Rabu, 31 Juli 2013

Pembunuh motivasi itu bernama RANKING

Pagi itu dia merenung. Masih membekas pukulan keras dalam batinnya atas kegagalannya mempertahankan posisi puncak ranking di kelasnya. Batinnya masih tak bisa percaya itu bisa terjadi pada dirinya. Namun, itu adalah pengalaman nyata yang willy-nilly harus ia alami. Kini, ia mulai tegar menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan. Betapa beruntungnya dia memiliki satu sifat positif, yaitu kesadaran untuk menggali hikmah dari setiap peristiwa.

Kini, dia merenungkan apa moral lesson di balik kegagalannya tersebut. Nalar kritisnya mulai bergentayangan. Hingga akhirnya muncul satu pertanyaan dalam benaknya, mengapa harus ada rankin. Ya, kemunculan pertanyaan tersebut bisa jadi merupakan luapan emosional atas kegagalan yang ia alami. Namun lebih dari itu, ternyata itu adalah hasil penalaran kritisnya terhadap eksistensi ranking yang ada di lembaga pendidikan formal.

Sekarang, mari kita kaji bersama-sama mengenai plus minus eksistensi ranking di sekolah. Setelah sekian lama direnungkan, ternyata ada kesimpulan yang cukup mengusik pikiran. Nah..apa itu kesimpulannya? Begini, Keberadaan ranking itu sangat kontra-produktif bagi siswa. Entah apa alasannya jika ranking harus ada. Tapi, boleh lah kita meraba. Konon, keberadaan ranking memiliki dua alasan pokok. Yang pertama adalah sebagai sebuah cara melecutkan motivasi siswa mencapai prestasi di sekolah. Ada harapan bahwa ranking akan mendorong siswa untuk termotivasi dalam belajar, hingga mendapatkan nilai memuaskan yang menjadi tolok ukur kepintaran. Benar-benar konvensional. Memotivasi dengan cara memberikan iming-iming posisi puncak. Masalahnya, yang namanya puncak itu hanya ada satu. Yang kedua, ranking merupakan reward bagi siswa yang pintar, rajin dan aktif di sekolah. Wah..ternyata alasannya mulia juga yah. Okelah...

Faktanya, siswa datang ke sekolah untuk mengenyam pendidikan berbekal ragam level motivasi diri yang berbeda-beda. Sebagian siswa termotivasi dengan penuh kesadaran untuk giat belajar dan berkarya di sekolah. Sebagian lainnya tidak memiliki motivasi yang memadai, sehingga sekolah ber’itikad mengadakan ranking agar siswa termotivasi untuk berkompetisi mendapatkan nilai yang memuaskan, setinggi-tingginya, sebesar-besarnya. Ibarat di arena balap kuda, mereka diadu satu sama lain, dan yang tercepatlah yang mendapat reward. Oleh karena itu format raport nilai jaman dahulu mencantumkan kolom untuk diisi ranking siswa. Namun kok raport sekarang tidak mencantumkan kolom tersebut? Ya ntar kita bahas lebih lanjut.

Nah, poin yang perlu dijabarkan selanjutnya adalah apa yang salah pada ranking. Ada. Ada sisi negatif pada ranking. Mari telisik bersama!

Sisi negatif ranking yang pertama, tidak ada dampak pemerataan motivasi pada siswa secara keseluruhan atas sistem perankingan tersebut. Ranking ternyata hanya memberikan dampak motivatif bagi siswa tertentu, bukan sebagian besar siswa. Mengapa demikian? Karena dalam sistem ranking, yang mendapat posisi tertinggi ya cuma satu orang. Ranking satu ya Cuma satu. Orang tersebut lah yang bangga dan bergembira. Apakah dikira posisi dua, tiga, dan seterusnya juga akan memperoleh motivasi dalam perankingan tersebut? Belum tentu. La bagaimana dengan mereka yang sama sekali tidak mendapatkan ranking di kelas? Mau tidak mau, rasa rendah diri, rasa pecundang, dan rasa tak berarti muncul dalam benak mereka yang tak ber-ranking. Kecuali mereka yang benar-benar tak peduli dengan tujuan mereka belajar di sekolah.

Poin kedua, Ranking bisa membuat siswa down, bahkan ketika nilai mereka naik sekalipun. Sudah terbukti nyata bahwa ranking membuat banyak siswa merasa frustasi ketika ranking mereka tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, meskipun mereka sudah belajar lebih giat, lebih smart dan menghasilkan kenaikan nilai yang signifikan. Alih-alih mendapati semangat yang lebih tinggi untuk mendapat nilai lebih baik, ternyata kondisi tersebut malah menguatkan prasangka siswa bahwa apa yang mereka lakukan selama ini sia-sia. Kenaikan nilai yang mereka dapatkan terasa percuma manakala mengetahui bahwa nilai temen mereka naik lebih tinggi. Sehingga, jika diranking, maka posisi mereka tidak beranjak signifikan, karena ada teman yang lonjakan peningkatan nilainya signifikan pula.

Poin ketiga, ranking ternyata rentan menciptakan sifat individualistis. Siswa jadi terobsesi untuk menjadi yang terbaik, unggul di atas teman-teman mereka. Di satu sisi, ini berdampak baik. Namun, kadar efek sampingnya lebih buruk. Karena apa? Ya karena hal ini bisa menimbulkan sifat antipati terhadap teman, dan kurangnya sifat solidaritas untuk membantu teman agar sama-sama memahami apa yang dipelajari di sekolah. Kenapa mereka bisa antipati? Ya karena jika teman mereka sama-sama pntar, maka kesempatan untuk meraih ranking tertinggi akan terancam. Mungkin pernyataan ini terkesan lebay dan hiperbolis. Namun demikianlah logikanya.

Lha mustinya bagaimana? Mustinya ya tidak ada sistim ranking. Keberhasilan siswa selayaknya diukur berdasarkan peningkatan level kompetensi mereka secara pribadi dengan membandingkan pencapaian mereka di masa sekarang dan masa sebelumnya. Tidak perlu ada ranking, karena tidak adil rasanya, mengingat kemampuan masing-masing individu berbeda-beda. Kata Aa Gym, manusia dikatakan berprestasi jika kecerdasan, kemampuan, dan karya mereka yang sekarang ini lebih baik dari yang sebelumnya, bukan dengan tolok ukur ketika mereka lebih baik dari yang lain. Dengan perlakuan demikian, maka tidak akan ada kecemburuan sosial. Malah, para siswa akan bisa dengan leluasa bekerjasama untuk sama-sama memperoleh level kompetensi (bukan nilai angka) yang memuaskan, tentunya dalam konteks yang posisitif.

Manusia memiliki tingkat kemampuan belajar yang beragam. Ada yang fast learner, ada yang slow learner. Itu berdampak pada prestasi siswa di sekolah. Tidak semestinya mereka diadu dengan permainan yang sama. Baik yang fast learner maupun slow learner sama-sama layak mendapatkan apresiasi, tentunya berdasarkan level pencapaian mereka secara individual, bukan dikompetisikan antara sasu sama lain.

Esensi dari pendidikan adalah perubahan tingkat kecerdasan dan karakter. Jika terjadi perubahan yang signifikan pada tiap individu yang belajar, maka itulah keberhasilan pendidikan.

Salam cerdas!

Selasa, 30 Juli 2013

Scared to dream vs Dare to dream

 
Pagi itu ku ajukan satu pertanyaan sederhana untuk mereka jawab secara spontan. Namun, setelah pertanyaan itu aku ajukan tak ada satupun yang langsung menyampaikan jawaban. Kemudian, kuberikan mereka jeda sekitar satu menit untuk mempersiapkan jawaban atas pertanyaan tadi, barangkali mereka perlu me-recall memori barang sejenak. Kali ini ada jawaban, namun hanya sedikit yang mengutarakan jawabannya.
Pertanyaannya sederhana, “what are your dreams? Tell me please!”

Meskipun pertanyaannya sederhana, namun ternyata susah untuk mereka jawab. Keraguan mereka dalam memberikan jawaban membuat aku menyimpulkan bahwa bermimpi itu sulit, bagi mereka. Setidaknya statemen ini berlaku dalam studi kasus tersebut. Namun, bisa juga statemen ini nyata mewakili kondisi riil manusia, yaitu sulit bermimpi. Barangkali lebih tepat jika digunakan kata “takut bermimpi” ketimbang sulit bermimpi.

