Mengenyam pendidikan di perguruan tinggi di luar
negeri telah menjadi dambaan banyak orang. Selain karena factor gengsi,
pendidikan di luar negeri, terutama di Negara maju sering diyakini bisa
memberikan insight baru. Bagi yang memiliki ketersediaan finansial yang
memadai, tentu tidak sulit untuk mewujudkan keinginan studi di luar negeri
tersebut. Namun bagi sebagian orang lainya, mendapatkan sponsor adalah jalan
terbaik untuk dapat mengenyam pendidikan di luar negeri. Hal tersebut
dimaklumi, karena biaya kuliah di luar negeri, terutama di Negara maju,
seringkali tidak dabat dijangkau oleh banyak orang.
Terlepas bagaimana orang membiayai pendidikan tinggi
yang mereka jalani, baik secara mandiri maupun melalui sponsor, saat menjalani
kuliah di luar negeri, orang akan menghadapi banyak tantangan. Ada banyak hal
yang berpotensi menjadi pressure atau tantanga bagi mereka yang mengenyam
pendidikan tinggi di luar negeri. Tantangan-tantangn tersebut seringkali
berkaitan dengan proses penyesuaian terhadap banyak hal. Pertama, tantangan
penyesuaian terhadap budaya dan life style. Tidak jarang orang merasa menderita
saat berada di Negara lain yang memiliki budaya dan life style yang jauh
berbeda dari Negara asal mereka. Tantangan ini membutuhkan kecerdasan
interpersonal yang bagus. Orang yang mudah bergaul dan easy going akan
cenderung mudah melakukan adaptasi terhadap tantangan perbedaan budaya dan life
style tersebut.
Tantangan kedua adalah perbedaan cuaca. Orang-orang
yang berasal dari daerah tropis cenderung merasa cukup berat dalam menyesuaikan
diri terhadap perbedaan cuaca. Di Negara-negara yang memiliki musim dingin,
ekstrimnya rendahnya suhu seringkali menimbulkan gangguan kesehatan. Kulit yang
pecah-pecah, mudah masuk angin, dan tantangan kesehatan lainnya. Aku sendiri
pernah merasakan beratnya menyesuaikan diri terhadap cuaca dingin pada saat
berada di Australia di tahun 2015 lalu. Cuaca yang sangat dingin membuat
kulitku kering, bercak-bercak, bahkan berdarah. Namun, lambat laun, kulitku
menjadi terbiasa dengan cuaca ekstrim tersebut. Sehingga, saat berada di daerah
dengan suhu dingin yang lebih ekstrim pun aku sudah tidak mengalami masalah kesehatan kulit.
Tantangan ketiga
berkaitan dengan interaksi dengan teman. Berada di luar negeri, kita mau tidka
mau harus berinteraksi dengan berbagai orang yang memiliki keragaman karakter. Janganlkan
berinteraksi dengan orang dari Negara lain. Interaksi dengan teman se-negara
pun memiliki potensi terjadinya interaction
clash. Attitude atau perlakuan buruk teman terhadap kita bisa mengganggu
kenyamanan hidup di Negara luar. Memang ada kesan sepele tentang attitude yang
tidak menyenangkan yang diperagakan oleh teman. Namun, jika kita tidak memiliki
control diri atau emosi yang bagus, hal tersebut bisa menjadi masalah besar
bagi perjalanan kehidupan kita di Negara luar sana. Aku mengamati secara nyata,
betapa hanya karena ketidak cocokan atas sikap dan sifat satu sama lain, sebuah
organisasi perhimpunan pelajar Indonesia di Negara tempat aku studi tidak
berjalan dengan efektif. Banyak program yang tidak berjalan. Persis bisa
dikatakan bahwa organisasi tersebut hanya tinggal nama tanpa program nyata yang
bermanfaat. Semua itu berawal dari
kurang harmonisnya hubungan antar beberapa anggota yang berimbas kepada
organisasi.
Tantangan keempat adalah tantangan akademik. Ini adalah
tantangan yang utama dari pengalaman belajar di luar negeri. Berbagai perguruan
tinggi di luar negeri memiliki demand yang besar terhadap para mahasiswanya. Ada
yang menerapkan aturan yang sangat strict. Hal tersebut menuntut mahasiswa make
most of their time to study, sementara kecepatan belajar setiap orang
berbeda-beda. Sebenarnya bukan semata tentang kecepatan belajar yang sangat
penting, melainkan juga emotional intelligence yang membuat seseorang survive menghadapi
tantangan akademik tersebut. Banyak kasus mahasiswa yang kuliah di luar negeri
yang mengalami depresi, karena tidak mampu memenej tantangan akademik. Hal tersebut
tentu sangat disayangkan, terlebih jika mahasiswa tersebut sampai Drop Out di penghujung akhir masa
studinya.
Tantangan terakhir adalah adanya berbagai distraksi. Saat
kuliah di luar negeri, banyak hal yang bisa menjadi distraksi. Contoh distraksi
adalah perihal pemanfaatan kesempatan bekerja bagi mahasiswa. Di Negara-negara
maju, banyak opportunity kerja paruh waktu yang menjanjikan. Bahkan ada beberapa
Negara yang menetapkan upah yang tinggi bagi para pekerja, termasuk pekerja
paruh waktu. Di Negara Australia, misalnya, kerja paruh waktu digaji rata-rata
25 dolar per jam. Jika dikonversikan ke rupiah, maka angka 25 dolar bernilai
250 ribu rupiah, per jam. Bayangkan, kerja per jam dibayar 250 ribu rupiah. Hal
tersebut tentu sangat menggiurkan, bagi banyak orang. Menggiurkannya upah kerja
paruh waktu tersebut bisa berpotensi menjadi distractor. Banyak orang yang
akhirnya terdistraksi tujuan kuliahnya. Alih-alih menjadikan studi sebagai focus
utama mereka, pikiran mereka teralihkan pada money digging sebanyak-banyaknya, dengan alasan menabung, biasanya.
Memang tidak salah jika kita mengambil kerja paruh waktu, toh memang visa
student memungkinkan kita melakukannya. Namun, jika kerja paruh waktu tersebut
mengalihkan focus utama kita, itu yang bermasalah.
Terlepas kita studi di luar negeri dengan biaya
mandiri atau melalui beasiswa, tugas moral kita yang utama adalah menambah ilmu
dan keterampilan baru yang berguna bagi diri sendiri dan sesame. Terlebih para
mahasiswa yang menjalani studi dengan beasiswa. Tentu tuntutan moral mereka
lebih besar dibanding mereka yang tanpa beasiswa.
Begitu banyak tantangan dalam menjalani studi di luar
negeri. Makanya dalam wawancara berbagai platform beasiswa, pada umumnya muncul
pertanyaan tentang bagaimana seorang kandidat beasiswa menyesuaikan diri dengan
keadaan. Ada juga pertanyaan tentang problem solving. Hal tersebut memang
dirasa perlu, karena kemampuan survive dalma menghadapi berbagai tantangan
kuliah di luar negeri memang sangat penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar