Saat Anies Baswedan
menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan, beliau menggalakkan program 15 menit
membaca di awal masuk kelas setiap hari di sekolah. Program tersebut diselenggarakan
dengan tujuan untuk mengkampanyekan budaya literasi. Mungkin sebagian orang
berpikir bahwa kenapa perlu ada kampanye literasi di sekolah. Bukankah secara nature sekolah merupakan tempat yang
semestinya lekat dengan literasi? Bukankah sekolah adalah tempat yang lekat
dengan kegiatan membaca dan menulis? Lantas kenapa perlu ada kampanye literasi
di sekolah?
Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata literasi memiliki makna kemampuan dan keterampilan
individu dalam berbahasa yang meliputi membaca, menulis, berbicara, menghitung
dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari. Kenapa literasi dianggap penting dan harus
dibudayakan, sehingga pemerintah melakukan program kampanye literasi? Karena sudah
ada bukti empiris bahwa tingkat literasi berkorelasi positif dengan kemajuan
suatu bangsa. Negara-negara yang tingkat literasinya tinggi terbukti memiliki
kemajuan yang tinggi dalam berbagai bidang seperti ekonomi, social, politik,
budaya, dan lainnya. Sementara tingkat literasi yang rendah juga berpengaruh
terhadap kondisi memprihatinkannya suatu Negara. Kondisi tersebut umumnya
terjadi di negara-negara yang terbelakang.
Ada kebijakan tentu
ada dasar pertimbangannya. Secara logika, adanya program kampanye literasi di
sekolah disebabkan karena ada masalah dengan kurangnya budaya literasi di
sekolah. Pemerintah tak perlu membuat kebijakan kampanye literasi di sekolah
jika para civitas akademika di berbagai sekolah di Indonesia sudah lekat dengan
budaya literasi. Untuk mengetahui gambaran seberapa besar prosentase civitas
akademika (guru, siswa, kepala sekolah, dan tenaga administrasi) yang lekat
dengan literasi, tentu dibutuhkan penelitian. Namun secara hipotesis saya bisa
menyimpulkan bahwa masih sangat banyak guru dan siswa yang tidak memiliki
kebiasaan yang berhubungan dengan literasi seperti membaca dan menulis.
Bukankah aktivitas
belajar di kelas berkaitan erat dengan kegiatan membaca dan menulis? Memang benar
bahwa kegiatan di kelas lekat dengan aktivitas baca tulis, namun baca tulis di
kelas yang berkaitan dengan pembelajaran suatu mata pelajaran tidak serta merta
bisa dijadikan dasar kesimpulan bahwa mereka yang terlibat aktivitas belajar di
kelas sudah terbukti memiliki budaya literasi.
Mengakses sumber
belajar sebatas untuk keperluan pembelajaran di kelas adalah literasi pada
level yang sangat minimal. Siswa yang tak suka membaca pun akan terpaksa
membaca ketika itu adalah suatu keharusan sebagai syarat untuk bisa sukses
dalam ujian atau ulangan harian, misalnya. Literasi yang diharapkan menjadi
budaya adalah literasi yang didasari atas kesadaran akan manfaat literasi bagi
kehidupan seorang individu. Seorang individu yang memiliki kesadaran penuh akan
manfaat dari literasi bagi kehidupannya akan memiliki motivasi instrinsik untuk
melakukan aktivitas baca tulis.
Cara efektif kampanye literasi di sekolah
Kampanye budaya
literasi yang efektif di sekolah membutuhkan upaya kolektif kolaboratif dan integrative.
Artinya, kampanye literasi tidak bisa diharapkan berhasil jika hanya
mengandalkan satu jenis program tunggal dan melibatkan satu pihak saja. Dalam artikel
ini, saya ingin mengulas tentang beberapa hal yang harus diintergrasikan
sebagai upaya untuk mengkampanyekan budaya literasi.
Pertama, adanya role
model. Betapa banyak siswa yang tak mengetahui apa manfaat dari membaca buku. Bahkan
sebagian dari mereka masih banyak yang memiliki persepsi negative bahwa membaca
adalah aktivitas yang membosankan. Ada juga yang berpikir bahwa membaca adalah
aktivitas yang hanya diperlukan untuk sukses menjalani ulangan harian atau
ujian akhir semester. Selebihnya membaca dianggap tidak ada relevansinya terhadap
kehidupan mereka. Mereka memiliki persepsi negative seperti itu karena mereka
tidak memiliki role model yang bisa meyakinkan mereka akan manfaat dari
membaca. Supaya para siswa suka membaca dan menulis, maka guru dan kepala
sekolah harus menunjukkan attitude kesukaan terhadap membaca dan menulis. Di setiap
sesi pembelajaran di kelas, guru perlu meyakinkan siswa tentang apa manfaat
membaca bagi mereka. Penjelasan tentang manfaat membaca tersebut tentu harus
dikaitkan dengan pengalaman empiris kehidupan siswa.
Guru perlu masuk ke
dunia siswa untuk bisa meyakinkan mereka tentang manfaat membaca. Misalnya,
para siswa pada umumnya adalah remaja yang sedang berada pada masa mencari
identitas diri. Ada yang memiliki masalah dengan interaksi sosial. Banyak siswa
yang ingin tau bagaimana caranya diterima di berbagai komunitas. Bagaimana caranya
agar disukai oleh banyak orang. Bagaimana caranya agar bisa percaya diri. Bagaimana
caranya agar bisa berkomunikasi secara efektif. Bagaimana caranya agar bisa
belajar bahasa asing dengan mudah. Dalma hal ini, literature bacaan yang teptat
yang musti direkomendasikan oleh guru kepada siswa adalah buku-buku self-help,
motivasi, prikologi terapan, dan buku-buku “how-to” lainnya. guru bisa
berdiskusi dengan siswa tentang permasalahan apa yang sedang mereka hadapi, dan
kemudian secara spesifik merekomendasikan buku atau bacaan tertentu yang
relevan dengan solusi atas masalah yang mereka hadapi.
Kedua, sediakan
fasilitas yang merangsang serta menumbuhkan minat baca. Peran perpustakaan
sekolah sangat strategis dalam kampanye literasi di sekolah. perpustakaan
seharusnya menjadi tempat yang sangat nyaman bagi siswa. Fasilitas tempat duduk
yang nyaman, ruangan yang bersih bebas dari debu, karpet yang tebal, bantal-bantal
empuk yang bisa dipakai untuk selonjoran sambil baca-baca, aroma ruangan yang
wangi, sirkulasi udara yang sehat, serta pegawai perpustakaan yang ramah
semestinya terjamin dalam perpustakaan sekolah. jangan sampai perpustakaan
hanya jadi tempat untuk meminjam buku paket mata pelajaran saja. Terlebih jika
pegawainya tidak ramah pada siswa. Kenyamanan lingkungan perpustakaan adlaah
bagian dari kunci keberhasilan kampanye literasi di sekolah.
Saat mendirikan Rumah
Baca, Gol A Gong tidak secara langsung mengarahkan warga sekitar untuk membaca
buku-buku koleksi yang disediakan di Rumah Baca tersebut. Gol A Gong lebih
memilih pendekatan yang soft. Dia sediakan ruangan yang nyaman, serta berbagai
fasilitas yang membuat warga sekitar tertarik untuk masuk ke Rumah Baca
tersebut. Hasilnya, lambat laun warga terpancing untuk membaca buku yang ada di
Rumah Baca tersebut.
Selain itu, koleksi
buku di perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kampanye budaya
literasi di sekolah. Pengadaan buku-buku di perpustakaan semestinya disesuaikan
dengan kebutuhan literature siswa. Buku buku seputar topic yang tidak berkaitan
dengan dunia siswa sebaiknya tidak diprioritaskan, seperti buku politik,
contohnya, meskipun itu juga perlu. Buku-buku fiksi yang best-seller, atau
buku-buku tentang psikologi terapan sangat perlu untuk diprioritaskan. Buku-buku
seputar psikologi remaja akan menarik minat siswa. Namun variasi literature juga
perlu diperhatikan, agar jangan sampai ada nuansa monoton atas topic dari
buku-buku yang tersedia di perpustakaan.
Ketiga, kampanye
literasi melalui program-program OSIS. OSIS sebagai organisasi yang digawangi
oleh para siswa memiliki peran strategis dalam kampanye literasi di sekolah. Program
bedah buku, training kepenulisan, training copywriting untuk keperluan digital
marketing, lomba-lomba menulis, dan program lainnya perlu dirumuskan dan
dilaksanakan oleh OSIS. Lomba-lomba yang
berkaitan dengan membaca dan menulis seperti lomba menulis synopsis, novel,
cerpen, puisi, atau karya non-fiksi bisa menjadi pelecut semangat siswa untuk
aktif dalam membaca dan menulis. Seorang individu pada umumnya membutuhkan goal
tertentu sebagai dasar kenapa mereka harus melakukan suatu proses mempelajari
sesuatu. Lomba kepenulisan bisa menjadi goal yang membuat para siswa merasa
harus terus membaca dan berlatih menulis.
Ada banyak ide yang
bisa dilaksanakan sebagai upaya dalam memngkampanyekan budaya literasi di
sekolah. Dalam perumusan program, kepala sekolah perlu melibatkan berbagai
elemen sekolah, termasuk guru, siswa, orang tua dan komite sekolah. Penyelenggaraan
diskusi untuk mendapatkan ide-ide segar kampanye literasi sangat layak untuk
dilaksanakan. Semakin banyak kepala yang dilibatkan dalam merumuskan ide, tentu
akan semakin bagus demi tercetusnya beragam gagasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar