Tinggal di Australia baru beberapa minggu, aku langsung
mendapatkan kesimpulan tentang betapa Negara ini sangat nyaman untuk dijadikan
sebagai tempat tinggal, baik short term maupun long term. Ada banyak hal yang
bisa dijadikan tolok ukur atas worth-living-in tidaknya suatu Negara. Namun tolok
ukur sederhana yang aku perhatikan adalah tentang rasio pendapatan dan harga
kebutuhan pokok.
Supaya apple to apple, aku bandingkan pendapatan an
pengeluaran harian seorang buruh atau pekerja kasar di Indonesia dan Australia.
Katakanlah buruh di kedua Negara tersebut bekerja di sector yang sama,
perkebunan. Seorang buruh perkebunan di Indonesia bisa mendapatkan upah harian
rata-rata sekitar 100 ribu. Jika buruh tersebut bekerja selama 8 jam per hari,
berarti untuk perjamnya dia mendapatkan sekitar Rp 12.500. Bburuh tersebut
membutuhkan makan siang yang dibeli di warung. Memang sih soal jumlah
pengeluaran untuk sekali makan orang Indonesia itu relative, karena
disparitasnya terlalu tinggi. Harga seporsi makanan dengan jenis yang sama di kota-desa,
jawa-luar jawa, Indonesia tengah, Indonesia barat, Indonesia timur, sangatlah
berbeda. Namun menghabiskan 20 ribu untuk seporsi makan siang plus minuman sepertinya
cukup. Berarti, pekerja Indonesia tersebut masih memiliki 80 ribu rupiah.
Pertanyaannya, dengan sisa uang 80 ribu rupiah yang
dimiliki buruh perkebunan tersebut, jika dibelanjakan di Indonesia, dia bisa
dapat apa kira-kira? Uang 80 ribu untuk membeli ayam bisa mendapatkan sekitar
2.5 kg. Jika dipakai untuk membeli minyak goreng, maka kita bisa mendapatkan 4
liter. Jika dipakai untuk membeli beras, maka bisa mendapatkan kurang lebih 8 kg.
jika seluruhnya dipakai untuk membeli bensin dengan RON 92, maka dengan
sejumlah uang tersebut kita bisa mendapatkan sekitar 9-10 liter.
Sekarang mari kita bandingkan dengan pendapatan dan
pengeluaran buruh di Australia. Seorang buruh di Australia bisa mendapatkan
penghasilan rata-rata 20 dollar per jam, atau 200 ribu rupiah. Jika dia bekerja
selama delapan jam sehari, maka dia bisa mengumpulkan 160 dolar per hari. Di Australia,
penghasilan sebagai buruh biasanya dikenai pajak, berkisar 15 persen (CMIIW). Sehingga
penghasilannya tersisa 135 dolar. Katakanlah dia membutuhkan makan siang yang
dibeli di kantin karnea dia tidak membawa bekal makanan dari rumah. Untuk se
porsi makan yang layak, dalam arti tidak sederhana dan tidak terlalu mewah,
maka uang 15 dolar untuk seporsi makanan dan minuman sudah sangat cukup. Jika dia
hanya makan sekali, dan tidak ada kebutuhan lain, maka dia masih mengantongi uang
sekitar 120 dolar.
Pertanyaan yang sama, dengan uang 120 dolar, jika
dibelanjakan untuk membeli sembako di Australia, buruh tersebut bisa dapet apa
aja di kira-kira? Jika uang tersebut sepenuhnya dibelanjakan untuk membeli
ayam, maka kita bisa mendapatkan sekitar 20 kg. Jika dibelanjakan sepenuhnya
untuk membeli minyak goreng, maka kita bisa mendapatkan sekitar 25 liter. Jika dibelanjakan
untuk membeli beras premium, maka bisa mendapatkan sekitar 45 kg. jika
dibelanjakan sepenuhnya untuk membeli bensin dengan RON 92, maka bisa
mendapatkan sekitar 76 liter bensin.
