.

When I am learning I:

see patterns in things.

like to talk things through.

read books, articles and handouts.

use examples and applications.

 

Source: https://vark-learn.com/the-vark-questionnaire/?p=questionnaire

Menjadi digital nomad

Courtesy: https://jogjanews.com/what-is-a-digital-nomad/


Berada di Bali ini, aku jadi terpikir tentang menjadi Digital Nomad. Tinggal di Bali memang nyaman, namun terwujudnya kenyamanan tersebut karena ditopang oleh keterjaminan finansial. Aku mulai berandai-andai, bilakah aku tinggal menjadi digital nomad, mendapatkan penghasilan tanpa harus terikat jadwal ngantor pagi hingga petang. Ini pertanyaan menarik yang cukup mengusik dan memprovokasi pikiranku. Rasanya sulit, jika aku harus secara jujur jawab sekarang. Namun itu bukan tidak mungkin. Buktinya, banyak orang-orang yang menjadi digital nomad, meraih pendapatan besar dan menetap di Bali.  

Pikiranku mulai berselancar, menerawang berbagai hal tentang apa yang aku bisa lakukan untuk bisa menjadi digital nomad yang sukses. Aku mulai dengan melihat potensi-potensi yang ada pada diriku sendiri. Aku data, dan hasilnya adalah;

-       Aku lancer berbahasa inggris

-       Aku cukup bisa berkomunikasi dalam bahasa Jepang, meski masih harus terus belajar

-       Wawasanku cukup luas

-       Aku pandai berkomunikasi

-       Secara fisik dan psikis aku sehat wal afiat

-       Aku memiliki orang tua yang selalu mendukung dan mendoakanku

-       Aku memiliki rasa percaya diri yang tinggi saat berinteraksi dengan orang lain, sekalipun baru bertemu

-       Aku cepat belajar

-       Aku adalah orang yang open-minded

-       Aku suka bersinggungan dengan hal-hal baru

-       Aku memiliki keyakinan spiritual

-       Aku memiliki modal yang cukup untuk memulai sesuatu dari yang kecil

-       Aku memiliki aura ramah

Setidaknya, itu potensiku, yang bisa kukapitalisasi untuk mewujudkan mimpi.

Jadi, aku musti memulai dari mana?

Aku harus memulai dari hal yang paling terjangkau. Menjadi dropshipper atau reseller sepertinya akan menjadi kick-start yang bagus. Aku sudah memiliki beberapa jaringan supplier. Tinggal aktifkat starter enginenya. Tak perlu cepat-cepat menaikkan gigi, yang penting stabil percepatannya. Toh nanti juga akan melaju juga. Saat sudah melaju, tinggal menaikkan gigi sesuai dengan kemauanku.

Aku harus konsisten dalam menjalankan usaha dropship. Seperti apapun progress atas usaha yang kujalani, yang penting aku sudah berada pada right track. Aku harus terus konsisten menjalankan dropship hingga titik menghasilkan dan bisa berjalan secara autopilot. Apakah aku bisa? Aku yakin, atas izin Alloh SWT, aku BISA!!

 Setelah dropship berjalan, aku mencoba untuk merambah ke dunia ekspor dan impor. Dunia ekspor menjadi prioritasku, karena itu adalah impianku sejak lama. Ada kesempatan untuk itu. Aku harus memulainya dengan bergabung dengan kelompok belajar ekspor. Tentu aku harus mengeluarkan uang untuk bergabung dengan kelompok eksportir tersebut. Namun itu adalah investasi. Aku PASTI BISA!!!

Target awalku adalah berhasil mengekspor satu produk. Produk apapun itu, dan seberapa pun volumenya. Yang penting aku melakukan kick-start dengan sukses. Seterusnya, aku harus mulai menata bisnis eksporku. Semua harus berujung pada terwujudnya system yang autopilot. Bisnis berjalan, dan terus berkembang secara autopilot. AKU PASTI BISA!!!

Hasil yang kuraih, harus aku belanjakan dengan prioritas untuk kegiatan filantropi. Ini bukan supaya aku mendapatkan balasan atas amal baik ku kepada Alloh SWT, melainkan ini adalah wujud syukurku kepada Alloh SWT.

 Aku harus focus focus dan terus focus terhadap upayaku ini untuk menjadi digital nomad. Saat berhasil, ada keluarga yang harus aku cukupi kebutuhan-kebutuhannya. Ada kaum dhuafa yang harus aku bantu. Ada warga palestina yang harus aku santuni. ada ekonomi kerakyatan yang aku harus berkontribusi untuk mengembangkannya.

Alloh…hati dan pikiranku bergetar saat aku menulis ini. Terasa begitu nyata. Aku yakin ini adalah signal positif bahwa Alloh akan mewujudkannya untukku. Alloh SWT akan memudahkannya. Aku pendosa, namun Alloh SWT maha besar dan maha welas asih terhadap hambaNya. AKU BISA!!

Kamis, 18 Maret 2021

Fullday school: untuk apa?

 

www.nusantaranews.com


Sudah lama saya memiliki keinginan untuk menulis tentang Fullday-school. Namun baru kali ini kesampaian. Ide menulis topic ini muncul melalui ilham yang berasal dari aktivitas kuliah Master Degree yang saya jalani. Jurusan master of education yang saya ambil mengharuskan saya untuk membaca banyak artikel di berbagai jurnal yang terkait dengan pendidikan. Tujuan dari penulisan artikel ini adalah untuk memberikan kritik konstruktif terhadap pemerintah dalam membuat kebijakan fullday school. Mungkin kritikan ini akan sulit untuk sampai kepada para pembuat kebijakan dalam sector pendidikan di negeri ini. Namun, setidaknya ini adalah bentuk pertanggungjawaban moral saya untuk berkontribusi pemikiran sebagai insan yang terlibat dalam dunia pendidikan.

Mungkin ada banyak orang Indonesia yang bertanya-tanya, termasuk saya, tentang mengapa pemerintah mengeluarkan kebijakan adanya fullday school. Fullday school adalah kebijakan pemerintah yang memperpanjang jam sekolah. Adanya kebijakan fullday school tersebut membuat Indonesia menempati peringkat ke-empat dunia dalam hal durasi belajar di sekolah. Jam sekolah di Indonesia menjadi 1176 jam per tahun. Sebagai perbandingan, Fnlandia, Negara yang sering disebut memiliki system dan output pendidikan terbaik dunia hanya memiliki 717 jam sekolah per tahun. Sengaja saya sebutkan satu Negara pembanding, sebagai bahan untuk kita mengulas adakah korelasi antara durasi waktu belajar di sekolah dengan pencapaian prestasi siswa.

Pertanyaan pertama adalah kenapa pemerintah, dalam hal ini adalah menteri pendidikan dan kebudayaan, mengeluarkan kebijakan fullday school. Saya mencoba mencari berbagai literature untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini. Satu artikel menarik yang mengulas pertanyaan ini adalah yang diterbitkan oleh CNN Indonesia (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808135054-20-149886/alasan-menteri-muhadjir-usulkan-full-day-school). Headline artikel tersebut adalah “alasan menteri Muhadjir usulkan full-day school”. Disebutkan bahwa tujuan Menteri Muhadjir membuat kebijakan tersebut adalah sebagaimana yang dia katakan sebagai berikut “

“Tujuannya membuat anak memiliki kegiatan di sekolah dibandingkan berada sendirian di rumah ketika orang tua mereka masih bekerja. "Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi 'liar' di luar sekolah ketika orang tua mereka masih belum pulang dari kerja. Dengan menambah waktu anak di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah dan mengaji sampai dijemput orang tuanya usai jam kerja. Dan, anak-anak bisa pulang bersama-sama orang tua mereka, sehingga ketika berada di rumah, mereka tetap dalam pengawasan, khususnya orang tua”.

Dari alasan yang dikemukakan oleh Menteri Muhadjir tersebut bisa disimpulkan bahwa dasar atas kebijakan tersebut bukanlah soal pencapaian prestasi belajar siswa. Dasarnya adalah adanya pandangan bahwa anak yang pulang sekolah sementara orang tuanya tidak berada di rumah mempunyai potensi untuk tidak terurus dan cenderung liar. Harapannya, dengan adanya fullday school, anak masih berada di sekolah hingga orang tua mereka berada di rumah sepulang kerja. Alasan ini seperti menggeneralisir bahwa semua orang tua siswa di Indonesia adalah para pekerja regular sebagaimana pekerja kantoran yang berangkat pagi pulang sore. Padahal nyatanya tidak demikian. Banyak ibu rumah tangga yang selalu berada di rumah mengurusi urusan rumah.

Poin tujuan selanjutnya adalah bahwa fullday school ini diharapkan bisa memberikan kesempatan bagi sekolah untuk meningkatkan pendidikan karakter. Sekolah memang salah satu pilar penting atas terbentuknya karakter positif siswa. Namun, menambah jam belajar di sekolah dengan tujuan untuk meningkatkan pendidikan karakter di sekolah sebenarnya sangat debatable. Kita sepertinya sangat terbiasa dengan pilihan sikap yang quantity-oriented. Menganggap bahwa kuantitas berkorelasi positif dengan hasil yang baik. Apakah ada jaminan bahwa lamanya siswa belajar di sekolah membuat pendidikan karakter berjalan dengan maksimal? Jangan sampai kita lupa bahwa pendidikan pertama yang diterima oleh seorang anak berada di lingkungan keluarga. Dengan adanya fullday school, anak pulang skeolah dalam keadaan lelah. Tentu mereka membutuhkan waktu untuk istirahat karena banyaknya aktivitas selama di sekolah. Hal itu tentu mengurangi porsi pendidikan karakter yang terbangun di lingkungan keluarga. Padahal peran keluarga sangat penting dalam pendidikan karakter.

Lingkungan masyarakat juga berperan dan berkontribusi cukup signifikan dalam pendidikan karakter seorang individu. Anggapan bahwa anak yang pulang sekolah relative awal dan punya terlalu banyak waktu luang setelahnya akan cenderung liar adalah anggapan yang sepertinya terlalu menggeneralisir. Di antara anak-anak sekolah, ada yang melanjutkan kegiatan mengaji di sore hari di madrasah-madrasah. Di madrasahmadrasah tersebut ada muatan pendidikan karakter yang sangat kental. Adanya fullday school, kesempatan pendidikan karakter yang disuguhkan oleh madrasah-madrasah tereliminasi. Banyak juga anak sekolah yang memiliki kegiatan positif lainnya sepulang sekolah. Di desa-desa, banyak anak yang membantu orang tua mereka mencari rumput untuk ternak mereka. Ada juga yang mengikuti kegiatan les yang mengasah bakat dan minat. Mengetahui hal ini, sebenarnya apa referensi pemerintah, sehingga menyimpulkan bahwa anak sebaiknya pulang sore untuk menghindari hal yang tidak diinginkan? Ini pertanyaan yang semestinya dijawab oleh pembuat kebijakan.

Pemerintah memiliki otoritas untuk membuat kebijakan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Sudah selayaknya setiap kebijakan pemerintah diawali dengan kegiatan riset. Kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak selayaknya dibuat hanya mengikuti pemikiran subjektif yang dimiliki oleh si pembuat kebijakan. Harus ada landasan ilmiah. Landasan ilmiah tersebut bisa didapatkan melalui riset. Adakah korelasi antara durasi waktu sekolah dengan prestasi siswa? Adakah korelasi antara durasi waktu seklah dengan terbentuknya karakter siswa? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan lainya yang bisa dicari jawabannya melalui penelitian, sebagai dasar pembuatan kebijakan. Selain itu, penyelenggaraan pendidikan di Negara-negara maju juga selayaknya dijadikan sebagai bahan renungan. Mengapa FInlandia, Negara dengan jumlah jam belajar di sekolah relative sedikit, bisa meraih pencapaian yang besar dalam pendidikan. Apa variable-variable yang mempengaruhinya.

Mungkin fullday school layak diterapkan jika berbagai aspek penunjang wellbeing siswa dan tenaga pendidik terpenuhi. Siswa dan tenaga pendidik adalah manusia biasa yang memiliki siklus biologis. Ada moment semangat dan penuh energy, ada rasa lelah karena aktivitas, ada pula rasa ngantuk. Bayangkan, bagaimana rasanya menjalani kegiatan belajar di ruang kelas dengan berbagai aktivitas mendengarkan ceramah guru, mengerjakan tugas, dan berbagai aktivitas lainnya. Pendidik mungkin ada waktu jeda mengajar, sehingga bisa menyempatkan diri untuk rebahan beberapa menit atau jam. Apakah siswa memiliki kesempatan yang sama? Nyatanya tidak. Padahal tidur siang adalah hal yang secara ilmiah berpengaruh positif terhadap individu. Sebagaimana tidur siang bisa membantu menyegarkan pikiran, memacu kreativitas, meningkatkan kecerdasan, dan membuat hidup lebih sehat (Nishida, 2007). Pendidik yang kreatif mungkin bisa menghadirkan proses pembelajaran yang menarik dan engaging. Namun rasa lelah karena seharian belajar tentu tetap akan berpengaruh terhadap sikp siswa terhadap pembelajaran yang berlangsung. Sebagaimana yang disampaikan oleh Townsend (2016);

“ A lesson which is not present in ways that are stimulating might soon find students becoming what Barber ( 1996 ) called the “disappointed,” the “disaffected,” and the “disappeared.”

Artikel ini bukan untuk menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan pemerintah dalam membuat kebijakan fullday school. Namun ini adalah kritik agar pemerintah melandasi kebijakannya dengan riset ilmiah, bukan melalui pemikiran subjektif yang diamini oleh orang-orang yang terlibat di dalam rapat perumusan kebijakan. Jika memang riset menunjukkan adanya korelasi positif antara durasi belajar siswa di sekolah dengan pencapaian prestasi secara khusus, serta pencapaian tujuan pendidikan secara umum, maka layaklah kebijakan tersebut dirumuskan dan diterapkan.

 

Referensi

 

Nishida, M., & Walker, M. (2007). Daytime naps, motor memory consolidation and regionally specific sleep spindles. PloS One, 2(4), e341–e341. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0000341

Townsend T. (2016) Leading Schools in the Twenty-First Century: Careful Driving in the Fast Lane. In: Johnson G., Dempster N. (eds) Leadership in Diverse Learning Contexts. Studies in Educational Leadership, vol 22. Springer, Cham

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160808135054-20-149886/alasan-menteri-muhadjir-usulkan-full-day-school).