Kamis, 26 Mei 2022

Pentingnya Mengungkapkan Kekesalan dengan Bahasa yang Baik

 

Salah satu kebiasaan yang sekarang aku baru sadar penting untuk dikembangkan sedari usia dini adalah mengungkapkan protest, keluhan atau kekesalan terhadap orang lain dengan bahasa yang baik. Dalam menjalani hidup dan berinteraksi dengan orang lain, kita pasti pernah mendapatkan pengalaman merasakan suatu situasi yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang lain terhadap kita. Ketika mengalami hal seperti itu, sebagian orang memilih memendam keluh kesah tersebut dan membiarkannya mengendap dalam ruang pikiran dan perasaan. Pemilihan sikap seperti ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang cenderung merasa tidak enak hati untuk jujur mengungkapkan keluhan terhadap orang lain. Orang-orang yang memilih sikap ini juga kadang lebih memilih untuk “nggondok” daripada harus mengambil resiko menyinggung perasaan orang lain. Akibatnya, terjadi konflik batin yang tentu menyiksa diri.

Sebagian orang lainnya memilih untuk melampiaskan protes, keluhan atau kekesalan secara frontal. Ekspresi pelampiasaan gejolak perasaan tersebut cenderung bercampur dengan emosi yang tidak stabil. Amarah, kata-kata dengan nada tinggi, dan sikap reaktif ditunjukkan oleh orang-orang tipe ini. Memang, ada rasa lega setelah mengungkapkan kekesalan. Namun, rasa lega tersebut terkadang bercampu dengan penyesalan. Penyesalan muncul karena emosi yang meluap-luap tanpa terkendali kadang menimbulkan sikap reaktif yang berlebihan. Apalagi jika kekesalan yang kita luapkan ternyata tidak sepenuhnya merupakan kesalahan dari orang lain. Tentu aka nada rasa sesal yang lebih besar lagi. Dalam situasi apa pun, ungkapan emosi yang berlebihan tanpa kendali tidak lah baik.

Sementara, sebagian orang lainnya memilih untuk mengungkapkan keluhan atau kekesalan terhadap orang lain dengan bahasa dan cara yang baik. Orang-orang tipe ini cenderung paling sedikit jimlahnya disbanding dengan dua tipe orang yang disebutkan sebelumnya. Apalagi dalam kultur beberapa komunitas tertentu yang orang-orangnya cenderung suka merasa “ndak enak”. Pilihan mengungkapkan kekesalan dengan bahasa dan cara yang baik kadang dirasa tidak perlu, padalah ini adalag pilihan sikap yang terbaik saat menghadapi kekesalan atau keluhan.

Memiliki kebiasaan mengungkapkan keluhan dan kekesalan dengan bahasa yang baik biasanya membutuhkan proses pembiasaan. Lingkungan biasanya merupakan factor yang sangat berpengaruh terhadap terbentuknya kebiasaan tersebut. Seorang individu yang dibesarkan di lingkungan keluarga atau masyarakat yang suka memendam unek-unek cenderung memendam kekesalan. Sementara seorang individu yang dibesarkan di lingkungan yang mudah untuk menyampaikan kekesalan dengan bahasa yang baik maka akan tumbuh pula kebiasaan baik tersebut.

Ada beberapa efek positif dari mengungkapkan kekesalan atau keluhan dengan bahasa dan sikap yang baik. Yang pertama, mencurahkan keluh kesah melalui bahasa yang baik akan sangat bagus efeknya terhadap kesehatan mental, emosional dan psikologis. Akan ada rasa lega yang dirasakan oleh orang yang memiliki kebiasaan baik ini. Yang kedua, kebiasaan mengungkapkan kekesalan atau keluhan dengan bahasa dan sikap yang baik akan memunculkan rasa percaya diri yang tinggi. Rasa percaya diri tersebut juga bisa membuat seseorang meyakini bahwa dia adalah orang yang pandai dalam mengendalikan situasi dan pergolakan batin. Yang ketiga, kebiasaan positif ini akan mengembangkan kemampuan diplomatis dan dialogis seseorang. Orang yang mampu mengungkapkan unek-uneknya melalui bahasa yang baik akan tumbuh kemampuannya dalam memecahkan masalah secara diplomatis.

Kekerasan dan sikap reaktif kadang muncul ketika orang merasa buntu untuk memilih sikap terbaik saat menghadapi kekesalan. Jika pun tidak muncul sikap reaktif atau kekerasan, maka dampak negative minimal yang dialami oleh orang yang tidak memilih untuk mengungkapkan kekesalan melalui bahasa yang baik adalah konflik batin yang merugikan kesehatan mental, emosional, dan psikologis mereka. Oleh karena itu, penting sekali bagi orang tua untuk mengembangkan kebiasaan anak mengungkapkan kekesalan dan keluhan dengan bahasa yang baik.

Kamis, 19 Mei 2022

Dampak Bullying dan Pentingnya Wellbeing di Sekolah

 

Di tempat aku bekerja paruh waktu ini aku bertemu dengan seorang pekerja yang sangat ramah. Namanya Calleb. Usianya 27 tahun. Aku menilainya ramah, karena dalam persepsiku sikap seperti itu tidka biasanya nampak pada anak muda Australia. Dia Nampak selalu berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata. Meski demikian, hal itu tidak berarti bahwa dia tidak suka bercanda dengan kawan atau rekan kerjanya. Selain itu, dia juga terlihat seperti pribadi yang kurang percaya diri. Hal tersebut nampak dari gestur dan cara berbicaranya.

Aku sempat berbincang dengannya tentang berbagai hal. Salah satu yang kutanyakan adalah apakah dia kuliah. Kemudian dia bercerita bahwa dia putus sekolah saat dia berada di kelas 8 secondary school, alias kelas 2 SMP kalo dalam system Pendidikan di Indonesia. Alasan dia Drop Out (DO) cukup mengejutkan. “School is suck! I got bullied many times but everyone at school did nothing”. Demikian sepenggal kalimat yang dia ucapkan. Dia Nampak merasa kesal dan kecewa dengan lingkungan skeolahnya. Dia mengalami bully an yang cukup sering dari teman-teman sekolahnya. Namun dia merasa tidak mendapatkan pembelaan dari siapa pun di sekolah tersebut. Hgal tersebut membuatnya memutuskan untuk keluar sekolah.

Beruntung dia tinggal di Australia dan menjadi warga negara Australia. Di Australia, kesempatan untuk make a living begitu banyak. Bahkan orang yang tidak berpendidikan saja bisa mendapatkan penghidupan yang layak, asal mau bekerja. Di Indonesia,  jangankan orang yang tidak berpendidikan, orang berpendidikan pun banyak yang menganggur karena terpental dari persaingan lapangan pekerjaan. Sementara, di Australia, orang yang DO dari sekolah seperti Caleb ini masih bisa hidup layak memiliki rumah layak dan kendaraan seharga $AUS 30.000 tanpa warisan dari orang tuanya.

Di sini saya tidak akan focus pada pembahasan mengenai kesempatan hidup layak di Australia. Hal yang menarik untuk dibahas adalah betapa isu wellbeing siswa adalah nyata. Isu wellbeing sangat berpengaruh terhadap siswa dalam konteks komunitas, budaya, maupun negara mana pun. Berbagai kasus yang berhubungan dengan wellbeing di lingkungan pendidkan di Indonesia juga sebenarnya banyak. Namun hal tersebut nampak belum dipandang sebagai sebuah isu yang krusial. Pertikaian, bullying, dan gesekan antar individu di lingkungan Pendidikan masih sering dipandang sebagai domain antar individu yang terlibat dalam maslaah tersebut semata. Padahal masalah seperti itu layak untuk diperhatikan dan dimasukkan ke dalam kerangka kebijakan di lingkungan pendidikan.

Berbagai negara maju sudah menjadikan wellbeing sebagai isu strategis dan mendapaktan porsi perhatian besar. Bahkan berbagai sekolah di Australia memiliki satu tim khusus yang menangani urusan wellbeing warga sekolah. Hal tersebut muncul karena kesadaran para pemangku kebijakan Pendidikan di Australia akan besarnya pengaruh wellbeing terhadap keberhasilan individu pada khususnya dan pencapaian tujuan Pendidikan pada umumnya.

Sekolah semestinya tidak hanya berfokus pada pencapaian prestasi akademik, penguatan karakter dan keterampilan peserta didik semata. Penyelenggaraan Pendidikan semestinya juga memperhatikan pentingnya kesehatan mental, emosional, fisik dan psikologis semua individu yang ada di lingkungan Pendidikan. Untuk apa prestasi akademik meningkat jika pencapaian tersebut diraih dengan mengorbankan kesehatan mental, emosional, atau pskologis? Untuk apa prestasi-prestasi individu banyak, jika antar individu tidak terbangun sikap saling menghargai dan menghormati?

Beruntung Caleb adalah warga Australia dan tinggal di Australia. Bayangkan Calleb Calleb lain yang ada di negara seperti Indonesia yang kesempatan untuk make a living tidak sebanyak dan sebagus Australia. Jika mereka tidak memperoleh lingkungan yang bagus, mereka mungkin hanya akan menjadi gelandangan setelah putus sekolah.

Semoga kebijakan-kebijakan di Indonesia di sector Pendidikan semakin memperhatikan pentignya wellbeing warga sekolah.  

Rabu, 18 Mei 2022

Wellbeing dan Respek dalam Interaksi antar Pekerja

 

Senin kemarin adalah hari pertama aku masuk kerja di sebuah perusahaan supplier ayam di South Australia. Karena berbagai aktivitas perkuliahan sudah cukup kondusif, aku memberanikan diri mengambil kesempatan kerja casual. Namun kali ini aku mengambil kerja casual dengan jumlah jam kerja yang cukup banyak. Namun tipe pekerjaan yang aku jalani adalah pekerjaan casual, bukan tipe full-time.

Kerja casual waktu adalah hal lumrah yang dilakukan oleh mahasiswa yang kuliah di Australia. Selain karena adanya kesempatan, kerja casual juga bisa mendukung wellbeing mahasiswa. Tidak dapat dipungkiri bahwa terjaminnya aspek finansial adalah salah satu penunjang wellbeing yang tentunya berpengaruh terhadap performa studi mahasiswa yang kuliah di Australia. Tulisan ini tidak akan membahas tentang wellbeing atau kerja casual. Tulisan ini akan berkaitan dengan kesan positif yang aku alami saat memulai bekerja di tempat baru ini.

Aku tiba di tempat kerja pukul 6.10 pagi. Langit masih gelap. Namun banyak pekerja yang nampak sudah standby di tempat tersebut. Aku bertemu dengan sosok tinggi besar yang ternyata adalah manajer di perusahaan tersebut. Aku disambut dengan sangat baik. Manajer tersebut terlihat ramah. Meski baru kenalan, sesekali dia menyisipkan candaan. Aku jadi merasa diterima di tempat kerja tersebut. Aku diperkenalkan dengan satu persatu para pekerja, yang jumlahnya tidak begitu banyak. Hanya ada sekitar 6 orang pegawai perusahaan tersebut. Selain itu, ada juga beberapa pekerja dari perusahaan outsourcing yang sedang mengerjakan proyek sanitasi di tempat aku bekerja.

Satu hal yang aku amati adalah nuansa interaksi antar pekerja. Nuansa terpenuhinya wellbeing begitu terasa. Pekerja satu dengan yang lainnya terlihat ramah. Sebelumnya, aku membayangkan adanya nuansa tidak menyenangkan seperti bullyan yang mungkin aku bakal terima. Bullyan tersebut bisa karena aku adalah satu2nya orang asing. Bisa jadi karena bahasa inggrisku yang terdengar agak berbeda dari aksen mereka. Atau aspek lainnya. Namun ternyata prasangka negatifku tidak terbukti.

Aku masih teringat bahwa dalam sebuah program induksi yang aku jalani, sebagai bagian dari proses rekrutmen pekerja, aku membaca prinsip dan filosofi perusahaan. Prinsip tersebut terkait dengan bagaimana antar pekerja seharusnya berinteraksi antar satu sama lain. Perusahaan tersebut sangat menjunjung tinggi nilai toleransi, saling menghormati, dan saling mendukung. Bahkan di sebuah papan tulis yang ada di ruang makan tertulis sebuah kalimat yang berisi tentang keharusan semua orang untuk RESPECT satu sama lain.

Nuansa nyaman semacam ini semakin meyakinkanku bahwa betapa wellbeing benar-benar dikampanyekan di berbagai aspek kehidupan masyarakat Australia. Bukan hanya di lingkungan pendidikan saja wellbeing diprioritaskan, namun ada juga di lingkungan kerja, di layanan-layanan masyarakat, di fasilitas umum, dan sebagainya.

Prinsip dan nilai yang menjadi komitmen perusahaan tersebut dalam hal interaksi antar pekerja merupakan sebuah contoh bagus yang bisa diadopsi oleh perusahaan manapun. Interaksi antar pekerja itu harus dijaga kondusivitasnya. Lingkungan pekerjaan yang nyaman adalah salah satu faktor penting produktivitas pegawai. Lingkungan pekerjaan yang nyaman adalah salah satu faktor penting yang bisa mengantarkan tercapainya tujuan besar perusahaan atau organisasi. Ini penting untuk dicontoh.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa produktivitas akan muncul dalam suasana penuh tekanan. Dalam teori behavioristik, ada istilah reward and punishment. Sudah lama prinsip reward and punishment diterapkan dalam lingkungan pekerjaan dan pendidikan. Reward and punishment diyakini bisa menjadi faktor pemicu produktivitas maksimal dalam berbagai konteks. Namun di era sekarang, paradigma penciptaan produktivitas kinerja sudah bergeser menuju apa yang disebut dengan terjaminnya wellbeing individu.

Aku membayangkan jika sekolah, lingkungan pekerjaan, dan konteks interaksi antar manusia lainnya memprioritaskan wellbeing, mungkin akan ada banyak perubahan positif dalam kehidupan manusia.

Rabu, 11 Mei 2022

Cara Mendapatkan Respek dari Orang Lain


Setiap orang pasti berharap mendapatkan rasa hormat atau respek dari orang lain. Namun pada kenyataannya, tidak semua orang mendapatkan respek dari orang lain. Ada orang yang pembawaannya selalu membuat orang lain merasa segan dan ingin menunjukkan rasa hormat kepada mereka. Sementara ada banyak pula orang yang pembawaannya nampak remeh, sehingga selalu diremehkan oleh orang lain.

Sebenarnya, sikap respek tidaknya orang lain terhadap kita dipengaruhi oleh banyak factor. Factor pertama dan paling penting yang menentukan respek tidaknya orang lain terhadap kita adalah pikiran dan perasaan kita. Pikiran dan perasaan merupakan titik awal yang menentukan bagaimana orang lain bersikap terhadap diri kita. Orang yang meyakini dan berusaha meyakini bahwa dirinya adalah pribadi yang berharga, layak dihormati, menghormati orang lain, dan bisa mengendalikan diri dalam segala situasi, maka akan cenderung mendapat sikap respek dari orang lain. Kondisi pikiran dan perasaan sangat berpengaruh terhadap bagaimana kita bersikap, menentukan gesture tubuh yang kita tampilkan, dan cara kita berkomunikasi. Pribadi yang meyakini bahwa dirinya berharga akan cenderung bersikap elegan. Sikap elegan tersebut akan terbaca oleh orang lain dan seloah memberitahu mereka untuk bersikap hormat pada diri kita. Akhirnya sikap elegan tersebut benar-benar mengarahkan mereka untuk menunjukkan rasa hormat mereka terhadap kita.

Sementara, orang-orang yang tidak dihormati dan mendapatkan perlakuan secara tidak hormat juga biasanya berawal dari cara pandang terhadap diri sendiri yang keliru. Mereka membiarkan diri mereka berpikir dan merasa tidak berharga, tidak bernilai, minder, dan inferior. Pikiran dan perasaan negative tersebut akan berpengaruh dan menentukan sikap kita, cara berbicara kita, gestur tubuh kita, bahkan cara berjalan kita. Orang yang percaya diri pasti cara berjalannya Nampak berbeda dari orang yang tidak percaya diri. Mungkin di balik pikiran dan perasaan negative tersebut ada pengalaman tidak menyenangkan yang mempengaruhinya. Namun, kita seharusnya tidak membiarkan pengalaman pahit mendikte pikiran dan perasaan kita.

Orang menunjukkan respek terhadap diri kita juga bisa dipengaruhi oleh default ekspresi wajah kita. Ada orang yang ekspresi wajahnya memancarkan aura remeh temeh, yang membuat orang lain meremehkannya. Sementara ada pula orang yang secara default wajahnya selalu memancarkan aura yang membuat orang lain merasa bahwa ia layak dihormati. Orang-orang yang Nampak cool dan tenang dalam segala situasi adalah termasuk tipe orang yang secara default memancarkan aura layak dihormati.

Default ekspresi wajah kita dipengaruhi oleh banyak hal. Tampilan fisik yang menawan tidak menjamin seseorang secara default memancarkan aura layak dihormati. Begitu pula tampilan fisik yang kurang rupawan tidak menjamin seseorang secara default memancarkan aura layak untuk diremehkan.

Kabar baiknya, pikiran dan perasaan kita bisakita kendalikan dan arahkan, jika kita mau. Ini butuh Latihan yang cukup memakan waktu. Ini butuh ilmu atau pemahaman yang cukup. Kita bisa merubah persepsi kita terhadap diri kita melalui afirmasi positif. Afirmasi positif melalui pemilihan kata-kata positif tentang diri yang diulang-ulang pada akhirnya akan bisa mempengaruhi pikiran dan perasaan. Hal ini mungkin terkesan irasional bagi Sebagian orang. Namun, banyak pakar psikologi yang telah membuktikan kebenarannya. The power of positive affirmation itu nyata, dan telah menjadi topik diskusi yang cukup massif dalam dunia psikologi.

Kesimpulannya, untuk mendapatkan respek dari orang lain, maka kita perlu mengendalikan pikiran dan perasaan kita untuk meyakini bahwa kita adalah pribadi berharga, menghormati orang lain dan layak mendapat sikap hormat dari orang lain. Pikiran dan perasaan yang dikondisikan sedemikian rupa akan berpengaruh terhadap pilihan gestur dan cara berkomunikasi kita. Pada akhirnya, hal tersebut akan menyiratkan pesan terhadap orang lain bahwa kita adalah pribadi yang layak dihargai dan dihormati.

Selasa, 10 Mei 2022

Kebijakan Libur Bagi Guru, Wellbeing, dan Pengalaman Belajar Siswa

 

Saya memiliki pertanyaan yang hingga sekarang belum terjawab. Pertanyaannya adalah “sebenarnya setiap kebijakan dalam dunia pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu didasari oleh landasan pemikiran yang ilmiah atau tidak sih?” Saya mengamati beberapa kebijakan pemerintah yang kemudian memunculkan hipotesis bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak atau kurang didasari oleh pertimbangan ilmiah. Contoh kebijakan yang dimaksud adalah jumlah jam belajar siswa di sekolah, jumlah jam kerja guru, kebijakan libur untuk guru, serta kebijakan-kebijakan lain yang berimplikasi terhadap wellbeing siswa dan guru.

Focus bahasan dalam tulusan ini adalah ulasan dan kritik terhadap kebijakan libur guru SMA dan SMK di provinsi Jawa Tengah. Dulu, sebelum tahun 2018, guru di Jawa Tengah memiliki libur yang cukup proporsional. Selain libur di hari-hari besar nasional, guru juga memiliki waktu libur di akhir semester, sebagaimana diliburkannya pula para siswa. Namun, entah dengan pertimbangan apa, sejak awal 2018, ada perubahan kebijakan libur bagi guru-guru SMA dan SMK di Jawa Tengah. Liburnya siswa di akhir semester tidak serta-merta disertai dengan liburnya guru.

Hingga tulisan ini dibuat, saya belum menemukan dokumen aturan mengenai kebijakan libur bagi guru SMA dan SMK Jawa Tengah. Namun, secara fakta, guru-guru SMA dan SMK di sekolah negeri di Jawa Tengah tidak diberikan hak untuk libur saat siswa libur sekolah. Hal ini mengusik pikiran saya, kenapa guru tidak diberikan hak libur saat siswa libur sekolah?

Ada satu hal yang sepertinya memang diabaikan dalam konteks system pendidikan di Indonesia. Hal tersebut adalah wellbeing guru dan siswa. Kenapa isu wellbeing tentang guru dan siswa penting untuk diperhatikan? Jawabannya adalah karena sejatinya penyelenggaraan pendidikan formal di sekolah adalah bermuara pada kebaikan para siswa. Kebaikan bagi siswa yang dimaksud ditandai dengan pencapaian-pencapaian berbagai aspek seperti terbentuknya karakter positif, terasahnya berbagai kecerdasan, serta terasahnya berbagai keterampilan siswa. Sedangkan guru adalah actor utama dalam perwujudan pendidikan yang berkualitas bagi pendidik.

Banyak stakeholder pendidikan yang mungkin kurang menyadari pentingnya wellbeing. Hal tersebut bisa dipahami karena wellbeing, meski bukan hal baru, adalah konsep yang belum cukup menyita perhatian dalam diskusi di dunia pendidikan di Indonesia. Bahkan, padanan kata untuk wellbeing pun sepertinya belum ada di Indonesia. Kita bisa melihat, dalam berbagai dokumen yang mencatut wellbeing, kata wellbeing diadopsi secara utuh tanpa menggunakan padanan kata dalam bahasa Indonesia.

Secara harfiah, konsep wellbeing mencakup kondisi kesehatan psikologis, mental, emosional, dan fisik seorang individual. Wellbeing adalah hal yang bersifat netral, namun mudah terpengaruhi oleh factor eksternal. Berbicara tentang definisi dari wellbeing, seorang pakar wellbeing bernama Martin Seligman membuat sebuah kerangka berpikir yang sering disebut sebagai PERMA. PERMA merupakan singkatan dari Positive Emotion, Engagement, Positive Relationship, Meaning and accomplishment.

Lantas, apa kaitannya antara wellbeing guru, kebijakan libur bagi guru, dan siswa? Guru adalah sebuah profesi yang cukup rentan dengan masalah psikologis, emosional, dan mental. Banyaknya tuntutan pekerjaan guru seringkali membuat seorang guru rentan mengalami stress, baik stress level ringan maupun berat. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa tuntutan pekerjaan guru membuat banyak guru mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan wellbeing tersebut. Sementara, wellbeing guru terbukti berpengaruh terhadap siswa. Wellbeing yang terganggu akan berimplikasi terhadap peforma guru dalam mengajar. Tentunya, performa mengajar guru sangat mempengaruhi pengalaman serta hasil belajar siswa. Sehingga, sangat jelas bahwa wellbeing guru berdampak pada proses dan pencapaian pembelajaran siswa.

Kebijakan libur bagi guru adalah cukup mendapat perhatian yang serius di berbagai Negara yang system pendidikannya maju seperti Australia, Finlandia, Jepang, Amerika, Selandia Baru dan lainnya. Negara-negara maju tesebut memiliki kebijakan libur bagi guru yang cukup menarik untuk dibahas. Di Australia, para guru memiliki jatah libur dengan jumlah total 12 minggu tiap tahunnya. Libur tersebut di adalah libur sekolah, di luar libur hari besar nasional. Di Jepang dan Australia, guru memiliki jumlah libur sekolah dengan total kurang lebih 10 minggu. Kebijakan libur di Finlandia, dan Selandia Baru pun kurang lebih sama. Intinya, Negara-negara tersebut mengalokasikan liburan bagi guru dalam jumlah yang relative proporsional.

Mungkin ada pertanyaan, mengapa Negara-negara tersebut mengalokasikan hari libur yang cukup banyak bagi para guru? jawabannya adalah bahwa hal tersebut merupakan bagian dari kebijakan untuk menunjang wellbeing guru. Mereka menyadari bahwa wellbeing yang positif akan berimplikasi positif pula terhadap performa kinerja. Sebaliknya, wellbeing yang negative akan berimplikasi negative pula terhadap kinerja. Menurut Pasi Sahlberg (seorang pemerhati pendidikan yang berasal dari Finlandia) pemberian porsi libur yang cukup bagi guru dipandang sebagai salah satu solusi bagi profesi guru yang rentan terhadap stress dan masalah psikologis lainnya yang berimplikasi pada kinerja guru. Waktu libur bagi guru yang cukup akan menunjang wellbeing guru. sementara, wellbeing guru yang bagus akan berpengaruh positif terhadap kinerja mereka dalam mengajar. Akhir dari wellbeing guru yang positif adalah pengalaman belajar siswa yang maksimal. 

Dalam dunia penelitian, ada istilah variable bebas (independent variable) dan variabel terikat (dependent variable). Wellbeing guru merupakan bahgian dari variable bebas yang berpengaruh terhadap pengalaman dan hasil belajar para siswa (dependent variable). Yang namanya variable, level pengaruhnya beragam. Ada variabel yang memiliki pengaruh besar dan dominan. Ada pula variable yang sedikit pengaruhnya. Terlepas besar kecilnya Wellbeing sebagai variable yang mempengaruhi pengalaman dan hasil belajar para siswa, wellbeing tetap layak untuk menjadi perhatian dunia pendidikan, karena secara ilmiah wellbeing berdampak pada kualitas pembelajaran para siswa. 

Jika negara-negara maju memberikan kebijakan libur yang relative cukup bagi guru dengan alasan-alasan ilmiah tadi, lantas, apa yang mendasari kebijakan pelitnya waktu libur bagi guru di Jawa Tengah? Apakah hal tersebut dimaksudkan agar guru bisa lebih maksimal dalam mengajar? Apakah hal tersebut dimaksudkan agar memberikan dampak positif bagi pendidikan para siswa? Ataukah itu hanya kebijakan asal-asalan yang miskin pertimbangan ilmiah? Memang sih, setiap Negara memiliki pendekatan berbeda dalam merumuskan suatu kebijakan terkait pendidikan. Namun, semestinya selalu ada dasar rasional dan ilmiah mengapa suatu kebijakan dibuat. Jangan sampai kebijakan dibuat sesuka hati para pemangku kebijakan dengan dasar subjektivitas.

Jika memang tidak ada korelasi positif antara pelitnya kebijakan libur bagi guru dan maksimalnya hasil pendidikan para siswa, maka kebijakan tersebut harus ditinjau ulang. Guru harus dijamin welbeingnya, karena wellbeing guru terbukti secara ilmiah berimplikasi terhadap wellbeing siswa dan proses serta hasil belajar siswa.

Tantangan Saat Kembali Mengabdi

 

“Inovasi tanpa dukungan ekosistem hanya akan menjadi potensi individu”

Najeela Shihab

 

Masih teringat jelas pengalaman tahun-tahun pertama aku mengajar di SMA. Di saat guru-guru lain belum begitu familiar dengan penggunaan teknologi, aku sudah mengakrabkan murid-muridku dengan penggunaan teknologi seperti laptop, internet, video, proyektor dan lainnya, sebagai media pendukung pembelajaran. Masih teringat jelas, saat itu aku mendapati cibiran dari beberapa rekan sejawat.

“ngajar kok rame banget, mengganggu yang lain”.

“itu mengajar atau main-main”.

“Mengajar anak SMA kok kayak mengajar anak TK”.

Itu adalah kalimat-kalimat cibiran dari mereka. Sebagian aku dengar sendiri saat tak sengaja aku nguping gunjingan mereka. Sebagian lainnya aku dapatkan dari laporan seorang kawan yang aku kenal baik, dan juga laporan muridku yang mendengarkan keluhan guru lain atas ramainya kelas yang aku ampu.

Beberapa tahun kemudian, rekan guru lainnya mulai tertarik menggunakan teknologi untuk pembelajaran. Mereka merasakan manfaat penggunaan teknologi, yaitu berupa kemudahan dan efektivitas dalam menyampaikan materi pembelajaran.

Jauh sebelum masifnya kampanye literasi di sekolah-sekolah, aku sudah terlebih dahulu berupaya menggiatkan literasi sekolah melalui sebuah program yang aku rintis bersama beberapa siswa. Program tersebut kami beri nama “Reading Community”, atau disingkat menjadi ReCom. ReCom adalah komunitas yang memiliki semangat untuk menggiatkan literasi. Berbagai program yang kami laksanakan begitu banyak, seperti bedah buku, bedah film, penulisan majalah dinding, dan pembuatan bulletin. Sebenarnya ada banyak program lainnya. Namun, program-program tersebut tidak berjalan karena kurang adanya dukungan ekosistem.

Berjuang sendiri dan menjadi orang yang suaranya belum didengar sangatlah melelahkan. Di sekolah tersebut, senioritas nampak begitu dominan. Guru-guru dan karyawan-karyawan senior cenderung bersuara lantang, dan suaranya seringkali didengar oleh rekan sejawat. Sementara, guru yang masih sedikit masa pengabdiannya seperti aku cenderung kurang didengar pendapatnya. Bahkan, kadang untuk bersuara saja aku kurang berani. Sudah ada rasa skeptis duluan bahwa pendapatku tidak akan ditanggapi.

Itu cerita lama.

Sekarang aku menyongsong chapter baru dalam perjalanan karirku sebagai seorang guru.

Aku sedang menempuh pendidikan master di sebuah perguruan tinggi di Australia, dengan harapan bisa memperoleh ilmu yang bisa berdampak bagi peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Targetku ndak muluk-muluk sih. Aku ingin berkontribusi pada peningkatan kualitas performa mengajar guru. Aku juga ingin berkontribusi dalam menciptakan sebuah framework yang bisa membuat para guru atau calon guru memiliki jiwa pembelajar dan growth mindset.

Menjadi seorang lulusan program magister dari sebuah perguruan tinggi Luar Negri yang masuk dalam top 1% mungkin akan menjadi nilai tambah buatku dalam berkarya dan berkontribusi. Ilmu-ilmu yang berhubungan dengan pendidikan jelas kudapat. Gelar pun ku raih. Namun pertanyaannya, apakah hal tersebut akan menjamin bahwa suaraku akan didengar? Ini yang sedang menjadi pemikiranku. Banyak lulusan luar negeri yan ketika kembali ke kampong halaman mereka tidak menjadi siapa-siapa. Mereka kembali ke menjadi biasa-biasa saja.

Aku jadi berpikir, aku yang pulang dengan segudang gagasan dan idealisme apakah akan mampu bertumbuh dan berkembang di lingkungan tempatku kembali bekerja nanti? Aku membayangkan harus berjibaku dengan berjuang sendiri mewukudkan idealisme dan merintis ekosistem sendiri. Guru-guru yang memiliki mindset pembelajar, program-program sekolah yang berorientasi pada pemberdayaan guru dan siswa secara maksimal, serta siswa-siswa yang benar-benar merasakan manfaat nyata dari sekolah, adalah beberapa dari sekian banyak hal yang ingin aku wujudkan.

 

Senin, 02 Mei 2022

Ramadhan Berlalu, Hati Pilu

 

Melewatkan momen ramadhan tuh rasanya sama seperti menyia-nyiakan cinta seseorang yang tulus ndak sih? Aku merasa begitu. Aku merasa kurang begitu maksimal memanfaatkan momen ramadhan untuk melakukan berbagai kebaikan. Padahal, ramadhan adalah bulan dilipatgandakannya pahala atas kebaikan yang manusia perbuat. Ramadhan adalah momen untuk refleksi tahunan yang sangat tepat. Kapan lagi kita mendapati momen bangun malam untuk berkontemplasi selain di bulan ramadhan? Sebenarnya di bulan lain pun kita bisa melakukan kontemplasi tersebut. Namun dukungan lingkungan saat ramadhan jelas menjadi pembeda. Di bulan-bulan biasanya, sepertinya butuh effort yang sangat besar untuk bangun malam demi menunaikan ibadah, bertafakur, melakukan refleksi, serta detoksifikasi mental dan emosional. Sementara selama ramadhan, rasa enggan kita akan mudah dikalahkan oleh situasi lingkungan yang mendorong kita untuk bangun malam.

Ramadhan adalah waktu yang lama bagi orang yang benar-benar menyadari betapa berharganya ramadhan. Namun bahgi orang yang terbiasa take it for granted, ramadhan akan terasa cepat dan kurang membekas maknanya. Kini, ramadhan sudah berlalu. Rasanya seperti hanya sekelebat dia singgah, padahal sebulan lamanya. Dulu sebelum ramadhan terbayang jelas berbagai rencana dalam pikiran tentang apa yang hendak dilakukan. Namun saat ramadhan, rasanya banyak rencana kebaikan yang terlewatkan begitu saja dan urung untuk diwujudkan.

Ini adalah catatan penyesalan, yang sepertinya selalu terulang setiap tahunnya. Selalu ada rasa sesal atas berlalunya ramadhan. Namun hal tesebut terulang di kemudian tahun. Manusia memang makhluk yang seringkali tidak belajar dari kesalahan dan penyesalan. Angan kita terlalu panjang, meyakini bahwa momen-momen berharga pasti akan datang. Padahal, siapa yang jamin bahwa di tahun yang akan datang kita akan dipertemukan dengan ramadhan.

Dalam hidup, aku telah melewatkan banyak momen berharga. Sepertinya aku masih harus belajar untuk tidak melewatkan momen berharga. Waktu adalah hal yang sangat berharga, dan tiada tara nilainya. Bahkan orang terkaya di dunia seperti Elon Musk dan Bill Gates saja tidak mampu mengembalikan waktu yang telah berlalu. Kini aku hanya bisa meratapi sedihku karena telah melewatkan ramadhan sambil berharap akan bertemu lagi dengan ramadhan di tahun selanjutnya. Andai dipertemukan lagi dengan ramadhan pun tidak ada jaminan bahwa aku akan jauh lebih baik dalam memaksimalkan momen ramadhan itu. Manusia mudah lupa. Apa yang ia sesali tidak selalu merubahnya menjadi lebih baik. Aku tak tahu sampai kapan aku hidup.

Meski begitu, aku masih berharap bertemu dengan ramadhan di tahun berikutnya, dan berikutnya, dan seterusnya, sambil membawa semangat memaksimalkan ramadhan sebagaimana yang sekarang aku punya.