Di sebuah mata kuliah yang bernama Education
Dissertation, aku diharuskan melakukan penelitian yang dibimbing leh dua orang
dosen. Aku merasa sangat beruntung memiliki dua dosen pembimbing yang sangat
supportive. Bukan hanya urusan akademik saja aku mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari mereka. Hal-hal yang berkaitan dengan personal life dan mental wellbeing ku juga menjadi concern
mereka.
Kami melakukan pertemuan rutin setiap minggu. Sejauh yang
aku alami, dosen pembimbingku selalu memastikan bahwa kondisiku baik baik saja.
Mereka memahami bahwa kondisi mental mahasiswa memang harus dipastikan aman. Sehingga,
saat memulai sesi konsultasi, hal pertama yang ditanyakan oleh dosen pembimbing
adalah kondisi personal life ku, khususnya wellbeing ku. Mereka memahami bahwa
mental and physical health adalah dua hal yang harus dipastikan aman, karena
keduanya sangat berpengaruh terhadap perjalanan penelitian mahasiswa mereka.
Sejauh yang aku alami, dosen pembimbingku sangat berperan
dalam membantu progress penelitianku. Mereka akan menanyakan apakah ada kendala
yang aku hadapi, dan apakah ada bantuan yang aku kehendaki pada mereka. Mereka tidak
memposisikan diri sebagai judge atas progress penelitianku. Tidak ada istilah
vonis salah. Tidak ada kritikan yang menjatuhkan. Tidak ada teguran dengan
kata-kata bernada tinggi atau keras. Yang ada adalah sebaliknya, setiap ada
aspek yang bagus, mereka menunjukkan apresiasi. Setiap ada hal yang dirasa
perlu diperbaiki, mereka akan dengan santun memberi masukan. Mereka memberikan
masukan seperlunya. Independensi mahasiswa benar-benar sangat terlihat dalam
proses bimbingan penelitian di kampus tempatku belajar. Mereka sangat
supportive, sehingga selesai sesi bimbingan, perasaan senang penuh dukungan lah
yang terasa. Selesai bimbingan, aku selalu merasa mendapatkan bekal yang cukup untuk
melakukan proses selanjutnya.
Cara berkomunikasi dosen sangat humanis. Tidak ada
nuansa atasan-bawahan, senior-junior, ahli-amatiran, maupun nuansa relasi yang
menunjukkan perbedaan kasta lainnya. Bahkan, mereka menolak untuk dipanggil professor.
Cukup nama saja. Untuk soal ini memang berkaitan dengan konteks budaya yang
berlaku dalam lingkungan pergaulan di Australia,termasuk dalam lingkungan
pergaulan di lingkungan akademik. Tentu hal tersebut tidak bisa dipaksakan
untuk dipraktikan di Negara dimana tata sopan santun sedemikian rupa sehingga untuk
memanggil orang yang lebih tua dengan sebutan nama saja tidak bisa diterima secara
etika.
Mengalami perlakuan yang sangat positif dari dosen
pembimbingku selama menjalani berbagai sesi konsultasi, aku jadi ter-trigger
untuk membandingkannya dengan pengalaman bimbingan penelitian yang dialami baik
olehku sendiri maupun oleh orang-orang yang ku kenal. Banyak cerita miris yang
kudapatkan, seperti dimarahi dosen, dikritik habis-habisan tanpa diimbangi
dengan masukan solusi yang cukup, dan pulang dari sesi bimbingan dengan
perasaan galau, down, sedih, dan under presure. Tentunya tidak semua pengalaman
bimbingan penelitian yang dialami oleh semua mahasiswa di Indonesia seperti
itu. Namun pengalaman seperti itu sangat banyak, sehingga aku jadi berpikir
kalau hal tersebut memang tipikal pengalaman bimbingan penelitian di Indonesia.
Andai semua dosen pembimbing penelitian bersikap secara humanis dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan mahasiswa yang melakukan penelitian, tidak perlu lagi ada mahasiswa yang stress atau depresi karena mengurus penelitian. Proses penelitian memang menguras banyak hal, tenaga, pikiran, waktu, dan biaya. Hal tersebut rentan membuat mahasiswa depresi. Dengan jalinan komunikasi dan interaksi yang humanis, mahasiswa akan merasa memiliki dukungan psikologis. Dukungan psikologis tersebut sangat bermanfaat untuk membantu mereka mengarungi proses penelitian hingga selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar