Jumat, 22 Juli 2016

Menjadi Pendidik = Menjadi Motivator

Ketika datang ke sekolah, para peserta didik membawa kondisi motivasi yang beragam. Ada yang sudah termotivasi untuk belajar karena begitu kuatnya pengaruh didikan orang tua di rumah. Ada yang miskin motivasi, yang untuk datang ke sekolah saja harus diiming-imingi sesuatu, atau harus dipaksa. Ketika di rumah, orangtua lah yang bertanggungjawab untuk memperhatikan aspek motivasi anak-anak mereka. Ketika di sekolah, tentu pihak sekolah lah yang seyogyanya menjadi penanggungjawab terpacunya motivasi peserta didik untuk belajar. 

Sesuai arahan kurikulum pendidikan, siswa diwajibkan mempelajari banyak mata pelajaran di sekolah. Ketika berada di bangku sekolah Dasar, para peserta didik disuguhi berbagai materi yang harus dipelajari. Mulai dari ilmu alam, ilmu sosial, ilmu bahasa,  olahraga, kesenian, kegamaan, dan lainnya. Beranjak ke sekolah menengah, makin banyak materi yang harus dipelajari. Apalagi ilmu  alam dan sosial memiliki berbagai cabang derivasi yang berdiri menjadi ilmu-ilmu independen yang masing-masing dipelajari secara khusus. 

Semua ilmu adalah penting. Karena penting, maka peserta didik harus mempelajarinya, dan diharapkan mereka mampu menguasai semuanya”. Barangkali demikian logika yang mendasari tersusunnya kurikulum yang mengharuskan peserta didik mempelajari semua ilmu tersebut. 

Tulisan ini bukan untuk membahas atau mengkritisi kurikulum yang mengharuskan peserta didik mempelajari begitu banyak ilmu, karena bahasan tentang kurikulum merupakan domain pemegang kebijakan pendidikan nasional. Yang ingin dibahas disini adalah, bagaimana menjadikan peserta didik siap untuk mempelajari ilmu-ilmu yang relatif banyak tersebut. 

Menurut Howard Gardner, tiap individu memiliki kecenderungan kecerdasan yang beragam. Berdasarkan konsep multiple intelligence yang dikemukakan oleh Gardner, ada beberapa macam kecerdasan, yaitu kecerdasan logis matematis, musikal, visual-spasial, bahasa, interpersonal, intrapersonal, naturalistik, dan kinestetik. Sulit menemukan orang orang yang cerdas dalm kesemua hal tersebut. Biasanya, ketika seseorang menonjol dalam satu bidang, dia cenderung kurang dalam bidang lainnya. Memang ada yang menonjol dalam beberapa bidang, tapi tetap ada kekurangan dalam bidang lainnya.

Perbedaan kecerdasan yang dimiliki individu tersebut menjadikan level ketertarikan terhadap berbagai mata pelajaran di sekolah beragam. Untuk peserta didik yang memiliki motivasi untuk mempelajari suatu materi pelajaran, tentu sangatlah mudah mengarahkannya agar mencapai tujuan dari pembelajaran yang dilaksanakan. Namun, bagi mereka yang tak memiliki ketertarikan terhadap mata pelajaran tertentu, tentulah diperlukan strategi khusus untuk menumbuhkan minat atau ketertarikan terhadap pelajaran tersebut. Di sinilah tugas guru sebagai motivator. Yaitu, menjadikan peserta didik  termotivasi secara berkelanjutan untuk mempelajari materi tersebut. 

Banyak workshop dan seminar diadakan untuk memahamkan pendidik akan kurikulum. Banyak pula seminar dan workshop yang diadakan untuk memahamkan pendidik tentang strategi mengajarkan mata pelajaran tertentu. Namun sepertinya masih sangat minim seminar atau workshop tentang upaya memahamkan pendidik agar mampu memotivasi dan menumbuhkan minat peserta didik dalam mempelajari suatu mata pelajaran. Kemampuan memotivasi ini lah yang sepertinya mendapatkan porsi perhatian yang sangat kecil. Ada sebagian pendidik yang memiliki skill memotivais yang bagus. Biasanya mereka memperoleh skill tersebut dengan belajar secara otodidak. Itupun prosentasenya masih sangat kecil, dibandingkan mereka yang belum memiliki skill memotivasi. Pendidikan merupakan bagian dari program strategis pemerintah. Maka, pelatihan, seminar dan workshop yang berkaitan dengan upaya mengasah kemampuan memotivasi bagi pendidik selayaknya dilakukan secara sistematis dan menjadi bagian dari program pemerintah. Di samping itu, kesadaran untuk memupuk kemampuan memotivasi juga selayaknya dimiliki oleh pendidik sendiri. 

Sejatinya, tugas mendidik sangat berhubungan dengan memotivasi. Namun sayang, perhatian terhadap kecakapan memotivasi oleh pendidik sepertinya sangat kurang. Dunia teknologi berkembang begitu pesatnya. Hingga banyak hal yang bisa ditunjang melalui pemanfaatan teknologi, untuk sarana belajar, misalnya. Peran teknologi bahkan sedikit banyak telah mampu menggantikan peran guru. Dulu, banyak guru yang dengan bekal buku referensi yang jadi pegangan mengajar dan dipake selama bertahun-tahun, merasa sudah sempurna melaksanakan tugas sebagai pendidik. Padahal, tugas guru bukan lah semata mentransfer ilmu, melainkan lebih dari itu. Kalau hanya soal transfer ilmu, teknologi sekarang sepertinya sudah lebih mampu secara up to date melakukan hal tersebut. Para pelajar bisa mengakses berbagai ilmu hanya dengan sentuhan jari-jari mereka di papan keyboard komputer yang terhubung dengan jaringan internet. Ada hal yang tak bisa dilakukan oleh teknologi kepada peserta didik, yang hanya bisa dilakukan oleh pendidik. Hal tersebut berhubungan dengan aspek perkembangan psikologis peserta didik, misalnya membangkitkan motivasi, membantu peserta didik memperdalam kemampuan problem solving, mengajarkan cara belajar, dan hal-hal lain yang masuk dalam domain psikologi. Jika pendidik tak bisa memerankan secara maksimal hal-hal yang berhubungan dengan psikologi peserta didik tersebut, maka tak berlebihan jika dikatakan bahwa peran teknologi lebih terasa signifikansinya ketimbang mereka. Jika demikian, untuk apa ada guru/pendidik?
gambar http://web.ics.purdue.edu


Pada kenyataannya, tak ada pelajaran khusus yang membahas motivasi di kelas. Oleh karena itu, pemberian motivasi kepada siswa seharusnya dilakukan secara integratif disisipkan di sela-sela pelaksanaan pembelajara di kelas. Pendidik selayaknya melakukan “10-minutes inspirational session”, sebuah upaya memberikan ceramah berisi motivasi atau inspirasi dengan cara bercerita kepada peserta didik, cerita apapun yang mampu membangkitkan motivasi dan inspirasi peserta didik. Seperti namanya, hal tersebut dilakukan di awal dimulainya pembelajaran, dengan durasi waktu yang proporsional. Pada dasarnya, peserta didik sangat menyukai cerita, apalagi cerita yang sarat pesan moral dan mampu memberikan mereka inspirasi. Saya suka melakukan hal tersebut sebelum memulai pelajaran. Cerita yang saya sampaikan bisa saya dapatkan melalui internet, ataupun kisah nyata yang benar-benar ada di lingkungan sekitar. Upaya memberikan inspirasi melalui bercerita merupakan cara yang cukup ampuh, karena ia bisa masuk alam bawah sadar peserta didik tanpa ada unsur menggurui atau menyuruh. Daripada menggunakan kata-kata seperti “kamu harus…”, “kamu sebaiknya…”, “lakukan….” dan sebagainya, menggerakan hasrat peserta didik untuk melakukan hal positif melalui cerita lebih merupakan cara yang lebih efektif. 

Di dalam buku Quantum Learning, ada sebuah prinsip yang disebut AMBAK (Apa Manfaatnya BagiKu). Prinsip tersebut menjelaskan bahwa ketika seseorang tak memahami apa manfaat yang bisa dia dapatkan dari suatu ilmu, maka dia tak akan dengan sepenuh hati mempelajarinya. Jika mempelajarinya pun hanya seperlunya saja, sekedar untuk menggugurkan kewajiban. Melakukan sesuatu hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban tak akan memiliki kesinambungan. Agar peserta didik memiliki kesadaran untuk mempelajari suatu materi/ilmu, maka tugas pendidik untuk menjadikannya paham dan memiliki alasan personal mengapa mereka harus menginvestasikan waktu dan energinya untuk mempelajari hal tersebut. Ketika pertamakali saya mendapatkan pelajaran bahasa inggris, yaitu ketika masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), guru saya memberikan gambaran kepada para peserta didik tentang manfaat dari memiliki kemampuan berkomunikasi dalam bahasa inggris. Beliau menjelaskan bahwa kemampuan berbahasa Inggris memungkinkan orang untuk keliling dunia, berinteraksi dengan banyak orang dari berbagai negara, mendapatkan pekerjaan sebagai interpreter, dan banyak lainnya. Seketika imajinasi saya melambung setelah mendapatkan 10 minutes inspirational session tersebut. Hari-hari berikutnya, saya rela melakukan berbagai hal demi tercapainya kemampuan berbahasa inggris, seperti membawa kamus setiap hari meski tak ada materi bahasa inggris pada hari tersebut, menghafalkan kosakata, belajar tata bahasa secara mandiri, dan melakukan upaya trial and error lainnya. Ternyata, ketika motivasi peserta didik untuk mempelajari sesuatu sudah tertanam kuat, metode pengajaran apapun bisa masuk dan diterima oleh mereka. 

Kesungguhan untuk belajar oleh peserta didik berawal dari motivasi. Dengan motivasi yang sudah tertanam kuat tersebut, mereka akan mampu secara mandiri bersungguh-sungguh untuk belajar. Maka, kemampuan untuk memotivasi merupakan hal yang sangat penting untuk dimiliki oleh pendidik. 









2 komentar:

  1. Sebenarnya tugas seorang pendidik bukan hanya sebagai motivator. Yang selengkapnya adalah menjadi Navigators yaitu bertindak sebagai Advisor,Guide,dan Role model, menjadi Transformer yaitu bertindak sebagai Creator, Intermediary,Teachers of more than language, menjadi Nurturer yang bertindak sebagai Companion, Devotees, dan Psychologyst, menjadi Wonderer yang bertindak sebagai Practitioner in progress, Teacher trainer, Witness.

    Dan aku sendiri jauh dari tuntutan di atas. Aku lihat guru-guru di Aussie lebih mendekati persyaratan dan tuntutan di atas dibanding dengan kawan-kawan selingkuanganku di sini. Masih ingat your host family mother, kan? Bagaimana beliau selama berjam-jam dan berhari-hari mempersiapkan diri sebelum masuk kelas, bagaimana si supervisor mendidik anak-anak imigran dengan sabar dan tanpa menyinggung perasaan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali,bu..
      beruntung kita bisa sempat belajar dari mereka, meskipun belum secara komprehensif.
      andai belajar secara komprehensif pun belum tentu mampu melakukan sebagaimana yang mereka lakukan.
      Peran pendidik tuh sangat banyak ya, Bu, dan masing2 peran idealnya membutuhkan perhatian khusus. Hanya jiwa-jiwa pembelajar dan mau memperbaiki diri secara berkesinambungan yang sepertinya mampu melakukan peran2 tersebut dengan baik.

      Hapus