Sabtu, 13 Oktober 2018

Mengapa pelanggaran peraturan masih banyak dilakukan siswa?



Angka pelanggaran peraturan sekolah oleh siswa tahun ini luar biasa, terutama siswa angkatan paling tua.

Sontak, kondisi ini memicu resah yang cukup menyita perhatian.

Kenapa bisa terjadi berkali-kali, jumlah siswa membolos dalam satu kelas mencapai separuh, bahkan kadang lebih?
Kenapa bisa terjadi berkali-kali pelanggaran ketidakseragaman berpakaian?
Padahal sudah jauh hari aturan sekolah disosialisasikan.

Butuh evaluasi, refleksi dan diskusi yang dalam untuk menemukan solusinya.
Hingga aku menemukan titik cerah.

Selama ini peraturan dibuat dan diberlakukan tanpa memperhatikan psikologi siswa.

Siswa adalah manusia, yang sejatinya butuh untuk dimanusiakan.

Apa jadinya jika sebuah aturan dibuat, lalu disosialisasikan untuk dipatuhi tanpa adanya penanaman kesadaran dan penjelasan komprehensif kenapa peraturan tersebut diciptakan.

Manusia sejatinya tak ingin diperlakukan seperti robot, meski dalam takaran tertentu sedikit tindakan "robotisasi" juga perlu dalam upaya menanamkan kedisiplinan.

Mereka (siswa) perlu dipahamkan mengapa mereka perlu berseragam.
Penjelasan bahwa " hal itu sudah jadi peraturan sekolah" tentu tak akan menyentuh pangkal kesadaran mereka.

Siswa perlu dipahamkan mengapa mereka tidak boleh merokok di sekolah, sementara sebagian guru melakukannya di sana.

Siswa perlu dipahamkan mengapa mereka tidak boleh membolos sekolah, sedangkan di luar sana banyak orang yang bahkan tak mengenyam pendidikan namun bisa sukses.

Siswa perlu dipahamkan mengapa mereka harus memasukkan baju mereka ke dalam celana, sedangkan di luar sana orang2 yang bebas berekspresi dalam berpenampilan justru sangat dihargai.

Siswa perlu dipahamkan mengapa mereka harus memiliki model rambut tertentu, dan tidak boleh gondrong serta merubah gaya rambut sesuka mereka, sementara mereka tau bahwa dalam kehidupan nyata banyak orang berprofesi sebagai hairstylist yang justru dibayar mahal.

Pertanyaan yang mungkin muncul dalam pikiran siswa adalah " apakah mereka diikat oleh aturan di sekolah hanya untuk mrlawan kodrat kehidupan lumrah yang ada di dalam masyarakat?"

Ini bukan provokasi, namun mohon jadikan sebagai renungan bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pendidikan siswa di sekolah.

Jika manajemen sekolah tidak mampu/berupaya memahamkan siswa mengapa peraturan tersebut dibuat, dan tak bisa memastikan para siswa memahaminya, makan pelanggaran demi pelanggaran peraturan sekolah akan tetap selalu terjadi.

Mereka (siswa) adalah manusia, sama seperti para pendidik dan stakehokder yang butuh logika untuk melaksanakan peraturan.

Memahamkan mereka mengapa peraturan harus dilaksanakan adalah cara "memanusiakan manusia" yang semestinya dilaksanakan oleh sekolah.

Memberlakukan peraturan tanpa proses memahamkan siswa hanya akan dianggap dan dirasa sebagai perbudakan.

Kira-kira begitu.

Jumat, 16 Maret 2018

Kebiasaan membaca siswa kita sangat kurang?


https://www.pinterest.com/pin/447052700483061036/

https://blogs.lut.fi/studying-at-lut/what-makes-studying-comfortable-library-services/

www.solwayps.vic.edu.au



Berapa banyak siswa kita yang suka membaca?
Seberapa hidup kah perpustakaan-perpustakaan di sekolah-sekolah kita?.
.
.
Untuk mendapatkan jawaban pasti atas dua pertanyaan tersebut, tentu butuh penelitian ilmiah.
Namun, saya memiliki hipotesis bahwa jumlah siswa yang suka membaca jauh lebih sedikit prosentasenya dibandingkan dengan siswa yang kurang/tidak suka membaca.
.
Sekolah sebagai sebuah lembaga formal pendidikan sudah semestinya kental dengan budaya membaca yang tinggi.
Namun sepertinya hal tersebut tidak nampak dalam keseharian sekola-sekolah secara umum.
.
.
Saya amati, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan lesunya budaya membaca di sekolah.
....
Pertama, kurang adanya kampanye masif dari pendidik kepada siswa agar mereka gemar membaca.
Hal tersebut terjadi bisa karena sebagian pendidik kurang memiliki kesadaran bahwa mengkampanyekan membaca kepada siswa itu sangat penting untuk mereka lakukan.
Selain itu, bisa juga disebabkan karena PARA PENDIDIK sendiri KURANG SUKA MEMBACA.
Jika yang terakhir ini yang jadi faktor, maka hal yang perlu dibenahi untuk terciptanya budaya membaca tambah satu lagi, yaitu menyadarkan pendidik untuk suka membaca.
Siapa yang berkewajiban menyadarkan pendidik untuk gemar membaca?
Hmmm....
.
.
,"Siswa hanya akan mempelajari dsecara sungguh-sungguh sesuatu yang mereka anggap bermanfaat untuk diri mereka", begitu kata Bobby De Porter.
Agar siswa gemar membaca, maka pendidik harus mampu meyakinkan siswa bahwa membaca memiliki banyak manfaat bagi mereka.
Agar tidak terkesan teoritis, sehingga dianggap klise, maka pendidik perlu menjadikan diri mereka contoh tentang mendapatkan manfaat dari membaca.
Itu yang saya lakukan ketika berupaya meyakinkan anak anak didik saya.
Saya menjelaskan kepada mereka bagaimana pertama kali saya cinta membaca.
Saat saya menginjak tahun pertama mengenyam pendidikan di bangku kuliahm, saya diperkenalkan oleh seorang sahabat sebuah buku yanbg kemudiakn mengubah hidup saya.
Buku tersebut adalah buah karya Dale Carnegie, berjudul "How to win friends and influence people", bukunya Larry King "Seni berkomunikasi", dan bukunya David J Schwartz, "Thinking Big"..
Sebuah buku yang benar-benar menjawab masalah yang sedari lama saya hadapi, tentang kurangnya kemampuan saya menciptakan hubungan baik dengan orang lain, kemampuan komunikasi, dan masalah kepribadian lainnya.
saya praktikkan satu demi satu ide-ide sebagaimana yang disarankan oileh buku tersebut.
Hasilnya, luar biasa.
rasa percaya diri saya meningkat.
Kemampuan membina hubungan saya meningkat.
Kemampuan berkomunikasi saya meningkat.
Saya juga meyakinkan siswa saya bahwa membaca menjadikan saya mampu berkomunikasi dengan baik.
Ide-ide mengalir dengan begitu derasnya saat harus tampil melakukan publik speaking, bahkan ketika dalam kondisi tanpa persiapan panjang sekalipun.
Topik ini akan menarik bagi mereka yang merasa gagap ketika harus berbicara di depan orang banyak.
.
.
memberikan contoh kongkrit seperti itu memudahkan saya untuk masuk ke alam bawah sadar para siswa, sehingga mereka meyakini manfaat membaca.
Alhamdulillah..banyak siswa saya yang mulai terinspirasi dan terlihat geliatnya akan membaca.
.
.
Faktor kedua adalah soal fasilitas.
Coba lihat perpustakaan-perpustakaan di sekolah-sekolah kita.
Adakah diantaranya yang memiliki kondisi yang mampu menciptakan rasa nyaman para siswa untuk berada di dalamnya?
Saya teringat dengan kata-kata yang disampaikan oleh Gola Gong, seorang penulis dan pegiat literasi.
beliau menyampaikan bahwa saat merintis Rumah Dunia (yang ditujukan untuk menjadi ruang membaca bagi publik), beliau tidak serta merta langsung menghimbau masyarakat yang berkunjung ke rumah dunia tersebut untuk membaca.
Yang beliau lakukan adalah melengkapi Rumah Dunia dengan fasilitas yang membuat pengunjung merasa nyaman, seperti menyediakan kursi busa empuk, karpet yang enak untuk merebahkan badan berselonjoran, memastikan ruangan bersih dengan sistem sirkulasi udara yang baik, serta menyediakan fasilitas2 penunjang kenyamanan lainnya.
Awalnya mereka hanya sekedar menikmati duduk-duduk saja di ruangan.
Lama-kelamaan mereka tertarik juga untuk membuka-buka buku, hingga lambat laun pengunjung menjadi tertarik membaca.
.
.
Sekolah-sekolah sebenarnya bisa menciptakan ruang membaca (perpustakaan) sebagaimana yang ada pada Rumah Dunianya Gol A Gong.
Sumber dana yang dimiliki sekolah sudah jelas.
Apalagi perhatian pemerintah sudah semakin baik, dalam hal pengalokasian dana untuk pendidikan.
Hanya dibutuhkan kemauan untuk berpikir terbuka, dan mengeksekusi ide-ide kreatif untuk menunjang budaya membaca dari para stakeholder sekolah.
.
.
Mengenai perpustakaan, sekolah juga perlu memastikan bahwa pelayanan di perpustakaan sangat prima.
Para tenaga perpustakaan harus diberi pelatihan tentang pelayanan maksimal.
Hal-hal sederhana seperti kebiasaan senyum dalam menyambut penguinjung perpustakaan, sikap ramah dalam melayani, sangat perlu diperhatikan.
Lingkungan perpustakaan nyaman, namun jika tidak ditunjang dengan kenyamanan pelayanan pegawai perpustakaan maka minat siswa untuk berkunjung ke perpustakaan bisa turun, bahkan drastis.
.
.
Faktor yang ketiga adalah keteladanan dari para pendidik dalam hal membaca.
Jamak terjadi bahwa banyak pendidik yang mengeluh tentang beban kerja yang banyak, dan menjadikannya sebagai alibi atas kurangnya frekuensi membaca mereka.
Ini ironis memang.
sangat ironis jika pihgak yang seharusnya mengkampanyekan pentingnya membaca justru mereka sendiri tidak akrab dengan membaca.
.
.
Kebijakan pemerintah sudah sangat keren tentang kampanye literasi.
Namun itu tidak akan berjalan dengan maksimal jika pihak-pihak yang bersenthan langsuing dengan para siswa tidak melakukan upaya-upaya efektif dalam kampanye budaya membaca.