Dari analogy pendapatan buruh di kedua Negara tersebut,
maka bisa kita simpulkan bahwa biaya hidup di Australia lebih murah. Kita kadang
mendengar orang berkata bahwa biaya hidup di luar Australia itu mahal. Kesimpulan
tersebut muncul karena orang melihatnya melalui perspektif penghasilan orang Indonesia
untuk pengeluaran di Australia. Namun, jika kita melihat dari perspektif penghasilan
yang diapatkan dan dibelanjakan di Australia, maka kesimpulannya adalah biaya
hidup di Australia itu murah.
Mungikin ada yang bertanya, “lho, kita baru menghitung
soal pengeluaran untuk sembako. Bagaimana dengan pengeluaran untuk akomodasi? Apakah
ktia masih mendapatkan kesimpulan yang sama bahwa di biaya hidup di Australia lebih
murah dari pada di Indonesia?” Ini menarik. Karakteristik biaya akomodasi di
berbagai Negara relative sama. Artinya, biaya sewa akomodasi biasanya
berbeda-beda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Sewa akomodasi di kota
kecil tentu berbeda dengan sewa akomodasi di kota besar. Di kota besar seperti
Sydney, untuk menyewa sebuah kamar kos yang fully furnished, kita harus
mengeluarkan biaya antara 200-300 dolar per minggu. Sementara, di kota sedang
seperti Adelaide, biaya akomodasi berkisar antara 100-250 dolar per minggu. Intinya,
dengan uang 1000 dolar, orang bisa mendapatkan akomodasi yang layak. Bahkan aku
sendiri hanya menghabiskan sekitar 500 dolar per empat minggu untuk akomodasi
dan sudah termasuk bill gass, listrik, air, dan internet.
Di Indonesia, biaya sewa kos-kosa bisa berkisar ratusan
hingga jutaan rupiah per bulannya.jika seorang buruh perkebunan harus tinggal
di sepetak kamar kos-kosan denganharga sewa 500 ribu, maka dia harus
menghabiskan kira-kira seperlima dari pendapatkan bulanannya.
Banyak hal tentang sisi biaya hidup di Indonesia dan Australia
yang jika dibandingkan maka menghasilkan kesimpulan yang sama, bahwa hidup di Australia
lebih terjangkau ketimbang di Indonesia. Satu hal lain yang membuat Australia relative
livable adalah banyaknya kesempatan dan kemudahan untuk meraih penghasilan. Banyak
pemuda pemudi Australia yang membiayai hidup dan kuliah mereka secara mandiri
hanya dengan kerja blue collar paruh
waktu. Namun, pekerjaan-pekerjaan blue
collar paruh waktu di Indonesia pada umumnya sulit untuk dijadikan tumpuan
bagi mereka yang ingin secara mandiri membiayai hidup dan studinya.
Kembali ke judul dari artikel ini, “antara Indonesia
dan Australia, mana yang lebih livable?”
Pertanyaan pada judul tersebut sebenarnya adalah pertanyaan yang sudah jelas jawabannya. Harus kita akui bahwa Australia memang lebih livable
daripada Indonesia. Hal tersebut sudah dikonfirmasi oleh Global Liveability
Index yang melakukan pemeringkatan tingkat kelayakan hidup berbagai Negara. Namun
sebagai manusia kita memiliki keterbatasan untuk memilih di Negara mana
sebaiknya kita tinggal, kecuali orang-orang yang memiliki privilege tertentu. Di
Australia, dengan bekerja sebagai buruh, kita masih bisa mendapatkan
penghidupan yang layak, cukup dan nyaman. Sementara di Indonesia,
pekerjaan-pekerjaan sektor buruh masih dirasa belum bisa dijadikan andalan
untuk meraih hidup yang nyaman. Indonesia adalah Negara besar dengan potensi
komoditas dan pasar yang begitu besar. Maka, wirausaha adalah sector yang
sepertinya jauh lebih memungkinkan untuk memberi peluang hidup layak dalam
jangka panjang ketimbang sector buruh. Makanya jangan heran jika usaha-usaha
yang terkesan remeh seperti jualana batagor, bubur ayam, sayuran dan sejenisnya
seringkali bisa memungkinkan adanya penghidupan yang lebih layak ketimbang
pekerjaan di sector buruh atau karyawan.
Tulisan ini adalah murni pendapat pribadi yang didapat
melalui pengalaman. Tentu ada kekurangan dan subjektivitas. Therefore, I am open to any correction,
sharing or further discussion.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar