Minggu, 14 Februari 2021

Optimism is contagious

Picture: www.tacadallas.com

Kamu tau ndak, bergaul dengan orang optimis membuat kita tertular optimisme lho. Begitu pun bergaul dengan orang yang pesimis, kita bisa tertular pesimisme kalo kita tidak memiliki control diri yang kuat. Orang-orang yang optimis mampu menebarkan energy yang kuat, sehingga orang-orang yang ada di sekitar mereka juga menjadi optimis. Jika kamu ingin jadi orang yang selalu optimis, maka bergaullah dengan orang-orang yang optimis pula. 

Mungkin kamu bertanya, apakah sikap optimis adalah sebuah karakter bawaan. Jawabannya adalah, ternyata, sikap optimis merupakan akibat dari beberapa factor. Factor yang pertama adalah lingkungan pergaulan. Orang menjadi terbiasa bersikap optimis ketika dia selalu berada di lingkungan orang-orang yang optimis. Yang kedua, banyak orang yang bersikap optimis yang meyakini akan adanya kekuatan pada self-talk positif. Saat menghadapi masalah atau tantangan besar, tentu ada godaan untuk pikiran kita meyakini bahwa kita akan gagal. Namun, orang optimis meyakini bahwa pikiran adalah penarik dari kenyataan. Apa pun yang dipersepsikan, baik itu positif maupun negative, akan mewujud menjadi nyata. Seperti itulah hokum ketertarikan, atau law of attraction bekerja. 

Kesimpulannya, sikap optimis bukan lah bawaan. Ia adalah sikap yang terbentuk dari kebiasaan orang yang suka bergaul dengan orang-orang optimis, dan ia juga terbentuk dari kesadaran tentang hikum ketertarikan. Jika sudah menyadari akan kekuatan Law of Attraction, maka kamu akan memilih untuk selalu optimis, meyakini bahwa apapun yang ingin kamu wujudkan pasti terwujud, dengan kuasa Tuhan tentunya.

Jumat, 05 Februari 2021

Memetik Hikmah di Tengah Situasi yang Sulit

Tidak mudah untuk menerima kenyataan yang berbeda dari ekspektasi. Dalam konteks pengalaman yang sedang aku alami sekarang, misalnya. Ada banyak alasan kenapa aku memutuskan untuk mencari kesempatan studi lanjut ke jenjang Master/ S2. Ada alas an memperdalam keilmuan dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Ada alasan memperluas network dan pengalaman. Ada juga alasan pragmatis untuk mendapatkan titel yang di negeri ini masih terasa penting banget dalam konteks pekerjaan formal. Ada juga alasan untuk memiliki variasi hidup, lepas dari rutinitas yang menjemukan. Namun, semua terasa sirna dengan datangnya pandemic yang sebelumnya tak pernah ku duga. 

Bayangan indah hidup di negeri luar begitu menyenangkan. Setidaknya aku pernah memiliki pengalaman itu. Sehingga, visualisasi keindahan hidup di Negara luar yang maju begitu terasa nyata (tangible). Aku senang dengan vibe kampus ternama di luar negeri. Di sana ada banyak orang dari berbagai Negara. Mereka memiliki latar belakang budaya, bahasa, kepercayaan, adat kebiasaan, dan sebagainya, yang berada di antara mereka membuatku merasa semakin akrab dengan kemajemukan. 

Ada rasa bangga juga ketika dalam suatu kesempatan bisa menjadi ambassador bagi negeri sendiri. Dalam event-event internasional, misalnya, dimana aku terlibat dalam kegiatan-kegiatannya. Bertambahnya teman, sahabat, bahkan keluarga, saat berada di negeri luar, membuatku merasa hidupku berwarna. Banyak pengalaman di sana yang tak bisa ku dapatkan di negeri sendiri. Dan itu sangat memperkaya cakrawala wawasanku. Manusia boleh berharap dan berkehendak. Namun, kenyataannya, dalam hidup ini ada hal-hal yang ada di luar kuasa kita. Pandemi menyerbu, memupuskan banyak asa. 

Segala visualisasi keindahan pengalaman belajar di luar negeri terlihat abu-abu, saat tahu bahwa keadaan tidak memungkinkanku untuk berangkat ke Negara tujuan, hingga batas waktu yang entah sampai kapan. Aku harus menjalani perkuliahan dalam jarak, melalui piranti internet dan gadget. Harapan akan pengalaman menghabiskan berjam-jam di perpustakaan kampus harus tergantikan dengan scrolling dan surfing di perpustakaan kampus dalam platform digital. Kini canda tawa saat belajar kelompok dengan teman-teman kampus dari berbagai Negara tak bisa dirasakan, karena keharusan diskusi jarak jauh yang kadang diwarnai dengan kendala koneksi jaringan internet. Bayangan menghabiskan weekend di taman-taman kota, atau dengan menyusuri sungai nan jernih di Australia menjadi sirna. Kini, weekend ku harus kuhabiskan di rumah saja. Jangankan keluar negeri, ke luar rumah saja tak dianjurkan, dalam masa pandemic seperti sekarang ini. Sesekali membuka memori, melihat-lihat foto dan video semasa berada di Negara luar dulu, saat situasi masih normal. Kadang hal tersebut mampu sedikit menjaga kewarasanku. Setidaknya aku bisa tersenyum bangga pernah memiliki pengalaman-pengalaman itu. Hanya virtual vacation yang bisa kujalani. Ndak papa. Semua pasti ada masanya. Ada awalnya, pasti ada akhirnya.

Di masa seperti sekarang ini, aku tersadar bahwa rasa syukur itu perlu. Tuhanku masih menganugerahiku berbagai indera yang berfungsi dengan normal. Indera penglihatanku bisa aku pergunakan untuk mengakses kuliah jarak jauh. Pun dengan pendengaranku yang masih sempurna, yang dengannya aku bisa mendengarkan penjelasan dosen-dosenku dalam pembelajaran daring. Jari-jemariku masih bisa dengan lincah aku gerakkan di keyboard. 

Kurang alasan apalagi untuk bersyukur coba? Aku mencoba untuk meraba-raba, barangkali ada hikmah di balik ini semua. Alhamdulillah…kedua orang tuaku masih sehat, dan aku punya kesempatan untuk tinggal bersama mereka. Pengeluaranku juga terkendali, karena aku tak bisa banyak melakukan kegiatan bepergian yang biasanya menghabiskan banyak dana. Aku memiliki banyak waktu untuk merenung dan merumuskan apa-apa yang musti aku perbaiki dalam hidup. Momen seperti sekarang ini sangat tepat untuk melakukan evaluasi diri. Setidaknya itu hikmah yang bisa aku petik. Mungkin masih ada banyak lainnya. Kemampuan mengambil hikmah dari suatu peristiwa sangat dibutuhkan, agar kita bisa menerima keadaan. Agar kita masih bisa tersenyum di tengah kepahitan. Apapun itu, hidup ini adalah anugerah yang harus disyukuri, terlepas seperti apapun itu keadaannya.