Sabtu, 20 Agustus 2016

Menanamkan Kesadaran Global


http://2.bp.blogspot.com

Kehidupan di dunia berubah dan berkembang begitu cepat. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi  ditambah semakin majunya sistem transportasi menjadikan interaksi antar manusia bisa berlangsung tanpa sekat geografis. Dahulu, seorang pedagang harus melakukan perljalanan jauh untuk mempromosikan dagangannya. Kini, hanya dengan gerakan jari di papan screen gadget, orang bisa menawarkan barang dagangannya secara efektif, bahkan menjangkau seluruh belahan dunia. Dahulu, orang hanya mengenali adat budaya dimana dia tinggal, tanpa memahami budaya luar. Kini, tanpa pernah menginjakkan kaki di tanah negara lain pun kita bisa melihat dan mengenali budaya lain. Dahulu, orang pada umumnya hanya bisa mengandalkan lembaga pendidikan formal untuk mengakses ilmu pengetahuan. Kini, teknologi bahkan bisa menggantikan peran lembaga pendidikan formal untuk urusan akses sumber ilmu pengetahuan. Dahulu, kita hanya mengenal mall supermall seperti “matahari”, “sri ratu” dan pusat perbelanjaan lainnya yang bernuansa lokal. Kini, nama2 asing seperti Carrefour, Seven Eleven, AEON, dan lainnya sudah membiak bahkan ke berbagai pelosok negeri.

Pelan tapi pasti, kehidupan semakin megglobal. Interaksi antar manusia dari berbagai negara yang berbeda semakin mudah terjadi. Persaingan pun menjadi keniscayaan. Kini, untuk urusan mendapatkan pekerjaan, kita tak lagi hanya bersaing dengan orang-orang sebangsa se tanah air. Kini, untuk urusan bisnis, kita tak lagi hanya bersaing dengan pengusaha sebangsa dalam mengais keuntungan. Manusia berbangsa-bangsa. Namun mereka sudah membaur tanpa batas. Persaingan semakin menggila ketika berbagai kesepakatan seperti Perjanjian perdagangan Bebas Asean-China (C-AFTA), Masyarakat Ekonomi Asean (AES), Kerjasama ekonomi Asia Pasifik (APEC), dan kesepakatan kerjasama antar negara lainnya telah diresmikan oleh pemerintah. 

Celakanya adalah, ketika kehidupan semakin mengglobal, sementara mindset kita masih berkualitas lokal, terbelakang, close-minded, buta identitas, tak peka terhadap kondisi global, serta tak ada kesadaran untuk menjadi pemain yang berusaha memenangkan persaingan dalam dunia global. Persaingan itu sudah menjadi sebuah keniscayaan. Kita dihadapkan pada kondisi do or die. Apakah kita hanya tinggal diam menjadi pecundang dan hanya menjadi penonton atas dinamika kehidupan global, ataukah menjadi pemain. 

http://66.media.tumblr.com

Negara lain sudah berlomba-lomba menjadi produsen dan menguasai pasar di berbagai negara. Sementara kita masih menjadi penonton dan hanya menjadi target hegemoni ekonomi mereka. Negara yang tadinya terbelakang seperti india, kini sudah mulai menggeliat tampil menjadi produsen berbagai produk yang dipasarkan hingga ke Indonesia.  Negara lain sudah berlomba-lomba untuk melakukan internasionalisasi budayanya seperti Korea dengan drama dan K-Popnya, Jepang dengan kreasi anime serta makanan Sushi nya, India dengan Bollywoodnya, serta negara barat dengan western culture nya. Sementara, kita masih seperti orang yang minder dengan budaya sendiri, malah latah membeo dengan budaya luar. 

Saya teringat dengan pesan David J Schwarts, dalam bukunya Thinking Big. Semua berawal dari pikiran. Ketika kita membiasakan diri berpikir tentang hal-hal yang besar, tentang pencapaian besar, tentang impian-impian besar, maka segala aktivitas kita akan terarah menuju terwujudnya impian tersebut. Begitu pula, ketika kita terfokus pada hal-hal yang remeh, makan tindakan kita juga akan terarahkan menuju terwujudnya halyang remeh pula. Sepertinya memang sudah begitu urgent bagi kita untuk menanamkan orientasi berpikir besar kepada generasi. Dari situ lah awal munculnya tindakan-tindakan besar. 


Sekolah sejatinya menjadi tempat menyiapkan generasi muda untuk menghadapi tantangan perubahan dan perkembangan kehidupan. Dengan demikian, seharusnya ada link and match antara apa yang diajarkan di sekolah dengan realitas yang akan dihadapi oleh generasi di dalam kehidupan nyata. Sekolah hendaknya menanamkan jiwa visioner, yang mampu membaca perkembangan kehidupan, baik masa sekarang maupun masa depan. Sekolah semestinya menjadikan generasi muda melek terhadap dinamika global. Sehingga mereka memahami peluang, ancaman dan sikap yang harus mereka miliki dalam menghadapinya. Maka, menanamkan kesadaran global pada generasi muda itu sangatlah penting.

Kamis, 18 Agustus 2016

Pentingnya kebiasaan finished-oriented!



Gamabr diambil dari https://dlfitnessblog.files.wordpress.com

Milikilah kebiasaan menyelesaikan urusan! itu sangat penting. Banyak orang yang mengeluhkan permasalahan yang mereka hadapi dalam kehidupan mereka. Tanpa disadari, seringkali masalah yang dihadapi dan tak kunjung terselesaikan tersebut ternyata disebabkan oleh kebiasaan mereka yang suka menunda penyelesaian urusan. Sesederhana apapun urusan jikaditunda penyelesaiannya maka akan menjadi beban pikiran. Ketika menjadi beban pikiran, tentunya akan menimbulkan masalah baru. Ada istilah procrastination syndrome dalam ilmu psikologi. Segala urusan yang ditunda penyelesaiannya semakin lama akan terasa semakin berat untuk diselesaikan. Bukan karena sulitnya urusan tersebut, melainkan karena menunda menyelesaikan suatu urusan akan membuat pikiran dan alam bawah sadar kita meyakini bahwa urusan tersebut adalah urusan yang sulit. 

Semua orang pasti punya masalah. Hanya saja, ada sebgaian orang yang tersiksa oleh masalah mereka, namun ada sebagian lainnya yang sama sekali tak tersiksa oleh masalah. Orang yang tersiksa karena masalah pada umumnya memiliki kebiasaan yang sama, yaitu kebiasaan menunda segala sesuatu. sedangkan mereka yang tak memiliki masalah dengan masalah biasanya juga memiliki kebiasaan yang sama, yaitu selalu menyegerakan diselesaikannya suatu urusan tanpa menunda-nunda. 

Memiliki kebiasaan cepat tanggap terhadap penyelesaian terhadap masalah itu membutuhkan proses yang panjang. Dalam ilmu psikologi disebutkan bahwa pengalaman yang ada pada masa kanak-kanak biasanya terpatri dan mempengaruhi pola hidup ketika dewasa. Kebiasaan - kebiasan yang dimiliki di awal kehidupan (masa kanak-kanak) membentuk mindset yang berpengaruh terhadap kebiasaan di masa-masa selanjutnya. Namun, karakter yang sudah terbentuk selama beberapa masa masih bisa dirubah, hanya saja membutuhkan proses yang cukup menyita waktu dan energi.

Gambar diambil dari https://s-media-cache-ak0.pinimg.com
Bagaimana caranya membentuk kebiasaan finished-oriented? Pembentukan kebiasaan tersebut bisa dimulai dari melakukan hal-hal yang wajib. Misalnya, sebagai pemeluk agama Islam, tentu ada kewajiban-kewajiban yang pelaksanaannya telah ditentukan batas waktunya, seperti sholat wajib. Kebiasaan melaksanakan sholat wajib dengan segera sesuai dengan waktunya merupakan contoh upaya yang bisa mengasah kebiasaan finished-oriented pada individu. Contoh lain adalah menyegerakan diselesaikannya tugas yang diberikan oleh guru sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, apapun hasilnya. Ada pepatah yang mengatakan bahwa “ide biasa yang dilaksanakan dengan segera nilainya lebih tinggi daripada ide besar namun tak kunjung diwujudkan (ditunda)”. Pepatah tersebut menyiratkan betapa hal biasa yang dilakukan dengan segera jauh lebih bernilai daripada hal besar yang ditunda penyelesaiannya. 

Mungkin ada yang bertanya bagaiman jika menunda menyelesaikan sesuatu untuk mendapatkan hasil yang sempurna? Sekilas hal tersebut bisa membenarkan tindakan menunda, namun yang harus diingat adalah dampak yang akan muncul ketika diri kita terbiasa dengan menunda, apapun urusan yang kita tunda penyelesaiannya. Mereka yang menunda menyelesaikan suatu urusan biasanya memiliki sifat perfeksionis. Perfeksionis berasal dari kata “Perfect” dalam bahasa inggris, yang berarti sempurna. Meski demikian, makna dari perfeksionis cenderung negatif. Orang yang memiliki jiwa perfeksionis cenderung suka menunda dan terlalu kritis terhadap tindakan/kinerja yang dilakukan oleh diri sendiri. Mereka menunda dan terus menunda menyelesaikan urusan, berharap mendapatkan kesempurnaan, hingga akhirnya memasuki injury time. Masalahnya, meski pada akhirnya mereka menyelaikan urusan tersebut, namun tak sempurna juga hasilnya. Tetap ada rasa kurang sempurna atas apa yang mereka lakukan. 


Kebiasaan finished-oriented erat hubungannya dengan kedisiplinan, karena disiplin memiliki makna bersikap sebagaimana seharusnya sesuai dengan aturan yang mengikat eksistensi kita sebagai makhluk sosial, makhluk individu dan makhluk berketuhanan Yang Maha Esa. Andaikan upaya mendisiplinkan anak didik oleh pendidik dilakukan dengan cara memahamkan dampak negatif dari ketidakdisiplinan, maka tentu anak didik akan lebih mudah melaksanakan kedisiplinan secara sadar, bukan karena keterpaksaan. 


Senin, 15 Agustus 2016

Cheap-oriented, Mindset dan Nasib Hidup



Banyak orang yang suka membeli barang yang berdiskon. Banyak orang yang cenderung membeli barang murah, dan orientasinya selalu mendapatkan yang murah. Banyak orang yang suka dengan membeli barang second, ketimbang membeli barang baru dan mahal. Banyak orang yang suka dengan gratisan. Suka ditraktir, suka diberi hadiah, dan suka dibantu.
        “Lumayan kan makan ditraktir, gak perlu keluarin uang sendiri”
        “ Lumayan kan diberi hadiah. Bisa memiliki barang tanpa keluar uang sendiri”
        “Lumayan lah kerjaan ada yang ngebantu. Tak perlu repot sendiri”
Pada awalnya, alasan dari kecenderungan terhadap hal-hal tersebut adalah rasa “lumayan”. Namun tanpa disadari, kadang hal-hal tersebut bisa menjadi mindset, bisa menjadi pola/gaya hidup. ini yang berbahaya. Jika mendapatkan traktiran, hadiah, dan bantuan hanya sesekali saja, tak apa lah. Namun jika hal tersebut sudah menjadi kebiasaan, maka itu yang jadi masalah. Lho, emang masalahnya apa? mari kita bahas!

Setiap manusia memiliki kenyataan hidup yang berbeda-beda, yang seringkali disebut dengan nasib. Nasib bukanlah semata kenyataan yang sudah paten ditakdirkan  oleh Tuhan kepada hambaNya. Namun nasib terwujud sebagai akibat dari tindakan/perilaku manusia. Tindakan yang diambil manusia dipengaruhi oleh mindset/pikiran. Mindset tersebut terbentuk dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan secara berulang-ulang. Orang yang terbiasa / membiasakan diri berorientasi pada hal-hal yang murah dan gratis akan memiliki “pola pikir serba murah”. Hal tersebut juga bisa berpengaruh pada terbentuknya konsep diri (self-concept). Bahayanya adalah, jika konsep diri yang tebentuk adalah sebuah keyakinan bahwa diri sendiri hanya mampu membeli barang-barang yang murah. Konsep diri tersebut akan sangat berpengaruh terhadap tindakan yang diambil kehidupan sehari-harinya. 


Membeli barang yang mahal dan berkualitas tinggi kadang dihindari oleh banyak orang. Padahal berorientasi pada membeli barang yang berkualitas dan mahal bisa mempengaruhi mindset, alam bwah sadar, dan self-concept yang tentunya berpengaruh terhadap aktualisasi diri nya dalam menjalani kehidupan.

Mungkin ada yang bertanya, bagaimana jika kita tak memiliki banyak uang untuk membeli barang yang berkualitas tinggi dan mahal? Yang menjadi poin disini bukan lah semata tentang membeli barang murah/mahal, suka diskon atau tidak, tapi lebih pada bagaimana membentuk mindset yang berorientasi pada hal-hal yang berkualitas. Pada kenyataannya, yang berkualitas tinggi itu biasanya mahal. Minimal kita memiliki mindset yang high-quality-oriented, karena mindset lah yang sangat berpengaruh terhadap tindakan yang kita ambil. Sedangkan tindakan yang kita ambil tentu berpengaruh terhadap seperti apa wujud pencapaian kita dalam hidup.







Sabtu, 13 Agustus 2016

Help students achieve it, and they will achieve more

http://cdn.phys.org

Kimia, Fisika dan Matematika merupakan mata pelajaran yang rumit, dan menjadi momok bagi saya ketika masih mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Atas. Persepsi bahwa tiga mata pelajaran tersebut rumit juga pasti dimiliki oleh banyak siswa, terutama mereka yang tak memiliki logical mathematical intelligence yang mumpuni. Saya sempat heran, kenapa ada siswa yang begitu cinta terhadap mata pelajaran tersebut. Saya juga heran kenapa Ari, seorang siswa dari sekolah lain yang merupakan “lawan” saya  ketika beradu kecerdasan di lomba olimpiade Kimia tingkat kabupaten, bisa mengerjakan soal-soal yang begitu sulit (menurut saya) dalam waktu yang sangat singkat dan kemudian berhasil menjadi juara. Sebenarnya saya tak perlu heran, andai waktu itu saya memahami istilah Multiple intelligence, yang mendasari pemahaman bahwa masing-masing individu memiliki kecerdasan yang beragam. 

Hal menarik yang ingin saya bahas adalah tentang pengalaman saya dalam menjalani proses pembelajaran ilmu kimia. Masing-masing dari tigak pelajaran “sulit” tersebut diampu oleh guru yang berbeda dalam hal karakter personal maupun metode mengajarnya. Di antara ketiga guru yang mengampu mapel-mapel tersebut, guru kimia lah yang paling berkesan bagi saya, terkait pendekatan yang beliau gunakan dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Beliau berhasil membebaskan saya dari kebencian terhadap pelajaran kimia. Beliau bisa menjadikan saya enjoy bahkan kangen dengan pelajaran kimia. Sungguh tak berlebihan saya berkata demikian. Entah dengan ilmu sihir apa yang beliau gunakan (ini baru berlebihan), saya berubah dari siswa yang semula membenci plajaran kimia menjadi siswa yang menyukai Ilmu Kimia dan akhirnya dipercaya mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade kimia antar SMA tingkat kabupaten. 

Apa yang beliau lakukan hingga bisa merubah persepsi saya terhadap pelajaran Kimia? Jawabannya adalah, beliau bisa membuat siswa, terutama saya, memiliki sense of ability. Itu kuncinya. Beliau bisa membuat saya memiliki keyakinan bahwa saya sebenarnya bisa sukses dalam pelajaran Kimia, dengan cara yang elegan. Sebagian guru akan menyampaikan ceramah dalam upaya memotivasi dan meyakinkan siswa bahwa mereka bisa. Namun yang dilakukan beliau bukanlah sekedar ceramah, namun pendekatan psikologis yang mampu meyakinkan siswa, terutama saya, dalam proses pembelajaran. Mengajar adalah seni. Karena seni, maka hal-hal kecil dan detil pun seringkali berpengaruh terhadap keberhasilan pembelajaran. 

Bagaimana cara beliau menjadikan saya memiliki sense of ability? Seperti biasa, mempelajari suatu ilmu dimulai dari hal yang paling dasar dan mudah untuk dipahami. Itu pula yang beliau lakukan, mengajar dari hal yang paling dasar satu demi satu poin materi. Beliau memiliki suara yang cukup keras dan jelas, bahkan untuk siswa yang duduk di barisan paling belakang sekalipun. Hal yang seringkali ditakutkan oleh siswa yang tak suka terhadap suatu mata pelajaran adalah momen ketika disuruh maju mengerjakan soal dan menuliskannya di papan tulis. Ketika ditunjuk untuk melakukan hal tersebut, siswa  biasanya menyebutnya sebagai “kesialan”. Tak jarang untuk menghindari “kesialan” tersebut, siswa seringkali menundukkan kepala sambil sesekali bersembunyi dibalik badan teman yang duduk di depannya, agar tak ditunjuk oleh guru. Rupanya guru kimia tersebut paham tentang psiklogi siswa, sehingga dia selalu memastikan bahwa siswa yang ditunjuk untuk maju menuliskan jawaban di papan tulis adalah siswa yang bear-benar sudah siap dan atau dipersiapkan. Beliau tak pernah menjadikan “maju ke depan” sebagai hukuman. Biasanya, beliau menawarkan kepada siswa untuk mencoba mengerjakan soal dan menuliskannya di papan tulis. Ketika tak ada satu pun yang bersedia, beliau mendekati satu per satu siswa dan mengarahkan mereka dalam menangani kesulitan yang mereka hadapi. Tak jarang, beliau mengarahkan siswa dalam mengerjakan soal hingga ditemukan jawabannya, baru kemudian mempersilahkan siswa tersebut untuk maju dan menuliskannya di papan tulis. Dengan hal tersebut, siswa tak perlu malu karena merasa gagal menjawab soal. Siswa tak perlu merasa tertekan dengan ketidakberdayaan mereka ketika ditunjuk untuk maju dan memberikan jawaban. Siswa tak perlu merasa bimbang dan khawatir bakal dijadikan bahan tertawaan teman-teman. Hal  tersebut lah yang membuat atmosfir pembelajaran di kelas menjadi nyaman dan tanpa tekanan. Secara signifikan, hal tersebut mampu merubah persepsi negatif siswa menjadi positif. Hal tersebut mampu menseting alam bawah sadar siswa bahwa pelajaran Kimia itu nyaman diikuti. Rasa nyaman itu sangat penting, karena tiadanya rasa nyaman menjadikan tiadanya belajar.

Apakah pendekatan yang membangkitkan sense of ability siswa yang dilakukan oleh guru tersebut terasa manfaatnya hanya oleh saya sendiri? Ternyata tidak juga. Sebagian besar siswa merasakannya.  Minimal, beliau mampu merubah persepsi negatif siswa terhadap ilmu Kimia. Beliau mampu membuat siswa nyaman dan memiliki mental “bisa” mengikuti pembelajaran. Dengannya bahkan siswa seringkali merasa rugi ketika beliau berhalangan mengajar. Tak berlebihan, beliau menjadi sosok yang dirindukan di kelas. Menciptakan guyonan segar agar siswa tertarik dengan pelajaran memang bagus, namun itu tidak selalu harus ada. Mengajar memang lah sebuah seni. Tak ada yang baku dalam seni. Ia butuh sentuhan kreativitas yang khas dari masing-masing individu pengajar, yang tentunya berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Kita musti ingat bahwa siswa datang ke sekolah dengan level motivasi yang beragam, dan kondisi psikologis yang beragam. Seringkali bukan karena mereka tak mampu, namun karena mereka sudah sekian lama menderita rasa tak suka/antipati terhadap suatu pelajaran tertentu yang terbentuk oleh pengalaman negatif di masa sebelumnya, yang menjadikan siswa tak bisa aktif mengikuti suatu pelajaran. Tugas pendidik/guru lah untuk mendiagnosa dan menangani masalah tersebut, bukan menjadikannya dasar untuk memvonis mereka dan mendikotomikan antara siswa pintar-siswa tak pintar atau siswa rajin-siswa tak rajin. Siswa butuh untuk diyakinkan bahwa mereka bisa. 




