Kini, dia merenungkan apa moral lesson di balik kegagalannya tersebut. Nalar kritisnya mulai bergentayangan. Hingga akhirnya muncul satu pertanyaan dalam benaknya, mengapa harus ada rankin. Ya, kemunculan pertanyaan tersebut bisa jadi merupakan luapan emosional atas kegagalan yang ia alami. Namun lebih dari itu, ternyata itu adalah hasil penalaran kritisnya terhadap eksistensi ranking yang ada di lembaga pendidikan formal.
Sekarang, mari kita kaji bersama-sama mengenai plus minus eksistensi ranking di sekolah. Setelah sekian lama direnungkan, ternyata ada kesimpulan yang cukup mengusik pikiran. Nah..apa itu kesimpulannya? Begini, Keberadaan ranking itu sangat kontra-produktif bagi siswa. Entah apa alasannya jika ranking harus ada. Tapi, boleh lah kita meraba. Konon, keberadaan ranking memiliki dua alasan pokok. Yang pertama adalah sebagai sebuah cara melecutkan motivasi siswa mencapai prestasi di sekolah. Ada harapan bahwa ranking akan mendorong siswa untuk termotivasi dalam belajar, hingga mendapatkan nilai memuaskan yang menjadi tolok ukur kepintaran. Benar-benar konvensional. Memotivasi dengan cara memberikan iming-iming posisi puncak. Masalahnya, yang namanya puncak itu hanya ada satu. Yang kedua, ranking merupakan reward bagi siswa yang pintar, rajin dan aktif di sekolah. Wah..ternyata alasannya mulia juga yah. Okelah...
Faktanya, siswa datang ke sekolah untuk mengenyam pendidikan berbekal ragam level motivasi diri yang berbeda-beda. Sebagian siswa termotivasi dengan penuh kesadaran untuk giat belajar dan berkarya di sekolah. Sebagian lainnya tidak memiliki motivasi yang memadai, sehingga sekolah ber’itikad mengadakan ranking agar siswa termotivasi untuk berkompetisi mendapatkan nilai yang memuaskan, setinggi-tingginya, sebesar-besarnya. Ibarat di arena balap kuda, mereka diadu satu sama lain, dan yang tercepatlah yang mendapat reward. Oleh karena itu format raport nilai jaman dahulu mencantumkan kolom untuk diisi ranking siswa. Namun kok raport sekarang tidak mencantumkan kolom tersebut? Ya ntar kita bahas lebih lanjut.
Nah, poin yang perlu dijabarkan selanjutnya adalah apa yang salah pada ranking. Ada. Ada sisi negatif pada ranking. Mari telisik bersama!
Sisi negatif ranking yang pertama, tidak ada dampak pemerataan motivasi pada siswa secara keseluruhan atas sistem perankingan tersebut. Ranking ternyata hanya memberikan dampak motivatif bagi siswa tertentu, bukan sebagian besar siswa. Mengapa demikian? Karena dalam sistem ranking, yang mendapat posisi tertinggi ya cuma satu orang. Ranking satu ya Cuma satu. Orang tersebut lah yang bangga dan bergembira. Apakah dikira posisi dua, tiga, dan seterusnya juga akan memperoleh motivasi dalam perankingan tersebut? Belum tentu. La bagaimana dengan mereka yang sama sekali tidak mendapatkan ranking di kelas? Mau tidak mau, rasa rendah diri, rasa pecundang, dan rasa tak berarti muncul dalam benak mereka yang tak ber-ranking. Kecuali mereka yang benar-benar tak peduli dengan tujuan mereka belajar di sekolah.
Poin kedua, Ranking bisa membuat siswa down, bahkan ketika nilai mereka naik sekalipun. Sudah terbukti nyata bahwa ranking membuat banyak siswa merasa frustasi ketika ranking mereka tidak sesuai dengan yang mereka harapkan, meskipun mereka sudah belajar lebih giat, lebih smart dan menghasilkan kenaikan nilai yang signifikan. Alih-alih mendapati semangat yang lebih tinggi untuk mendapat nilai lebih baik, ternyata kondisi tersebut malah menguatkan prasangka siswa bahwa apa yang mereka lakukan selama ini sia-sia. Kenaikan nilai yang mereka dapatkan terasa percuma manakala mengetahui bahwa nilai temen mereka naik lebih tinggi. Sehingga, jika diranking, maka posisi mereka tidak beranjak signifikan, karena ada teman yang lonjakan peningkatan nilainya signifikan pula.
Poin ketiga, ranking ternyata rentan menciptakan sifat individualistis. Siswa jadi terobsesi untuk menjadi yang terbaik, unggul di atas teman-teman mereka. Di satu sisi, ini berdampak baik. Namun, kadar efek sampingnya lebih buruk. Karena apa? Ya karena hal ini bisa menimbulkan sifat antipati terhadap teman, dan kurangnya sifat solidaritas untuk membantu teman agar sama-sama memahami apa yang dipelajari di sekolah. Kenapa mereka bisa antipati? Ya karena jika teman mereka sama-sama pntar, maka kesempatan untuk meraih ranking tertinggi akan terancam. Mungkin pernyataan ini terkesan lebay dan hiperbolis. Namun demikianlah logikanya.
Lha mustinya bagaimana? Mustinya ya tidak ada sistim ranking. Keberhasilan siswa selayaknya diukur berdasarkan peningkatan level kompetensi mereka secara pribadi dengan membandingkan pencapaian mereka di masa sekarang dan masa sebelumnya. Tidak perlu ada ranking, karena tidak adil rasanya, mengingat kemampuan masing-masing individu berbeda-beda. Kata Aa Gym, manusia dikatakan berprestasi jika kecerdasan, kemampuan, dan karya mereka yang sekarang ini lebih baik dari yang sebelumnya, bukan dengan tolok ukur ketika mereka lebih baik dari yang lain. Dengan perlakuan demikian, maka tidak akan ada kecemburuan sosial. Malah, para siswa akan bisa dengan leluasa bekerjasama untuk sama-sama memperoleh level kompetensi (bukan nilai angka) yang memuaskan, tentunya dalam konteks yang posisitif.
Manusia memiliki tingkat kemampuan belajar yang beragam. Ada yang fast learner, ada yang slow learner. Itu berdampak pada prestasi siswa di sekolah. Tidak semestinya mereka diadu dengan permainan yang sama. Baik yang fast learner maupun slow learner sama-sama layak mendapatkan apresiasi, tentunya berdasarkan level pencapaian mereka secara individual, bukan dikompetisikan antara sasu sama lain.
Esensi dari pendidikan adalah perubahan tingkat kecerdasan dan karakter. Jika terjadi perubahan yang signifikan pada tiap individu yang belajar, maka itulah keberhasilan pendidikan.
Salam cerdas!