Senin, 17 Juli 2023

Just let it go...

Kadang kita musti mengalah dengan keadaan. 

Kadang kita perlu membiarkan segala carut marut berserakan. 

Kadang kita perlu membiarkan apa yang tidak semestinya terjadi terjadi. 

Bukan untuk membenarkan sikap apatis kita terhadap keadaan sekitar. 

Bukan untuk membenarkan diri untuk tidak mempedulikan apa pun yang terjadi di sekitar kita. 

Di sini ada kata “kadang”, artinya jelas, bahwa semestinya kita memiliki sense of crisis dan kepekaan social. 

Sudah semestinya kita menjadi agen perubahan. 

Namun, ada kalanya kita membiarkan itu semua terjadi. 

Demi apa? Demi kesehatan mental dan jiwa kita. 

Sebagai orang yang memiliki idealism tinggi, wajar jika kita tidak nyaman ketika melihat perilaku buruk orang lain yang berdampak negatif terhadap banyak orang. 

Wajar jika kita tidak terima adanya ketimpangan social, ketidakadilan, perilaku korup, penindasan, mismanajemen, dan hal negative lainnya. 

Namun ada kalanya yang perlu kita lakukan adalah diam. 

Biarkan semuanya terjadi. Biarkan mereka menikmati keserakahan mereka. Biarkan yang bodoh memimpin. 

Biarkan orang-orang yang tak berkompeten diberi posisi strategis. Biarkan pemikiran-pemikiran tolol mewabah. 

Give yourself a break! Yang perlu jadi perhatianmu adalah kesehatan mentalmu. 

Ada kalanya kita perlu bersikap toleran dan masa bodoh. 

Yang penting itu kesehatan mentalmu. 

Tetap lah tersenyum kepada orang-orang jahanam, jika itu membuatmu nyaman. 

Jika kamu tak mampu untuk mengukir sesungging senyum kepada bedebah-bedebah itu, simpan senyummu. 

Biarkan nuranimu mendikte ekspresi wajahmu. 

Just give yourself a break! Sekali lagi, kesehatan mentalmu itu penting. Sangat penting. 

Jika dengan menjadi cuek itu menyehatkan mentalmu, lakukan itu. 

Sometimes you need to give no fuck about what is happening around you. 

“It is just shit, fuck, anjing, babi, kucing, bangsat, jiancok!” 

Kamu puas meluapkan sumpah serapah itu? 

Jika iya, lakukan itu. 

Ndak sopan, ndak mencerminkan statusmu sebagai pendidik? 

Persetan dengan penilaian dan validasi orang lain. 

Give yourself a break!

Sekali lagi, yang paling penting adalah kesehatan mentalmu.

Selasa, 11 Juli 2023

Kesehatan Mental dan Keberpihakan Kebijakan Pendidikan Pada Guru

 

Picture Source: https://www.mindsahead.org.uk

Perhatian pemerintah terhadap pendidikan bagi generasi Indonesia begitu besar. Secara berkala, kurikulum diperbaharui agar generasi kita memiliki kualitas yang relevan untuk menjawab tantangan zaman. Berbagai pelatihan pengembangan profesionalitas guru diselenggarakan agar mereka bisa memberi pelayanan yang lebih prima kepada generasi baru atau peserta didik. Berbagai program yang berorientasi pada wellbeing peserta didik dikampanyekan, seperti sekolah ramah anak, sekolah anti-bullying, dan lainnya. Begitu perhatiannya pemerintah terhadap generasi baru, sampai dewasa ini kita cukup familiar dengan istilah “pembelajaran yang berpihak pada peserta didik”, seolah-olah di periode sebelumnya para guru kurang berpihak pada peserta didik.

Menyelenggarakan pendidikan yang berpihak pada peserta didik memang sudah semestinya dilakukan. Kita tentunya ingin para generasi kita menjadi cerdas, berkepribadian luhur, memiliki berbagai keterampilan, dan berkarakter pancasilais. Namun pertanyaannya, kenapa istilah “keberpihakan terhadap para guru” tidak dikampanyekan dalam system pendidikan kita?

Pertanyaan ini mungkin terkesan out of the topic, namun sebenarnya sangat relevan dengan topic tentang keberpihakan terhadap peserta didik.

Bagaimana tidak? Guru adalah pihak yang berinteraksi langsung dengan para peserta didik. Mereka adalah ujung tombak pelaksanaan kurikulum. Sesempurna apa pun kurikulum didesain, guru lah yang menjadi pemain utama dalam melaksanakan kurikulum dalam praktik pembelajaran secara riil. Katakanlah kurikulum didesain sedemikian rupa kerennya. Namun kurikulum adalah benda pasif, yang membutuhkan guru-guru yang berkualitas untuk benar-benar menerapkannya.

Berbicara tentang kualitas guru, aspek yang sering mendapat perhatian adalah soal berbagai kompetensi yang meliputi pedagogik, professional, kepribadian dan sosial. Namun ada hal penting yang juga sangat berpengaruh terhadap kualitas guru, yaitu kesehatan mental, emosional, psikologis, dan fisik. Dalam ilmu psikologi, kesehatan mental, emosional, psikologi sering disebut dengan istilah Wellbeing. Dalam system pendidikan di Indonesia, Wellbeing sepertinya belum dianggap sebagai komponen penting dari kualitas seorang guru. Padahal, setinggi apa pun kompetensi guru, ketika mereka kurang sehat secara mental, emosional dan psikologis, apakah mereka bisa maksimal dalam mengupayakan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik? Tentunya tidak. Kita tidak bisa mengharapkan guru-guru yang kesehatan mental nya kurang bagus untuk bisa memastikan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik.

Oleh karena itu, semestinya pemerintah juga memperhatikan system pendidikan yang memiliki keberpihakan terhadap guru. Mungkin ada yang bertanya,  apakah system pendidikan kita selama ini kurang berpihak kepada guru? Sisi mana dari system pendidikan kita yang kurang berpihak kepada guru?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya ingin memberi gambaran tentang bagaimana system pendidikan yang berpihak pada guru dilaksanakan di sebuah Negara yang namanya Australia. Di Australia, guru diberi kebebasan untuk mendesain perangkat pembelajaran mereka. Format perangkat pembelajaran seperti apa pun diterima, asalkan mereka memiliki dasar argumentasi atas format tersebut. Dengan demikian, guru tidak dipusingkan dengan keharusan untuk menyiapkan berbagai perangkat administrasi pembelajaran dengan format baku yang seringkali berpotensi membuat mereka stress. Kebebasan berekspresi dalam mendesain perangkat pembelajaran memacu kreativitas para guru, dan membebaskan mereka dari stress. Dengan demikian, kesehatan mental mereka terjaga.

Kedua, guru-guru di Australia diberi jatah libur dengan durasi yang cukup signifikan. Australia menerapkan system triwulan untuk periode pembelajaran. Sementara Indonesia menerapkan system semester. Dalam setahun ada empat triwulan. Di setiap akhir triwulan, guru dan peserta didik diberi jatah waktu libur selama dua minggu. Di triwulan terakhir,  guru bahkan diberi jatah waktu libur sebanyak empat minggu. Sehingga, dalam setahun, guru-guru di Australia mendapat total sepuluh minggu untuk berlibur.

Mungkin orang bertanya, dengan banyaknya jumlah hari libur bagi para guru di Australia, apakah kualitas pendidikan di Australia menjadi merosot. Jawabannya adalah tidak. Australia masih merupakan salah satu dari sekian Negara dengan pencapaian hasil tes PISA dan TIMMS di atas rata-rata. Hasil tersebut selalu konsisten dari tahun ke tahun. Human Index Australia juga selalu tinggi dari tahun ke tahun.

Ternyata, kebijakan libur yang banyak bagi guru bukan hanya ada di Australia. Di berbagai Negara dengan system pendidikan yang maju lainnya, porsi libur bagi guru juga cukup signifikan. Jepang, Hongkong, New Zealand, berbagai Negara eropa dan amerika juga memiliki kebijakan serupa.

Lantas, apa relevansinya antara kebijakan libur bagi guru dengan kualitas pendidikan, dan mengapa harus dibahas dalam artikel in?

Jawabannya adalah, ada korelasi positif antara kebijakan libur dengan kesehatan mental para guru dan performa mereka dalam melaksanakan tugas pembelajaran.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh National Foundatuion for educational Research, sebagaimana yang dipublikasikan di www.theguardian.com, mengajar merupakan salah satu profesi dengan tingkat stress yang sangat tinggi dibanding pekerjaan lainnya.

Jadi, para guru menjalani sebuah pekerjaan yang rentan terhadap masalah kesehatan mental, emosional dan psikologis. Menyikapi fakta ini, system pendidikan seharusnya didesain untuk memberi keberpihakan terhadap para guru, agar mereka memiliki kesehatan mental yang bagus. Hal-hal yang berpotensi memacu stress guru semestinya ditangani oleh pemerintah, dan menjadi perhatian dalam perumusan kebijakan pendidikan.

Berkaitan dengan pertanyaaan tentang apakah system pendidikan di Negara kita belum berpihak pada guru, kita bisa melihat fakta yang ada. Guru-guru kita masih memiliki beban untuk menyiapkan administrasi dengan format tertentu yang seringkali memicu stress. Mereka semestinya diberi kebebasan penuh untuk mendesain perangkat pembelajaran mereka, asalkan mereka memiliki dasar argumentasi yang kuat. Terkait libur guru, pemerintah semestinya memberi porsi libur yang lebih. alih-alih memberikan porsi libur proporsional, para guru di Indonesia memiliki jatah libur yang sangat terbatas. Di Indonesia, kebijakan libur guru menjadi kewenangan pemerintah daerah. Di beberapa daerah, guru diberi jatah libur hanya sebanyak 12 hari selama setahun. Parahnya, jatah libur tersebut hanya bisa diklaim saat para siswa libur. Lebih parahnya lagi, kadang pejabat cabang dinas mengada-adakan aturan pembatasan yang lebih rumit lagi tentang libur. Di antaranya, guru hanya boleh mengambil cuti selama sekian hari setiap semester, dan tidak diperkenankan untuk mengambil jatah cuti penuh dalam satu periode waktu sekaligus.

Kenapa dalam artikel ini hanya membahas isu tentang perangkat administrative dan jatah libur? Apakah hanya itu yang menjadi isu yang berkaitan dengan kesehatan mental guru? jawabannya adalah tidak. Sangat banyak isu yang berkaitan dengan kesehatan mental guru. Dua contoh itu hanyalah dua dari sekian banyak isu yang ada.

Intinya, kebijakan pendidikan yang berpihak pada guru perlu diwujudkan. Kita hanya bisa berharap pada guru-guru yang terjamin kesehatan mental nya untuk mewujudkan pembelajaran yang berpihak pada peserta didik. Toh menurut penelitian ilmiah, kesehatan mental guru sangat berkorelasi positif dengan kualitas proses dan hasil belajar para peserta didik.