Sabtu, 08 Januari 2022

Antara Indonesia dan Australia, Mana yang lebih liveable?

 

Tinggal di Australia baru beberapa minggu, aku langsung mendapatkan kesimpulan tentang betapa Negara ini sangat nyaman untuk dijadikan sebagai tempat tinggal, baik short term maupun long term. Ada banyak hal yang bisa dijadikan tolok ukur atas worth-living-in tidaknya suatu Negara. Namun tolok ukur sederhana yang aku perhatikan adalah tentang rasio pendapatan dan harga kebutuhan pokok.

Supaya apple to apple, aku bandingkan pendapatan an pengeluaran harian seorang buruh atau pekerja kasar di Indonesia dan Australia. Katakanlah buruh di kedua Negara tersebut bekerja di sector yang sama, perkebunan. Seorang buruh perkebunan di Indonesia bisa mendapatkan upah harian rata-rata sekitar 100 ribu. Jika buruh tersebut bekerja selama 8 jam per hari, berarti untuk perjamnya dia mendapatkan sekitar Rp 12.500. Bburuh tersebut membutuhkan makan siang yang dibeli di warung. Memang sih soal jumlah pengeluaran untuk sekali makan orang Indonesia itu relative, karena disparitasnya terlalu tinggi. Harga seporsi makanan dengan jenis yang sama di kota-desa, jawa-luar jawa, Indonesia tengah, Indonesia barat, Indonesia timur, sangatlah berbeda. Namun menghabiskan 20 ribu untuk seporsi makan siang plus minuman sepertinya cukup. Berarti, pekerja Indonesia tersebut masih memiliki 80 ribu rupiah.

Pertanyaannya, dengan sisa uang 80 ribu rupiah yang dimiliki buruh perkebunan tersebut, jika dibelanjakan di Indonesia, dia bisa dapat apa kira-kira? Uang 80 ribu untuk membeli ayam bisa mendapatkan sekitar 2.5 kg. Jika dipakai untuk membeli minyak goreng, maka kita bisa mendapatkan 4 liter. Jika dipakai untuk membeli beras, maka bisa mendapatkan kurang lebih 8 kg. jika seluruhnya dipakai untuk membeli bensin dengan RON 92, maka dengan sejumlah uang tersebut kita bisa mendapatkan sekitar 9-10 liter.

Sekarang mari kita bandingkan dengan pendapatan dan pengeluaran buruh di Australia. Seorang buruh di Australia bisa mendapatkan penghasilan rata-rata 20 dollar per jam, atau 200 ribu rupiah. Jika dia bekerja selama delapan jam sehari, maka dia bisa mengumpulkan 160 dolar per hari. Di Australia, penghasilan sebagai buruh biasanya dikenai pajak, berkisar 15 persen (CMIIW). Sehingga penghasilannya tersisa 135 dolar. Katakanlah dia membutuhkan makan siang yang dibeli di kantin karnea dia tidak membawa bekal makanan dari rumah. Untuk se porsi makan yang layak, dalam arti tidak sederhana dan tidak terlalu mewah, maka uang 15 dolar untuk seporsi makanan dan minuman sudah sangat cukup. Jika dia hanya makan sekali, dan tidak ada kebutuhan lain, maka dia masih mengantongi uang sekitar 120 dolar.

Pertanyaan yang sama, dengan uang 120 dolar, jika dibelanjakan untuk membeli sembako di Australia, buruh tersebut bisa dapet apa aja di kira-kira? Jika uang tersebut sepenuhnya dibelanjakan untuk membeli ayam, maka kita bisa mendapatkan sekitar 20 kg. Jika dibelanjakan sepenuhnya untuk membeli minyak goreng, maka kita bisa mendapatkan sekitar 25 liter. Jika dibelanjakan untuk membeli beras premium, maka bisa mendapatkan sekitar 45 kg. jika dibelanjakan sepenuhnya untuk membeli bensin dengan RON 92, maka bisa mendapatkan sekitar 76 liter bensin.

Dari analogy pendapatan buruh di kedua Negara tersebut, maka bisa kita simpulkan bahwa biaya hidup di Australia lebih murah. Kita kadang mendengar orang berkata bahwa biaya hidup di luar Australia itu mahal. Kesimpulan tersebut muncul karena orang melihatnya melalui perspektif penghasilan orang Indonesia untuk pengeluaran di Australia. Namun, jika kita melihat dari perspektif penghasilan yang diapatkan dan dibelanjakan di Australia, maka kesimpulannya adalah biaya hidup di Australia itu murah.

Mungikin ada yang bertanya, “lho, kita baru menghitung soal pengeluaran untuk sembako. Bagaimana dengan pengeluaran untuk akomodasi? Apakah ktia masih mendapatkan kesimpulan yang sama bahwa di biaya hidup di Australia lebih murah dari pada di Indonesia?” Ini menarik. Karakteristik biaya akomodasi di berbagai Negara relative sama. Artinya, biaya sewa akomodasi biasanya berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sewa akomodasi di kota kecil tentu berbeda dengan sewa akomodasi di kota besar. Di kota besar seperti Sydney, untuk menyewa sebuah kamar kos yang fully furnished, kita harus mengeluarkan biaya antara 200-300 dolar per minggu. Sementara, di kota sedang seperti Adelaide, biaya akomodasi berkisar antara 100-250 dolar per minggu. Intinya, dengan uang 1000 dolar, orang bisa mendapatkan akomodasi yang layak. Bahkan aku sendiri hanya menghabiskan sekitar 500 dolar per empat minggu untuk akomodasi dan sudah termasuk bill gass, listrik, air, dan internet.

Di Indonesia, biaya sewa kos-kosa bisa berkisar ratusan hingga jutaan rupiah per bulannya.jika seorang buruh perkebunan harus tinggal di sepetak kamar kos-kosan denganharga sewa 500 ribu, maka dia harus menghabiskan kira-kira seperlima dari pendapatkan bulanannya.

Banyak hal tentang sisi biaya hidup di Indonesia dan Australia yang jika dibandingkan maka menghasilkan kesimpulan yang sama, bahwa hidup di Australia lebih terjangkau ketimbang di Indonesia. Satu hal lain yang membuat Australia relative livable adalah banyaknya kesempatan dan kemudahan untuk meraih penghasilan. Banyak pemuda pemudi Australia yang membiayai hidup dan kuliah mereka secara mandiri hanya dengan kerja blue collar paruh waktu. Namun, pekerjaan-pekerjaan blue collar paruh waktu di Indonesia pada umumnya sulit untuk dijadikan tumpuan bagi mereka yang ingin secara mandiri membiayai hidup dan studinya.

Kembali ke judul dari artikel ini, “antara Indonesia dan Australia, mana yang lebih livable?”

Pertanyaan pada judul tersebut sebenarnya adalah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Harus kita akui bahwa Australia memang lebih livable daripada Indonesia. Hal tersebut sudah dikonfirmasi oleh Global Liveability Index yang melakukan pemeringkatan tingkat kelayakan hidup berbagai Negara. Namun sebagai manusia kita memiliki keterbatasan untuk memilih di Negara mana sebaiknya kita tinggal, kecuali orang-orang yang memiliki privilege tertentu. Di Australia, dengan bekerja sebagai buruh, kita masih bisa mendapatkan penghidupan yang layak, cukup dan nyaman. Sementara di Indonesia, pekerjaan-pekerjaan sektor buruh masih dirasa belum bisa dijadikan andalan untuk meraih hidup yang nyaman. Indonesia adalah Negara besar dengan potensi komoditas dan pasar yang begitu besar. Maka, wirausaha adalah sector yang sepertinya jauh lebih memungkinkan untuk memberi peluang hidup layak dalam jangka panjang ketimbang sector buruh. Makanya jangan heran jika usaha-usaha yang terkesan remeh seperti jualana batagor, bubur ayam, sayuran dan sejenisnya seringkali bisa memungkinkan adanya penghidupan yang lebih layak ketimbang pekerjaan di sector buruh atau karyawan.

Tulisan ini adalah murni pendapat pribadi yang didapat melalui pengalaman. Tentu ada kekurangan dan subjektivitas. Therefore, I am open to any correction, sharing or further discussion.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar