Minggu, 16 Oktober 2016

Shippaigaku


Kadang, yang dibutuhkan para murid dari guru mereka adalah diyakinkan bahwa belajar itu pasti melalui tahap yang bernama ketidaksempurnaan. Murid seringkali takut berbuat salah. Ketika guru telah selesai melakukan tugas menjelaskan suatu materi, kemudian tiba giliran sang murid untuk mempraktikkan apa yang telah dijelaskan, seringkali ada rasa takut dari sang murid untuk berbuat kekeliruan/salah. Ada kekhawatiran dari murid kalau-kalau mereka dianggap bodoh atau terlalu lamban untuk memahami ketika tak bisa sempurna dalam mempraktikkannya apa yang telah mereka pelajari. 

Guru semestinya berusaha meyakinkan murid bahwa dalam dunia ini tak ada satu manusia pun yang berprestasi di suatu bidang tertentu melainkan mereka pasti pernah mengalami masa ketidaksempurnaan. Pemain sepakbola profesional, musisi legendaris dunia, penulis buku-buku best seller dan semua orang hebat pasti pernah menjadi amatiran. Kesediaan mereka untuk terus berusaha dan melalui proses yang panjang lah yang mengantarkan mereka ke puncak kejayaan. 


Meskipun nyata bahwa orang-orang hebat di dunia ini pernah menjadi orang amatiran, namun sepertinya jarang guru yang menggunakan contoh tersebut sebagai bahan untuk memotivasi murid mereka. Melewati tahap ketidaksempurnaan itu pasti. Saya lebih tertarik menggunakan kata ‘’tahap ketidaksempurnaan’ ketimbang kata ‘kegagalan’. Sejatinya, mereka yang berani melewati proses jatuh bangun atas suatu upaya, tak pernah mengalami kegagalan. Mereka hanya melewati tahap dalam suatu proses yang bernama ‘tahap ketidaksemupurnaan’. 

Saya belajar banyak pada Dosen supervisor saya ketika belajar di Miyagi University of Education, Jepang, yang bernama Leis Adrian. Saya memanggil beliau Adrian-sensei. Beliau adalah orang yang sangat luar biasa dalam berpikir positif. Saya katakan, beliau adalah model pendidik yang sangat layak diteladani. Betapa beliau sangat memahami yang namanya tahap ketidaksempurnaan dalam suatu proses. Beberapa kali saya memperoleh tugas untuk menulis, melakukan presentasi, dan tugas-tugas akademik lainnya. Ketika saya tak mampu secara sempurna melakukan satu di antara tugas tersebut, beliau masih mau memahami, memaklumi, dan meyakinkan saya bahwa hal tersebut wajar. Padahal saya sendiri merasa bahwa untuk seorang murid yang juga merupakan guru seperti saya, melakukan kekeliruan dalam salah satu tugas yang beliau berikan itu tak sepenuhnya bisa dianggap wajar. 


Ketika murid diyakinkan untuk bersikap toleran terhadap ketidaksempurnaan dalam berproses, maka akan tumbuh rasa percaya diri yang besar. Murid ternyata butuh rasa aman dalam belajar. Salah satu bentuk rasa aman yang murid butuhkan adalah tiadanya teror psikologis baik yang datang dari diri sendiri maupun datang dari lingkungan eksternal ketika sedang berproses. Meyakinkan murid bahwa mengalami ketidaksempurnaan dalam proses belajar merupakan suatu hal yang wajar, adalah penangkal yang cukup ampuh untuk mengatasi teror psikologis murid. 

Gambar:http://image.slidesharecdn.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar