Sabtu, 01 Januari 2022

Tantangan Studi Di Luar Negeri

 

Mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di luar negeri telah menjadi dambaan banyak orang. Selain karena factor gengsi, pendidikan di luar negeri, terutama di Negara maju sering diyakini bisa memberikan insight baru. Bagi yang memiliki ketersediaan finansial yang memadai, tentu tidak sulit untuk mewujudkan keinginan studi di luar negeri tersebut. Namun bagi sebagian orang lainya, mendapatkan sponsor adalah jalan terbaik untuk dapat mengenyam pendidikan di luar negeri. Hal tersebut dimaklumi, karena biaya kuliah di luar negeri, terutama di Negara maju, seringkali tidak dabat dijangkau oleh banyak orang.

Terlepas bagaimana orang membiayai pendidikan tinggi yang mereka jalani, baik secara mandiri maupun melalui sponsor, saat menjalani kuliah di luar negeri, orang akan menghadapi banyak tantangan. Ada banyak hal yang berpotensi menjadi pressure atau tantanga bagi mereka yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Tantangan-tantangn tersebut seringkali berkaitan dengan proses penyesuaian terhadap banyak hal. Pertama, tantangan penyesuaian terhadap budaya dan life style. Tidak jarang orang merasa menderita saat berada di Negara lain yang memiliki budaya dan life style yang jauh berbeda dari Negara asal mereka. Tantangan ini membutuhkan kecerdasan interpersonal yang bagus. Orang yang mudah bergaul dan easy going akan cenderung mudah melakukan adaptasi terhadap tantangan perbedaan budaya dan life style tersebut.

Tantangan kedua adalah perbedaan cuaca. Orang-orang yang berasal dari daerah tropis cenderung merasa cukup berat dalam menyesuaikan diri terhadap perbedaan cuaca. Di Negara-negara yang memiliki musim dingin, ekstrimnya rendahnya suhu seringkali menimbulkan gangguan kesehatan. Kulit yang pecah-pecah, mudah masuk angin, dan tantangan kesehatan lainnya. Aku sendiri pernah merasakan beratnya menyesuaikan diri terhadap cuaca dingin pada saat berada di Australia di tahun 2015 lalu. Cuaca yang sangat dingin membuat kulitku kering, bercak-bercak, bahkan berdarah. Namun, lambat laun, kulitku menjadi terbiasa dengan cuaca ekstrim tersebut. Sehingga, saat berada di daerah dengan suhu dingin yang lebih ekstrim pun aku sudah  tidak mengalami masalah kesehatan kulit.

 Tantangan ketiga berkaitan dengan interaksi dengan teman. Berada di luar negeri, kita mau tidka mau harus berinteraksi dengan berbagai orang yang memiliki keragaman karakter. Janganlkan berinteraksi dengan orang dari Negara lain. Interaksi dengan teman se-negara pun memiliki potensi terjadinya interaction clash. Attitude atau perlakuan buruk teman terhadap kita bisa mengganggu kenyamanan hidup di Negara luar. Memang ada kesan sepele tentang attitude yang tidak menyenangkan yang diperagakan oleh teman. Namun, jika kita tidak memiliki control diri atau emosi yang bagus, hal tersebut bisa menjadi masalah besar bagi perjalanan kehidupan kita di Negara luar sana. Aku mengamati secara nyata, betapa hanya karena ketidak cocokan atas sikap dan sifat satu sama lain, sebuah organisasi perhimpunan pelajar Indonesia di Negara tempat aku studi tidak berjalan dengan efektif. Banyak program yang tidak berjalan. Persis bisa dikatakan bahwa organisasi tersebut hanya tinggal nama tanpa program nyata yang bermanfaat.  Semua itu berawal dari kurang harmonisnya hubungan antar beberapa anggota yang berimbas kepada organisasi.

Tantangan keempat adalah tantangan akademik. Ini adalah tantangan yang utama dari pengalaman belajar di luar negeri. Berbagai perguruan tinggi di luar negeri memiliki demand yang besar terhadap para mahasiswanya. Ada yang menerapkan aturan yang sangat strict. Hal tersebut menuntut mahasiswa make most of their time to study, sementara kecepatan belajar setiap orang berbeda-beda. Sebenarnya bukan semata tentang kecepatan belajar yang sangat penting, melainkan juga emotional intelligence yang membuat seseorang survive menghadapi tantangan akademik tersebut. Banyak kasus mahasiswa yang kuliah di luar negeri yang mengalami depresi, karena tidak mampu memenej tantangan akademik. Hal tersebut tentu sangat disayangkan, terlebih jika mahasiswa tersebut sampai Drop Out di penghujung akhir masa studinya.

Tantangan terakhir adalah adanya berbagai distraksi. Saat kuliah di luar negeri, banyak hal yang bisa menjadi distraksi. Contoh distraksi adalah perihal pemanfaatan kesempatan bekerja bagi mahasiswa. Di Negara-negara maju, banyak opportunity kerja paruh waktu yang menjanjikan. Bahkan ada beberapa Negara yang menetapkan upah yang tinggi bagi para pekerja, termasuk pekerja paruh waktu. Di Negara Australia, misalnya, kerja paruh waktu digaji rata-rata 25 dolar per jam. Jika dikonversikan ke rupiah, maka angka 25 dolar bernilai 250 ribu rupiah, per jam. Bayangkan, kerja per jam dibayar 250 ribu rupiah. Hal tersebut tentu sangat menggiurkan, bagi banyak orang. Menggiurkannya upah kerja paruh waktu tersebut bisa berpotensi menjadi distractor. Banyak orang yang akhirnya terdistraksi tujuan kuliahnya. Alih-alih menjadikan studi sebagai focus utama mereka, pikiran mereka teralihkan pada money digging sebanyak-banyaknya, dengan alasan menabung, biasanya. Memang tidak salah jika kita mengambil kerja paruh waktu, toh memang visa student memungkinkan kita melakukannya. Namun, jika kerja paruh waktu tersebut mengalihkan focus utama kita, itu yang bermasalah.

Terlepas kita studi di luar negeri dengan biaya mandiri atau melalui beasiswa, tugas moral kita yang utama adalah menambah ilmu dan keterampilan baru yang berguna bagi diri sendiri dan sesame. Terlebih para mahasiswa yang menjalani studi dengan beasiswa. Tentu tuntutan moral mereka lebih besar dibanding mereka yang tanpa beasiswa.

Begitu banyak tantangan dalam menjalani studi di luar negeri. Makanya dalam wawancara berbagai platform beasiswa, pada umumnya muncul pertanyaan tentang bagaimana seorang kandidat beasiswa menyesuaikan diri dengan keadaan. Ada juga pertanyaan tentang problem solving. Hal tersebut memang dirasa perlu, karena kemampuan survive dalma menghadapi berbagai tantangan kuliah di luar negeri memang sangat penting.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar