Rabu, 23 Maret 2022

Menjadi Lulusan Perguruan Tinggi Luar Negeri: Berkarya dan meninggalkan legacy, atau pasif, tenggelam dan menjadi basi

 

Lulus dari perguruan tinggi di luar negeri membuat ekspektasi orang terhadap kita begitu tinggi. Orang Indonesia masih menganggap bahwa profil lulusan luar negeri merupakan hal yang prestisius. Kadang, yang terbayang oleh orang ketika mendengar kata lulusan perguruan tinggi luar negeri adalah figure-figur ternama seperti B.J Habibie, Dr. Terawan, Anies Baswedan, Amien Rais, A. Fuadi, Nur CHolis Majid, Sandiaga Uno, Nadim Makarim, Maudy Ayunda, Dr. Tuswadi dan sederet nama lainnya yang merupakan lulusan dari perguruan tinggi luar negeri. Mereka adalah para lulusan dari perguruan tinggi luar negeri yang telah terbukti memiliki banyak prestasi. Bukan hanya prestasi biasa, namun prestasi yang benar-benar bedampak terhadap negeri. Prestisiusnya pengalaman mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri membuat banyak orang orang terobsesi terhadap pendidikan tinggi di luar negeri. Tentu ada rasa bangga saat bisa meraih kesempatan tersebut.

Meskipun ada label prestis pada profil lulusan luar negeri, namun ada hal menarik yang perlu diulas di sini. Ternyata, lulusan luar negeri tak semuanya mentereng sebagaimana nama-nama yang disebutkan di atas. Memang ada banyak lulusan luar negeri yang bersinar setelah lulus dan kembali ke tanah air. Namun banyak juga yang redup dan kembali menjadi biasa saja layaknya orang yang tak pernah mendapatkan privilege kuliah di luar negeri. Lantas, apa sebenarnya yang menjadi pembeda antara keduanya? Yang menjadi pembeda antara keduanya adalah legacy dan karya nyata.

Saat menjalani perkuliahan hingga lulus, orang yang berkesempatan kuliah di luar negeri mungkin akan di-elu-elukan. Mereka menjadi topic pembicaraan positif dalam obrolan di ruang-ruang seperti arisan, kumpulan warga, kumpulan keluarga, atau bahkan menjadi bahan obrolan inspiratif di ruang kelas SD, SMP, dan SMA. Namun setelah selesai studi, profil hebat mereka akan redup, kecuali oleh satu hal yang bernama karya nyata. Pada awalnya, orang mungkin akan salut pada orang yang lulus dari perguruan tinggi di luar negeri. Namun dalam jangka panjang, rasa salut tersebut hanya akan berkesinambungan jika lulusan luar negeri tersebut memiliki dampak positif bagi sesama.

Bisa dibayangkan, apakah akan se popular seperti sekarang jika Anies Baswedan selesai lulus dari luar negeri tidak menciptakan program keren semacam Indonesia Mengajar dan jadi dosen bahkan rector di kampus ternama? Apakah akan se popular sekarang jika A. Fuadi tidak menciptakan karya-karya berupa novel yang inspiratif dan enak dibaca? Apakah akan se popular sekarang jika sepulang dari kuliah dari luar negeri Nadiem Makarim tidak berkarya  merintis perusahaan yang sekarang sudah menjadi Unicorn? Apakah akan se keren sekarang jika B.J Habibie hanya bekerja di Multinational Company dan tak pernah berkarya menciptakan pesawat untuk negeri? Kesimpulannya, hal yang menjadi pembeda antara lulusan luar negeri yang bersinar dan redup terletak pada legacy dan karya nyata yang mereka ciptakan.

Lulusan luar negeri harus berkarya, titik! Bukan se-remeh untuk menjaga ke-kerenan, atau agar tetap dielu-elukan orang lain. Melainkan hal tesebut merupakan bentuk pertanggunjawaban moral kepada masyarakat. Sekalipun kita menjalani kuliah di luar negeri dengan biaya sendiri, tetap tersemat tanggungjawab moral pada diri kita, untuk bisa berkarya penuh manfaat bagi sesama.

Boleh lah kita yang berkesempatan kuliah di luar negeri menikmati momen-momen jalan-jalan dan mengabadikan momen untuk ditampilkan di social media. Namun menciptakan karya yang bermanfaat bagi sesama semestinya tetap menjadi focus kita yang utama.

NB: Tulisan ini adalah sebuah advice dan reminder bagi diri sendiri

Senin, 21 Maret 2022

Mengukur Kualitas Guru dari Mindset, Learning Habit, dan Adaptability

 

Kualitas guru adalah salah satu kunci utama bagi berkualitasnya pendidikan suatu negara. Anggaran pendidikan boleh ditambah. Kurikulum pendidikan boleh terus berubah. Fasilitas fisik sekolah boleh terus bertambah. Namun jika guru tidak terus berbenah, maka semua hal yang disebutkan tadi akan seperti kehilangan arah. Ada namun tak bermakna.

Bayangkan, kondisi fisik sekolah begitu mewah, namun tak ada inovasi, kreativitas maupun efektivitas dalam proses pembelajaran siswa. Bayangkan, kurikulum didesain sedemikian rupa sehingga diharapkan bisa menjadi jawaban atas perubahan peradaban, namun guru tak mampu untuk memanifestasikan mandate kurikulum tersebut ke dalam praktik pembelajaran. Bayangkan, anggaran pendidikan dinaikkan, namun kualitas guru kurang terperhatikan. Tak ada dampak yang terasa pada kualitas pembelajaran siswa. Padahal semua kebijakan pendidikan berorientasi pada berkualitasnya pengalaman belajar siswa, sehingga terwujudlah tujuan dari pendidikan di Indonesia.  

Salah satu tantangan besar dalam upaya perbaikan kualitas pendidikan di Indonesia adalah memperbaiki mindset guru. Kurikulum sudah beberapa kali berganti. Dalam setiap pergantian kurikulum, selalu ada cara-cara baru dalam praktik pembelajaran yang semestinya diterapkan oleh guru. Namun, betapa pun seringnya kurikulum berganti, praktik pembelajaran yang diterapkan guru di kelas masih banyak yang tidak mengalami perubahan. Pembelajaran yang sedianya berpusat pada siswa (student-centeredness) masih berkutat pada kondisi dimana guru menjadi pusat dari aktivitas belajar di kelas. Salah satu cirinya adalah penggunaan buku, modul, atau bahan ajar tertentu sebagai patokan, alih-alih menggunakan keragaman sumber belajar. Andai para guru memiliki mindset terbuka terhadap perubahan, maka mandat kurikulum akan mudah untuk termanifestasikan dalam praktik pembelajaran.

Selain itu, hal krusial yang berkaitan dengan masalah  kualitas guru adalah seberapa besar guru memiliki longlife learning habit dan adaptability. Guru yang memiliki long life learning habit akan terus berbenah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran siswa. Sementara, guru yang rendah dalam long life learning habitnya, akan cenderung stagnan dan tidak mengalami perubahan positif pada level profesionalitasnya. Long life learning habit merupakan karakter yang terbentuk melalui proses pembiasaan (nurturing) bukan karena bawaan sedari lahir (natural).

Adaptability atau kemampuan beradaptasi berkaitan dengan longlife learning habit. Adaptability adalah kemampuan dan kemauan guru untuk terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Adaptability biasanya berkorelasi positif dengan long life learning habit. Guru-guru yang memiliki kemampuan  beradaptasi biasanya merupakan guru yang mau untuk terus belajar. Guru yang memiliki adaptability mampu meninggalkan pola-pola lama yang telah usang, berganti dengan pola-pola baru yang sesuai dengan perkembangan zaman.

Gartatik, seorang guru bahasa inggris di Jawa Tengah, bisa menjadi contoh yang bagus terkait long life learning habit dan adaptability. Dia adalah guru bahasa inggris berusia 50an tahun. Dia merupakan seorang long life learner. Dia selalu berusaha untuk mengupdate kemampuan diri dalam menggunakan teknologi untuk tujuan pembelajaran siswa. Berbagai program pengembangan profesionalitas dia ikuti. Dia juga merupakan guru yang gemar membaca. Wawasannya luas, literasi technologi nya sangat bagus, dan dia selalu mampu beradaptasi dengan perkembangan kurikulum yang didesain oleh pemerintah. Dia adalah potret guru yang memiliki growth-mindset, learning  habit dan adaptability. Dia selalu memiliki keberagaman pendekatan dalam pembelajaran yang membuat para siswa menikmati proses belajar pada mata pelajaran yang dia ampu.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, seorang guru danggap professional jika dia mumpuni dalam empat kompetensi yang terdiri dari kopetensi pedagogic, professional, kepribadian dan social. Sayangnya, pengukuran empat kompetensi tersebut biasanya dilakukan dalam frekuensi yang sangat terbatas. Banyak guru yang sudah mendapatkan srtifikat professional berhenti dari proses penempaan diri. Harusnya definisi dari guru professional itu diperluas. Ada variable yang perlu ditambahkan lagi. Variable tersebut adalah learning habit dan adaptability. Guru yang professional semestinya bukan hanya memiliki empat kompetensi yang diukur melalui satu atau kali mata uji kompetensi, melainkan juga guru yang terbukti memiliki learning habit dan adaptability. Tidak ada profesionalitas kecuali adanya upaya terus berbenah dan meningkatkan kualitas diri. Orang yang berhenti belajar akan cenderung ketinggalan zaman. Tentu tidak ada orang professional yang ketinggalan zaman. Orang professional selalu update dengan perubahan zaman.

Lantas, pertanyaan penting yang muncul adalah bagaimana caranya program pengembangan profesionalitas guru bisa menunjang learning habit dan adaptability guru. Hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memastikan bahwa program pengembangan profesionalitas guru harus berkesinambungan. Jangan lagi labelisasi professional dilakukan melalui program yang sekali dilaksanakan selesai. Program sertifikasi guru, misalnya, semestinya dilakukan secara berkala. Hal tersebut dilakukan untuk menjadi salah satu stimulus bagi guru untuk terus belajar. Program sertifikasi berkala guru tersebut tidak perlu harus berkonsekuensi terhadap kesejahteraan guru, karena bisa menimbulkan mental pressure dan menggangu wellbeing guru. Jadikan itu sebagai refleksi bagi guru. Mereka yang gagal dalam sertifikasi yang berkala tersebut semestinya malu. Hal tersebut akan bisa menjadi pemicu mereka untuk terus belajar.

Hal kedua yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah se-sering mungkin menyelenggarakan banyak program lomba tentang best practice, inovasi pembelajaran, dan penghargaan bagi guru inspiratif. Manusia adalah makhluk yang pragmatis. Banyak manusia yang hanya mau berusaha melakukan sesuatu ketika mereka merasa ada manfaat yang bisa didapatkan dari melakukan hal tersebut. Program-program semacam itu akan menjadi motivasi ekstrinsik. Sumber motivasi ekstrinsik semacam itu bisa menjadi pemicu tumbuhnya motivasi intrinsic guru di kemudian hari.

Hal ketiga yang perlu dilakukan pemerintah adalah mengeluarkan kebijakan diwajibkannya In House Training di setiap sekolah secara berkala. Guru-guru di sekolah bisa menjadi peer-mentor bagi guru lainnya. Selama ini, berbagai workshop atau pelatihan pengembangan kualitas pembelajaran tidak disertai dengan pewajiban bagi peserta untuk melakukan diseminasi materi kepada rekan guru lainnya dari. Banyak guru kreatif invatif yang tidak diberi ruang untuk sharing terhadap rekan guru lainnya. Akibatnya, performa mengajar guru tidak merata. Agar guru akrab dengan nuansa belajar, maka setiap sekolah harus melakukan in-house training secara berkala. Guru harus saling berbagi ilmu terhadap sesama. Program saling berbagi ilmu di sekolah tidak akan terselenggara kecuali ada kebijakan pemerintah yang mewajibkan hal tersebut untuk menjadi program nyata.

Growth-mindset, learning habit serta adaptability guru bisa ditunjang dengan berbagai kebijakan pendidikan yang berkaitan dengan peningkatan profesionalitas guru sebagaimana yang di sebutkan di atas. Harus kita ingat selalu bahwa Growth-mindset, learning habit serta adaptability terbentuk melalui proses pembiasaan (nurturing) bukan muncul secara alami (natural).

Rabu, 16 Maret 2022

Pendekatan Komprehensif Kampanye Literasi di Sekolah

Literasi merupakan salah satu topic yang mendapatkan perhatian cukup besar dalam diskursus pendidikan di berbagai Negara, termasuk Indonesia. Bahkan, dalam kerangka pendidikan di abad 21, literasi termasuk salah satu kecakapan yang dianggap sangat penting. Banyak kurikulum di berbagai Negara menyisipkan kampanye literasi sebagai bagian dari reformasi pendidikan. Negara-negara maju seperti Australia, Amerika, China, Hongkong, dan lainnya memasukkan literasi sebagai salah satu titik focus pendidikan. Hal tersebut bukan tanpa alasan. Tingkat literasi masyarakat suatu  Negara terbukti berkorelasi positif terhadap kemajuan Negara tersebut.

Secara harfiah, literasi bermakna kemampuan untuk membaca dan menulis. Namun, secara makna yang lebih luas, literasi bisa dimaknai sebagai kemampuan untuk mengidentifikasi, memahami, menginterpretasikan, menciptakan, dan mengomunikasikan materi tertulis maupun tak tertulis yang berhubungan dengan berbagai konteks kehidupan. Literasi diyakini oleh banyak orang sebagai salah satu kecakapan untuk survive (survival skill) dalam kehidupan. Oleh karena itu, topic tentang literasi mendapatkan porsi yang cukup strategis dalam diskursus pendidikan, terutama di Indonesia.

Indonesia merupakan Negara yang melakukan kampanye massif terhadap literasi. Spirit kampanye literasi begitu terasa dalam rentang satu decade terakhir. Literasi disisipkan ke dalam kurikulum, sebagai sebuah mandatori untuk digalakkan di lingkungan pendidikan. Pemerintah juga mencetuskan Gerakan Literasi Nasional. Bahkan, pada saat kementerian pendidikan nasional digawangi oleh Anies Baswedan, muncul program wajib baca 15 menit setiap hari di sekolah. meskipun kegiatan 15 menit membaca tersebut Nampak kurang berkesinambungan, namun setidaknya hal tersebut menunjukkan bahwa literasi dinilai penting untuk dikampanyekan di negeri ini.

Harus kita akui bahwa literasi masih merupakan PR besar di negeri kita, Indonesia. Untuk literasi dasar seperti membaca saja masyarakat kita masih belum begitu familiar. Situs World Atlas memuat sebuah laporan tentang pemeringkatan Negara-negara berdasarkan jumlah jam membaca per minggu masyarakatnya. Dalam laporan tersebut, India, Thailand dan China termasuk tiga besar Negara yang jumlah jam baca masyarakatnya paling banyak. Indonesia berada pada urutan yang cukup membuat kita merasa bahwa kita masih harus terus berbenah dalam kampanye literasi.

Lantas, bagaimana sebaiknya kampanye literasi digalakkan? Apakah cukup dengan membuat Gerakan Literasi Nasional? Apakah cukup dengan kegiatan 15 menit membaca di sekolah setiap hari? Apakah cukup dengan menyediakan banyak buku? Semua program tersebut penting, namun agar kampanye literasi berbuah kesuksesan, dibutuhkan pendekatan komprehensif dan berkesinambungan. Kampanye literasi tidak boleh hanya terasa di suatu lingkungan saja, contohnya hanya di lingkungan pendidikan. Di lingkungan pendidikan pun kampanye literasi harus menggunakan pendekatan komprehensif. Di Lingkungan masyarakat dan keluarga, kampanye literasi juga harus secara riil terasa.

Mari kita refleksikan bagaimana kampanye literasi digalakkan skup lingkungan pendidikan seperti sekolah. sekolah merupakan lingkungan yang semestinya identic dengan nuansa literasi. Di sekolah, kegiatan belajar mengajar tentu melibatkan aktivitas membaca, menulis, memahami, menghinterpretasikan, menciptakan, mengkomunikasikan dan hal-hal lainnya sebagaimana yang menjadi prinsip dalam literasi. Itu adalah kondisi ideal sekolah. Namun pada praktiknya, apakah hal kondisi tersebut benar-benar ada di sekolah-sekolah di Indonesia? Ada pertanyaan menarik, berapa jumlah siswa yang suka membaca dan menulis? Berapa jumlah guru yang memiliki kebiasaan membaca dan menulis? Jawaban-jawaban untuk pertanyaan ini memang harus dibuktikan melalui penelitian. Namun ada hipotesis muncul bahwa kebiasaan membaca dan menulis civitas akademika di berbagai sekolah di Indonesia bisa dikatakan masih cukup rendah. Berapa banyak peserta didik yang menggunakan waktu luang untuk membaca, alih-alih bermain game atau melakukan hal yang kurang penting? Berapa banyak guru yang memanfaatkan waktu luang untuk membaca atau menulis, alih-alih untuk menggosip atau melakukan hal yang tak penting lainnya? pertanyaan-pertanyaan tersebut terkesan nyinyir dan julid, namun itu layak untuk direnungkan.

Selama ini, program yang nampak cukup familiar di dalam pembicaraan public terkait kampanye literasi di sekolah adalah program 15 menit membaca. Hal tersebut penting untuk setidaknya mengakrabkan peserta didik dengan aktivitas membaca. Namun, itu saja tidak cukup. Harus ada pendekaan komprehensif dalam kampanye literasi di sekolah. lantas, apa saja yang harus dilakukan oleh pembuat kebijakan di sekolah agar kampanye literasi efektif dan sukses?

Hal pertama harus ada di lingkungan sekolah adalah keteladanan. Pastikan para guru dan kepala sekolah adalah orang-orang yang bisa dijadikan teladan bagi peserta didik dalam hal literasi. Mereka harus memiliki kebiasaan membaca dan menulis terlebih dahulu, sebelum menyuarakan pentingnya membaca dan menulis kepada peserta didik. Mereka juga harus mampu meyakinkan peserta didik tentang manfaat dari aktivitas membaca dan menulis bagi kehidupan mereka pribadi. Manusia adalah makhluk pragmatis. Mereka tidak akan dengan secara sadar dan sukarela melakukan proses pembentukan suatu kebiasaan, kecuali mereka memahami apa manfaat yang akan mereka dapatkan dari hal tersebut. Begitu pula dengan peserta didik. Individu-individu yang sudah memiliki kebiasaan membaca pada umumnya adalah mereka yang sudah sangat paham tentang manfaat dari aktivitas tersebut bagi diri mereka. Jadi, hal pertama yang harus dibenahi adalah keteladanan guru dan kepala sekolah dalam berliterasi.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah wellbeing peserta didik. Konsep wellbeing memang belum dianggap sebagai issue yang strategis dalam konteks penyelenggaraan pendidikan di berbagai sekolah Indonesia pada umumnya. Namun, kita pasti menyadari bahwa kesehatan dan kenyamanan emosi, mental, psikologis dan fisiologis berpengaruh terhadap pengalaman belajar dan pencapaian akademik peserta didik. Itu lah dasar dari wellbeing. Cara mendukung wellbing peserta didik dalam kampanye literasi adalah penyediaan sarana yang mendukung serta pelayanan yang humanis. Betapa banyak siswa yang enggan untuk datang ke perpustakaan karena pembawaan pegawai perpustakaan yang tidak/kurang ramah. Betapa banyak peserta didik yang enggan pergi ke perpustakaan karena kondisi perpustakaan yang terlihat kurang terawat.

Berkunjung ke berbagai perpustakaan yang ada di Jepang dan Australia, saya melihat betapa kenyamanan lingkungan fisik perpustakaan di Negara tersebut sangat terjamin. Orang mungkin datang ke perpustakaan dengan maksud untuk sekedar bersandar atau menikmati ketenangan, karena lingkungan perpustakaan biasanya memang tenang. Orang datang ke perpustakaan mungkin hanya sekedar ingin bersandar di sofa lantai yang empuk sambil menikmati vibe positif yang ada di ruang perpustakaan. Orang mungkin awalnya hanya tertarik untuk selfie-selfie di ruang perpustakaan karena desain interiornya instagrammable. Itu semua tidak masalah. Meminjam istilah yang dipakai oleh Gol A Gong, fasilitas fisik seperti itu adalah pancingan agar orang mau datang ke perpustakaan. Setelah merasa nyaman di perpustakaan, orang lambat laun akan tergerak hatinya untuk membaca, atau melakukan berbagai aktivitas di perpustakaan tersebut yang berkaitan dengan literasi.

Lingkungan perpustakaan yang nyaman dengan desain interior yang enak dipandang serta dilengkapi dengan koleksi buku yang cukup banyak dan up to date, bisa menjadi katalisator bagi terbentuknya keakraban peserta didik dengan dunia iterasi. Penataan fisik perpustakaan juga perlu memperhatikan perkembangan zaman. Dulu, kita bergantung dengan media cetak seperti buku. Di era digital seperti sekarang ini , perpustakaan juga semestinya menyediakan media digital. Setidaknya, perpustakaan perlu menyediakan beberapa computer yang terkoneksi dengan jaringan internet. Posisikan computer tersebut pada lokasi yang terbuka dan mudah diawasi. Hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir potensi penggunaan computer untuk hal yang tidak penting. Perpustakaan-perpustakaan di Australia bahkan menempatkan computer pada posisi yang bisa dengan mudah diawasi dari tempat standby nya pegawai perpustakaan.

Selanjutnya, selenggarakan program-program yang memacu minat peserta didik terhadap dunia literasi. Program-program seperti lomba menulis karya fiksi dan non-fiksi, menulis copywriting untuk marketing bisnis, bedah buku, training menulis, workshop digital marketing, seminar financial literacy, penerbita buku secara kolektif, dan lainnya penting untuk diselenggarakan. Program-program tersebut bisa dilaksanakan sebagai bagian dari kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler.

Kegiatan pembelajaran juga bisa diarahkan untuk mendorong kegiatan literasi. Contohnya, peserta didik diarahkan untuk mengakses berbagai sumber belajar (learning resources). Jangan batasi mereka dengan penggunaan satu buku tertentu dalam pembelajaran. Dorong mereka untuk secara mandiri mencari beragam sumber belajar, serta tunjukkan keada mereka contoh-contoh sumber belajar yang bisa mereka akses. Kegiatan belajar yang hanya berpatokan pada penggunaan satu buku tertentu akan mempengaruhi alam bawah sadar peserta didik untuk meyakini bahwa sumber belajar yang valid itu terbatas.

Kampanye literasi tidak akan sepenuhnya berhasil tanpa dukungan berbagai pihak. Sekolah perlu menjalin kerjasama dan komunikasi dengan orang tua. Bentuk konkrit kerjasama antara sekolah dan orang tua dalam untuk mendukung kampanye literasi adalah melalui penyelenggaraan edukasi bagi orang tua. Kegiatan tersebut penting agar orang tua dan sekolah memiliki kesamaan mindset dan persepsi terhadap literasi. Sekolah perlu memberi pemahaman terhadap orang tua tentang alur logis pengaruh literasi peserta didik terhadap keberhasilan mereka dalam hidup. Dengan pemahaman bahwa literasi berpengaruh terhadap keberhasilan peserta didik, maka orang tua seharusnya ikut andil dalam suksesnya kampanye literasi bagi anak-anak mereka. Andil tersebut nantinya bisa berupa penyediaan sarana untuk menunjang literasi di rumah oleh orang tua.

Sabtu, 12 Maret 2022

Menjaga Wellbeing di Negeri Asing

 

Menjadi seorang mahasiswa yang kuliah di luar negeri, kita harus pandai-pandai dalam mengupayakan wellbeing. Betapa tidak, banyak hal yang berpotensi membuat kita merasakan berbagai macam gejala negatif pada kondisi psikologi, mental, dan emosional. Soal penyesuaian diri terhadap lingkungan baru, misalnya. Penyesuaian diri terhadap lingkungan bukan merupakan perkara mudah bagi sebagian orang, meski terasa mudah bagi sebagian orang lainnya. ada orang yang cakap dalam bergaul, sementara ada orang yang kurang luwes dalam menempatkan diri di lingkungan baru.

Berada di Australia selama beberapa bulan, aku suka mengamati perilaku manusia. Pengamatan perilaku manusia tersebut biasanya aku lakukan saat mengikuti berbagai kegiatan gathering. Ada orang yang begitu luwes dalam menjalin komunikasi dengan orang baru, sementara ada orang yang terlihat lebih suka menyendiri. Dari gesture yang mereka tunjukkan, Nampak ada sifat inferior pada orang-orang yang suka menyendiri tersebut. Minimal, mereka mengalami kesulitan dalam berinteraksi secara cair. Kemampuan orang dalam membaur dengan berbagai komunitas memang banyak dipengaruhi oleh karakter. Sedangkan karakter pada umumnya dipengaruhi oleh pengalaman di masa lalu, selain karena pengaruh genetika.

Ketidakmampuan untuk berinteraksi sosial bisa mempengaruhi kesehatan mental dan emosional. Bagi orang yang memang lebih suka menyendiri, memiliki circle yang sangat terbatas mungkin tidak menjadi masalah. Namun nyatanya banyak orang yang sebenarnya ingin memiliki banyak teman, bsia berinteraksi secara luas dan luwes. Hanya saja, mereka tidak mampu melakukannya, karena keterbatasan kemampuan dalam berinteraksi.

Potensi penyebab gangguan kesehatan mental, psikologis dan emosional selanjutnya adalah banyaknya tuntutan pekerjaan/tugas akademik. Kegiatan akademik seringkali membutuhkan totalitas pendayagunaan pikiran. Tugas-tugas akademik seringkali memacu aktifitas kognitif yang sangat besar. Hal tersebut bisa berpotensi menimbulkan gangguan mental seperti stress dan bahkan depresi. Kita harus pandai-pandai dalam menciptakan work-life balance dalam keseharian hidup kita. Ada kalanya kita harus serius dalam menyelesaikan proyek/tugas akademik. Namun harus kita ingat bahwa jiwa kita butuh penyegaran. Agendakanlah acara-acara santai dan refreshing seperti jalan-jalan saat weekend, atau mentraktir diri dengan makan enak di tempat yang nyaman.

Level kemampuan dalam menyikapi masalah juga bisa menjadi factor yang berpengaruh terhadap wellbeing seseorang. Banyak orang yang suka memposting aktivitas kesehariannya di media sosial. Pada umumnya aktivitas-aktivitas yang fun lah yang mereka tampilkan. Beragam respon atau komentar pun bermunculan. Sayangnya, tidak semua komentar bersifat positif. Jika kita tidak pandai menyikapi sikap negative orang lain terhadap diri kita, maka hal tersebut bisa berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosional kita. Penting bagi kita untuk tahu mana masalah yang penting yang harus diselesaikan, dan mana urusan tak penting yang hanya perlu untuk tidak dihiraukan. Sebagian orang bersikap reaktif terhadap penilaian negative orang lain. Sementara sebagian lainnya cenderung bijak dan santai dalam menyikapinya. Kita semestinya memilih untuk menjadi seperti orang yang kedua.

Khusus untuk masalah yang timbul dalam interaksi sosial, ada kiat khusus yang aku ingin share di sini. Kadang, manusia adalah makhluk penuh drama. Masalah sedikit saja bisa jadi besar. Sementara masalah yang besar kadang disepelekan. Perlu kita hindari orang-orang yang hidupnya penuh dengan drama. Kita berhak dan boleh untuk meremove mereka dari circle hidup kita. Nda perlu risau ketika kehilangan satu atau beberapa teman negative. Lebih baik memiliki circle pertemanan terbatas namun mereka berdampak positif terhadap hidup kita, daripada circle luas namun toxic. Syukur-syukur kita memiliki circle luas yang semuanya memiliki pengaruh positif. Itu sih kondisi ideal. Namun pada praktiknya belum tentu mudah, bukan?  

Bergabung dengan berbagai komunitas seperti club olahraga, kelompok pengajian, group traveling, dan berbagai komunitas lainnya penting untuk kita lakukan. Semakin kita kaya akan komunitas, semakin luas cakrawala kita. Semakin luas cakrawala, semakin kita tidak mudah untuk terjebak pada urusan-urusan remeh temeh. Aktivitas olahraga mengaktifkan endorphin, yang berpengaruh terhadap rasa bahagia. Aktivitas traveling juga mengaktifkan endorphin. Mengikuti pengajian menambah spiritualitas kita. Terlibat dalam berbagai aktivitas organisasi atau komunitas memperkaya pengalaman memimpin, manajerial, dan problem solving. Betapa itu semua menciptakan life balance, bukan?

Ada satu hal penting yang selalu saya ingat. Ketika aku merasa pusing karena masalah sepele, biasanya di waktu yang sama ada hal penting dan besar yang aku abaikan, atau ada urusan besar yg belum aku selesaikan. Maka, hal yang aku lakukan ketika ada masalah remeh namun merisaukan adalah melakukan refleksi diri. Apa urusan besar yang belum aku selesaikan. Orang-orang dengan karya besar itu tidak terbersit untuk ngurui hal-hal remeh. Orang-orang berprestasi besar penuh manfaat hanya focus pada urusan besar. Faktanya, mengurus urusan besar penuh manfaat adalah salah satu penunjang wellbeing.

 Menjaga wellbeing adalah tugas kita masing-masing. Maka kita harus pandai-pandai dalam mencari cara untuk menjaga wellbeing kita.

Selasa, 01 Maret 2022

Berkendara dan Berkarakter di Australia


 

Setiap negara pada umumnya memiliki seperangkat aturan yang harus dipatuhi oleh pengguna kendaraan bermotor. Ada aturan tentang batas kecepatan. Ada aturan tentang parkir. Ada aturan tentang kewajiban menggunakan sabuk pengaman. Ada pula aturan tentang kepemilikan berbagai dokumen seperti surat ijin mengemudi (SIM), surat kepemilikan kendaraan, asuransi, dan lainnya. Tujuan aturan tersebut sangat jelas, terciptanya ketertiban dalam berlalulintas di masyarakat. Meskipun semua negara memiliki aturan yang relatif sama, namun pada kenyataannya mereka memiliki kondisi ketertiban lalulintas yang berbeda. Dalam tulisan ini, aku tertarik untuk membahas tentang betapa aturan berkendara di Australia bisa membentuk karakter positif masyarakat.

Di Australia, aturan batas kecepatan sangat jelas, dan implementasi aturannya sangat tegas. Di tengah kota, batas kecepatan berkendara pada umumnya ditetapkan antara 25 km hingga 60 km. Di jalan raya bebas hambatan seperti express way, batas kecepatan bisa berkisar antara 80km hingga 110km. Para pengendara yang hobi berkecepatan tinggi bisa mengekspresikan keinginannya untuk ngebut di jalan besar antar state. Jalanan tersebut pada umumnya cukup lengang. Namun di área kota, jangan harap pengendara bisa melaju dengan kencang sesuka mereka. Sekali melanggar, sepucuk surat cantik berisi bukti pelanggaran dan jumlah tagihan denda pelanggaran akan terkirim ke mailbox di rumah pelanggar tersebut.

Aturan berkendara di tempat-tempat yang memiliki lampu lalu lintas juga sangat strict. Melanggar batas walu hanya seperempat meter saja saat lampu lalu lintas berwarna merah, pengendara akan menanggung konsekuensinya. Cerita seorang teman yang pernah mendapatkan surat tilang karena bumper mobilnya melewati garis batas saat berhenti di perempatan berlampu merah cukup menjadi pelajaran. Dia tidak menyadari bahwa bumper mobilnya yang melewati garis batas yang bahkan tidka ada seperempat meter saja membuatnya ditilang 300 dólar (3 juta rupiah).

Aturan tentang penggunaan sabuk pengaman juga sangat strict. Namun, pelanggaran yang berkaitan dengan kealpaan dalam memakai sabuk pengaman sudah sangat jarang. Hal tersebut terjadi karena sistem kendaraan di Australia sudah secara otomatis memberikan peringatan kepada pengendara melalui bunyi sirine notifikasi. Dengan demikian, pengendara tak akan lupa unutk memakai sabuk pengaman.

Jangan berpikir bahwa karena tidak ada polisi yang nampak berpatroli di perempatan atau di ruas jalanan tertentu lantas pengendara akan aman untuk secara bebas menginjak pedal gas kendaraannya. Jangan berpikir bahwa hanya karena polisi tidak nampak, maka orang akan tidak ketahuan menggunakan handphone Sambil berkendara. Jangan berpiki bahwa karena polisi tidak terlihat berpatroli, maka orang akan aman untuk menerobos lampu merah saat situasi jalanan sepi. Kamera canggih yang dilengkapi dengan sensor otomatis akan merekam secara jitu setiap tindakan pelanggaran. Australia terkenal dengan pelaksanaan aturan yang tegas dan tanpa pandang bulu. Pasal-pasal berkaitan dengan aturan berlalu lintas jelas. Jika dalam pasal tersebut berbunyi bahwa seorang pelanggar kecepatan akan didenda 600 dólar, maka benar-benar 600 dólar utuh yang ditagihkan kepada pelanggar yang harus ia bayar, tanpa ada kompromi.

Pembiasaan berkarakter positif

Aturan-aturan tersebut terkesan kaku. Bagi sebagian orang yang terbiasa hidup di negara dengan aturan lalulintas yang fleksibel, strict nya aturan lalu lintas di Australia mungkin akan membuat mereka kurang nyaman berkendara. Namun, justru dari ketegasan implementasi aturan tersebutlah tercipta masyarakat yang tertib, disiplin dan berkarakter. Bagaimana tidak? Dengan uspremasi aturan yang ada, masyarakat memiliki perlakuan yang setara. Semahal apa pun kendaraan yang orang miliki, dan se mewah apa pun fitur kendaraan yang orang miliki, mereka tidak bias sembarangan dalam berkendara. Di jalan raya, mereka akan setara posisinya dengan pengendara yang nilai kendaraannya tak seberapa. Dari sisi tersebut, nampak suasana egaliter di jalan raya.

Di Australia, dengan segala aturan berkendara yang ada, orang terbiasa untuk menjalani hidup yang disiplin. Di negara lain yang aturan berlalulintasnya kurang ditegakkan dengan  baik, orang mungkin akan tetap merasa santai untuk berangkat kerja sedikit telat, karena mereka yakin tetap bisa sampai tepat waktu dengan cara berkendara dengan kecepatan tinggi. Di Australia, orang mau tidak mau harus menyesuaikan jadwal keberangkatan untuk bisa tiba di tempat tujuan secara tepat waktu, karena tidak mungkin mereka memilih untuk ngebut di jalanan. Dengan tegasnya aturan berlalulintas yang ada di Australia, orang tidak mengeluhkan tentang jalanan yang penuh sesak. Orang tidak perlu membunyikan klakson, apalagi membunyikannya keras-keras, karena tidak ada orang yang menyerobot jalan. Semua melaju dan berhenti mengikuti aturan yang ada. Orang tidak perlu membunyikan klakson di perempatan, karena tidak ada orang yang nekad untuk melaju saat lampu berwarna merah. Situasi tersebut cukup memupuk perilaku sabar masyarakat.

Para pengendara sepeda memiliki ruas sendiri yang tidak boleh dipakai oleh pengendara kendaraan ber-roda empat atau lebih. Pejalan kaki memiliki hak istimewa untuk menghentikan laju kendaraan ketika mereka ingin menyebrang jalan. Semua berjalan dengan penuh nuansa saling menghargai dan saling memahami.

Aturan berkendara, jika ditegakkan secara tegas, ternyata memiliki dampak positif yang snagat besar terhadap perilaku masyarakat. Andai aturan berkendara di Indonesia dilaksanakan secara tegas, mungkin tidka perlu lagi ada angka kecelakaan yang tinggi. Tidak perlu lagi ada pertengkaran karena saling senggol antar kendaraan di jalan raya. Tak perlu lagi ada keluh kesah karena jalanan macet sementara pengendara saling serobot jalan untuk lekas tiba di tujuan. Karakter positif masyarakat bisa terwujud melalui penegakkan aturan yang benar-benar lurus. Aku bayangkan, suasana berkenara seperti itu ada di negeriku, Indonesia.