Pada kenyataannya, banyak manusia yang takut bermimpi. Hal tersebut bukan tanpa sebab. Karena begini... Pikiran manusia merupakan produk lingkungan. Apa-apa yang menjadi paradigma lingkungan seringkali berpengaruh terhadap cara berpikir seseorang. Dahulu, dan bahkan mungkin hingga sekarang, banyak orang tua yang mengatakan “mimpi itu jangan terlalu tinggi, nanti kalo jatuh terasa sakit luar biasa”

Kalimat tersebut seolah-olah menjadi kata bijak, hingga mereka yang tidak dalam-dalam mencernanya bisa take it for granted (memahami secara mentah-mentah). Menurutku, itu kalimat yang keliru. Bung Karno pernah bilang “gantungkan cita-citamu setinggi langit!” itu adalah kalimat yang disampaikan oleh orang besar. Orang besar biasanya bertanggungjawab atas apa yang diucapkannya. Beliau menyampaikan kalimat tersebut secara lantang tentunya bukan tanpa sebab. Jika memiliki cita-cita itu tidak begitu penting, mana mungkin Bung Karno rela mengutarakannya secara lantang di depan khalayak. Diucapkannya kalimat tersebut oleh Bung Karno menyuiratkan ahwa bercita-cita itu sanat penting. Cita-cita kan sama dengan mimpi/impian. Berarti ya impian itu sangat penting. Haha..klise banget kalimatnya...
Kenapa topik ini perlu dibahas? Tulisan ini dibuat dengan harapan bisa memberikan iluminasi bagi banyak orang yang masih takut bermimpi tinggi. Karena ya nyatanya banyak orang yang takut bermimpi. Takut memiliki cita-cita tinggi. Mereka merendahkan diri sendiri dengan merasa bahwa mereka tidak layak untuk memiliki impian besar. Seandainya mereka menyadari bahwa impian sebesar apapun yang dimiliki oleh siapapun bisa terwujud, maka bermimpi bisa menjadi hal yang mudah bagi mereka.

Lantas, mengapa banyak orang yang takut bermimpi? Jawabanya adalah karena mereka takut mengalami satu fase menuju keberhasilan yang bernama “gagal”. Di negeri tercinta ini, “gagal” ternyata masih menjadi momok menakutkan yang seolah-olah wajib dihindari. Ketakutan massal akan kegagalan semakin menjadi-jadi dengan dukungan penuh dari buku-buku, seminar-smeinar, atau ceramah-ceramah yang memberikan tips anti-gagal dalam berbagai aspek kehidupan baik dalam bisnis, hubungan/interaksi sosial maupun dalam berbagai aspek hidup lainnya. Itu semua adalah sumber-sumber ilmu yang seharusnya jadi acuan. Namun, tidak sepenuhnya mengarahkan kita unutk bersikap secara bijak dan tepat dalam bertindak. Kita memang harus benar-benar kritis dalam mencerna sumber pengetahuan.

Dengan ketakutan akan kegagalan tersebut maka lahirlah secara masal pameo “biar sedikit yang penting lancar”, “biar miskin asal bahagia”, dan “terimalah apa adanya”. Disini saya tidak menyarankan untuk tidak bersikap qona’ah. Qona’ah itu kan kalo kita sudah berusaha mentok, kemudian tinggal menunggu jawaban dari sang Maha Pencipta, baru kita perlu berqona’ah. Selama kita masih bisa merubah keadaan, ya prinsip yang kita pakai jangan qona’ah dulu, tapi sikap ikhtiar dan sabar, baru kemudian tawakal. (hehe...sory, pembahawannya mulai nglantur. Sok dakwah. Tapi insya Alloh tidak kehilangan esensi).

Ada korelasi positif antara mimpi dan imaginasi. Keduanya sangat nyata perannya dalam perkembangan peradaban manusia. Ratusan tahun yang lalu, siapa yang bakal menyangka bahwa beberapa ratus tahun kemudian manusia bisa terbang menggunakan benda yang sangat berat. Logika yang mereka pakai adalah bahwa bumi ini memiliki gaya grafitasi tinggi. Sehingga disimpulkan bahwa benda berat tidak mungkin bisa terbang tinggi. Hingga kemudian terlahirlah dua pemimpi besar yaitu wright bersaudara dari amerika. Ketika mereka berdua mengutarakan keinginan dan impian mereka untuk menciptakan pesawat terbang, mereka malah menjadi object of ridicule (bahan tertawaan). Mereka dianggap gila. Namun sebagaimana sudah menjadi sunatulloh, bahwa ide-ide besar seringkali dianggap sebagai kegilaan pada awal mula dicetuskan. Namun, semua orang mengiyakan dan terperangah ketika ide gila tersebut terwujud. Berawal dari mimpi dan imaginasi, banyak keajaiban terjadi di muka bumi ini.

Seberapa pentingkah imaginasi?

Imaginasi is more important than knowledge, begitu kata Albert Einstein. Pernyataan tersebut tidak ngarang, tapi muncul berdasarkan pemahaman yang dalam. Kemunculan hal-hal baru dalam peradaban manusia sering diawali dengan imaginasi. Mengapa imaginasi dikatakan le bih penting dari pengetahuan (knowledge)? Karena pengetahuan merupakan sebuah produk jadi yang manusia tinggal memahaminya. Sementara, imaginasi adalah fase awal terbentuknya penciptaan baru, yang akan menjadi acuan bagi terbentuknya pengetahuan baru. Kata imaginasi “lebih penting” dari pengetahuan bukan berarti menafikkan pentingnya pengetahuan. Pengetahuan penting juga. Namun perlu disadari bahwa imaginasi nyatanya merupakan awal terbentuknya masterpiece baru dalam kehidupan. So, setujui saja lah pernyataan Einstein! Gitu aja ko repot.

Hmm..makin lama tulisan ini makin melebar. Haha... tidak apa-apa lah. Toh semua poin masih saling berkaitan. Sekarang, poin yang perlu diobrak-abrik lagi adalah “untuk apa kita musti takut bermimpi”, toh impian itu gratis.

Untuk jawaban atas pertanyaan tersebut, perlu diuraikan secara sekuensial. Apa sih penyebab ketakutan untuk bermimpi? Jawabannya adalah ketidaksiapan diri untuk mengalami kegagalan dalam berproses. Banyak pakar psikologis yang memberi motivasi agar orang tidak takut gagal dengan menyampaikan kalimat-kalimat seperti
-kegagalan adaah awal dari keberhasilan
-kegagalan adalah sukses yang tertunda
-kegagalan adalah bagian dari proses
Dan sebagainya.

Ternyata, semakin sering dan semakin jamak orang mendengar kalimat sugestif tersebut, semakin terasa klise dan hambar lah kalimat tersebut. Kalimat tersebut makin terasa hilang maknanya. Orang bahkan mungkin bosan mendengarnya. Nah..dalam tulisan ini, ada seruan untuk berani menghadapi kegagalan, tapi dengan pendekatan yang berbeda. Semoga terlepas dari kesan klise, hingga benar-benar bisa nyenggol mindset (pikiran) dan alam bawah sadar manusia.
Begini...

Manusia kan hidup di dunia hanya satu kali. ya sih, ada kesempatan hidup lagi, tapi itu bukan berupa reinkarnasi (keyakinan saya loh), melainkan berupa kehidupan di akhirat. Itupun di akhirat manusia sudah tidak bisa merubah warna hidupnya, karena apa yang bakal terjadi di sana hanya dalam bentuk reward and punishment atas segala perbuatan manusia selama hidup di dunia.
Coba pilih! Ingin hidup biasa-biasa saja atau ingin hidup luar biasa? Terserah sih ingin milih yang mana.

Life is a matter of choice, and every choice has its own consequence”
Milih manapun terserah. Tapi, saya yakin bahwa kata hati setiap manusai akan lebih memilih untuk hidup secara luar biasa. Eman-eman jika hidup di dunia yang hanya sekali ini dijalani tanpa ada kejutan, masterpiece, prestasi besar, kebanggaan, dan hal-hal menakjubkan lainnya. Lawan dari biasa adalah luarbiasa. Hal biasa selalu terjadi dengan proses standar. Sementara hal luarbiasa selalu terjadi karena proses yang luar biasa pula. Hidup tanpa impian bakal berimp0likasi pada hidup biasa-biasa saja. Semenata hidup dengan impian besar merupakan cikal bakal terwujudnya kehidupan yang luar biasa. Makanya, hidup yang hanya sekali ini, jadikan ia berarti.

Akhirnya, ingin ku sampaikan bahwa gagal dan berhasil itu ternyata adalah saudara yang saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain. Keduanya ibarat dua sisi uang koin yang tak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Membenci gagal sama halnya dengan menafikkan takdir. Bisakah kita mengakui satu sisi dari mata uang kemudian tidak mengakui yang satunya? Tidak,kan? Marilah kita berani menetapkan impian, dan bertanggungjawab penuh untuk mewujudkan impian tersebut, apapun konsekuensinya dan seberapapun harganya. Istilah western nya “whatever it takes!”...
Let's dare to dream!

With love
 
Dahlan (MD)

Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia gagal?



Judul ini bisa jadi menuai protes, tentunya dari kalangan yang tidak sepakat bahwa pendidikan bahasa inggris di indonesia gagal. Faktanya memang seperti itu. Jujur, itu adalah pendapat subjektif saya. Namun, bukan tanpa dasar saya memiliki pendapat demikian. Satu hasil penelitian sebuah lembaga bahasa inggris di indonesia cukup memberi penguatan bahwa pendidikan bahasa inggris di negara kita belum berhasil, bahkan gagal.

Lembaga tersebut mengumumkan laporan komprehensif pertama tentang indeks kemampuan berbahasa Inggris di 44 negara di mana bahasa Inggris bukan merupakan bahasa ibu/ pertama yang digunakan. English Proficiency Index (EPI), adalah indeks pertama yang membandingkan kemampuan berbahasa Inggris orang dewasa di berbagai negara. Indeks ini menggunakan data uji unik (metodologi khusus) pada lebih dari dua juta orang di 44 negara yang menggunakan tes gratis secara online selama kurun waktu tiga tahun (2007-2009). Haslnya, indonesia menempati peringkat 34 dari 44 negara yang diteliti. Tentunya, ini bukan fakta menarik yang patut disyukuri. Sebaliknya, hendaknya dijadikan sebagai bahan refleksi untuk kemudian melakukan perbaikan diri secara kolektif.

Selanjutnya, perlu kita pahami bersama hakikat pendidikan bahasa inggris, dan melihat bagaimana fakta praktis pendidikan bahasa inggris di indonesia.

Apa sih tujuan dari kita belajar Bahasa Inggris? Apa kita dikatakan berhasil apabila kita mendapatkan nilai Bahasa Inggris 90 atau 100 mungkin? Jika iya berarti kita sudah menguasai Bahasa Inggris. Di Indonesia belajar Bahasa Inggris tidak lebih dari hanya mendapatkan angka, mendapatkan nilai ujian yang memuaskan. Keberhasilan seakan-akan mutlak ditentukan oleh angka yang tertera dalam ijazah. Banyak di antara para orang tua yang merasa senang karena anak-anaknya mendapatkan predikat yang tinggi. Lihat saja nilai Bahasa Inggrisnya bagus. Namun ketika ditanya dan disuruh bercakap-cakap serta merangkai kalimat Bahasa Inggris dia bingung. Beginilah fakta yang terjadi di Negara kita. Selama bertahun-tahun belajar Bahasa Inggris dari SD sampai perguruan tinggi tetapi Bahasa Inggrisnya Cuma bisa yes dan no terus I love you….

Di Indonesia, orientasi belajar Bahasa Inggris didasarkan atas nilai. Banyak anak-anak yang dileskan di Bimbingan belajar yang terkenal tujuan utamanya adalah supaya nilainya bagus saat di sekolah apalagi menjelang ujian sekolah. Dari SD, SMP dan SMA lagi-lagi nilai, nilai dan nilai. Fenomena inilah yang terjadi di Negara kita dimana mindset kita tertuju pada nilai. Tidakkah kita menyadari betapa pentingnya belajar Bahasa Inggris yang sebenarnya. Bahwa belajar Bahasa apa saja di dunia ini pada hakikatnya adalah supaya kita dapat berkomunikasi dengan bahasa itu. Bahasa Inggris tidak jauh berbeda dengan bahasa-bahasa yang lainnya. Kenapa Bahasa Inggris kita sejak dulu sampai sekarang itu-itu saja, tidak ada peningkatan. Sia-sia saja jika kita belajar Bahasa Inggris bertahun-tahun lamanya namun setelah kita lulus dari lembaga pendidikan yang benama sekolah lantas good bye tiada memberi manfaat bagi kita untuk mengaplikasikannya di dalam kehidupan kita.

Dari dulu sampai sekarang ini kurikulum hanya sebagai formalitas saja dan di lapangan faktanya tidak memberi kemampuan Bahasa Inggris yang signifikan. Betapa hebatnya kurikulum didesain, namun kenyataannya hasilnya nol besar. Kita lihat betapa di dalam kurikulum bertujuan memberikan kompetensi Bahasa Inggris dari level terendah yaitu performative samapai level functional, informational dan epistemic namun lagi-lagi faktanya di lapangan anak-anak, lulusan dari masing-masing satuan pendidikan dari dasar sampai perguruan tinggi hanya berhasil secara teori saja. Padahal kalau kita lihat betapa nilainya bagus-bagus dan lulus dengan predikat memuaskan. Bukankah ini bertolak belakang.

Yang menjadi masalah inti mengapa kita gagal menguasai Bahasa Inggris adalah karena Bahasa Inggris hanya sifatnya sebagai teori saja. Bahasa Inggris tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada follow up setelah anak-anak lulus dari sekolah. Di Indonesia kurang ada sarana yang mendukung secara merata atau lingkungan yang mendukung untuk mengembangkan keterampilan dan kemampuan Bahasa Inggris. Minimnya tempat-tempat yang mendukung seperti English club, English areas.

Di Negara kita, Bahasa Inggris juga merupakan bahasa asing. Sebenarnya, ini bukan masalah besar mengingat negara-negara lain yang mempelajari bahasa inggris sebagai bahasa asing juga banyak yang pada berhasil. Contoh negara brazil, thailand, filipina, dan masih banyak lainnya. Asalkan pendidikann bahasa inggris diorientasikan pada praktik, bukan pada teori semata dan pencapaian nilai berupa angka, maka bisa kita capai keberhasilan pendidikan bahasa inggris di indonesia.

Perlu kesadaran bersama untuk memahami bahwa hendaknya kita mempelajari bahasa inggris dengan orientasi agar mampu berkomunikasi secara aktif baik secara lisan maupun tulisan. Berbagai pihak mempunyai porsi masing-masing untuk melakukan perubahan. Dimulai dari Pemerintah, yang mempunya peran mendesain kurikulum di lembaga pendidikan formal agar benar-benar berorientasi pada kemampuan berkomunikasi, bukan sekedar mendapat nilai berupa angka. Para guru perlu menyadari hal ini, dengan cara mengarahkan para anak didiknya untuk aktif melakukan praktik berbahasa inggris, bukan malah membiarkan diri terbawa kebiasaan umum mengajarkan bahasa inggris yang theoretical-oriented. kemudian, para pembelajar bahasa inggris juga perlu membiasakan diri untuk mempraktikkan bahasa inggris secara aktif. Biasanya, yang mengganjal semangat untuk praktik bahasa inggris adalah adanya ketidaknyamanan dalam melakukan prosess belajar. Namun, sebagaimana sudah menjadi sifatnya, belajar/mempelajari hal baru seringkali tidak nyaman, karena kita musti bergelut dengan kekeliruan dan kegagalan sementara.

Mari kita bersama-sama perbaiki orientasi pendidikan bahasa inggris, demi keberhasilan pendidikan bahasa inggris di indonesia.

My Journey on being a teacher

 

 

Memang, aku bercita-cita menjadi guru pada saat aku belajar di Sekolah Menengah Pertama. Dulu aku berkeinginan untuk merevitalisasi SMP-ku ( SMP n 2 Kandangserang) yang mengalami kekacauan manajemen. Seringnya guru yang tidak masuk sekolah untuk mengajar dengan alasan jarak tempuh antara rumah mereka dengan sekolah, fasilitas sekolah yang kurang dari standar, terbengkalainya potensi luar biasa yang dimiliki siswa, memunculkan jiwa kepahlawananku. Cita-cita itu terus ada sampai aku SMA, hingga kuputuskan untuk mengambil jurusan keguruan di perguruan tinggi. Kini aku telah meraih mimpiku itu, namun baru kusadari bahwa ternyata tidak mudah menjadi guru, apalagi menjadi guru pembaharu. Guru merupakan figur yang dinilai sempurna oleh masyarakat, sehingga seolah-olah tidak ada toleransi sedikitpun dari masyarakat untuk guru mempunyai cela.
Satu hal yang membuatku semangat menjalani profesi sebagai guru adalah ketika aku berhasil menjadi media berprestasinya murid-muridku, dan itu terjadi ketika aku berhasil membimbing anak didikku untuk mengikuti lomba pidato bahasa inggris tingkat karesidenan, sehingga dia menjadi juara 1 dalam perlombaan tersebut. Tidak ada kata baku dalam kamus hidupku. aku hidup mengalir mengikuti kata hatiku dan bisikan jiwa ku. Ketika hati ini berkata untuk beralih menggeluti profesi, hobi, kebiasaan, dan nasib lain ya aku turuti. Betapapun kurangmendukungnya lingkungan di sekitarku, karena 'aku adalah pribadi yang sangat berdaulat atas semua sikap, perbuatan, keputusan yang ada padaku.
Entah apalagi yang akan dibisikkan oleh lentera jiwaku, aku sedang menunggu itu. Hmm... Life...