Selasa, 09 Agustus 2022

Kamu Tuh Bekerja atau Dipenjara?

 

Orang bertahan dalam suatu pekerjaan biasanya karena mendapatkan salah satu atau dua hal sekaligus, yaitu gaji yang besar atau kepuasaan batin (passion) atas pekerjaan tersebut. Jika seseorang tidak mendapatkan keduanya, dan masih bertahan dalam suatu pekerjaan, hal tersebut bisa jadi karena salah satu dari dua hal atau keduanya, yaitu kebodohan dan atau ketiadaan pilihan yang lebih baik.

Ini adalah hal yang aku refleksikan dalam perjalananku mejadi seorang pegawai negeri. Menjalankan profesi sebagai seorang guru adalah sebuah kepuasan batin. Namun menjalaninya sebagai sebuah rutinitas kadang terasa menjemukan. Jujurly, di profesi yang aku jalani ini, tenaga, waktu dan pikiranku terkuras habis. Mana ada waktu untuk “nyambi” menjalani profesi lain seperti berwirausaha. Memang benar bahwa aku punya waktu akhir pekan. Namun ketika kita menjalani model pekerjaan yang full time 5 hari dalam seminggu, maka akhir pekan adalah waktu yang hanya tepat untuk berlibur merilekskan pikiran dan badan.

Untuk menjadi seorang guru yang profesional, aku perlu fokus dengan pekerjaanku. Senin sampai jumat, pukul 7 pagi hingga 3.30 sore, aku curahkan segala tenaga pikiran dan waktuku untuk menjalani profesi ini. Untuk menjadi seorang profesional, dalam konteks pekerjaan apa pun, seseorang tidak bisa setengah-setengah. Harus fokus.

Di negara-negara maju, menjadi seorang profesional adalah hal yang rewarding, karena effort yang mereka dapatkan setara dengan income yang mereka raih. Di australia, contohnya, seorang guru profesional memang nampak begitu sibuk penuh dedikasi. Namun mereka mendapatkan reward yang sepadan, berupa gaji bulanan yang nilainya bisa dipake untuk membeli lima hingga sepuluh Iphone. Maka, bekerja dengan penuh totalitas di negara tersebut rasanya worth it banget. Sementara di beberapa negara lain yang belum maju, dedikasi tinggi terhadap profesi kadang tidak sepadan dengan reward yang diraih.

Sekarang aku ingin membahas pekerjaan yang aku jalani. Aku merasa seperti susah membedakan antara sedang bekerja dengan sedang dipenjara. Aku memang bekerja di bidang yang aku suka, yaitu mengajar. Namun konsekuensi dari menjadi pengajar di negeriku ini, terlebih dengan statusku sebagai seorang pegawai negeri sipil, membuatku merasa seperti terpenjara. Bagaimana tidak, aku bekerja fulltime dari senin ke jumat dan dari pukul 7 pagi hingga 3.30 sore setiap minggu. Sementara, aku tidak mendapatkan porsi libur yang cukup. Izin cuti tahunan hanya diberikan dengan jumlah 12 hari, dan itu pun hanya bisa dimanfaatkan saat murid libur sekolah. Parahnya, pengajuan cuti tersebut pun belum tentu disetujui. Aku memang sedang bekerja, namun rasanya beda tipis dengan dipenjara. Aku memang tidak dikerangkeng dalam jeruji besi, namun sistem yang ada membuat ruang geraku sangat terbatas.

Lantas apa? Apakah ini adalah sebuah keluhan? Lalu bagaimana ujungnya? Apakah aku harus resign? Apakah aku tidak perlu totalitas dalam bekerja? Apakah aku tidak perlu menjalani pekerjaan ini secara profesional? Atau bagaimana?

Bukan, bukan itu! Aku harus menata ulang plot hidupku. Mau apa aku kedepannya?

Yang jelas trajectory dari pekerjaan yang aku jalani ini sudah begitu crystal clear. Jadi guru, jadi kepala sekolah, jadi pengawas, kalo ada shortcut ya bisa jadi pejabat dinas yang memiliki akses kebijakan publik, pensiun dan menua. Setidaknya seperti itu gambaran jelasnya. Menarik? Rasanya seperti menonton sebuah film yang aku sudah tau alur ceritanya.

Ini aku sedang bekerja ataukah dipenjara?

Apa pun keadaannya, meskipun aku merasa seperti dipenjara, aku tetap harus menunjukkan profesionalisme yang tinggi. “Emas akan menemukan jalannya untuk keluar dari perut bumi”, kata pepatah yang aku karang sendiri. Profesionalitas yang aku jalani tetap akan memberiku reward besar di kemudian hari. Jadi, tetaplah profesional dalam menjalani profesi sebagai seorang pendidik dan ASN.

 

Minggu, 07 Agustus 2022

Kembali Untuk Mengabdi Lebih Baik Lagi

 

Kembali ke rutinitas mengajar di sekolah, rasanya bukan seperti kembali ke tempat pulang, melainkan berada di tempat dan situasi yang asing bagiku. Aneh, memang. Aku justru merasa lebih nyaman dan lebih homy tinggal di Adelaide dan Sendai, dua kota di negeri luar yang pernah jadi tempat tinggalku untuk waktu yang cukup lama. Di tempatku mengajar ini, aku seperti orang yang harus memulai semuanya dari nol. Aku merasa seperti orang yang harus melakukan proses penyesuaian, sebagaimana biasanya dialami orang-orang yang baru memulai kehidupan di tempat yang baru.

Aku datang kembali ke sekolah ini dengan membawa segudang ide yang aku dapatkan dari tempat studi S2 ku, The University of Adelaide. Aku datang dengan ide-ide revolusioner penuh terobosan. Harap-harap cemas juga aku ini, menantikan apakah aku akan bisa mewujudkan semua ide ku atau tidak. Beruntung, sepertinya kepala sekolah yang baru cukup terbuka dan mau mendengarkan berbagai masukanku.

Diskusi dengan kakak kandungku, aku mendapatkan suntikan motivasi dan perubahan mindset, bahwa hidup harus dijalani dengan POSITIF. Berkata yang positif. Bertindak yang positif. Berpikir yang positif. Berkawan dengan orang-orang positif. Berdiskusi tentang hal-hal yang positif. Kesannya klise, namun stay positive ini telah terbukti merubah hidup banyak orang.

Aku memang merindukan untuk kembali ke Australia, terutama kota Adelaide. Namun aku harus memaksimalkan waktu untuk berbakti, mengabdi dan mengaktualisasikan segala ide cemerlangku terkait pendidikan. Aku pastikan cara mengajarku jauh lebih baik dari sebelum aku studi di Australia. Aku pastikan kiprahku, kontribusi ide-ide ku ke sekolah jauh melebihi kontribusiku sebelumnya. Aku pastikan diriku adalah orang yang terdepan dalam memberikan ide pembaruan di sekolah tempatku mengajar.

Tulisan-tulisanku akan menjadi bahan renungan banyak orang, dan mewujud ke dalam program-program riil yang berdampak nyata.