Tulisan kali ini akan berkaitan dengan Penilaian Angka
Kredit (PAK) yang menjadi beban administrasi kepegawaian para Aparatur Sipil
Negara. Namun yang menjadi pembahasan khusus adalah PAK guru ASN di suatu Kabupaten.
Berawal dari curhatan beberapa teman guru ASN yang mengeluh tentang layanan
pembuatan PAK. Ada beberapa guru (mungkin banyak) yang hingga sekarang belum
mendapatkan hasil PAK yang diajukan pada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini
menarik perhatianku. Apa sebenarnya faktor yang menyebabkan begitu lambatnya
proses penilaian angka kredit ASN Guru.
Kenapa ada kesan bahwa pengajuan PAK itu begitu sulit. Apakah itu murni karena
kompleksnya system penilaian yang membuat prosesnya lama, atau kah ada variable
keteledoran/ketidakbecusan kinerja orang-orang yang terlibat dalam penilaian?
Dalam system penilaian PAK di Indonesia, beberapa
orang yang memenuhi syarat ditunjuk untuk menjadi tim penilai (assesor) melalui
mekanisme tertentu. Tim penilai tersebut pada umumnya adalah guru atau pejabat
senior di lingkungan dinas pendidikan dan kebudayaan. Mereka mendapatkan
legitimasi menjadi tim asesor melalui Surat Keputusan (SK) penunjukan tim
asesor PAK. Selain itu, mereka juga mendapatkan insentif tambahan atas
kinerjanya sebagai anggota tim assessor. Secara hak, mereka sudah terpenuhi. Lantas
apa yang membuat proses pengajua PAK begitu lama. Sangat tidak masuk akal
pengajuan PAK yang berlangsung bertahun-tahun selalu tertunda penyelesaiannya. Hipotesis
saya, hal ini ada kaitannya dengan etos kerja tim penilai PAK.
Urusan administrasi kepegawaian seperti kenaikan
pangkat, angka kredit, dsb, harusnya ada system yang mempermudah guru dalam mengurusnya.
Tugas utama guru adalah mendidik generasi. Mereka semestinya memiliki
supporting system yang mengarahkan mereka pada maksimalnya proses
penyelenggaraan pendidikan di lingkungan sekolah. Dengan adanya urusan
administrasi kepegawaian yang pelik seperti pengurusan PAK ini, perhatian guru
akan terdistorsi dan terdistraksi. Selain berpengaruh terhadap kinerja sebagai
pendidik, hal tersebut juga berpengaruh terhadap wellbeing guru. wellbeing itu sangat penting. Di Negara-negara
maju, wellbeing pekerja sangat
diperhatikan, begitu pula dengan wellbeing
guru.
Perlu ada reformasi system pengajuan PAK yang diterapkan
di lingkungan kepegawaian. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah kualitas
tim penilai. Anggota tim penilai harus dipilih melalui mekanisme yang merit-based. Tidak boleh ada unsur
politik atau unsur lain yang tidak ada kaitannya dengan profesionalisme dalam
penunjukan tim assessor PAK. Instrumen penilaian yang digunakan dalam seleksi tim penilai PAK juga harus memenuhi aspek validitas dan reliabilitas, sehingga menutup kemungkinan munculnya hasil yang bias.
Yang kedua, harus ada arahan tentang deadline terselesaikannya
PAK. Selama ini yang terjadi adalah guru dituntut untuk mengajukan PAK dengan
deadline tertentu. Namun secara tidak fair, tidak ada deadline yang jelas kapan
guru berhak menerima hasil PAK. Sekalipun ada deadline penyerahan hasil PAK kepada guru, dalam pelaksanaannya biasanya kurang konsisten. Guru tidak boleh terlambat dalam mengajukan berkas
PAK, namun tim penilai terkesan bebas menyerahkan hasil PAK tanpa terikat
deadline.
Yang ketiga, perlu ada system informasi yang jelas
yang berkaitan dengan proses pengajuan PAK. Selama ini guru-guru yang belum memperoleh hasil PAK saat mereka sudah seharusnya mendapatkannya tidak memperoleh jawaban tentang alasan kenapa pengajuan
PAK mereka tertunda atau tidak berhasil. Harus ada layanan customer sebagai
wadah untuk guru memberikan masukan, mengungkapkan keluhan, dan mengetahui alur
proses PAK tersebut. Mirisnya, pernah ada suatu kasus dimana guru harus men-submit
ulang berkas PAK yang pernah mereka ajukan, dengan alasan berkas mereka hilang.
Adanya berkas yang hilang dan tidak ada pertanggungjawaban dari pihak-pihak
terkait merupakan fenomena memilukan yang menyiratkan rendahnya profesionalisme
tim PAK.
Yang keempat, guru semestinya menerima pemahaman yang
jelas tentang proses pengajuan PAK. Selama ini, kita take it for granted. Menganggap
bahwa guru sudah tahu dengan sendirinya tentang cara mengurus berkas PAK. Minimnya
pemahaman guru tentang mekanisme pengajuan PAK membuat repot tim penilai dalam
melakukan penilaian, karena berpotensi membutuhkan banyak revisi dalam
pengajuan PAK. Contohnya, guru yang keliru dalam menentukan bobot nilai suatu aspek
penilaian. Banyaknya kesalahan dalam penentuan bobot penilaian atas suatu aspek
yang dinilai bisa menuntut banyak revisi, dan tentu hal ini semakin memperlama
proses penilaian PAK.
Kadang saya temukan bahwa guru sering terjebak pada
hal-hal yang kurang essensial. Guru pusing memikirkan PAK yang pelaksanaannya
penuh dengan carut-marut. Sementara, mereka teralihkan perhatiannya untuk fokus
meningkatkan kualitas pembelajaran.
Seberapa banyak sih program peningkatan kompetensi
guru yang dilaksanakan secara rutin dan berkesinambungan? Jangan sampai guru
berlarut-larut terjebak pada hal yang sebenarnya bisa sederhana namun dibuat
rumit, kemudian menjadi lalai untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dan
layan terhadap peserta didik.
Mohon maaf jika ada kekeliruan dalam tulisan ini!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar