Senin, 20 Desember 2021

Membuat Keputusan yang Salah


Dalam hidup, manusia pasti pernah membuat keputusan yang salah. Saat keputusan salah diambil, biasanya muncul rasa sesal yang dalam. Seperti yang aku alami sekarang ini. Aku salah dalam mengambil keputusan tentang pemilihan tempat karantina saat tiba di Adelaide. Ada dua pilihan karantina sesuai dengan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah South Australia. Kita bisa memilih untuk melakukan karantina di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Selain itu, kita juga bisa melakukan karantina di tempat yang kita pilih sendiri, asalkan memenuhi segala aspek yang disyaratkan oleh pemerintah.

Nah, bodohnya, aku memilih karantina mandiri. Kenapa aku menyebutnya bodoh, karena karantina mandiri itu cukup merepotkan diri dan orang lain. Aku harus mencari makanan untuk dikonsumsi setiap hari, sementara aku tidak bisa keluar kemana-mana. Jalan satu-satunya ya merepotkan teman. Memang sih ada teman baik yang mau direpotkan untuk mengurus akomodasiku. Namun hati kecil pasti merasa kurang nyaman ketika begitu banyak merepotkan orang lain atas urusan kita. Soal mencari makanan, melakukan test swab PCR di kota, dan lain sebagainya harus diupayakan oleh sendiri.

Beda dengan karantina di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah. Segala sesuatu yang ebrkaitan dengan hajat kita bakal diurus oleh para pegawai yang bertugas. Dari urusan makan, pengecekan kesehatan, test swab PCR berkala, dan lainnya, semuanya diurus oleh pegawai yang bertugas. Kita hanya perlu ber-betah diri berada di kamar selama masa karantina. Rasa bosan tentu ada, namun fasilitas karantina yang memadai cukup menjadi support untuk wellbeing kita. Memang sih, karantina di fasilitas yang disediakan oleh pemerintah itu tidak gratis, mahal malah. Namun semua biaya bisa direimburse ke lembaga pemberi beasiswa.  Setidaknya seperti itu gambaran karantina di fasilitas pemerintah yang dishare oleh seorang teman.

Entah kenapa aku memutuskan karantina mandiri. Padahal semua sudah jelas, bahwa karantina di fasilitas pemerintah jauh lebih membuat nyaman, karena kita tidak perlu mikir apa pun berkaitan dengan hajat kita. Aku sendiri juga tidak tahu, apa yang jadi alasan kuat sehingga aku memilih karantina mandiri di tempat akomodasi. Sempat terbersit dalam pikiranku bahwa karantina mandiri memungkinkan aku untuk merasa lebih “bebas”. Ternyata tidak. Semua penghuni akomodasi melek aturan. Tetap ada banyak batasan yang harus aku patuhi selama melakukan karantina mandiri. Wilayah gerakku hanya kamar tidur, kamar mandi, dan toilet. Tidak lebih dari itu. Namun ada aspek-aspek lain yang membuatku merasa beruntung. Keberuntungan pertama adalah teman-teman penghuni akomodasi ku sangat sangat baik. Ada dua orang. Mereka sangat enteng dalam membantuku. Bahkan satu di antara keduanya merupakan adik dari temanku saat kuliah S1 dulu. Dunia terasa sempit. Ini yang membuatku yakin bahwa aku bakal betah di sini. Selain itu, tempat akomodasi ini memiliki akses internet yang kencang. Aku yang terbiasa betah berlama-lama menyendiri di ruangan merasa seperti orang yang hobi menyanyi yang disuruh karaoke.

Dari pengalaman membuat keputusan yang salah ini, aku belajar hal yang berharga. Aku belajar menerima kenyataan atas keputusan yang salah. Aku belajar tentang bagaimana merubah situasi sulit menjadi jauh lebih positif dan produktif. Aku sudah memaafkan diri atas keputusan salahku ini. I have embraced this situation. Yang harus kulakukan sekarang adalah mengisi waktu yang ada dengan sederet kegiatan positif nan produktif.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar