Rabu, 01 Desember 2021

Australia menunda open border nih, ntah sampai kapan. Hiks!!!


Baru beberapa hari mendapatkan kabar yang menggembirakan tentang dibukanya border Australia, 28 November 2021 hatiku harus hancur lagi setelah mendengar kabar pembatalan kebijakan buka border tersebut. Aku yang sebelumnya begitu riang dan optimis, tiba-tiba terjatuh lunglai merasakan hancurnya harapan. Perasaan seperti ini umumnya dirasakan oleh semua mahasiswa yang berstatus sebagai mahasiswa di kampus Australia yang harus menjalani kuliah secara online akibat kebijakan penutupan border. Aku tidak menyebut bahwa situasi tersebut terjadi akibat pandemic, karena berbagai Negara di dunia tetap membuka border untuk traveller internasional khususnya mahasiswa asing. Sedangkan Australia memang sejak awal menerapkan kebijakan penutupan border penuh. Memang, ada kebijakan pengecualian (exemption) bagi beberapa traveller tertentu. Namun untuk dinyatakan qualified sebagai penerima exemption, banyak prasyarat yang mustahil untuk aku penuhi.

Orang atheis atau agnostic akan menyebut situasi ini sebagai kesialan. Sementara orang yang beragama yang mau berpositif thinking mungkin akan menyebutnya sebagai sebuah cobaan. Terlepas dari kesialan atau cobaan, situasi ini benar-benar menuntut kesabaran. Aku sudah lama bersabar. Kesabaranku sudah teruji. Meski sudah berkali-kali dibohongi oleh pemerintah Australia, namun kali ini terasa begitu sakit. Terasa sakit karena pemerintah Australia memberikan harapan yang begitu meyakinkan, hingga akhirnya mereka jilat ludah sendiri dengan mengumumkan pembatalan kebijakan open border.

Orang awam mungkin akan berkata bahwa kebijakan seperti itu wajar dikeluarkan pemerintah untuk melindungi kesehatan dan keselamatan warganya. Namun sikap mereka sungguh begitu menyakitkan dan merugikan banyak pihak. Sebagai Negara yang terkenal akan layanan kesehatan yang bagus, sikap tertutup Australia secara terus-menerus menunjukkan bahwa mereka tak ubahnya sebuah Negara lemah yang memilih untuk menghindari melawan wabah virus dengan segala kecanggihan teknologi medisnya. boleh lah kalau dikatakan bahwa merkea memiliki hak prerogative atas kebijakan apa pun terkait keamanan warga Negara Australia. Namun mereka semestinya bisa bersikap fair, dengan memberikan kompensasi atas kerugian materiil dan immaterial yang dialami leh orang-orang yang sudah membayar mahal untuk kuliah di Australia. Faktanya, mereka terus membiarkan uang dari mahasiswa internasional masuk ke rekening mereka, sementara mereka tidak memberikan kompensasi yang sepadan. Dalam hal ini, mereka tak jauh beda dari segerombolan bajingan yang berlabel negara.

Mereka tidak pedulikan nasib seorang mahasiswa dari india yang bunuh diri karena kecewa sudah mengeluarkan uang banyak demi masuk Australia namun akhirnya upayanya sia-sia. Mereka tidak peduli berapa banyak kesehatan mental yang terpuruk atas kebijakan mereka. Mereka tidak peduli atas berapa kerugian materiil yang dialami banyak orang atas kebijakan mereka.

Sekarang situasinya begitu sulit. Aku ingin lekas berangkat, namun melihat sikap pemerintah Australia yang begitu labil, aku jadi menahan diri untuk tidak terlalu bersikap optimis atas keadaan. Ini benar-benar ujian kesabaran yang nyata. Doaku tak pernah putus. Aku pasrah terhadap keadaan, sembari tetap menaruh sedikit asa akan turunnya keajaiban Tuhan. Memang benar bahwa aku tetap harus terus bersyukur apa pun keadaannya. Namun rasa kecewa ini begitu nyata. Semoga Alloh SWT berikan aku kesempatan untuk berangkat ke Australia segera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar