Kamis, 17 Februari 2022

Learning to be Global Citizen

 

Kita sedang hidup di era dimana interaksi antar manusia semakin tidak terbatasi oleh jarak geografis, perbedaan budaya maupun Bahasa. Interaksi global antar manusia antar bangsa tersebut terjalin dalam berbagai sector kehidupan, seperti ekonomi, social, politik, budaya, dan lainnya. Di sector ekonomi, kita tentu akrab dengan merebaknya produk-produk impor dari negara lain yang masuk ke pasar di negara kita, maupun produk-produk domestik yang terpajang di berbagai rak toko di luar negeri. Di sector social budaya, kita cukup familiar dengan merebaknya budaya luar yang digandrungi oleh generasi muda seperti K-pop dan semacamnya. Itu semua adalah contoh tentang bentuk interaksi yang terjalin antar manusia dalam komunitas global.

Mau tidak mau, manusia akan berada pada pusaran interaksi global. Sebagian manusia aktif dalam interaksi tersebut. Sebagian lainnya hanya pasif menjadi penonton. Namun demikian, walau hanya menjadi penonton, mereka tetaplah mendapatkan pengaruh dari adanya interaksi global. Di era globalisasi ini, manusia akan saling mempengaruhi. Pengaruh tersebut bisa positif, dan bisa pula negative. Pengaruh tersebut positif, jika ada mutual benefit yang diraih dari interaksi global tersebut. Sementara, pengaruh negative juga bisa dirasakan dampaknya, jika ada pihak yang dirugikan dari interaksi global tersebut.

Era globalisasi juga merupakan era opportunity. Interaksi global antar manusia membuka ruang bagi setiap individu untuk meraih keuntungan tertentu. Dalam konteks ekonomi, misalnya, para pegiat Usaha Mikro, kecil dan Menengah (UMKM) tidak perlu lagi risau dengan sengitnya persaingan di pasar domestic. Mereka bisa menargetkan berbagai pasar di luar negeri yang sangat terbuka luas untuk memasarkan produk-produk mereka. Tentu, dibutuhkan kesungguhan untuk belajar agar bisa bermain di pasaran luar negeri. Dalam sector Pendidikan misalnya, era globalisasi memungkinkan manusia mengakses berbagai sumber belajar yang tak terbatas.

Begitu banyak peluang yang tersedia di ruang interaksi global ini. Namun ada prasyarat yang harus dipenuhi agar kita bisa terlibat aktif dalam interaksi global dan meraih manfaat darinya. Syarat tersebut adalah penguasaan Bahasa asing. Ada begitu banyak Bahasa asing di dunia ini. Lantas, Bahasa manakah yang harus menjadi prioritas untuk dikuasai? Kita semua tentu memahami bahwa Bahasa Inggris adalah Bahasa yang paling jamak digunakan dalam interaksi global. Bahasa mandarin, spanyol, portugis, prancis, arab dan jerman memang banyak digunakan dalam berbagai negara. Namun jika semua orang dengan berbagai latar belakang Bahasa berkumpul dalam suatu forum, maka Bahasa Inggris lah yang tentunya digunakan.

Bahasa Inggris adalah pintu masuk menuju akses terhadap berbagai peluang yang tersedia di duina ini. Jika kita mengakses berbagai platform marketplace global seperti Amazon, Ebay, dan lainnya, Bahasa Inggris lah yang digunakan sebagai media penyampaian informasi. Bahkan untuk mempelajari Bahasa asing lainnya, belajar Bahasa jepang misalnya, Bahasa Inggris memiliki peran yang cukup besar. Saat kita mengakses video-video tutorial belajar Bahasa asing di Youtube, kita akan menemukan begitu banyaknya tutorial belajar Bahasa asing yang disampaikan dalam Bahasa Inggris.

Menguasai Bahasa asing saja tidak cukup untuk mengantarkan kita terlibat aktif dalam interaksi global. Kita membutuhkan sarana untuk dapat berinteraksi dengan warga dunia lainnya. Pesatnya perkembangan teknlogi informasi dan komunikasi memungkinkan kita untuk menjangkau orang-orang dari negara lain. Media digital memungkinkan kita untuk berteman dengan orang dari berbagai negara tanpa pernah sekali pun bertatap-muka. Begitu banyak peluang untuk berinteraksi dalam komunitas global. Namun, apakah hal tersebut serta-merta membuat orang mampu masuk ke dalam ranah interaksi global? Ternyata tidak.

Peran institusi pendidikan

Institusi Pendidikan formal seperti sekolah memiliki posisi yang sangat strategis. Lantas, bagaimana sekolah bisa menyikapi pentingnya keterlibatan generasi muda secara aktif dalam interaksi global?

Sekolah memiliki peran untuk membekali generasi muda agar mampu terlibat dalam interaksi global. Sekolah semestinya tidak hanya membekali peserta didik untuk menjadi bagian dari masyarakat within a nation. Namun, sekolah juga perlu membekali peserta didik untuk menjadi bagian dari global community. Banyak program sekolah yang bisa diselemggarakan untuk membekali peserta didik agar mampu berinteraksi secara aktif dalam global community. Contohnya adalah menyelenggarakan program collaborative learning dengan sekolah-sekolah dari negara luar. Program semacam itu sering disebut sister schools. Program sister schools banyak diselenggarakan oleh sekolah-sekolah internasional. Kegiatan-kegiatannya bisa berupa collaborative class, student exchange, cultural exchange, social project, dan sebagainya. Mereka bisa belajar matematika, sains, ilmu social dsb, dalam satu kelas yang diselenggarakan secara daring. Digunakannya Bahasa Inggris sebagai Bahasa pengantar akan memacu siswa untuk belajar Bahasa Inggris dengan sungguh-sungguh. Tentunya, kelas kolaboratif harus diselenggarakan sedemikian menariknya dan tanpa tekanan, agar para peserta didik tergerak untuk belajar dengan penuh kesadaran.

Tidak harus menjadi sekolah bertaraf internasional untuk menyelenggarakan program seperti yang disebut di atas. Yang dibutuhkan hanyalah kesungguhan stakeholder sekolah untuk mencari link sekolah luar negeri untuk diajak kerjasama. Sekolah-sekolah di luar negeri pada umumnya memiliki email sekolah. Email sekolah tersebut bisa menjadi jembatan awal untuk ajakan kerjasama. Selain itu, guru juga bisa mengambil peran dalam mencari link sekolah luar negeri untuk diajak kerjasama. Grup-grup guru antar negara yang tersedia di berbagai platform media social bisa dimanfaatkan untuk mencari partner sekolah luar negeri. Pembiayaaan program tidak semestinya dianggap sabagai hambatan, karena kecanggihan teknologi sekarang menawarkan efisiensi. Kita bisa menyelenggarakan collaborative learning dengan memanfaatkan media telekonferensi seperti Zoom, teams, dsb.

Jika sekolah-sekolah di Indonesia bisa menyelenggarakan program-program yang dapat membekali peserta didik menjadi global citizen, maka kita bisa optimis bahwa di masa depan generasi kita bisa mengambil peran yang sangat signifikan dalam interaksi global.

Jumat, 11 Februari 2022

Sosialisasi Kurikulum terhadap Siswa

 

Kurikulum pendidikan didesain untuk menciptakan generasi yang unggul. Generasi unggul tersebut ditandai dengan terbentuknya karakter positif, kompetensi terbaik, dan pengetahuan luas para peserta didik. Segala penyelenggaraan kegiatan seperti workshop, seminar dan pelatihan diupayakan oleh kementerian pendidikan dalam rangka mewujudkan pesan dari kurikulum. Sejauh ini,  pihak yang menjadi target sosialisasi kurikulum adalah para guru. Dengan sosialisasi kurikulum terhadap guru, ada harapan bahwa guru terbekali untuk mengimplementasikan kurikulum. Salah satu alasan logis dari hal tersebut adalah karena guru merupakan pihak yang memiliki posisi strategis untuk mewujudkan pesan dari kurikulum. Mereka adalah pihak yang berinteraksi langsung dengan peserta didik.

Pertanyaan yang menarik untuk dijawab adalah, perlukah kurikulum disosialisasikan kepada peserta didik? Jawaban normative dari pertanyaan ini adalah “perlu”. Namun, pada kenyataannya sosialisasi kurikulum terhadap siswa Nampak kurang mendapatkan perhatian. Hal tersebut mungkin terjadi karena kita cenderung take it for granted.  Berapa banyak sekolah yang menyosialisasikan kurikulum terhadap peserta didik? Berapa banyak sekolah yang berusaha memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang apa kurikulum harapkan bisa dicapai oleh peserta didik?

Kurikulum adalah sebuah visi misi pendidikan. Agar visis-misi tercapai, maka berbagai pihak yang berhubungan dengan kurikulum harus diberi pemahaman, terlebih peserta didik yang menjadi subyek dari pendidikan. Memberikan pemahaman terhadap peserta didik tentang konten dari kurikulum akan memudahkan tercapainya berbagai kualitas unggul yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik. Cara pandang para pembuat kebijkaan pendidikan perlu dirubah dari menganggap peserta didik sebagai objek dari pelaksanaan kurikulum menjadi subjek atas terlaksanakannya kurikulum. Tuntutan pendidikan abad 21 dimana pembelajaran harus berorientasi pada peserta didik (student-oriented learning) semakin menguatkan posisi peserta didik sebagai subyek dari pelaksanaan kurikulum.

Lantas, bagaimana cara menyosialisasikan kurikulum terhadap peserta didik? cara menyosialisasikan kurikulum terhadap peserta didik seyogyanya berbeda dengan guru. Perlu ada penyederhanaan bahasa yang digunakan dalam menyampaikan konten dari kurikulum terhadap peserta didik. Ada dua tahap sosialisasi kurikulum terhadap siswa. Tahap pertama adalah sosialisasi kurikulum secara general. Hal tersebut bisa dilakukan dalam forum stadium general, atau dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil seperti kelas. Pihak penyampai sosialisasi bisa guru, wali kelas, atau pun kepala sekolah secara langsung. Tahap kedua adalah penyampaian konten kurikulum yang lebih spesifik oleh masing-masing guru mata pelajaran. Momen paling tepat untuk sosialisasi kurikulum adalah di awal tahun pelajaran baru, atau awal dimulainya semester.

Sosialisasi kurikulum tersebut setidaknya akan memberikan pemahaman peserta didik atas beberapa hal. Pertama, peserta didik memahami apa yang diharapkan bisa dicapai oleh mereka setelah menjalani serangkaian proses pendidikan formal di sekolah. Kedua, peserta didik memahami berbagai metode pembelajaran yang semestinya dilaksanakan oleh peserta didik dan guru agar pesan dari kurikulum terwujud. Ketiga, peserta didik memahami peran mereka untuk mewujudkan pesan dari kurikulum tersebut. Jika pemahaman tersebut dimiliki peserta didik, maka peserta didik siap untuk menjadi subjek dari implementasi kurikulum, bukan sebaliknya, hanya menjadi objek.

 

Selasa, 08 Februari 2022

Refleksi Diri, Setelah Lama Mengabdi

 

Sepuluh tahun lebih bekerja sebagai seorang pegawai di satu tempat, aku jadi bertanya pada diri sendiri

“akankah aku menghabiskan sisa hidupku di tempat ini?”

“hidup itu singkat”.

“Hidup itu perlu dijalani dengan penuh warna. Jangan sampai hanya karena pengaruh lingkungan lantas kamu menggadaikan sebagian waktu dalam hidupmu untuk melakukan hal yang monoton dan miskin warna”.

Ada dialog batin yang menyeruak akhir-akhir ini. Ada diskusi dan tanya-jawab dalam ruang pikiranku. Tentang satu hal, yaitu bagaimana aku akan menjalani sisa waktu yang kumiliki dalam hidupku. Dalam sudut pandang sebagian orang lain yang menilaiku, aku adalah orang yang beruntung. Aku memiliki kondisi dan situasi yang mereka idamkan. Dalam sudut pandangku, aku adalah orang yang masih butuh merubah banyak hal untuk dapat menjalani hidup lebih baik lagi. Rasanya, masih banyak hal yang harus aku perbaiki untuk bisa make the most of my time in life.

Kadang aku takut kalua aku tak ubahnya mereka yang menjalani hidup secara mengalir begitu saja. Kemudian di penghujung akhir waktu baru tersadar betapa alur hidup yang selama ini dijalani datar-datar saja, tanpa makna. Aku ingin bisa meninggalkan banyak legacy positif berupa kebaikan-kebaikan yang dapat dirasakan oleh orang lain. Aku ingin di akhir hidupku tercatat lembaran-lembaran kisah penuh warna dan makna yang menjadi inspirasi bagi orang-orang tercinta. Aku ingin orang-orang mengingatku setelah aku tiada, mengingatku karena hal-hal besar yang aku telah lakukan. Karena itulah, dialog batinku terus berlanjut.

Aku bersyukur bahwa aku masih terbersit untuk melakukan refleksi diri. Dengan ini aku terpacu untuk menata diri di fase ini. Tidak ada kata terlambat, karena selalu ada kesempatan untuk memperhebat diri di berapapun usia yang aku jalani. Masih teringat jelas kisah-kisah orang hebat yang melaju pesat di titik start yang relative telat. Mereka meraih mimpi karena berjuang tanpa henti.

Kini, rasanya aku semakin berani untuk memperjuangkan keyakinan diri. Sudah saatnya telinga ku tutup rapat dan focus mendengarkan suara hati. Saat ini, aku Sudah cukup kenyang dengan opini orang lain dikemarin hari. Focus pada suara hati adalah hal terbaik yang tak kan buatku menyesali apa yang telah terjadi di hari akhir nanti. Aku akan focus bergerak mencoba hal besar yang kuyakini itu berarti.

Impianku besar. Langkah-langkahku keren. Aku siap untuk menjadi hebat, dan semakin hebat.

Jumat, 04 Februari 2022

Framework for self-reflective practice

 

Salah satu kebiasaan yang dimiliki oleh orang-orang sukses penuh prestasi adalah melakukan refleksi diri secara rutin. Refleksi diri bisa menjadi pembeda antara orang yang harapan-harapannya terwujud dan yang tidak terwujud. Dalam konteks ini, aku bisa menjadikan diriku sebagai contoh. Aku suka membuat daftar rencana yang berisi hal-hal yang ingin aku capai atau lakukan. Namun, di antara sekian banyak rencana tersebut, jauh lebih banyak rencana yang tak terwujud, dulu. Padahal rencana-rencana tersebut berkaitan dengan hal-hal besar.  The other day, aku tersadar bahwa factor tidak terwujudnya rencana-rencana tersebut adalah tidak adanya refleksi diri. Tiadanya refleksi diri membuat pencapaian atas rencana-rencana ku ngambang tak jelas.

Dalam menjalani hidup, manusia menghadapi begitu banyak distraksi. Rencana-rencana yang tadinya terlihat rapi dan langkah-langkah yang nampaknya sudah on the right track bisa saja melenceng karena adanya distraksi. Jika kita tidak pandai menyikapi distraksi, maka ada kemungkinan langkah kita melenceng lebih jauh dari rencana yang kita tetapkan. Di situlah refleksi diri berperan. Penting untuk setiap orang menetapkan suatu waktu/momen untuk refleksi diri secara penuh. Ada refleksi harian, yang dilakukan di malam hari untuk mengevaluasi perjalanan sehari yang telah dilalui. Ada refleksi mingguan, untuk mengevaluasi perjalanan seminggu yang telah di lalui. Pun juga ada refleksi bulanan. Jangan hanya mengandalkan momen pergantian tahun untuk merefleksi pencapaian selama setahun ke belakang. Jika hanya mengandalkan refleksi tahunan, aka nada banyak momen yang lepas dari jangkauan refleksi, karena memori otak terlalu terbatas untuk mengingat setiap detail dari peristiwa yang berlangsung selama setahun penuh.

Lantas, bagaimana sebaiknya kita melakukan self-reflection? Setiap orang memiliki prioritas, kebutuhan, target, value dan harapan yang berbeda. Oleh karena itu, langkah pertama adalah kenali terlebih dahulu hal-hal yang menjadi prioritas, kebutuhan, target, value dan harapan kita. Setiap orang pasti ingin tumbuh dalam hal-hal tertentu. Misalnya, ingin tumbuh semakin cerdas, sholeh, berprestasi, ahli dalam bidang tertentu, atau meraih suatu pencapaian tertentu. Memahami hal-hal yang menjadi prioritas, kebutuhan, target, value dan harapan, akan memudahkan kita untuk melakukan refleksi diri, karena kit tahu apa saja yang perlu kita refleksikan.

Langkah kedua, tentukan waktu untuk merefleksikan target pencapaian harian, mingguan, bulanan, dan tahunan. Mungkin kesannya kaku, seolah ini mengajarkan diri kita untuk menjadi robot yang harus nurut dengan system aturan tertentu yang kita buat sendiri. Namun perlu kita sadari, bahwa bukankah kita pada dasarnya adalah makhluk yang memang harus patuh dengan system tertentu? Tanpa kepatuhan terhadap system, maka kehidupan manusia akan berantakan. Contohnya, sebagai makhluk beragama kita harus patuh terhadap system atau tata aturan ibadah. Sebagai makhluk sosial berwarganegara, maka kita harus patuh terhadap system sosial, hukum dan kewarganegaraan. Tak bisa kita melanggar hak-hak orang lain dan aturan sosial, karena system mengatur hal tersebut. Jadi, kita tidak perlu merasa bahwa menentukan waktu untuk refleksi diri terkesan kaku. Semuanya akan bisa jika terbiasa. Toh sebagai manusia kita memang akrab dengan aturan.

Langkah ketiga, biasakan mencatat apa yang menjadi target pencapaian hidup kita. Target yang yang disimpan di dalam pikiran akan mudah terlupakan. Sulit untuk merefleksi kegiatan yang hanya ada dalam angan. Rencana yang kita tulis akan memudahkan kita dalam melakukan refleksi. Pikiran kita bisa langsung focus pada hal-hal yang harus direfleksikan. Sementara, jika tidak dituliskan, kita akan menghabiskan waktu untuk mengingat-ingat dan memikirkan apa yang perlu kita refleksikan. Dengan kata lain, menuliskan rencana atau target pencapaian adalah cara efektif untuk memudahkan pikiran kita focus pada poin apa saja yang perlu direfleksikan.

Refleksi diri bisa dilakukan dengan hanya merenung tanpa menggunakan media tulis. Memang benar. Namun, proses refleksi yang tak tertuliskan membuat hasil refleksi tersebut mudah terlupakan. Katakanlah kita melakukan refleksi diri dengan hanya duduk di malam hari merenungkan progress dari rencana kita tanpa dituliskan. Mungkin akan muncul gagasan tentang apa yang semestinya dilakukan setelahnya. Namun, gagasan hasil refleksi yang tidak dicatat akan rentan untuk terlupakan. Sementara jika gagasan hasil refleksi tersebut dituliskan,  maka bisa kita lihat setiap saat, sebagai panduan untuk melakukan perbaikan langkah selanjutnya.

Refleksi diri mungkin terkesan klise bagi sebagian orang. Namun, refleksi diri adalah cara efektif untuk memastikan langkah-langkah kita berada pada jalur yang benar untuk menuju tercapainya target hidup.