Viralitas dan ketenaran sudah semakin menjadi dambaan banyak orang dewasa ini. Apalagi orang mulai menyadari bahwa viralitas dan ketenaran bisa mendongkrak banyak hal dalam hidup seseorang, seperti finansial, status social, serta kepuasan diri. Manusia cenderung ingin dianggap inspiratif oleh orang lain. Makanya, tiap kali ada wawancara tentang proses keberhasilan, orang-orang yang diwawancarai cenderung menyampaikan fase-fase malang dalam hiudp yang dia lalui. Ada sad story yang sepertinya tidak boleh dilewatkan untuk diceritakan, ketika mereka ditanya tentang proses mereka menuju keberhasilan. Kemudian diakhiri dengan cerita inspiratif tentang bagaimana mereka bangkit dan menjadi sukses. Ketika menjadi pribadi inspiratif, orang punya potensi untuk menjadi tenar dan viral. Begitulah fenomena yang ada dewasa ini, viralitas dan ketenaran.
Obsesi untuk
menjadi tenar, seringkali menstimulasi sifat narsistik. Orang ingin tampil
keren di hadapan public. Orang ingin dianggap menjadi yang terdepan dalam suatu
hal. Sering kita jumpai foto seseorang dengan pose sedang berada di mimbar
dengan memegang microphone, yang seolah sedang menjadi pembicara suatu seminar.
Padahal dia hanyalah salah seorang anggota panitia. Atau foto berjejer dengan
tokoh terkenal, biar dikira disangka dan dipandang memiliki circle orang-orang
hebat.
Obsesi menjadi
viral dan terkenal begitu merebak dalam berbagai sendi kehidupan. Jika viralitas
tersebut muncul di dunia artis, jelas kita bisa memahami, karena memang
viralitas dan entertainment adalah laksana dua sisi mata uang. Pertanyaannya adalah,
apakah obsesi menjadi viral dan terkenal tersebut bisa muncul dalam bidang
lain, bidang akademik misalnya? Nah…ini lah yang akan dibahas dalam tulisan
ini.
Seorang mahasiswa
program doctoral mengisi seminar, dan dalam flyer yang disebar tertulis nama
mahasiswa tersebut dengan keterangan “Kandidat Doktor”. Secara implisit, ada
narsisme dalam penyematan frasa “kandidat doctor” tersebut. Mungkin mahasiswa
tersebut tidak meminta, namun disematkannya sebutan “kandidat doctor” menyiratkan
bahwa hal tersebut sudah menjadi budaya. Orang Sudah memakluminya. Sama halnya dengan
penyebutan “haji” kepada seseorang yang sudah pernah beribadah haji. Mungkin sang
haji tidka meminta, namun yang memanggil dengan sebutan “haji” pada umumnya
menganggap bahwa hal tersebut perlu, karena itu sudah dianggap sebagai budaya. Merebaknya
narsisme dalam masyarakat itu nyata.
Saya teringat
ada seorang pengisi acara seminar. Dia diminta untuk menulis background
pendidikannya. Dia sebutkan semuanya secara lengkap. Mulai dari Pendidikan formal,
hingga pengalaman keterlibatannya dalam berbagai pelatihan. Mungkin niatnya adalah
dengan menyebutkan semua latar belakang Pendidikan dan semua pengalaman kepelatihan,
dia akan dianggap sebagi orang yang kompeten. Sebagian orang mungkin kagum. Namun
sebagian orang lainnya, termasuk aku, akan berkata “wait! Ntar dulu. Coba liat
isi otak, track record, karya, dan kontribusi nyatamu”. Bukannya saya sok
hebat, karena memang saya bukan orang hebat. Namun bagi saya, menyebutkan
segala gelar, pengalaman akademik, kepelatihan dan sebagainya di muka umum
memiliki konsekuensi besar. Ada beban moral di situ. Harus ada bukti bahwa kita
memang benar-benar besar dampak kebermanfaatannya terhadap orang lain di bidang
yang kita geluti. Narsis sedikit mungkin boleh, namun kualitas pemikiran, karya
dan kontribusi nyata harus lah jauh melambung lebih tinggi di atas narsisme
tersebut.
Negara ini
hancur dalam beberapa aspek karena banyak orang bodoh dan miskin kompetensi
namun terobsesi untuk mengemban amanah besar. Orang-orang seperti itu biasanya
haus akan kepemilikan pengaruh, serta ingin dipandang sebagai orang hebat. Namun
mereka bukanlah the right man in the right place. Jadinya, banyak urusan-urusan
yang dipegang oleh orang yang tidak berkompetensi. Rusaklah jadinya. Memiliki obsesi
untuk menjadi terkenal dan berpengaruh itu boleh. Namun selayaknya diiringi
dengan upaya memantaskan diri untuk meraih hal tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar