Minggu, 10 Juli 2022

Menjalankan Program Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang Bermakna

“Masa pengenalan lingkungan sekolah seharusnya menjadi Masa untuk para peserta didik merumuskan visi pendidikan mereka secara jelas.”

 

Tahun ajaran baru 2022/2023 sudah dimulai. Mulai tanggal 11 Juli 2022 ini, sekolah-sekolah di berbagai jenjang pendidikan menjalankan program rutin awal tahun ajaran baru yang disebut Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS). Program tersebut biasanya berlangsung di minggu pertama tahun ajaran baru. Berbagai kegiatan yang dilaksanakan dalm MPLS biasanya dilaksanakan mengikuti ketentuan dari Perendikbud nomor 18 Tahun 2016 dengan penyesuaian yang selaras dengan karakteristik serta kondisi sekolah. Pada MPLS tahun ini, pengenalan profil pelajar Pancasila mendapatkan perhatian khusus. Lantas, apa sebenarnya peran strategis yang ada pada MPLS terhadap pendidikan peserta didik?

Sesuai dengan arahan Permendikbud Nomor 18 Tahun 2016, jelas disebutkan bahwa kegiatan MPLS tidak diperkenankan mengandung unsur kekerasan, perundungan, indoktrinasi pemahaman radikal negative, intoleransi serta kegiatan-kegiatan lain yang berdampak negatif dan minim unsur kemanfaatannya. Selain itu, pengenalan profil pelajar pancasila juga jelas menjadi penekanan dari program MPLS. Namun ada satu hal yang sepertinya sering dilupakan oleh para perumus kebiakan tingkat sekolah terkait MPLS, yaitu adanya ruang untuk mengkreasi kegiatan yang sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan kondisi sekolah serta lingkungan sekitar sekolahs. Idealnya, kegiatan MPLS dirumuskan secara serius oleh para pemangku kebijakan sekolah. Hasil evaluasi yang dilaksanakan pada kegiatan MPLS di tahun sebelumnya semestinya menjadi pedoman untuk memperbaiki kualitas program MPLS yang dilaksanakan di tahun ini. Begitu pun seharusnya MPLS tahun ini dievaluasi dan dijadikan sebagai referensi untuk lebih baiknya pelaksanaan MPLS di tahun berikutnya.

Sekolah semestinya tidak take this opportunity for granted. Kegiatan MPLS semestinya tidak dilaksanakan sekedar formalitas saja, dimana kegiatan-kegiatannya kurang bermakna dan para pengisi materinya kurang persiapan. Ini memang sebuah hipotesis, bahwa masih banyak sekolah yang melaksankaan kegiatan MPLS secara formalitas semata. Namun hipotesis ini bisa menjadi bahan refleksi bersama, apakah memang benar bahwa kegiatan MPLS di sekolah dilaksanakan hanya sebatas formalitas yang kurang makna.

Ada banyak peran strategis yang dimiliki MPLS untuk kemaslahatan para peserta didik. Yang pertama, MPLS semestinya mejadi momen untuk sekolah membantu para peserta didik merumuskan visinya dalam menjalani studi. Perumusan visi tersebut penting, agar peserta didik tidak melewatkan momen pendidikan selama sekolah dengan hanya mendapat ijasah saja. Belajar dari sekolah-sekolah keren seperti Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Insan Cendekia), di awal tahun ajaran baru, para peserta didik dibantu oleh para guru untuk menentukan rencana mereka setelah lulus sekolah nantinya. Banyak di antara peserta didik dari sekolah tersebut yang sedari awal masuk sekolah sudah memiliki gambaran jelas untuk melanjutkan pendidikan di Universitas impian mereka. Banyak diantara mereka yang merencanakan untuk mendaftar beasisiswa studi di luar negeri. Dengan memiliki visi yang jelas, mereka tahu apa saja yang harus mereka persiapkan untuk mencapai tujuan tersebut. Peningkatan prestasi akademik, penguasaan bahasa asing, keaktifan dalam organisasi, kemampuan komunikasi, wawasan luar, serta pengalaman aktif dalam berbagai kegiatan pengabdian sosial adalah hal yang mereka harus persiapkan untuk memperoleh beasiswa studi tersebut. Dengan memiliki visi yang jelas, proses pendidikan di sekolah akan bisa mereka jalani secara penuh makna. Para guru tidak perlu lagi bersuara keras memberikan nasihat kepada para peserta didik untuk belajar ketika mereka sudah memiliki kesadaran bahwa belajar tersebut merupakan bagian dari upaya mewujudkan visi mereka.

Memang tidak semua peserta didik memiliki minat untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Sebagian memilih untuk bekerja setelah lulus sekolah. Sebagian memilih untuk merintis kegiatan wirausaha. Apa pun visi yang dimiliki oleh peserta didik, yang jelas visi mereka harus terbentuk secara matang sejak mereka mulai menjalani kegiatan belajar di awal tahun ajaran baru. Ini adalah tugas para pendidik untuk membantu mereka merumuskan visi dan misi tersebut. MPLS memiliki posisi strategis untuk perumusan visi misi peserta didik tersebut.

Peran strategis MPLS yang kedua adalah membantu peserta didik untuk memahami apa itu belajar dan bagaimana cara belajar. Tidak semua peserta didik memiliki motivasi yang kuat untuk belajar. Bahkan sebagian dari mereka pasti ada (atau banyak) yang yang salah memahami konsep belajar. Sebagian peserta didik ada yang memahami bahwa belajar duduk di bangku menghadap meja untuk membaca buku. Sebagian dari mereka mengira bahwa belajar adalah menghafal materi. Sebagian lainnya berpikir bahwa belajar adalah mempersiapkan diri utnuk menghadapi ujian. Kalimat-kalimat ini saya utarakan berdasarkan pengalaman saya sebagai pelajar yang pernah salah dalam memahami konsep belajar, dan pengalaman sebagai guru yang mengamati para peserta didik yang tidak paham tentang konsep belajar.

Peserta didik perlu diberi pemahaman tentang cara efektif untuk belajar. Mereka perlu diperkenalkan dengan keberagaman pendekatan yang sesuai untuk mempelajari berbagai mata pelajaran. Mereka perlu diberi pemahaman tentang karakteristik otak sehingga tahu bagaimana memaksimalkannya untuk proses belajar efektif. Mereka perlu diberi pemahaman tentang kecenderungan individu dalam mengelola informasi secara efektif. Mereka perlu diberi wawasan tentang berbagai sumber belajar yang mereka bisa akses, agar tidak bergantung pada bahan ajar yang ditentukan oleh guru. Semua itu penting, karena pada kenyataannya banyak peserta didik yang tidak memahami tentang konsep belajar efektif. Tanpa mengetahui itu semua, mereka akan terjebak dalam trial and error pada proses belajar mereka, yang berpotensi bisa memunculkan persepsi negative terhadap aktivitas belajar seperti bahwa belajar itu sulit, belajar itu membosankan, belajar itu tidak menyenangkan.

Peran strategis MPLS yang ketiga adalah memperbaiki mindset peserta didik tentang pendidikan. Berapa banyak peserta didik yang merasa terbebani oleh peraturan sekolah, sehingga mereka menjalani aturan dengan keterpaksaan. Berapa banyak peserta didik yang merasa kedisiplinan merupakan belenggu bagi kebebasan, karena mereka belum tersadarkan akan pentingnya disiplin. Berapa banyak peserta didik yang belum memahami pentingnya karakter, sehingga mereka abai terhadap kebiasan-kebiasaan kecil yang sebenarnya bisa mewujud menjadi karakter yang menentukan nasib merka di masa depan. Hal-hal seperti itu perlu dijelaskan kepada para peserta didik di awal tahun ajaran baru. Dengan demikian, ada potensi bahwa mereka menjalani proses pendidikan di sekolah dengan penuh kesadaran, bukan keterpaksaan.

Masih banyak peran strategis progam MPLS yang bisa dirumuskan dan dilaksanakan oleh sekolah. Yang jelas, schools should never take MPLS for granted. MPLS jangan hanya dilaksanakan sebagai kegiatan formalitas semata. Ia harus dirumuskan dan dilaksanakan sebagai program yang penuh makna bagi para peserta didik.


Rabu, 06 Juli 2022

Naik Rollercoaster atau Boomboom Car?: Respon terhadap The Subtle Art of not Giving a Fuck

  

Membaca buku The Subtle Art of Not Giving a Fuck, ada satu bagian menarik yang membuat beberapa orang memilih sikap untuk tidak membuat target besar dalam hidup. Sikap tersebut diilhamdi oleh bagian dari buku tersebut yang menyatakan bahwa dalam hidup ini, hal-hal yang membuat kita kecewa kadang adalah goal yang terlalu besar. Seringkali, goal yang kita ciptakan tidak bisa kita raih, dan itu lah sumber dari kekecewaan yang berujung ketidakbahagiaan.

Sebagai seorang pembaca kritis, aku tidak sepenuhnya setuju dengan semua pemikiran yang disampaikan oleh penulis melalui suatu buku, meskipun buku tersebut adalah buku super best-seller tingkat dunia. Dalam hal ini, aku juga tidak sepenuhnya setuju untuk akhirnya tidak membuat goal besar dalam hidup, hanya karena itu berpotensi menimbulkan kekecewaan. goal dan kekecewaan adalah dua hal yang seringkali muncul dalam satu paket. Tidak ada yang salah dengan keduanya. Semua orang yang sukses besar dalam bidang masing-masing pasti pernah merasakan kekecewaan. konon, Thomas Alfa Edison pernah melakukan ratusan percobaan sebelum akhirnya menemukan lampu pijar yang bermanfaat bagi manusia di seluruh bumi. Dalam tiap percobaan yang gagal, pasti lah ada rasa kecewa, karena harapannya tidak sesuai dengan kenyataan. Andai dia berhenti mencoba demi menghindari rasa kecewa, mungkin dia tidak akan tercatat dalam sejarah sebagai seorang penemu besar.

Aku sendiri pernah mengalami berbagai kekecewaan karena tidak sesuainya realita dengan harapan. Saat masih kuliah S1, aku pernah mencoba mengikuti berbagai seleksi program pertukaran pemuda ke antar Negara (PPAN). Itu adalah salah satu mid-term goals yang benar-benar aku dambakan untuk aku raih. Betapa kecewanya aku ketika aku gagal berkali-kali sampai aku tidak pernah sama sekali mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program tersebut. Kegagalan tesebut semakin terasa menyesakkan dada ketika aku mengingat proses persiapan yang alku jalani yang menurutku sudah sebegitu maksimalnya. Dari setiap kegagalan seleksi program PPAN tersebut aku selalu evaluasi diri untuk menemukan aspek mana yang aku harus perbaiki. Setiap evaluasi, aku selalu mendapatkan pelajaran. Ternyata aku masih kurang dalam hal kecakapan komunikasi, wawasan, penguasaan wawasan dan praktik budaya, serta teknik menjalani wawancara. Dari evaluasi tersebut, aku banyak-banyak belajar. Di antara sekian banyak kekurangan, strategi menjalani wawancara adalah hal yang menurutku paling kurang pada diriku. Setelah belajar banyak tentang wawancara melalui berbagai sumber, memiliki kebiasaan membaca dan serta praktik public speaking dengan jam terbang yang cukup tinggi, sekarang wawancara adalah bagian yang paling aku sukai. Aku merasa sangat well-prepared dengan wawancara apa pun, baik wawancara kerja, seleksi beasiswa, maupun wawancara apa pun. Hasilnya, dalam rentang waktu 10 tahun, aku mendapatkan empat program beasiswa bergengsi untuk studi di berbagai kampus ternama luar negeri.

Melalui tulisan ini, aku ingin meyakinkan pembaca bahwa taka pa jika kita pernah merasakan kecewa. Tak apa jika dalam hidup kita tidak dapat meraih semua goal. Tidak masalah jika kita kecewa dan menangis saat kita tidak meraih goal yang kita tetapkan. Yang bermasalah bukan melesetnya goal atau rasa kecewa yang melanda, melainkan sikap kita dalam menjalaninya. Orang bijak akan menyikapi kekecewaan sebagai pembelajara untuk menempa diri. Sementara orang yang masih perlu belajar tentang hidup akan bersikap bahwa kekecewaan adalah hal yang mutlak harus dihindari.

Hidup adalah soal pilihan. Ada orang yang memilih untuk hidup datar-datar saja, nyaman-nyaman saja. Namun yang perlu diingat adalah hidup sesingkat ini akan terasa sia-sia jika hanya dijalani datar-datar saja. Lagipula, apakah ada jaminan bahwa orang yang tidak ber-goal besar akan terbebas dari rasa kecewa? Belum tentu. Kata orag bijak, ketika seseorang berhenti bermimpi besar, justru dia adalah laksana prajurit yang sudah kalah duluan sebelum berperang. Setiap pilihan hidup ada konsekuensinya masing-masing. Menetapkan tujuan besar beresiko kecewa jika tidak berhasil meraihnya. Namun ia berpotensi menjadikan seseorang meraih sukses besar. Menetapkan tujuan hidup yang kecil mungkin menghindarkan seseorang dari rasa kecewa atas tidak diraihnya tujuan besar. Namun apa lah artinya hidup yang dijalani tanpa pernah kita mempertaruhkan hal terbesar kita.

“Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan”.

Selasa, 05 Juli 2022

Mempraktikkan Kaizen: Solusi nyata untuk overwhelmed, cognitive overload, procrastination, dan low productivity

Pernah ndak kamu merasa overwhelmed dengan banyaknya rencana dan keinginan? Rasanya tuh pikiran seperti penuh sesak, seolah taka da ruang. Aku sendiri pernah berencana untuk menulis beberapa judul buku. Masing-masing judul kubuatkan strukturnya, termasuk daftar isi nya. Rasanya semua topik dari buku-buku tersebut penting semua. Namun apa yang terjadi? Aku mengalami cognitive overload. Pikiran terasa seperti mengalami burnout yang luar biasa, hingga enggan untuk memulai yang mana.

Aku juga pernah membuat berbagai rencana untuk mengguasai beberapa skill. Dari skill videografi, fotografi, digital marketing, memasak, copywriting, academic writing, popular writing, public speaking, dan export dan importing. Sebagian skill sudah aku miliki. Namun mostly belum aku capai. Sama seperti kasus ingin menulis buku, aku juga mengalami cognitive overload dalam upaya mencapai target pencapaian berbagai skill tersebut.

Belakangan aku tersadar akan apa yang menjadi akar masalah. All kinds of accomplishment need momentum. Saat momentum dating, jangan menunda untuk memulai dan menyelesaikannya. Inspirasi datang setiap saat. Saat ia datang, segerakan untuk mewujudkannya hingga titik pencapaian maksimal. Ketika tergerak niat untuk mencapai sesuatu, menulis sebuah buku misalnya, maka segeralah memulai menulis. Jangan hanya berhenti pada penyusunan struktur dan daftar isi saja. Mulai lah menulis satu demi satu sub bahasan. Jangan berharap untuk sempurna di setiap penulisan. Selesaikan dulu draft pertamanya, baru nanti lakukan penyempurnaan. Saat ada keinginan untuk menguasai suatu skill, lakukan segera Latihan untuk menguasai skill tersebut. Jangan menghabiskan waktu lama untuk menunggu. Ingin menguasai videografi, segera pelajari Teknik-tekniknya melalui berbagai sumber, dan praktiklah segera. Kira-kira begitu lah hal paling masuk akal jika ingin terbebas darin cognitive overload dalam mencapai apa yang kita targetkan.

Cognitive overload slows down our productivity. Itu nyata. Orang yang mengalami cognitive overload cenderung bingung mau melakukan apa. Sehingga, justru dia tidak melakukan apa-apa, hingga waktu terbuang percuma. Itu lah kenapa dikatakan bahwa cognitive overload menyebabkan kurangnya produktivitas. Prinsip Kaizen sepertinya layak untuk dipraktikkan. Tak perlu menghabiskan berpuluh-puluh jam dalam satu waktu usaha. Cukup menyempatkan waktu walau hanya satu jam setiap hari secara konsisten. Konsistensi akan melahirkan prestasi. Konsistensi akan menumbuhkan rasa percaya diri. Sense of accomplishment sangat penting, karena ia akan meyakinkan diri bahwa diri ini BISA.

Satu lagi. Jangan menunggu mood baik untuk memulai atau melanjutkan melakukan sesuatu. Mood baik bisa distimulasi. Contohnya begini. Saat ingin menulis dan mood belum baik, maka segeralah akses laptop. Cobalah berkomitmen untuk menuliskan apa pun selama lima menit tanpa menghiraukan distraksi apa pun seperti membalas pesan, mengangkat telpon, atau apa pun. Benar-benar lakukan dengan penuh komitmen. Hanya lima menit saja. Dalam banyak praktik, berkomitmen melakukan suatu aktivitas selama lima menit akan mengantarkan kita pada kondisi flow. Sebuah kondisi dimana kita merasa Pe-We dalam melakukan suatu aktivitas sehingga kita benar-benar menikmatinya dan tak mempedulikan seberapa pun lamanya waktu yang berlalu.

Banyak orang yang memiliki kebiasaan menunda (procrastination). Kebiasaan tersebut bahkan kadang berubah menjadi karakter. Ketika sudah menjadi karakter, maka orang akan merasa tidak nyaman jika tidak menunda. Ada perasaan bahwa justru terasa aneh jika bersegera melangkah dan menyelesaikan suatu Kebiasaan menunda biasanya berawal dari mindset yang salah bahwa melakukan sesuatu itu harus menunggu datangnya mood yang bagus. Padahal yang benar adalah mood itu bisa distimulasi, sementara bersegera melangkah adalah hal yang semestinya dilakukan.

Merasa overwhelmed dengan segala target pencapaian sangat lah melelahkan. Kondisi tersebut membuat seseorang menjadi tidak produktif. Begitu banyaknya target pencapaian kadang juga menimbulkan cognitive overload. Hal tersebut tidak bagus untuk mental, emotional, dan psychological wellbeing kita. Cognitive overload kadang membuat seseorang terjebak untuk menunda melangkah, menunggu momen yang tepat dan mood yang bagus. Karena menunggu mood yang baik, akhirnya seseorang terjebak pada kebiasaan procrastination. Procrastination bisa menjelma menjadi sebuah karakter, yang dalam tataran tertentu bisa sulit untuk dirubah. Oleh karena itu, prinsip kaizen sangat perlu untuk diterapkan. Milikilah kebiasaan dan komitmen untuk melangkah secara konsisten dan berkesinambungan. Progress kecil yang dicapai secara terus menerus dan konsisten akan berujung pada diraihnya pencapaian besar. Hal tersebut jauh lebih penting daripada berharap kesempurnaan namun abai terhadap langkah-langkah kecil yang disegerakan.