Selasa, 27 Desember 2016

Inspirasi pendidikan karakter dari seorang anak SMP

Gambar: http://yourschools.ca/programs-services/character-education/

Saat itu kami ada kegiatan camping. Camping yang tak begitu lazim menurut saya, karena tak biasanya saya melakukan camping dimana status kami adalah peserta bersama dengan para siswa se-level sekolah menengah pertama. Kebetulan kegiatan camping tersebut berlangsung selama dua hari. Kegiatan camping tersebut sangat inspirasional bagi saya, karena untuk pertamakalinya saya mendapatkan ilmu tentang P4C atau Philosophy for Children. P4C adalah sebuah program untuk menstimulasi kemampuan deep thinking anak-anak, dan memiliki tujuan-tujuan positif lainnya. Namun, bukan tentang P4C yang ingin saya bahas dalam tulisan ini, melainkan tentang sebuah kejadian yang membuat saya belajar sesuatu.

Ceritanya, dari 14 siswa SMP yang mengikuti kegiatan camping tersebut, hanya ada 1 siswa laki-laki. Oiya, selain siswa SMP, peserta juga meliputi mahasiswa asing yang kuliah di Miyagi University of Education (MUE), termasuk saya. Karena pertimbangan suatu hal, panitia memutuskan 1 anak laki-laki siswa SMP tersebut harus tinggal satu kamar dengan kami (3 orang mahasiswa asing yang kuliah di MUE). Kamarnya cukup luas. Kami harus menata sendiri seperangkat alat tidur yang kami pakai yang terdiri dari futon, bedcover, selimut, bantal, dan lainnya. Ada begitu banyak peraturan yag harus ditaati selama berada di tempat camping tersebut. Sebenarnya tak begitu pas dikatakan camping, karena kami tinggal di gedung, bukan mendirikan tenda. Namun, katakanlah itu adalah camping, untuk memudahkan penggunaan istilah. 

Inti ceritanya begini. Sebagaimana yang sudah menjadi ciri khas Jepang, dimana kebersihan dan ketertiban begitu dijaga, ada banyak peraturan yang harus ditaati selama berada di sana. Salah satu peraturan yang ada berbunyi bahwa tidak diperkenankan untuk makan dan atau minum di kamar. Jika ingin makan dan minum harus di tempat yang telah disediakan. Kebetulan, salah satu diantara kami ada yang makan di kamar, mungkin sangkin sudah laparnya. Selain itu, dia juga meletakkan sepatu tidak pada tempat yang semestinya. Bukan tiba-tiba, melainkan setelah beberapa menit anak SMP yang maish duduk di kelas 2 tersebut menegur semua yang ada di ruangan dengan kalimat teguran namun disampaikan dengan bahasa dan car yang sangat sopan. Dia tau siapa yang menaruh sepatu dan siapa yang makan di kamar. namun, alih-alih menegur langsung si ‘pelaku’, dia memberikan statemen yang bersifat general, seperti ‘’maaf, ini sepatu siapa? Mohon diletakkan di tempat ini (sambil menunjuk tempat sepatu)’’. kemudian, dia juga berkata ‘’Mohon di ruangan ini jangan makan dan atau minum!’’ Sambil menunjukkan sikap apologis seolah menyiratkan permintaan maaf karena telah berani menegur orang dewasa yang usianya jauh lebih tua.

Aku sempat terbelalak sebentar. ‘‘am i dreaming?’’ Bukan apa-apa, melainkan kejadian tersebut sungguh mampu membuatku terus berpikir penuh keheranan selama beberapa saat. saya menilai ada hal yang luar biasa dari kejadian tersebut. Sebuah sikap penuh tanggungjawab, keberanian, kedewasaan, berbalut karakter yang kuat yang dipertunjukkan oleh seorang anak SMP kelas 2. Yang pertama, akal mainstreamku berpikir  bahwa anak seusia itu tak mungkin berani menegur orang yang jauh lebih dewasa, yang usianya 2x lipat lebih. Yang kedua, andai pun menegur, apa iya anak seusia itu bisa menunjukkan sikap dewasa dengan cara tetap menjaga kesopanan dan etika yang baik dalam menyampaikan teguran terhadap orang yang jauh lebih dewasa. Yang ketiga, sepertinya butuh keberanian kuat untuk menyampaikan kebenaran, apalagi oleh anak seusia itu. Namun, dia bisa melakukannya. Saya sempat berpikir, pendidikan macam apa yang dia terima baik di lingkungan keluarga maupun sekolah yang mampu membentuk karakter kuat seperti yang dia miliki itu?


Saya menilai, itu lah salah satu potret berhasilnya pendidikan karakter. Saya amati, orang jepang selalu berusaha memberikan pemahaman kepada anak-anak tentang mengapa suatu peraturan itu ada. Dengan upaya pemahaman tersebut, maka anak-anak tau dan menyadari pentingnya melaksanakan peraturan tersebut. Andai anak-anak hanya diminta untuk menaati peraturan sementara mereka tidak diberi pemahaman tentang alasan mengapa mereka harus melaksanakan peraturan tersebut, mungkin tak akan mereka menjadi pribadi yang penuh kesadaran menjaga ketertiban. Tiba-tiba saya mendapatkan ide tentang mengaplikasikan P4C dengan upaya menyadarkan siswa untuk cinta akan keindahan, kebersihan, dan keharmonisan dalam interaksi mereka baik dengan sesama manusia maupun dengan alam dan lingkungan sekitar. 

Jumat, 23 Desember 2016

Whom you interact with really matters

Saat menempuh pendidikan S1, aku pernah berpikir utnuk mencari kesempatan mendapatkan beasiswa S2 di luar negeri. Aku berpikir bahwa hal tersebut mungkin untuk aku raih, karena perbincangan mengenai kuliah di luar sudah menjadi hal biasa di antara teman-temanku. Selesai kuliah, aku harus tinggal di desa terpencil, karena ikatan profesi sebagai guru di daerah tersebut. Lambat laun optimisme ku meraih beasiswa surut. Sepertinya karena hal tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dimana ku bergaul.

Beberapa tahun beraktivitas menjadi pendidik, aku merasa bosan. Akhirnya aku memutuskan untuk melamar beasiswa, hingga akhirnya ku dapatkan beasiswa program teacher training ke jepang. namun, untuk mencapai hal tersebut, aku berusaha untuk mengakrabkan diri dengan mereka yang pernah memperoleh beasiswa studi ke luar negeri. berbagai cara aku lakukan agar bisa berinteraksi (meski jarak jauh) dengan mereka yang berpengalaman dalam hal meraih beasiswa luar negeri. Kini, bergaul dengan teman-teman sesama pelajar di luar negeri, aku semakin yakin bahwa pintu untuk studi lanjut di luar negeri melalui beasiswa semakin lebar. Alam bawah sadarku semakin meyakini bahwa mendapatkan beasiswa lagi untuk kuliah di luar negeri sangat mungkin bisa ku lakukan. Ini ceritaku.

Ada seorang anak lulusan Sekolah Menengah Atas yang merantau ke kota besar setelah lulus studinya. Di kota besar tersebut dia mengais rizki dengan membantu jualan bubur ayam tetangganya. Meski hanya seorang asisten, dia cukup akrab dengan uang jutaan rupiah tiap harinya. Meskipun uang tersebut bukan uangnya, namun dia sudah terbiasa melihat uang dalma jumlah yang cukup banyak. Keyakinannya mulai tumbuh bahwa berjualan bubur ayam bisa menghasilkan jutaan rupiah tiap harinya. Melihat tetangga yang jadi bosnya tersebut mampu menghasilkan jutaan rupiah tiap harinya dengan berjualan bubur ayam, dia mulai memiliki keyakinan bahwa andai dia sendiri menjalankan usaha tersebut, dia juga bisa menghasilkan pendapatan yang sama. Selang sekitar 2 tahun kemudian, dengan penuh keyakinan, dia memutuskan untuk membuka sendiri usaha bubur ayam. Semakin lama usahanya semakin berkembang. Dia pun mampu menghasilkan omset yang setara dengan yang dihasilkan oleh mantan bosnya. 


Dua cerita di atas adalah cerita nyata. Pengalaman studi yang aku alami sendiri. Sementara cerita kedua adalah pengalaman nyata oleh mantan muridku. Benang merah yang bisa ditarik dari dua cerita nyata tersebut adalah, bahwa kita harus sebisa mungkin bergaul dengan orang-orang yang karena karyanya/prestasinya mereka mampu membuat kita meyakini bahwa sesuatu itu mungkin untuk kita raih, sebesar apapun itu. Se-impossible appaun itu. Tak berlebihan jika dikatakan bahwa keyakinan adalah modal utama meraih hal besar dalam hidup. Sementar, untuk meraih keyakinan yang kuat, maka kita harus memastika diri bahwa kita berada di lingkungan yang membuat kita yakin, yaitu lingkungan yang berisi orang-orang hebat,besar dan penuh prestasi dalma hidup. Kesalahan memilih lingkungan bisa menjadi awal dari miskinnya pencapaian dalam hidup. Sementara, kemampuan memilih pergaulan yang baik bisa menjadi awal dari pencapaian besar dalam hidup. 

Minggu, 18 Desember 2016

Belajar FInancial intelligence dari warga keturunan Tionghoa


Gambar: http://world-nesia.blogspot.jp/

Orang Tionghoa di indonesia kenapa mereka bisa kaya raya dan semakin kaya? Ternyata mereka memiliki visi yang jelas dengan kekayaan. Mereka memilik visi yang jelas dengan uang. Mereka memiliki tekad yang kuat untuk selalu bertumbuh. Mereka memiliki rencana yang jelas dengan aktivitas bisnis mereka. Ini yang tak dimiliki oleh sebagian besar pribumi indonesia. Andai diberi uang 1 milyar, kemungkinan besar yang ada di pikiran masyarakat pribumi adalah apa saja yang ingin mereka beli untuk kepuasan hidup. Bukan bagaimana agar uang 1 milyar tersebut bisa beranak pinak hingga menjadi aset yang membuat mereka merdeka secara finansial. 

Aku sempat heran, dimana ada orang Tionghoa di suatu tempat, maka ekonomi di tempat tersebut lambat namun pasti dikuasai oleh Tionghoa. Ruko-ruko banyak yang dimiliki oleh Tionghoa. Tanah-tanah banyak yang dibeli oleh Tionghoa. Orang Tionghoa itu mampu berpikir visioner. Mereka mau membeli tanah dengan harga 2 kali lipat dari harga normal dari pribumi. Sementara pribumi sering tergoda dengan tawaran harga mahal dari orang Tionghoa atas tanah yang mereka miliki, karena mereka sering kali berpikir jangka pendek. Ketika harga umum sebidang tanah dengan kondisi tertentu katakanlah Rp 50 jt, sementara tanah tersebut ditawar Tionghoa dengan harga 100 juta, mereka akan berpikir bahwa itu adalah tawaran yang menggiurkan. Hasilnya, banyak tanah yang lepas dari pribumi dan dimiliki oleh Tionghoa. Hanya beberapa tahun kemudian, harga tanah berubah bukan hanya 2 kali lipat melainkan berlipat-lipat dari harga semula. 


Harus diakui bahwa kita perlu banyak belajar dari Tionghoa tentang cara mengelola uang, dan tentang visi menciptakan kekayaan. Mereka sudah melangkah begitu jauh. Orang Tionghoa selalu memandang negeri kita sebagai sebuah potensi besar. Sementara kita (pribumi) seringkali pesimis dengan kondisi negeri ini. 

Sabtu, 17 Desember 2016

Budaya mengapresiasi



Seorang teman yang sedang menempuh studi di jepang menulis sebuah status di Facebook. isinya adalah kekagumannya terhadap orang jepang yang mengapresiasi kemampuan bahasa inggrisnya ketika ia menceritakan sesuatu. Dia merasa kemampuan bahasa Inggrisnya masih belum bagus, namun teman-temannya yang merupakan orang jepang memberikan pujian terhadapnya dengan kalimat-kalimat seperti ‘’waah, bahasa inggrismu bagus ya’’, dan sebagainya. Sebenarnya bukan hanya dia yang mendapati pengalamana seperti itu. Saya dan banyak orang yang tinggal di Jepang lainnya juga pernah (jika tidak dikatakan ‘’sering’’) mendapatkan pujian dari orang jepang. 

Saya jadi teringat dengan keluh kesah yang disampaikan beberapa murid saya beberapa tahun yang lalu. Mereka adalah anak-anak yang sedang giat-giatnya belajar bahasa Inggris. Mengikuti saran saya, mereka berusaha mempraktikkan komunikasi berbahasa Inggris dengan teman-teman mereka. Namun, ironisnya, setiap kai mereka berusaha berbahasa Inggris, mereka mendapatkan respon kata-kata seperti ‘’lah..nggaya…!’’, ‘’ngomong opo kowe’’, ‘’ndak usah sok inggris laah’’, dan kata-kata demotivatif lainnya. Saya pun tak begitu kaget sebenarnya dengan cerita mereka, karena memang speerti itulah yang saya pahami tentang bagaimana respon orang-orang di lingkungan kami ketika mendapati orang lain berbahasa Inggris. Seperti itu pula lah yang saya alami pada masa awal belajar bahasa Inggris. Malah, ketika menjalani kuliah S1 di tahun pertama, terkadang saya mendapati kritik dari teman sesama pelajar bahasa inggris tentang cara berbahasa inggris saya, terutama soal tata bahasa dan pengucapan. Di negeriku, begitu banyak orang yang pandai mengkritik ketimbang mengapresiasi. Mungkin berlebihan jika dikatakan bahwa hal tersebut sudah menjadi karakter umum masyarkat di negeriku. Namun, cukup membuatku mengernyitkan dahi juga ketika hal tersebut ternyata masih ada dan belum tertangani. Suka mengkritik dan suka mengapresiasi tentu merupakan dua karakter yang berbeda. Tak heran jika kebiasaan mengkritik (terutama mengkritik hal-hal yang sejatinya kurang perlu) bisa berkembang menjadi kebiasaan suka nyinyir. Sementara, sikap mengapresiasi orang lain bisa berkembang menjadi karakter positif lainnya. 


Saya rasa, tak berlebihan jika dikatakan bahwa orang jepang pada umumnya suka mengapresiasi orang lain. Jepang bukan lah negara sempurna yang bisa kita tiru segala aspek kehidupannya. Namun, untuk urusan karakter mengapresiasi/saling menghargai, kita memang layak belajar dari mereka. Ketika 

Jumat, 16 Desember 2016

Program -Let's learn from the inspiring Youths'-


Gambar : https://twitter.com/iy_youth

Sekolah adalah tempat yang diharapkan oleh banyak pihak untuk membantu tumbuh berkembangnya kualitas kepribadian dan skill peserta didik. Oleh karena itu, sekolah semestinya mampu menciptakan program-program kreatif yang mampu menjadikan peserta didik berkembang menjadi priadi yang jauh lebih baik. Saya sudah menjadi guru selama lebih dari 6 tahun di sebuah sekolah menengah atas. Ada banyak hal yang dirasa kurang dan butuh perbaikan di sekolah. Bukan aspek fisik sekolah yang menjadi perhatian utama saya dalam hal ini, melainkan aspek non-fisik. 

Saya menemukan fakta bahwa peserta didik pada umumnya kurang mendapatkan keteladanan dalam hal bagaimana mengisi hari-hari mereka. Sebagian besar peserta didik menjalani hari-hari mereka dengan melakukan hal yang sebatas pada apa yang mereka yakini sebagai hal yang umum dilakukan. Bersumber dari lingkungan pergaulan mereka, maupun informasi yang mereka akses. Sayangnya, hal-hal yang menjadi rutinitas mereka cenderung bukan lah hal yang menjadikan mereka keren di masa yang akan datang. Sedikit saja sepertinya prosentasi peserta didik yang benar-benar telah menemukan tujuan hidup mereka, dan mengetahui apa yang harus mereka lakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Jumlah yang sedikit itu biasanya memiliki keberuntungan berupa adanya lingkungan yang mereka bisa jadikan teladan, seperti lingkungan keluarga yang mampu mengarahkan pikiran dan aktivitas mereka. 

Butuh survey, memang, untuk mendapatkan data akurat mengenai berapa banyak peserta didik yang tau tentang apa yang harus mereka perbuat untuk masa depan mereka yang gemilang. Namun, bisa diterka bahwa jumlah mereka yang sudah mampu melihat jalan yang jelas tentang apa yang harus mereka lakukan untuk meraih masa depan yang cemerlang lebih sedikit dibandingkan mereka yang masih tak memiliki kejelasan arah tujuan. Saya memiliki pemikiran sedari dulu tentang sebuah program di sekolah yang ditujukan untuk memberikan referensi keteladanan bagi peserta didik. Program tersebut saya beri nama ‘’inspiring youth’’. 

Apa itu ‘’Learn from the inspiring youth’’? Program tersebut adalah berupa talkshow yang dihadiri peserta didik dengan mendatangkan anak-anak muda yang punya prestasi tertentu yang membanggakan. Harapan dari program tersebut adalah menciptakan kesadaran pada peserta didik bahwa mereka bisa termotivasi untuk melakukan hal inspiratif yang sama dengan yang dilakukan oleh anak muda inspiratif tersebut. Minat peserta didik tentunya berbeda-beda. Oleh karena itu, program tersebut harus dilaksanakan secara rutin dengan mendatangkan anak-anak muda yang berprestasi dengan berbagai bidang yang berbeda-beda. Sekolah bisa mendatangkan anak-anak muda yang berprestasi dalam bidang kewirausahaan, tulis menulis, akademis, aksi filantropi, olahraga, musik, dan anak muda yang mampu menciptakan kreativitas lainya yang inspiratif. 

Dalam kegiatan tersebut, ada sesi presentasi oleh pembicara, dan ada pula sesi tanya-jawab. Program tesebut bisa dimasukkan ke dalam program kegiatan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Tentu program tersebut membutuhkan dukungan dari pihak sekolah. Mengapa harus mendatangkan anak muda yang inspiratif, bukan orang tua yang inspiratif? Alasannya adalah, kesamaan usia antara pemuda inspiratif yang diundang dengan peserta didik lebih memungkinkan untuk menimbulkan keyakinan di kalangan peserta didik bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama, mengingat mereka berada pada rentang usia yang relatif sama. Dari keyakinan tersebut, diharapkan kejelasan arah tujuan hidup mereka tercipta. Sehingga, hal tersebut bira berdampak pada positifnya aktivitas harian mereka.


Peserta didik yang umumnya masih berusia remaja cenderung belajar dengan cepat melalui apa yang mereka lihat di lingkungan pergaulan mereka. Sayangnya, ketika lingkungan pergaulan tak menyuguhkan inspirasi yang membangkitkan motivasi positif, maka mereka akan miskin keteladanan. Sekolah perlu mengupayakan banyaknya referensi keteladanan bagi peserta didik. ‘’Let’s learn from the inspiring youth’’ bisa menjadi terobosan yang bagus untuk menciptakan referensi keteladanan bagi peserta didik. 


Selasa, 13 Desember 2016

Hobi menghadapi tantangan



Desember ini aku sedikit sekali menulis utuk mengisi blog-ku tercinta. banyak kesibukan sehingga aku lupa untuk menulis. minggu pertama dan kedua desember ini aku merasa  produktif. Banyak kegiatan memorable yang worth-sharing banget. Salah satunya yaitu yang ingin aku tuangkan dalam tulisan kali ini.

Aku suka mengamati kata-kata yang diucapkan oleh dosen pengawasku di Miyagi University of Education, Mr. Leis Adrian. Salah satu kata-kata yang kuingat adalah ‘’i judge someone’s intelligence from the way they handle things that they are not really capable with, or not good at yet’’. Ada kaftan antara kata-kata belie terse but dungeon pengalaman kemarin kite aku it lomb pirate bahasa Jepang. Mengikuti lomba pidato bahasa jepang adalah hal yang cukup menyentil adrenalinku. Betapa tidak, aku belum begitu mahir berbahasa jepang, meski sudah setahun aku hidup di jepang. Yang lebih membuat jantung berdebar adalah ketika mengingat profil kontestan lain yang kebanyakan adalah mahasiswa jurusan bahasa jepang. Apalah aku dibanding mereka. 

Oke..lanjuut..

Aku merasa beruntung bahwa aku cukup memiliki pengalaman dalam hal berinteraksi dengan publik di panggung atau podium. Pengalaman tersebut kudapatkan melalui berbagai kesempatan presentasi dan pidato selama ini. Sedikit banyak, psikologi tentang menyampaikan gagasan dan meyakinkan audience sudah aku kuasai. Itu lah yang cukup membantu ku menghadapi tantangan berpidato dalam kompetisi kemarin. Ada pepatah klise, bahwa hasil tidak akan menghianati proses. Ternyata, aku tidak hanya sukses menundukkan rasa khawatir dan takutku, tapi juga berhasil turun podium dengan menyabet salah satu juara untuk kategori speech paling humoris. Tentu aku merasa plong, bangga dan bahagia. Bukan tentang hadiah an sich, melainkan sebuah kepuasan tersendiri ketika mampu memberanikan diri menghadapi tantangan yang sempat membuat bulu kuduk berdiri. Menaklukkan diri sendiri memanglah susah. Namun ketika sudah berhasil melaluinya, ah…laur biasa rasanya. Tak mudah mendeskripsikan efek psikologis yang dirasakan, karena hanya orang-orang yang mengalaminya saja yang tau.

Kini, aku punya hobi baru, yaitu memberanikan diri melakukan tindakan positif yang menantang, tantangan yang bikin hati berkecamuk penuh konflik dimana keraguan, kekhawatiran, ketakutan, dan harapan menjadi satu. Bukan apa-apa, melainkan karena aku merasa candu dengan keberhasilan menaklukkan diri tersebut. Insya Alloh, kedepannya aku akan semakin memberanikan diri mengambil tindakan menghadapi tantangan-tantangan baru. Aku sudah siap mental untuk ini. Aku suka.
Satu hal yang pasti adalah hidup tak akan banyak berubah secara signifikan kalo diri kita tak memberanikan diri melakukan tindakan besar yang penuh tantangan.
Picture taken from https://s-media-cache-ak0.pinimg.com