Dalam hidup, manusia pasti pernah membuat keputusan
yang salah. Saat keputusan salah diambil, biasanya muncul rasa sesal yang
dalam. Seperti yang aku alami sekarang ini. Aku salah dalam mengambil keputusan
tentang pemilihan tempat karantina saat tiba di Adelaide. Ada dua pilihan
karantina sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah South
Australia. Kita bisa memilih untuk melakukan karantina di fasilitas yang
disediakan oleh pemerintah. Selain itu, kita juga bisa melakukan karantina di
tempat yang kita pilih sendiri, asalkan memenuhi segala aspek yang disyaratkan
oleh pemerintah.
Nah, bodohnya, aku memilih karantina mandiri. Kenapa aku
menyebutnya bodoh, karena karantina mandiri itu cukup merepotkan diri dan orang
lain. Aku harus mencari makanan untuk dikonsumsi setiap hari, sementara aku
tidak bisa keluar kemana-mana. Jalan satu-satunya ya merepotkan teman. Memang sih
ada teman baik yang mau direpotkan untuk mengurus akomodasiku. Namun hati kecil
pasti merasa kurang nyaman ketika begitu banyak merepotkan orang lain atas
urusan kita. Soal mencari makanan, melakukan test swab PCR di kota, dan lain
sebagainya harus diupayakan oleh sendiri.
Beda dengan karantina di fasilitas yang disediakan
oleh pemerintah. Segala sesuatu yang ebrkaitan dengan hajat kita bakal diurus
oleh para pegawai yang bertugas. Dari urusan makan, pengecekan kesehatan, test
swab PCR berkala, dan lainnya, semuanya diurus oleh pegawai yang bertugas. Kita
hanya perlu ber-betah diri berada di kamar selama masa karantina. Rasa bosan
tentu ada, namun fasilitas karantina yang memadai cukup menjadi support untuk
wellbeing kita. Memang sih, karantina di fasilitas yang disediakan oleh
pemerintah itu tidak gratis, mahal malah. Namun semua biaya bisa direimburse ke
lembaga pemberi beasiswa. Setidaknya seperti
itu gambaran karantina di fasilitas pemerintah yang dishare oleh seorang teman.
Entah kenapa aku memutuskan karantina mandiri. Padahal
semua sudah jelas, bahwa karantina di fasilitas pemerintah jauh lebih membuat
nyaman, karena kita tidak perlu mikir apa pun berkaitan dengan hajat kita. Aku sendiri
juga tidak tahu, apa yang jadi alasan kuat sehingga aku memilih karantina
mandiri di tempat akomodasi. Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa karantina
mandiri memungkinkan aku untuk merasa lebih “bebas”. Ternyata tidak. Semua penghuni
akomodasi melek aturan. Tetap ada banyak batasan yang harus aku patuhi selama
melakukan karantina mandiri. Wilayah gerakku hanya kamar tidur, kamar mandi,
dan toilet. Tidak lebih dari itu. Namun ada aspek-aspek lain yang membuatku merasa
beruntung. Keberuntungan pertama adalah teman-teman penghuni akomodasi ku sangat
sangat baik. Ada dua orang. Mereka sangat enteng dalam membantuku. Bahkan satu
di antara keduanya merupakan adik dari temanku saat kuliah S1 dulu. Dunia terasa
sempit. Ini yang membuatku yakin bahwa aku bakal betah di sini. Selain itu, tempat
akomodasi ini memiliki akses internet yang kencang. Aku yang terbiasa betah
berlama-lama menyendiri di ruangan merasa seperti orang yang hobi menyanyi yang
disuruh karaoke.
Dari pengalaman membuat keputusan yang salah ini, aku
belajar hal yang berharga. Aku belajar menerima kenyataan atas keputusan yang
salah. Aku belajar tentang bagaimana merubah situasi sulit menjadi jauh lebih
positif dan produktif. Aku sudah memaafkan diri atas keputusan salahku ini. I have
embraced this situation. Yang harus kulakukan sekarang adalah mengisi waktu
yang ada dengan sederet kegiatan positif nan produktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar