Selasa, 20 Juni 2023

Curhat Pada DahlanTalk

Pertama-tama, aku ingin ucapkan thanks buat blog ku ini. Aku anggap blog ini layaknya teman dekat yang bersedia mendengarkan keluh kesahku, sekaligus pendengar setia atas segala ide-ide ku tentang banyak hal.  karena ia benda mati, tentu aku tak bisa berharap ia bisa memberikan feedback atas semua yang aku sampaikan.

Kali ini, aku ingin curhat kepada blog ku ini tentang dunia kerja ku. Dunia kerja yang sudah aku geluti selama lebih dari 13 tahun. Cukup lama. Andai ia adalah seorang bocah, mungkin sekarang dia sudah mulai menapaki jenjang pendidikan sekolah menengah pertama. Minimal kelas tujuh lah. 

Di tempat kerja ku ini, aku merasa kurang mendapatkan dukungan untuk wellbeing ku. Tempat ku bekerja ini nampaknya memang tak begitu mempedulikan wellbeing pekerjanya.

Semua orang dituntut untuk bekerja dengan sistem disiplin neagtif. Semua harus nurut aturan. Aturan tentang jam kerja, tentang kehadiran, tentang banyak hal lainnya. Jika tidak menurut, maka konsekuensinya mengarah kepada gaji. Minimal, tunjangan profesi guru bisa terancam tidak cair, jika ada aturan yang dilanggar.

Lumrah sih, bahwa bekerja dalam satu sistem itu pasti ada aturan yang diberlakukan. Hanya saja, semestinya ada sistem yang menciptakan dan mengatur keseimbangan. Kita adalah manusia yang memiliki berbagai aspek kemanusiaan. Kita punya keluarga, dan perlu memiliki waktu untuk mengurus keluarga. Kita punya kebutuhan untuk refreshing. Kita punya hak untuk terbebas dari ketidaksehatan psikis, mental, emosional dan fisik. 

Di tempat kerjaku ini, aku merasa kurang mendapat dukungan terjaminnya wellbeing ku. 

Soal cuti libur, misalnya. Aku dan rekan-rekan guru lainnya sudah tidak memiliki hak libur seperti dulu, dimana ketika siswa libur maka guru otomatis boleh libur.

Sekarang, siswa libur, guru tidak otomatis boleh libur. 
jatah libur kita dibatasi 12 hari selama satu tahun.
Itu pun, kita hanya diperbolehkan mengambilnya selama siswa libur. 
Kita tidak diperbolehkan untuk mengambil cuti di luar hari libur semester. 

Belum lagi, atasan kami (Kepala Cabang Dinas) membuat modifikasi aturan.
Modifikasi aturan tersebut berupa pembatasan-pembatasan hari cuti yang diambil.
Contohnya, kita tidak diperbolehkan untuk mengambil cuti penuh di semester tertentu. Cuti tidak boleh diambil dan dihabiskan satu kali. Harus displit beberapa term.

Ada lagi kehendak (aku tidak menyebutnya aturan, karena memang tidak beraturan) atasan yang menginginkan supaya kita tidak mengambil cuti satu minggu penuh. Satu minggu hanya boleh diambil untuk cuti selama dua atau tiga hari. 

Ada-ada saja keinginan atasan (Ka. Cabdin). 

Entah apa dasar pemikirannya. Yang jelas, aku tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan atas alasan kenapa ada pembatasan-pembatasan seperti itu.

Ada kesan bahwa pembatasan-pembatasan seperti itu hanya mengikuti ego pimpinan.

Padahal, sebagai sebuah lembaga publik yang bergerak dalam bidang pendidikan, setiap aturan atau kebijakan semestinya dibuat berdasarkan pertimbangan ilmiah. 


Di Australia, kenapa setiap guru diberi kesempatan untuk libur dua minggu setiap akhir tri wulan? Alasannya ada kaitannya dengan Wellbeing guru. para pemangku kebijakan menyadari bahwa guru adalah individu yang perlu dimanusiakan. Memberi jatah libur yang proporsional adalah cara memanusiakan guru. Memberi jatah libur yang cukup adalah cara mendukung wellbeing guru.


Liburan ada kaitannya dengan wellbeing. Wellbeing ada kaitannya dengan kreativitas, produktivitas, dan efektifitas kinerja. Orang yang kurang mendapatkan wellbeing akan rentan mengalami gejala gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi. Kondisi stres dan depresi berkorelasi negatif terhadap kinerja. Stres dan gangguan psikologis lainnya akan menurunkan kreativitas dan produktivitas.
itu lah yang menjadi dasar pemikiran kenapa perusahaan-perusahaan besar dunia sudah memberi perhatian khusus terhadap kesehatan mental para pekerjanya.
Kenapa para pejabat di dunia pendidikan kurang memberi perhatian terhadap aspek kesehatan mental tersebut? Jawabannya mungkin karena kurang wawasan. Mereka tidak belajar dan membaca trend-trend terbaru di negara-negara maju.

Rasa-rasanya, andai aku punya kuasa, ingin sekali mereka aku ganti. 
Saat mengganti dengan yang baru, akan ku beri pemahaman tentang bagaimana menjadi pemimpin yang cerdas melayani dan memanusiakan bawahan. 
Akan ku beri pemahaman tentang bagaimana membuat kebijakan yang berlandaskan akal yang sehat, bukan ego. 


Lantas kapan ya aku bisa mempunyai kuasa untuk itu?
Sooner or later, I will make it. I believe it.






















Sabtu, 10 Juni 2023

Spotlight Effect


Seringkali kita berpikir bahwa orang lain memperhatikan setiap langkah hidup kita. Kita merasa seperti seorang lakon dalam drama kehidupan. Seolah orang lain tidak memiliki urusan selain memperhatikan diri kita. Kita jadi gamang dalam melangkah karena takut kalau salah. Takut salah karena takut dinilai orang lain secara negative. Kita jadi bimbang dalam mencoba hal-hal baru karena takut gagal. Takut gagal, karena mengira bahwa orang lain akan menertawakan kita saat gagal.

Fenomena seperti itu sering disebut spotlight effect. Dan itu dialami oleh hamper sebagian besar manusia.

Padahal, pada kenyataannya, masing-masing orang sibuk dengan dunianya sendiri. Masing-masing orang juga merasakan spotlight effect yang sama. Masing-masing orang mungkin akan peduli terhadap urusanmu, atau urusan orang lain. Mereka mungkin akan menggosipkanmu atas hal yang kurang baik yang terjadi padamu. Tapi percayalah, mereka tidak akan lama memperdulikanmu.

Mungkin sesekali mereka akan menertawakanmu atas kegagalanmu, atau atas langkahmu yang mereka anggap aneh. Namun itu tidak akan berlangsung lama. Tertawanya mereka atasmu hanyalah sebentar saja. Percayalah. Kenapa bisa sebentar saja? Karena manusia memiliki kecenderungan bersikap individualis. Masing-masing orang sibuk menghadapi masalah-masalah mereka, urusan-urusan mereka, dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan pribadi mereka.

Banyak orang takut berbicara di depan umum (public speaking) karena tidak ingin jika orang lain menertawakan salah ucap mereka. Sehingga, mereka memilih untuk duduk di kursi bagian paling belakang dan tidak mau tampil di depan orang banyak.

Banyak orang takut membuat konten video dan mengunggahnya di media sosial, karena takut sepi viewer dan ditertawakan orang nantinya. Atau takut kontennya jelek dan ditertawakan orang lain.

Benar-benar asumsi atas penilaian orang lain terhadap diri kita telah mengambat langkah hidup kita, dan telah merampas momentum dalam hidup kita.

Sayang sekali, banyak orang yang mengalami spotlight effect bukan hanya saat mereka kecil hingga remaja, melainkan hingga mereka berusia dewasa, bahkan tua. Dan aku termasuk orang yang telat menyadari spotlight effect tersebut, sadly.

Andai kita menyadari bahwa Spotlight effect itu nyata, maka kita tidak perlu merasa insecure atas apa pun langkah yang kita ambil dalam hidup, karena pada dasarnya everybody just minds their own business. They won’t give a fuck about your failure, your mistake, and your flaw for a long time.


Selasa, 06 Juni 2023

Lingkungan, Mindset, Alam Bawah Sadar, dan Pencapaian Besar

 

Ada banyak cara untuk bisa mencapai kekayaan melimpah, status social yang tinggi, dan pencapaian hidup lainnya yang tinggi. Namun, kenapa banyak orang yang tidak (belum) meraihnya?

Jawabannya bisa beragam. Bisa jadi, karena mereka tidak menemukan cara untuk meraihnya. Namun dari sekian banyak alasan kenapa orang belum meraih pencapaian besar dalam hidupnya, satu alasan yang sangat mendasar ada pada mindset.

Betapa banyak orang yang meyakini bahwa mereka sebenarnya tidak layak untuk meraih pencapaian besar.

Betapa banyak orang yang justru meyakini bahwa kondisi penuh kekurangan yang mereka alami adalah nasib yang harus diterima dengan lapang dada dan penuh kepasrahan.

Betapa banyak orang yang alam bawah sadarnya meyakini bahwa mereka tidak pantas untuk meraih pencapaian besar.

Sementara…

Orang-orang dengan pencapaian besar dalam hidupnya meyakini bahwa mereka layak untuk hidup penuh keberlimpahan dan kesuksesan.

Keyakinan tersebut terbentuk dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Diantara sekian banyak faktor yang berpengaruh terhadap keyakinan tersebut adalah faktor Pendidikan dari keluarga.

Keluarga kaya raya akan cenderung menumbuhkan mindset bahwa mencari kekayaaan itu mudah, bahwa kaya raya itu adalah hak mereka dan mereka layak untuk meraihnya.

Bahkan, tanpa diajari secara sadar bahwa mereka bisa kaya, mindset kaya anak-anak yang dibesarkan di keluarga kaya akan terbentuk dengan sendirinya melalui lingkungan dimana mereka tinggal. Mereka menyadari bahwa mereka mudah mendapatkan relasi bisnis. Mereka menyadari bagaimana memberdayakan orang lain untuk tujuan ekonomi mereka. Mereka memahami bagaimana mendapatkan permodalan.

Alam bawah sadar mereka tersetting bahwa mereka adalah orang-orang yang mudah untuk meraih hidup yang berkelimpahan.

Itulah kenapa orang kaya yang jatuh bangkrut cenderung mudah bounce back. Kebangkitan mudah diwujudkan karena mereka mengetahui memiliki mindset bahwa mereka adalah orang kaya. Mereka meyakini bahwa cara meraih kekayaan itu mudah.  

Itu adalah privilege orang-orang kaya dan berpencapaian besar.

Sementara, orang-orang yang sedari lahir hidup penuh kekurangan, cenderung kesulitan untuk merubah kondisi mereka. Lingkungan mereka meyakinkan mereka bahwa mereka adalah orang-orang yang memang terlahir untuk mengalami kekurangan. Nasib mereka bisa berubah karena beberapa hal. Hal pertama, lingkungan yang menstimulasi mereka untuk berhasil. Untuk meraih lingkungan yang menstimulasi mereka, tentu mereka harus berhijrah atau merantau. ketika merantau dan memasuki lingkungan yang berisi orang-orang yang bisa menginspirasi, maka ada peluang orang tersebut bisa berubah. Kisah tentang Liem Goh Tong cukup bisa menjadi bukti akan hal ini. Dia yang merupakan orang miskin dari Cina daratan memilih bermigrasi dan hidup Malaysia. Dia meniti pekerjaan sebagai seorang buruh proyek. Dari situ dia merintis usaha dalam bidang konstruksi hingga menjadi orang yang berkelimpahan.

Kedua, akses Pendidikan. Pendidikan di sini tidak diartikan sebagai pendidikan formal semata, karena pada kenyataannya, banyak orang berpendidikan tinggi yang masih belum bisa meraih keberlimpahan dalam hidup. Pendidikan di sini bisa berupa ilmu dari sumber apa pun yang mereka dapatkan dan langsung praktikkan hingga berhasil. Di era pesatnya perkembangan teknologi informasi seperti sekarang ini, kesempatan terbuka luas bagi siapapun untuk berubah meraih pencapaian besar dalam hidup. Meskipun kesempatan begitu banyak, banyak orang yang melewatkan kesempatan tersebut. Satu yang membuat mereka melewatkan kesempatan tersebut adalah mindset negative. Mereka tidak meyakini bahwa mereka layak untuk meraih keberhasilan. Banyak orang berhasil karena berada di lingkungan yang penuh dengan orang berhasil.

Mindset itu penting.

Berada di lingkungan yang tepat yang bisa menumbuhkan mindset positif kita itu lebih penting. Itu adalah awal dari mindset positif bertumbuh.