Baru beberapa hari mendapatkan kabar yang
menggembirakan tentang dibukanya border Australia, 28 November 2021 hatiku
harus hancur lagi setelah mendengar kabar pembatalan kebijakan buka border
tersebut. Aku yang sebelumnya begitu riang dan optimis, tiba-tiba terjatuh
lunglai merasakan hancurnya harapan. Perasaan seperti ini umumnya dirasakan
oleh semua mahasiswa yang berstatus sebagai mahasiswa di kampus Australia yang
harus menjalani kuliah secara online akibat kebijakan penutupan border. Aku
tidak menyebut bahwa situasi tersebut terjadi akibat pandemic, karena berbagai
Negara di dunia tetap membuka border untuk traveller internasional khususnya
mahasiswa asing. Sedangkan Australia memang sejak awal menerapkan kebijakan
penutupan border penuh. Memang, ada kebijakan pengecualian (exemption) bagi
beberapa traveller tertentu. Namun untuk dinyatakan qualified sebagai penerima
exemption, banyak prasyarat yang mustahil untuk aku penuhi.
Orang atheis atau agnostic akan menyebut situasi ini
sebagai kesialan. Sementara orang yang beragama yang mau berpositif thinking
mungkin akan menyebutnya sebagai sebuah cobaan. Terlepas dari kesialan atau
cobaan, situasi ini benar-benar menuntut kesabaran. Aku sudah lama bersabar.
Kesabaranku sudah teruji. Meski sudah berkali-kali dibohongi oleh pemerintah
Australia, namun kali ini terasa begitu sakit. Terasa sakit karena pemerintah
Australia memberikan harapan yang begitu meyakinkan, hingga akhirnya mereka
jilat ludah sendiri dengan mengumumkan pembatalan kebijakan open border.
Orang awam mungkin akan berkata bahwa kebijakan
seperti itu wajar dikeluarkan pemerintah untuk melindungi kesehatan dan
keselamatan warganya. Namun sikap mereka sungguh begitu menyakitkan dan
merugikan banyak pihak. Sebagai Negara yang terkenal akan layanan kesehatan
yang bagus, sikap tertutup Australia secara terus-menerus menunjukkan bahwa
mereka tak ubahnya sebuah Negara lemah yang memilih untuk menghindari melawan
wabah virus dengan segala kecanggihan teknologi medisnya. boleh lah kalau
dikatakan bahwa merkea memiliki hak prerogative atas kebijakan apa pun terkait
keamanan warga Negara Australia. Namun mereka semestinya bisa bersikap fair,
dengan memberikan kompensasi atas kerugian materiil dan immaterial yang dialami
leh orang-orang yang sudah membayar mahal untuk kuliah di Australia. Faktanya,
mereka terus membiarkan uang dari mahasiswa internasional masuk ke rekening
mereka, sementara mereka tidak memberikan kompensasi yang sepadan. Dalam hal
ini, mereka tak jauh beda dari segerombolan bajingan yang berlabel negara.
Mereka tidak pedulikan nasib seorang mahasiswa dari
india yang bunuh diri karena kecewa sudah mengeluarkan uang banyak demi masuk
Australia namun akhirnya upayanya sia-sia. Mereka tidak peduli berapa banyak
kesehatan mental yang terpuruk atas kebijakan mereka. Mereka tidak peduli atas
berapa kerugian materiil yang dialami banyak orang atas kebijakan mereka.
Sekarang situasinya begitu sulit. Aku ingin lekas
berangkat, namun melihat sikap pemerintah Australia yang begitu labil, aku jadi
menahan diri untuk tidak terlalu bersikap optimis atas keadaan. Ini benar-benar
ujian kesabaran yang nyata. Doaku tak pernah putus. Aku pasrah terhadap
keadaan, sembari tetap menaruh sedikit asa akan turunnya keajaiban Tuhan.
Memang benar bahwa aku tetap harus terus bersyukur apa pun keadaannya. Namun
rasa kecewa ini begitu nyata. Semoga Alloh SWT berikan aku kesempatan untuk
berangkat ke Australia segera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar