Sabtu, 29 Januari 2022

Ujian Keikhlasan dalam Beramal


Disclaimer: Tulisan ini semata-mata aku tujukan buat refleksi diri. Tidak ada niat riya, pamer kebaikan atau pun hal negeatif lainnya.

Selama ini aku meyakini bahwa jika kita memiliki niat baik, maka sebaiknya niatan tersebut segera diwujudkan. Berpikir terlalu lama menimbang-nimbang amal kebaikan yang kita niatkan tidak lah baik. Setan terlalu lihai untuk merubah pikiran manusia untuk tidak berbuat amal kebaikan. Sekalipun bukan setan yang merubah pikiran kita, tetap masih ada potensi kita berubah pikiran dan akhirnya tidak jadi mewujudkan amal kebaikan, karena manusia memang dasarnya mudah berubah. Dengan dasar itulah, setiap kali aku berusaha berbuat amal kebaikan yang penuh keikhlasan, aku segerakan.

Ada beberapa pengalaman hidup berharga tentang ketulusan dalam berbuat baik yang cukup menjadi pelajaran berharga buatku. Salah satunya adalah tentang respon atau sikap seseorang yang kita berikan kebaikan. Ceritanya begini. Aku diminta untuk membantu seseorang menyelesaikan suatu pekerjaan. Aku langsung saja mengiyakanannya, meski aku tau bahwa hal tersebut berarti mengorbankan agendaku. Entah malaikat apa yang membisikiku, aku langsung tergerak untuk meluangkan waktu seharian penuh membantu seorang teman yang baru aku kenal untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dia orang baik. Melibatkan aku untuk menyelesaikan urusannya, mungkin menunjukkan bahwa dia menggangapku orang baik pula yang bersedia membantunya. Dia juga bukan termasuk orang yang take people for granted. FYI, dia berkata bahwa aku akan dibayar $25 perjam untuk jasaku membantunya menyelesaikan pekerjaannya. Aku tidak menjawab iya atau tidak, karena aku lebih memilih untuk menjawab “yang penting kita selesaikan dulu pekerjaannya. Itu soal belakangan”.

Aku memang ingin sekali berbuat baik kepada sesame, sebanyak dan sebesar-besarnya. Terlebih, aku meyakini bahwa berbuat baik itu akan menimbulkan sense of meaningfulness dan a good feeling. Waktu pengerjaan yang diperkirakan hanya 5 jam, ternyata molor hingga 10 jam. Aku merasa it’s just fine to spend almost the whole productive time to do a meaningful deed. Selesai menyelesaikan pekerjaan tersebut, aku diantar pulang. Lantas dia meminta nomer rekeningku untuk dia transfer. Seketika aku bilang, “that’s unnecessary. I never meant to help you for dollar. I meant to help you sincerely. Never think about giving me money as return, mate”. He insisted that he wanted to have my account. But soon I closed the car’s door and said goodbye.

Masuk ke rumah. Ada gejolak dalam pikiran. “dia kan mampu. Pendapatan hariannya saja dari pekerjaannya bisa mencapai 4 juta rupiah dalam sehari. Belum juga istrinya yang bekerja. Dan aku memang deserve to get paid for what I did”. Namun hatiku berbisik dan meneguhkan untuk tetap pada niatan awal, yaitu doing good deed for people sincerely, no matter what. Money can be made. But having new friends, especially good people, is priceless, begitu pikirku. Jujur, aku ingin sekali berteman sanagt baik dengan teman baru ku ini. Aku tau dia orang baik. Yang kuharapkan adalah setelahnya aku bisa berkawan baik dengannya. Nomernya aku simpan di whatsapp. Akun socmednya aku follow. Namun yang membuatku heran adalah kenapa dia setelahnya tidak pernah menghubungi ku untuk let’s say just to say hello or saying thanks. Astaghfirullohaladziim… nda ada maksud untuk mengharapkan balasan apa-apa. Namun niatku untuk having them as my new family here seperti tdak kesampaian. Mereka cuek dan putus komunikasi sama sekali setelahnya. Aku coba menghubungi mereka dengan bertanya basa-basi. Namun jawaban yang ku dapatkan sangatlah straight forward and done. No follow up, no any sort of easygoing talk selayaknya teman baru yang baru kenalan.

Of course, I still keep positive thinking. Mungkin mereka bingung juga untuk bagaimana caranya berkomunikasi, di saat  mereka merasa sangat berhutang budi padaku. Logikanya sih justru kalo seseorang merasa berhutang budi, mustinya semakin baik dong sama kita. Namun tidak semudah itu. Kadang, ada perasaan hutang budi yang sangat besar yang justru membuat orang kaku untuk menjalin komunikasi kepada orang yang menghutangi budi. Kayak ada rasa serba salah gitu.

Namun biar bagaimanapun, I never regret to do good deed for others. Selagi yang jadi niat utama adalah keridhaan Alloh SWT, nothing can make me feel regretful for spreading as much good deed as possible to others.

1 komentar:

  1. Cukup punya niat baik saja sudah bagus apalagi bisa mengimplementasikannya dengan baik.

    BalasHapus