Ketika siswa sudah memiliki sense of ability, dampaknya akan muncul secara berkesinambungan, bukan sementara. Setelah memiliki sense of ability, saya sendiri jadi merasa nyaman dan secara mandiri menambah porsi belajar ilmu kimia yang kian hari kian menjadi salah satu mata pelajaran favorit saya waktu itu. Ternyata, persepsi mampu merubah aksi. Ketika siswa dibantu untuk merasa yakin bahwa mereka bisa, maka siswa akan dengan sukarela dan penuh kesadaran belajar secara mandiri dengan lebih maksimal. Help students achieve it, and they will achieve more!



Jumat, 12 Agustus 2016

Kyoto and Nara; How do they look like?




I was so happy to have an opportunity to have 3-day Trip to Kyoto and Nara last July 28th-30th. Many thanks to Miyagi University of Education who made it possible for me to have the Trip to Kyoto. It was an amazing trip. Not only did it quench my curiosity of traveling to Kansai area, but also give me chance to learn how Tourism was managed to be such a good package that it can draw many foreign tourists every year. I got amazed with how Japanese preserve their culture. Modernity and tradition co-exist in harmony shaping perfect picture about how the both things create superb civilization. Three days were too short for me, to be honest. There were too many places that i wished i could have explored more in Kyoto. 

Halal Ramen and Chicken Rice in Ayam-ya Restaurant
Dinner in Japanese style Restaurant




First Day
First day arriving at Kyoto, we visited several places like kinkakuji Temple, nijo castle, and Gion Center. Arriving at Kinkakuji Temple, i was amazed with beautiful architecture of a Temple refurbished with gold. Kinkakuji (Golden Pavilion) is a Zen Temple in northern Kyoto whose top two floors are completely covered in gold leaf. Kinkakuji was an impressive structure built overlooking a large pond, and is the only building left of Yoshimitsu's former retirement complex. I am always fond of historical sites. I was lucky that a guide explained us about the history of the constructin of Kinkakuji.   

The Gate of Nijo Castle







Cultural Show


Kinkakuji Temple 
Kinkakuji Temple

Pure Garden in Nijo Castle

Gion Center

The next site we visited in the first day was Nijo Castle. According to the guide, Nijo castle  was a former inn used by feudal lords who were visiting Kyoto during the Edo Period. In order to guarantee the safety of the important guests, the building has been equipped with secret pathways, trap doors, hidden escape routes and various other security gadgets. The castle was constructed with high degree of safety. It must have been perfect place for residing during Edo Period. Besides the unique architecture, Nijo Castle looked more awesome with the existence of beautiful garden and pool. It was such a  tranquil place to stay.   

Third place we visited in the first day was Gion District. This place was full of tourists, especially foreign tourist. Gion attracted tourists with its high concentration of traditional wooden machiya merchant houses. Visiting Gion was like going back to old ages, as the place still kept its traditional concept of building. A more accessible experience was the cultural show held everyday at Gion Corner at the end of Hanami-koji. Aimed at foreign tourists, the show was a highly concentrated introduction to several traditional Japanese arts and include short performances of a tea ceremony, ikebana, bunraku, Kyogen comic plays and dances performed by real maiko.   


Second day
Second day of the trip was a free time for everybody joining the trip to determine by himself/herself where to go or what to do. I made up my mind to visit Fushimi Inari and Nars Park. Fushimi inari was so iconic. Fushimi Inari Shrine (Fushimi Inari Taisha) is an important Shinto shrine in southern Kyoto. It is famous for its thousands of vermilion torii gates, which straddle a network of trails behind its main buildings. The trails lead into the wooded forest of the sacred Mount Inari, which stands at 233 meters and belongs to the shrine grounds. It was a must-visit place for me, so i put a priority on it. Despite hot sunny day and being crowded, i still could enjoy walking around Fushimi Inari and trekking its thousands gates.    


