Disclaimer: Tulisan ini semata-mata aku
tujukan buat refleksi diri. Tidak ada niat riya, pamer kebaikan atau pun hal
negeatif lainnya.
Selama ini aku
meyakini bahwa jika kita memiliki niat baik, maka sebaiknya niatan tersebut
segera diwujudkan. Berpikir terlalu lama menimbang-nimbang amal kebaikan yang
kita niatkan tidak lah baik. Setan terlalu lihai untuk merubah pikiran manusia
untuk tidak berbuat amal kebaikan. Sekalipun bukan setan yang merubah pikiran
kita, tetap masih ada potensi kita berubah pikiran dan akhirnya tidak jadi mewujudkan
amal kebaikan, karena manusia memang dasarnya mudah berubah. Dengan dasar
itulah, setiap kali aku berusaha berbuat amal kebaikan yang penuh keikhlasan,
aku segerakan.
Ada beberapa pengalaman
hidup berharga tentang ketulusan dalam berbuat baik yang cukup menjadi
pelajaran berharga buatku. Salah satunya adalah tentang respon atau sikap
seseorang yang kita berikan kebaikan. Ceritanya begini. Aku diminta untuk
membantu seseorang menyelesaikan suatu pekerjaan. Aku langsung saja
mengiyakanannya, meski aku tau bahwa hal tersebut berarti mengorbankan agendaku.
Entah malaikat apa yang membisikiku, aku langsung tergerak untuk meluangkan
waktu seharian penuh membantu seorang teman yang baru aku kenal untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Dia orang baik. Melibatkan aku untuk menyelesaikan
urusannya, mungkin menunjukkan bahwa dia menggangapku orang baik pula yang
bersedia membantunya. Dia juga bukan termasuk orang yang take people for granted. FYI, dia berkata bahwa aku akan dibayar
$25 perjam untuk jasaku membantunya menyelesaikan pekerjaannya. Aku tidak
menjawab iya atau tidak, karena aku lebih memilih untuk menjawab “yang penting
kita selesaikan dulu pekerjaannya. Itu soal belakangan”.
Aku memang ingin
sekali berbuat baik kepada sesame, sebanyak dan sebesar-besarnya. Terlebih, aku
meyakini bahwa berbuat baik itu akan menimbulkan sense of meaningfulness dan a
good feeling. Waktu pengerjaan yang diperkirakan hanya 5 jam, ternyata
molor hingga 10 jam. Aku merasa it’s just
fine to spend almost the whole productive time to do a meaningful deed. Selesai
menyelesaikan pekerjaan tersebut, aku diantar pulang. Lantas dia meminta nomer
rekeningku untuk dia transfer. Seketika aku bilang, “that’s unnecessary. I
never meant to help you for dollar. I meant to help you sincerely. Never think
about giving me money as return, mate”. He insisted that he wanted to have my
account. But soon I closed the car’s door and said goodbye.
Masuk ke rumah. Ada gejolak
dalam pikiran. “dia kan mampu. Pendapatan hariannya saja dari pekerjaannya bisa
mencapai 4 juta rupiah dalam sehari. Belum juga istrinya yang bekerja. Dan aku
memang deserve to get paid for what I did”. Namun hatiku berbisik dan meneguhkan
untuk tetap pada niatan awal, yaitu doing good deed for people sincerely, no
matter what. Money can be made. But
having new friends, especially good people, is priceless, begitu pikirku. Jujur,
aku ingin sekali berteman sanagt baik dengan teman baru ku ini. Aku tau dia
orang baik. Yang kuharapkan adalah setelahnya aku bisa berkawan baik dengannya.
Nomernya aku simpan di whatsapp. Akun socmednya aku follow. Namun yang
membuatku heran adalah kenapa dia setelahnya tidak pernah menghubungi ku untuk
let’s say just to say hello or saying thanks. Astaghfirullohaladziim… nda ada
maksud untuk mengharapkan balasan apa-apa. Namun niatku untuk having them as my
new family here seperti tdak kesampaian. Mereka cuek dan putus komunikasi sama
sekali setelahnya. Aku coba menghubungi mereka dengan bertanya basa-basi. Namun
jawaban yang ku dapatkan sangatlah straight forward and done. No follow up, no
any sort of easygoing talk selayaknya teman baru yang baru kenalan.
Of course, I still
keep positive thinking. Mungkin mereka bingung juga untuk bagaimana caranya
berkomunikasi, di saat mereka merasa
sangat berhutang budi padaku. Logikanya sih justru kalo seseorang merasa
berhutang budi, mustinya semakin baik dong sama kita. Namun tidak semudah itu. Kadang,
ada perasaan hutang budi yang sangat besar yang justru membuat orang kaku untuk
menjalin komunikasi kepada orang yang menghutangi budi. Kayak ada rasa serba
salah gitu.
Namun biar
bagaimanapun, I never regret to do good deed for others. Selagi yang jadi niat
utama adalah keridhaan Alloh SWT, nothing can make me feel regretful for
spreading as much good deed as possible to others.
Cukup punya niat baik saja sudah bagus apalagi bisa mengimplementasikannya dengan baik.
BalasHapus