Kamis, 16 Juni 2016

Di Jepang, voluntary work kok bisa jadi hobi ya?

Picture taken from http://blog.frontiergap.com/

Ada satu fenomena menarik yang saya amati selama hidup di Jepang. Fenomena tersebut yaitu bahwa masyarakat Jepang banyak yang gemar melakukan voluntary works atau kerja sosial yang bersifat sukarela. Namanya saja voluntary, tentunya pekerjaan yang dilakukan tak berlandaskan motif profit, alias tak mengharapkan imbalan materi apapun. Kegemaran melakukan voluntary works tidak saja dimiliki oleh orang yang sudah lanjut usia, tapi juga mereka yang masih muda. 


Ada beberapa pengalaman yang menjadikan saya menyimpulkan bahwa voluntary works memang sudah menjadi kegemaran masyarakat Jepang. Pertama kali saya tiba di Jepang, oktober 2015, saya dihadapkan pada banyak urusan yang harus saya selesaikan. Hal-hal yang harus saya selesaikan berkaitan dengan status saya sebagai orang baru di Jepang adalah mengurus residence card, insurance card, membuka rekening bank, mendaftarkan alamat tempat tinggal ke kantor pos, dan menjalani masa orientasi untuk memperkenalkan diri dengan lingkungan sekitar. Saya merasa beruntung sekali. Keterbatasan saya dalam berbahasa Jepang tak menjadi halangan untuk mengurus semua hal tersebut, karena ada beberapa orang Jepang yang membantu saya mengurus segala keperluan tersebut. Mereka rela membantu saya dan teman-teman dari berbagai negara lain untuk menyelesaikan urusan-urusan birokrasi dan administrasi tersebut. Mereka rela menyempatkan waktu beberapa hari hanya untuk mengurus urusan kami. Saya sempat kepo dengan keberadaan mereka. Apakah mereka dibayar untuk membantu kami atau tidak. Belakangan saya mendapatkan jawaban dari sumber informasi yang valid bahwa mereka adalah para pekerja sukarela yang tergabung dalam sebuah grup yang bernama Mori Group. Selain membantu orang asing mengurus berbagai urusan administrasi, para anggota mori group juga mengadakan bazar barang-barang super murah yang menjual barang-barang kebutuhan pokok seperti futton, selimut, peralatan masak, pakaian, dsb, dengan harga yang sangat-sangat murah. Saya sendiri kurang begitu paham bagaimana mereka mendapatkan barang-barang tersebut. Mereka juga mengadakan lotre penjualan 40 sepeda bekas yang masih bagus kondisinya, dengan harga yang sangat murah. Ratusan orang yang sebagian besar adalah orang baru dan berasal dari berbagai negara rela mengantri untuk mengharap keberuntungan membeli speeda mura dengan cara lotre. mereka yang nomer lotre nya disebutkan berhak membeli sepeda bekas tersebut. Meski mereka tetap masih harus mengeluarkan sejumlah uang untuk membeli sepeda tersebut, mereka rela mengantri dan antusias mengikuti acara lotre sepeda tersebut, karena memang harga yang ditentukan sangat jauh di bawah harga sepeda pada umumnya. Saya sangat beruntung menjadi salah satu dari 40 orang yang mendapatkan lotre untuk membeli sepeda tersebut. Selain itu, Mori Group juga mengadakan jamuan makan siang bagi ratusan mahasiswa. Itu semua mereka lakukan dengan biaya yang mereka keluarkan sendiri, tanpa meminta sponsor dari pihak mana pun. Itulah pengalaman pertama saya mendapatkan banyak kebaikan dari orang-orang Jepang yang menjadi pekerja sukarela. 

Picture taken from www.relatably.com

Satu tahun pertama kuliah di Jepang, saya tinggal di Tohoku University international House, sebuah apartemen/asrama dengan fasilitas lengkap yang dimiliki Tohoku University. Di dalam asrama tersebut terdapat sebuah lobi yang berukuran sangat lebar, dan biasa dipakai untuk acara pesta dan pertemuan besar. Selain luas, ruang lobi tersebut juga dilengkapi dengan fasilitas tempat duduk berupa sofa yang sangat empuk dan nyaman diduduki, koneksi internet 24 jam, pemanas ruangan yang sering dipakai dikala musim dingin, dan sebuah alat musik, piano. Hampir setiap sore, di sudut ruangan ada orang yang memainkan piano tersebut. Terlihat seseorang sedang berperan sebagai pengajar, dan seorang lainnya menuruti instruksi yang diberikan oleh pengajar. Karena dalam lobi tersebut terdapat banyak sofa yang sangat nyaman untuk diduduki, seringkali saya tergoda untuk duduk sambil mengamati orang yang sedang berlatih memainkan alat musik tersebut. Pernah terbersit pikiran unutuk mencoba memainkan piano, namun segera hati membantah, karena sepertinya biaya les privat untuk belajar apapun di Jepang cukup mahal. Saya sempat menanyakan kepada seorang teman perihal biaya les musik di ruang lobi yang sering jadi tempat tongkrongan saya. Ternyata, ibu berusia lanjut yang hampir setiap sore mengajari beberapa orang bermain piano tersebut adalah pekerja sukarela (voluntary worker). Dia rela datang ke University House hampir setiap sore untuk mengajari orang bermain piano. Ingin sekali saya mengambil kesempatan tersebut. Terlebih, ibu pengajar piano tersebut ternyata mampu berkomunikasi dealam bahasa Inggris. Jadi, tentunya tak ada kendala dalam memahamii instruksinya. Hanya saja, waktu yang cukup terbatas menjadikan saya megurungkan niat tersebut. 

Picture taken from www.blog.frontiergap.com

6 bulan pertama berada di Jepang, kegiatan rutin yang saya lakukan adalah mengikuti program belajar bahasa Jepang secara intensif di kampus Kawauchi, Tohoku University. Di kampus tersebut, saya berteman dengan banyak orang dari berbagai negara. Salah satu hal yang menurutku unik yang ada di kampus tersebut adalah adanya sebuah ruangan khusus untuk makan siang gratis yang buka setiap hari senin dan kamis. Ruangan tersebut memang disediakan oleh pihak kampus, namun yang mengisi ruang tersebut adalah beberapa orang lanjut usia yang merupakan pekerja sukarela. Tepat jam 12 siang, mereka mempersilakan mahasiswa, terutama mahasiswa asing yang berada di kampus tersebut untuk bergabung dengan mereka makan siang bersama. Sembari makan siang, mereka mengajak para mahasiswa bercakap dalam bahasa Jepang. Tentunya, niat mereka adalah memfasilitasi mahasiswa asing memperdalam kecakapan berbahasa Jepang mereka. Hal tersebut ternyata telah mereka lakukan selama bertahun-tahun. kadang sya penasaran apakah mereka takmemiliki kesibukan lain. Ternyata mereka adalah orang-orang yang sejatinya memiliki kesibukan, namun menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan mahasiswa asing memfasilitasi mereka belajar bahasa Jepang, sembari menikmati makan siang yang disediakan oleh pekrja sukarela tersebut. Mereka begitu welcome, ramah dan bersahabat. Mereka mempersilakan para mahasiswa untuk menanyakan apapun yang berkaitan dengan Jepang dengans egala aspeknya. Selain itu, mereka juga mengajak kami ke beberapa tempat untuk mempraktikkan budaya Jepang, seperti memakai kimono di pusat kebudayaan Jepang, makan makanan Jepang di restoran, jalan-jalan ke taman-taman di sekitar kota, dan mencoba belajar budaya lainnya. itu semua mereka lakukan dengan sukarela, tanpa meminta imbalan. Bahkan mereka yang seringkali harus mengeluarkan uang sendiri untuk melayani kami. 


Melakukan traveling ke berbagai tempat adalah hobi yang seringkali saya lakukan ketika mendapatkan liburan yang cukup panjang. Ketertarikan saya dalam traveling bukan semata pada sesuatu yang berhubungan dengan keindahan alam, melainkan juga hal-hal lain seperti bangunan bersejarah, kuliner, museum, budaya, dan banyak aspek lainnya. Dalam mengunjungi berbagai tempat ketika berlibur, saya sering mendapati para pekerja sukarela ‘berkeliaran’ di tempat-tempat strategis yang jamak didatangi wisatawan baik domestik maupun dari luar Jepang. Mereka umumnya bisa berbahasa inggris. Pernah suatu ketika saya bersama profesor dan teman saya berkunjung ke sebuah museum. Tanpa kami minta, ada seorang guide berusia sekitar 70 tahun-an yang mengantar kami menelusuri berbagai sudut dalam museum sembari menjelaskan berbagai hal berkaitan dengan sejarah dan deskripsi dari benda-benda yang ada pada museum tersebut. Sukarelawan tersebut terus berbicara memberi penjelasan kepada kami dengan kemampuan bahasa inggrisnya yang cukup komunikatif. Di museum, di taman kota, dan di berbagai tempat yang jamak dikunjungi turis biasanya terdapat banyak pekerja sukarela yang bekerja sebagai guide. Di dalam kemajuan pariwisata di Jepang, sepertinya tak bisa disangkal bahwa ada andil mereka di sana.


Saya meyakini bahwa prinsip belajar bahasa asing yang paling efektif itu sama, yaitu perbanyak exposure terhadap bahasa tersebut, yang melibatkan aktivitas mendengar, bercakap, dan membaca teks dalam bahasa asing tersebut. Akselerasi kemajuan penguasaan bahasa asing juga akan tertunjang dengan baik jika si pembelajar melakukan interaksi yang cukup intensif dengan penutur asli. Hidup di Jepang, saya berkesempatan untuk berinteraksi dengan banyak penutur asli bahasa Jepang. Salah satu hal yang saya sukai dari orang Jepang adalah ketulusan mereka dalam membantu sesama. Saya memiliki seorang sahabat Jepang yang menjadi guru bahasa Jepang saya. Nama sahabat tersebut adalah ‘’Inue’’. saya dan teman saya biasa memanggilnya Inue-san. Panggilan ‘’san’’ yang disematkan di belakang nama adalah bentuk panggilan penghormatan. barangkali, dalam bahasa indonesia, kata tersebut ekuivalen dengan sebutan ‘mas/ mbak’. Memang tak ada unsur gender dalam panggilan tersebut. Panggilan tersebut berlsaya sama, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Saya diperkelankan dengan Inue-san oleh pegawai administrasi yang biasa mengurus urusan administrasi saya dari Miyagi University of Education. Awalnya kami diajak untuk minum teh bersama, sambil bercengkerama di kedai yang dimiliki oleh Inue-san. Tanpa diduga, disana kami disuruh mengisi sebuah angket yang berisi berbagai pertanyaan, tentang kecenderungan pola belajar kami dalam mempelajari bahasa asing. Ternyata, hal tersebut dilakukan oleh Inue-san sebagai dasar pertimbangan dalam mengajar bahasa Jepang. Dan kami lah yang akan diajar bahasa Jepang oleh beliau. Saya menduga bahwa Inue-san sengaja diminta oleh pihak Universitas untuk mengajari kami. Ternyata itu adalah kemauan beliau sendiri untuk mengajari kami bhasa Jepang secara sukarela. Setiap hari selasa pukul 3.30-5.00 sore hari kami pergi ke kedai beliau untuk belajar bahasa Jepang. Barangkali, hal tersebut beliau lakukan untuk mengisi waktu senggangnya, di waktu tersebut kedainya memang belum buka. 


Para pekerja sukarela tersebut merasa bahagia dengan pekerjaan sukarela yang mereka lakukan. Setidaknya itulah yang mereka katakan. Saya belajar satu hal dari apa yang mereka lakukan tersebut, bahwa hidup tak selayaknya semata berkutat tentang ‘diri’, tapi semetinya juga diisi dengan berbuat baik kepada orang lain yang dilandasi dengan ketulusan dan keikhlasan. Kebahagiaan hidup tak selalu datang ketika kita bergelimang materi, tapi bisa datang ketika kita bisa memberikan kebaikan bagi sesama. Hal tersebut yang menjadikan hidup penuh gairah, penuh kasih, keharmonisan dan kebahagiaan. 



Picture taken from www.pinterest.com