Selfie with Japanese Girls

Fushimi-Inari

Ayam-Ya; a Halal Restaurant located near Kyoto Station

Main Gate of Kyoto Station

Other place i visited in the second day was Nara Park. It took time to reach Nara Park, as i had to tahke train from Kyoto Station to Nara station for more thatn one hour, actually. The train ticket cost ¥710. Although taking time, but the trip was very joyful. I could see beautiful landscape in the bordering lands of the both prefecture along the trip. Unfortunately, i arrived at Nara station a bit late in the afternoon. It was already 4.30 p.m. Due to that, i could not visit Todaiji Temple, a temple with tall statue of Budha. However, managed to visit Nara Park. A park with lots of deers. It was amazing to se herds of domesticated deer in the park. I took lots of nice pictures there.    

Herds of Deers


Nara Park

Getting along with birds in front of Nara Station


Third Day
Time flew. I felt like it was very soon that i had to end up my trip in the third day. Yet, third day was amazing too, as we got chance to visit some most sought-after paces in Kyoto. In the third day, we visited at least three places. Having an opportunity to practice making Japanese special omiyage, visiting Sanjusangendo, and visiting Kyomizudera. Visiting the  last-mentioned was like a dream coming true.      









For me, traveling have many benefits. Fun or joy is a matter of course, yet finding different way of life, relishing new nuance or atmosphere, understanding how local people maintain their culture are also important, for those can improve my wisdom of life.



Dahlan

Miyagi University of Education

Sabtu, 06 Agustus 2016

Mewujudkan Budaya Membaca


Senang sekali rasanya ketika mendapatkan kabar bahwa kementerian pendidikan dan kebudayaan Indonesia sedang menggalakkan budaya membaca melalui program membaca buku 15 menit sebelum dimulainya pelajaran di sekolah-sekolah. Ini adalah pertanda positif makin terarahnya pendidikan Indonesia menuju kemajuan. Salut deh sama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies baswedan. 

Sekolah dan budaya membaca seharusnya memang seperti 2 sisi mata uang, yang tak bisa terpisahkan satu sama lain. Sudah sewajarnya sekolah yang berisi orang-orang yang sedang dalam proses membentuk kepribadian positif, mengasah keterampilan, serta mempertajam intelektualitas sangat akrab dengan membaca. Hanya saja, harus diakui bahwa ternyata budaya membaca tak selalu lekat dengan sekolah. Setidaknya, hal tersebut lah yang saya amati selama mengabdi menjadi pendidik di sekolah. Saya mempunyai hipotesis, bahwa prosentasi siswa yang menyukai membaca sangatlah sedikit. Ini menarik untuk menjadi objek penelitian, sebenarnya. Hipotesis tersebut saya dapatkan dari pengamatan saya terhadap kebiasaan siswa ketika berada di sekolah. Setidaknya, ini adalah kasus yang terjadi pada sekolah dimana saya mengajar. Namun, boleh jadi, hal tersebut merupakan cerminan dari kondisi siswa indonesia pada umumnya, bahwa sangat sedikit dari mereka yang mempunyai kebiasaan membaca. 


Saya sendiri sedari awal menjadi pendidik sudah menaruh perhatian yang cukup serius dengan penumbuhan budaya membaca pada anak didik saya. setidaknya ada beberapa hal yang telah saya lakukan sebagai upaya mewujudkan budaya membaca di sekolah yang saya ajar. Pertama, saya pernah merelakan diri menjadi perpustakaan keliling, meskipun tidak benar-benar keliling, karena yang saya lakukan hanyalah membawa beberapa buku pribadi saya ke sekolah dan menawarkannya kepada siswa, barangkali mereka tertarik untuk meminjamnya. Hal tersebut berlangsung beberapa bulan, hingga beberapa masalah yang muncul di kemudian hari membuat saya menghentikan kegiatan perpustakaan keliling saya, dan lebih mendorong optimalisasi pemanfaatan perpustakaan sekolah. 

Kedua, saya sempat membuat kelompok baca yang bernama “Reading Community”. Komunitas tersebut dimaksudkan untuk membentuk budaya membaca pada siswa melalui srangkaian kegiatan yang diorganisir oleh sebuah komunitas. Program-program yang dilakukan oleh Reading Community diantaranya adalah bedah buku mingguan, bedah film, diskusi, belajar menulis dan membuat majalah bulanan. Awalnya, kegiatan tersebut berjalan lancar, dengan peminat yang jumlahnya hampir mencapai 100 siswa. Begitu banyaknya siswa yang bergabung, saya pernah mengusulkannya menjadi sebuah kegiatan ekstrakurikuler. Hanya saja, hal tersebut tak mendapatkan persetujuan dari manajer sekolah, karena suatu hal. 

Ketiga, saya suka memamerkan buku kepada siswa. Sebelum dimulainya pelajaran Bahasa Inggris, saya membedah sedikit dari isi buku tersebut, dan menjelaskannya kepada siswa. Saya memahami bahwa siswa biasanya menyukai buku-buku self-help, yang berisi motivasi dan kata mutiara. Oleh karena itu, buku-buku bergenre motivasilah yang lebih sering saya bawa. Hal tersebut memicu diskusi yang cukup menarik, meski tak semuanya ikut berpartisipasi. 



Berbagai upaya saya lakukan untuk mempromosikan budaya membaca, namun tak mudah ternyata. Ada beberapa siswa yang termotivasi untuk membiasakan diri membaca. Namun, mereka pada umumnya adalah siswa-siswa yang memang sudah memiliki motivasi belajar tinggi. Sehingga, sedikit sentuhan motivasi saja, mampu menggerakkan inisiatif mereka untuk secara sadar dan mandiri membaca buku. 

Mempromosikan budaya membaca, sama saja dengan meyakinkan siswa bahwa membaca itu bermanfaat untuk mereka. Di sinilah kemampuan persuasi dibutuhkan. Sudah menjadi hal lumrah bahwa seseorang tak akan dengan secara sadar dan sukarela  mempelajari sesuatu, kecuali dia memahami dengan penuh keyakinan bahwa hal tersebut berguna bagi dirinya. Ada istilah AMBAK, yang merupakan akronim dari Apa Manfaatnya BAgiKu. Sebuah prinsip dalam pembelajaran bahwa hanya ketika pembelajar mengetahui apa manfaat dari hal yang mereka harus pelajari lah, mereka akan dengan sungguh-sungguh secara sukarela meluangkan waktu untuk mempelajarinya. 


Pendidik, sebagai fasilitator belajar siswa, sangat perlu memiliki kemampuan memotivasi siswa untuk menyukai membaca. Kadang, di sinilah letak masalahnya. Jangan kan untuk memotivasi siswa agar menyukai kegiatan membaca, untuk memotivasi diri sendiri agar menyukai membaca saja kadang terasa susah. Masih banyak pendidik (kalau tidak dikatakan sebagian besar) yang belum memiliki budaya membaca yang bagus. Pernah sesekali saya mengajak rekan pendidik berdiskusi tentang kebiasaan membaca. Sebagian besar mengeluhkan kurangnya waktu untuk membaca karena banyaknya tugas di sekolah. Seringkali, alasan yang saya dengar dari mereka sebagai alibi rendahnya frekuensi membaca mereka. Hal ini lah yang menjadi salahsatu akar masalah mengapa sekolah-sekolah di negeri ini banyak yang budaya membacanya masih rendah. Ketika guru yang merupakan fasilitator bagi proses belajar siswa saja tak menunjukkan keteladanan akan kecintaan terhadap aktivitas membaca, maka bagaimana mereka bisa memotivasi siswa untuk menyukai aktivitas membaca. 


Ternyata, menumbuhkan budaya membaca di lembaga pendidikan seperti sekolah tak bisa dilakukan hanya dengan one man show. Dibutuhkan partisipasi berbagai pihak untuk mewujudkannya. Program wajib membaca 15 menit sebelum pelajara dimulai yang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan merupakan angin segar bagi upaya menumbuhkan budaya membaca siswa. Pembentukan kebiasaan membaca kadang membutuhkan dorongan motivasi yang kuat. Namun, proses pembiasaan yang terikat dengan aturan juga bisa berpengaruh membentuk kebiasaan membaca. Semoga generasi pewaris negeri ini semakin lekat dengan budaya membaca. 






Jumat, 05 Agustus 2016

Campaigning Critical Education at Schools


Is it possible if students in Indonesia are wearing no uniform? it means that they are set to be free to wear any yet appropriate suite. They are not confined to wear certain uniform. I myself keep on questioning when and hiw the idea of wearing uniform at schools once first time commenced, and why should it have been so. 

No students inquire this “silly” question. Not because they have well understood about it, but it is most likely because they are not used to being critical to things in their surrounding. Exactly, that is due to the schools’ failure in evoking students’ critical thinking. The most common answer for this question might be because that is what commonly is, everywhere in the world, students are wearing uniform. 

I myself agree with the idea of wearing uniform when it is aimed at campaigning the sense of equality. Inside the idea of uniform, there implied value of equality. Meaning that students have no room to show their social status, as they are dressed in the same pattern,motive, and colors of clothe. There might be implied other values. Are students aware about this, how uniform come to being obligatory? I believe, most students are not aware of it. However, when uniform is simply a matter of must, because you are students, that is the big deal. It is against how education is supposed to be.




   
     




















          What is education? we can understand the definition of education as the process of facilitating learning, or the acquisition of knowledge, skills, values, beliefs, and habits (www.wikipedia.com). The acquisition of those aspects are not supposed to be through dogmatization. Students are human, and human need to be treated as human. How is treating students as human? It is by involving their mind, soul and heart to understand things. Make students understand all school regulations, their roles as students, not just take everything for granted, is how education should be.


Elementary and high school Students at schools must wear uniform, whereas university students mostly can be free in dressing up. Why does it happen? How could it be? How if no rules on dressing at schools? is it possible? In Japan, even, male university students can wear short pants. Whereas the girls can wear mini skirt. Even sometimes extremely miny skirt. Why indonesian students cannot be the same as them. The answer can be simple, that it is due to different values between the both countries. Different geograpgical condition also matters. But, have schools made students understand about it? and why never students question it? The answer is that critical thinking has not been well campaigned yet at schools.

My Trip to Minamisanriku; a Tsunami-impacted Area

MINAMISANRIKU EDUTRIP
June 4th-5th, 2016. 
Miyagi University of Education 


It was a blessing that i got chance to join an Edutrip to Minamisanriku, an area in northeastern part of Miyagi Prefecture which was devastated by Tsunami 2011. It was really fun and full of learning trip. There were 18 foreign students, several lecturers and administrative staffs of Miyagi University of Education joining the program. I really enjoyed the series of activities during the program.  

Day 1
All participants were to gather in sendai station at 8.30 a.m, where we set out the trip. It took 2 hours to reach Minamisanriku by Campus Bus. To me, the trip from Sendai to Minamisanriku was very fascinating as i managed to enjoy greenery on the right and left side of the road. 
The first spot we visited was Shizugawa bay. It was an area which was impacted by Tsunami in 2011. It’s condition today is very beautiful. A documentary picture and video described how this area was seriously devastated completely when it was stricken by Tsunami. We took a boat to wander around the bay for almost an hour. Wandering the bay was a breathtaking experience, as the place offered beautiful scenery. On the boat, we got explanation from a local tour guide about how the ecosystem in the bay was getting better  and better after Tsunami strike. More species existed and got richer in number. Some local people grew seaweed, sea urchin, khoya, oister, and salmon on the bay, as it had become a good habitat for those species. 
    


Peaceful atmosphere, the beauty of the scenery of the sea, and how surprisingly birds got along with us really made me feel a sense of perfectness on the harmony of nature. It triggered a willingness to be committed to conserve the nature on me. The guide explained that the locals’ awareness to look after the environment grew up much more significantly after the Tsunami. I felt it no wonder that the place looked so well-conserved. 
The guide also explained how some local people grow khoya. To my surprise, he let us try eating the khoya in raw condition. Just picked up from the sea water, chopped it into two parts and started eating the edible part of khoya. It was challenging for us, as it was going to be first time for us to eat khoya in a completely row condition. Not many of us dared enough to take that challenge, and i felt lucky that i dared enough to eat two pieces of khoya
After finished wandering the bay, we were served a super delicious lunch with seafood and Nori. I crazily ate a lot of seafood there. Not only because of being hungry, but seafood is my favourite. We had a talk with some local about how their plan will be to look after the area in the days after. After finished, we went on our journey for the next agenda, watching documentary film of tsunami, and had discussion about it. 



       In a bit late afternoon, we were introduced to some Homestay families. We were divided into groups of 3-4 students, and had to live with Homestay family. I was grouped with a Filipino and a taiwanese friend. We stayed with Japanese American family. I had no problem to communicate with the Homestay family as they spoke english very perfectly. Mr. Frank, the head of the family, was an American who was married with Japanese woman. He had lived in japan for more than 10 years. With the Homestay family, we did a lot of activities like chopping firewood, going to Mr. Frank’s private owned forest, enjoying hot spring at night, having discussion on current issues, watering some vegetables, and having ‘vegetarian’ dinner, and sightseeing. We spent a night in a wooden house owned by Mr. Frank located on a top of a hill. The house faced to perfect view of the sea. I would prefer calling it villa rather that a house. The location of the villa was quite far from crowds, tranquil, so natural, good for contemplating, yet very easily accessible.  





Day 2
Going to bed a bit late at midnight due to being engaged in passionating discussion, we woke up a bit late in the morning, at 8 o’clock. We were a bit rush to fix everything, as two hours later we had to arrive at checking point to see other participants and go on the next agenda. Mr. Frank had two houses, actually. First house was where he and his family lived, and the other was where guests like us stayed, the villa. To have a meal, we had to go to His main house. It took roughly 6 minutes by car to reach his main house. We had nice dinner with the Homestay family, before heading to checking point to meet the others. 
The first day of the trip was worth-remembering experience. 

3 hours visit to Matsushima

I thanked Miyagi University of Education a lot for bringing me to matsushima, because it was the place which i had been looking forward to visiting, yet never managed before. Matsushima is a bay in Miyagi prefecture - 25 km from the prefectural capital, Sendai - that is famous for its view of over 260 tiny pine-clad islands - "matsu-shima" meaning "pine islands." It is considered one of Japan's Three Great Sights (Nihon Sankei), and its beauty was immortalised in one of wandering haiku-master Basho's most famous poems.   


Trip to Matsushima took on hour by bus from minamisanriku. Matsushima is a very awesome place to visit. In Matsushima, i visited Zuiganji temple, an old temple built in 1606, Entsuin temple, Michinoku Date Masamune Museum, and matsushima coastline. I love tasting typical food of every place i visit, and in Matsushima i relished several kinds of food. It would have been more perfect if we could get in a boat and go offshore to se beautiful island on its nearby. But, we could not make it due to the limit of time. 
Overall, it was a wonderful experience. 

Dahlan 
Indonesia