Selasa, 14 Juni 2022

Jalan Ninjaku

 


Bismillah

Selesai studi, balik kampong.

Selesaikan Studi Doktoral di luar negeri.

Aktif menulis buku-buku bertema pendidikan, pedagogi, neurosains, psikologi, pembangunan karakter, manajemen sekolah, literasi, dan pembelajaran bahasa inggris.

Aktif baca artikel penelitian, dengan mengakses berbagai platform search engine.

Mendirikan CV penerbitan buku yang terdaftar dalam IKAPI.

Memiliki tim marketing untuk product and personal branding.

Mengisi berbagai workshop dan seminar.

Menjalankan berbagai penelitian dan mempublikasikannya.

Mempresentasikannya dalam berbagai konferensi internasional.

Aktif menerbitkan buku-buku sendiri.

Memasarkannya secara digital.

Menjadi konsultan pendidikan dan pengembangan lembaga pendidikan.

Dekat dengan akses otoritas daerah agar bisa berkontribusi dalam perumusan kebijakan.

Memiliki perpustakaan besar.

Mendirikan sekolah pemimpin.

 

Lulus Kuliah: Antara senang dan bimbang

 

Alhamdulillah…rasa syukur aku haturkan kepada Alloh SWT. Akhirnya, rangkaian studi Pendidikan magister yang aku tempuh sudah selesai. Ini adalah semester. Semua perkuliahan sudah aku selesaikan. Semua tugas sudah aku selesaikam pula. Kini tinggal menunggu hasil dari kuliah tersebut. Semoga hasilnya tidak mengecewakan.

Di satu sisi aku merasa senang karena selesainya kuliahku. Namun di sisi lain aku merasa sedih, anxious, bimbang, dan tidak nyaman. Kebayang bahwa aku harus pulang dan menjalani rutinitas seperti dulu lagi. Pergi pagi buta dan pulang sore hari menempuh perjalanan selama satu jam melewati medan yang begitu menantang. Aku tidak mengeluh dengan pekerjaan sebagai guru. Namun aku mengeluhkan tentang keterikatan, rutinitas menjemukan, urusan dan administrasi yang ribet. Terlebih, satu bagian yang paling bikin males adalah bayangan akan kurangnya wellbeing yang dimiliki guru di Indonesia.

Bayangan akan kurangnya wellbeing guru di Indonesia ini yang membuatku merasa cukup berat untuk kembali ke rutinitas semula. Betapa tidak risau, ketika kembali ke rutinitasku sebagai pengajar, aku tidak lagi punya kebebasan bepergian kemana aku suka. Kadang juga terbayang dalam pikiran, akankah aku menghabiskan sisa usiaku dengan rutinitas menjemukan sebagaimana yang dijalani oleh seorang ASN. Pergi pagi, pulang petang. Libur jarang. Seperti itu terus hingga tua. Tau-tau meninggal.

Meninggalnya kolegaku beberapa minggu lalu cukup membuatku merenung. Akankah aku menjalani hari seperti dia yang pergi pagi pulang petang hingga tua seperti it uterus hingga tutup usia. Ketika pension pun hanya mengandalkan gaji bulanan yang mungkin pada masa itu nilainya tidak lah seberapa, karena tergerus inflasi.

Aku begitu cinta terhadap kehidupan perkuliahan. Learning vibe yang aku rasakan, akses terhadap fasilitas kampus yang membuatku bisa belajar dengan efektif, dan berinteraksi dengan teman-teman yang memiliki keberagaman latar belakang adalah hal yang sepertinya sudah menjadi candu bagiku. Aku ingin merasakannya lagi hingga jenjang Doktoral. Menjalani rutinitas sebagai ASN terasa mudah dalam pikiranku. Sehingga ketika aku harus kembali mengajar pun aku merasa mudah untuk mengatasi hal yang dulu pernah membuatku jemu. Namun bayangan dan ketertarikan untuk terus belajar dan menghasilkan karya-karya akademik masih membuatku enggan untuk beranjak dari dunia akademik ini. Terlebih kegiatan akademik yang aku jalani berada di negara luar.

Kini aku sedang dalam dilemma antara kembali menjalani rutinitasku atau mengambil resiko keluar dari zona nyaman yang penuh ketidakpastian namun terasa memenuhi panggilan jiwaku.

Kembali menempuh Pendidikan S3 di sebuah kampus di luar negeri akan menjadi tantangan besar bagiku. Namun, justru tantangan seperti itu lah yang akan membuatku tumbuh kuat dan berdaya, sebagaimana pohon yang membesar dengan akarnya menancap makin dalam ke bumi setelah dia dibebaskan dari pot yang membelenggunya.

Cita-citaku masih sama, menjadi diriku yang bebas penuh sumberdaya, karya, inspirasi, serta manfaat bagi banyak orang, sebanyak-banyaknya orang. 

Selasa, 07 Juni 2022

Sekolah dan Wellbeing Siswa

 

Di tempat aku kerja paruh waktu, aku bertemu dengan seorang pekerja asli Australia yang mengaku mengenyam Pendidikan hanya sampai level kelas 8, atau kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Sebut saja Namanya “Kal”. Aku tertarik untuk mengetahui alasan dia drop out dari sekolah. Untuk sebuah negara dengan kualitas Pendidikan yang sangat bagus seperti Australia, yang ditopang dengan berbagai kebijakan yang sangat berpihak pada siswa, alasan adanya kasus drop out membuatku penasaran. Beruntung diam au bercerita tentang masa lalunya, serta alasan yang membuatnya drop out begitu dini. Sehingga, aku mendapatkan pelajaran berharga yang sangat relate dengan posisiku sebagai seorang guru.

Dia bercerita bahwa dia sangat membenci dunia sekolah sejak kecil. Menurut dia, entah kenapa dia selalu mendapatkan perundungan dari teman-teman sebayanya. Melihat fisiknya serta gesturnya dalam berjalan, berdiri, aku memiliki kesimpulan bahwa dia adalah anak yang bullyable. Aku pernah membaca sebuah artikel bahwa gesture yang kita perlihatkan akan menentukan bagaimana orang lain bersikap terhadap kita. Sebenarnya bukan gesture saja yang menjadi factor pemicu perundungan. Ada banya factor lainnya. Aku sama sekali tidak membenarkan terjadinya perundungan yang dialami oleh temanku tersebut. Dalam situasi apapun, perundungan tetaplah perundungan yang tidak layak mendapatkan pembenaran.

Yang ingin aku bahas di sini adalah betapa pengalaman-pengalaman negative yang dialami oleh seorang pelajar sangat berpengaruh buruk terhadap kehidupannya. Drop out dari sekolah bias dikatakan efek ringan dari pengalaman buruk kehidupan remaja. Dr Kelly-Ann Allen, seorang peneliti dan psikolog dari Australia menyebutkan bahwa kasus bunuh diri remaja di Australia bisa dikatakan cukup tinggi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya, kasus-kasus tersebut banyak dipengaruhi oleh kesehatan mental para remaja yang diakibatkan oleh factor pengalaman buruk dalam lingkungan pergaulannya. Perundungan merupakan salah satu factor diantaranya.

Aku sangat menyayangkan ketika banyak sekolah menganggap bahwa urusan dinamika interaksi pergaulan antar pelajar merupakan urusan pribadi mereka yang sekolah tidak perlu campur tangan. Padahal, baik buruknya pengalaman pergaulan remaja dan kesehatan mental, emosional, psikologis, dan fisik mereka sangat berpengaruh terhadap pencapaian akademik mereka dan kehidupan mereka pada umumnya. Aku sangat menyayangkan ketika masih ada sekolah yang mengira bahwa ruang lingkup program mereka adalah seputar peningkatan prestasi akademik siswa. Prestasi akademik memang penting, namun sisi humanis pelajar seperti kebahagiaan, kesehatan mental, emosional, jiwa dan raga sangat lah penting untuk diperhatikan.

Beruntung Kal hidup di Australia, negara yang memiliki banyak kesempatan, yang sering dijuluki “The Land of Opportunities”. Meski relative kurang terdidik, Kall masih bisa mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang layak, karena begitu banyaknya persediaan kesempatan kerja. Bagaimana jika drop out tersebut dialami oleh anak-anak yang tinggal di lingkungan yang miskin kesempatan? Mungkin dia bisa survive, terutama bila dia mendapatkan support positif dari lingkungannya. Namun pada kenyataannya tidak semudah itu meraih keberuntungan semacam itu.

Poin utama yang ingin aku sampaikan dalam artikel ini adalah bahwa sekolah bseharusnya menunjukkan perannya dalam membantu para pelajar mengatasi problematika mereka. Terutama problematika yang berhubungan dengan wellbeing mereka yang berpengaruh terhadap performa belajar. Usia remaja adalah usia pencarian jati diri. Mereka yang beruntung mendapatkan support positif dalam mengarungi masa pencarian jati dirinya akan melewati masa pencarian jati diri dengan sukses, menjadi pribadi yang berkarakter dan siap menghadapi berbagai permasalahan hidup.

Di Australia, sekolah-sekolah sudah mulai menekankan pentingnya menjamin wellbeing para pelajar. Sekarang, setiap sekolah pada umumnya   memiliki tim yang bekerja khusus menangani urusan wellbeing para pelajar. Bahkan guru atau tenaga yang ditugasi untuk menjamin wellbeing para pelajar diarahkan serta difasilitasi untuk belajar tentang konsep menjamin wellbeing pelajar di universitas, melalui skema kuliah part-time. Mereka juga sering mengadakan in house training untuk memberi para guru dan staff pemahaman tentang wellbeing, dengan mengundan par ahli. Para pelajar menghabiskan waktu yang sangat banyak dan signifikan di sekolah. Maka, sekolah selayaknya tidak hanya focus terhadap urusan akademik saja, melainkan juga urusan wellbeing para pelajar. Bukan hanya wellbeing pelajar, wellbeing guru dan staff juga sangat penting. Berbagai literatur meyakinkan bahwa terjaminnya wellbeing guru dan karyawan skeolah sangat berpengaruh secara langsung terhadap wellbeing para pelajar.

Sekalipun urusan akademik adalah urusan yang sangat penting, namun apa artinya jika wellbeing para pelajar tidak bagus? Sementara berbagai penelitian membuktikan bahwa wellbeing sangat berpengaruh terhadap performa kinerja setiap orang.  

Sabtu, 04 Juni 2022

Setelah meraih title Master’s Degree, lantas ngapain?

  

Ini adalah sebuah pertanyaan penting untuk ditemukan jawabannya. Apa yang musti dilakukan setelah kita selesai menempuh program Master’s Degree. Banyak orang yang selesai studi kemudian mereka kembali ke mode awal, menjadi biasa-biasa saja. Program pendidikan Master yang mereka tempuh tidak serta-merta membuat mereka menjadi individu yang berubah peranannya dan kebermaknaannya bagi lingkungan. Ada juga orang-orang yang setelah menyelesaikan program Master, mereka banyak berkiprah dalam memberi warna serta kontribusi bagi banyak orang di bidang yang menjadi ekspertisnya.

Sebagai lulusan program Master, kita bisa saja tidak menjadi apa-apa dan hanya menjadi orang biasa-biasa saja, persis seperti sedia kala saat kita belum menempuh pendidikan Master. Hal tersebut terjadi jika tidak ada breakthrough yang kita lakukan. Salah satu PR besar yang dimiliki oleh para lulusan Master, terlebih lulusan dari kampus ternama di Luar Negeri, adalah bagaimana setelah selesai menmpuh studi mereka bisa berkontribusi. Berdiam diri tanpa karya bukan hanya menjadi aib di lingkungan tempat tinggal, namun juga menjadi beban moral bagi orang tersebut. Untuk apa kuliah jauh-jauh jika tidak ada peningkatan kiprah setelahnya.

Sebagai lulusan program Master, kita bisa berkontribusi dalam beberapa hal. Pertama, berkontribusi dalam menyumbangkan pemikiran. Salurkan gagasan kita melalui tulisan, seminar, workshop, dan pelatihan yang dapat diakses oleh orang banyak. Kedua, kita harus bisa berkontribusi dalam pembuatan kebijakan dalam bidang yang relevan. Tidak ada salahnya untuk kita approach para policymakers. Jangan sungkan-sungkan apalagi merasa inferior untuk dekat dengan para policymakers. Status kita sebagai lulusan perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa bergengsi harus lah cukup menjadi modal untuk kita meyakini bahwa kita layak berada pada circle orang-orang besar. Ketiga, kita harus mampu melakukan personal branding yang kuat dan massif. Tak perlu merasa rendah diri dengan memberikan judgement bahwa personal branding itu lekat dengan sikap narsis. Boleh jadi memang ada jarak yang sangat dekat antara personal branding dengan narsisme. Namun, selama itu dilakuikan dengan tujuan supaya personal branding kita makin kuat, tidak perlu danggap masalah. Dalam dunia personal branding, gimmick sudah menjadi hal biasa. Dan itu halal.

Sebagai lulusan perguruan tinggi Luar Negeri, kita dituntut untuk bisa memiliki citra diri yang lebih baik. Perhatikan gaya komunikasi kita. Perhatikan gaya joke-joke kita. Bukan berarti bahwa kita harus menjadi orang lain. Namun membenahi berbagai aspek diri seperti cara berkomunikasi, bertingkah laku, pola pikir, dan cara menangani berbagai situasi menjadi pertaruhan sebagai seorang lulusan perguruan tinggi Luar Negeri. Selain itu, kita perlu mengurangi terlibat dalam drama-drama atau urusan-urusan yang remeh temeh.

Terus berkarya, berkontribusi dan memberi manfaat bagi banyak orang!