Minggu, 30 Januari 2022

Hubungan Egaliter antara Dosen dan Mahasiswa di Australia: My perspective


Mendapatkan pengalaman kuliah di beberapa universitas dari negara-negara yang berbeda, aku mendapatkan pemahaman berharga tentang karakter hubungan antara dosen dengan mahasiswa dalam konteks budaya yang berbeda. Di Indonesia, relasi antara dosen dan mahasiswa umumnya lekat dengan nuansa “tidak sederajat” seperti senior-junior, berpengalaman-kurang berpengalaman, tua-muda, atasan bawahan, dan sekat-sekat dikotomis lainnya. Konsekuensi hubungan semacam itu adalah adanya tuntutan sikap hormat dari mahasiswa terhadap dosen. Selain itu, dosen juga memiliki tanggunjawab moral untuk bisa memiliki karakter lebih bijaksana, berwibawa dan mengayomi. Seperti itu lah kira-kira gambaran singkat karakter hubungan mahasiswa dengan dosen di Indonesia.

Di Indonesia, sepertinya pantang untuk seorang mahasiswa memanggil seorang dosen yang bergelar professor tanpa menyematkan gelar profesornya. Minimal, kita membubuhkan kata “Pak” di depan nama dosen yang kita panggil. Hal tersebut memang sudah diterima sebagai sebuah tata nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, terlepas apa pun sukunya. Jepang juga memiliki karakter hubungan dosen-mahasiswa yang serupa dengan Indonesia. Rasa hormat mahasiswa kepada dosen harus ditunjukkan tidak hanya melalui sikap, melainkan juga melalui cara memangil mereka. Panggilan familiar terhadap dosen di Jepang adalah “Sensei”. Berada pada satu rumpun benua, tak mengherankan jika Jepang dan Indonesia memiliki karakter yang sama dalam hal hubungan dosen dan mahasiswa.

Lain halnya dengan Indonesia dan Jepang, Australia memiliki karakter yang berbeda dalam hal hubungan antara dosen dan mahaasiswa. Sikap hormat mahasiswa terhadap dosen tidak perlu ditunjukkan dengan menyebut gelar professor atau akademik dosen. Bahkan, dosen-dosen di Australia lebih merasa nyaman dengan dipanggil namanya saja, kecuali dalam forum resmi. Karakter hubungan antar dosen dan mahasiswa di Australia lebih mencerminkan prinsip egalitarian. Di Australia, dosen dan mahasiswa bisa duduk Bersama dalam satu meja menikmati kopi sambil membahas hal-hal yang berkaitan dengan akademik. Di Indonesia mungkin hal tersebut juga ada, namun tidak bisa digeneralisasi sebagai hal yang umum terjadi dalam hubungan antara dosen dan mahasiswa, karena pada umumnya ada sekat antara dosen dan mahasiswa dalam interaksi sosial.

Di Australia, hampir bisa dipastikan tidak ada istilah dosen killer. Dosen pelit nilai memang ada. Namun dosen killer sepertinya sangat-sangat jarang sekali ada. Sangat jarang ada dosen yang marah-marah kepada mahasiswanya hanya karena mereka salah dalam menentukan metodologi penelitian atau dalam membuat instrument penelitian. Para dosen umumnya lebih memilih untuk memberi arahan untuk memperbaiki kekurangan sehingga ada improvement. Di Indonesia, kerap aku dapati cerita-cerita tentang ekspresi kecewa dosen yang ditunjukkan dengan sikap marah atau berbicara dengan nada tinggi karena mahasiswa melakukan kekeliruan dalam bidang akademik.

Tulisan ini bukan diniatkan untuk mendiskreditkan dosen Indonesia. Jelas hal tersebut tidak perlu. Tulisan ini memiliki pesan tersirat bahwa pendekatan humanis dalam menjalin interaksi dengan mahasiswa perlu dilakukan oleh dosen-dosen di Indonesia. Dalam memberikan layanan akademik, mereka semestinya berorientasi pada kebaikan mahasiswa, memperhatikan wellbeing mahasiswa. Jalinan hubungan yang humanis merupakan bagian dari mental wellbeing yang tentu berpengaruh terhadap performa akademis mahasiswa. Hal tersebut harus dipupuk dan dijaga. Dosen semestinya menjadi pihak untuk mahasiswa bersandar ketika mereka mendapati kesulitan dan tantangan. Jangan sampai mahasiswa justru takut takut menghadap dosen ketika mendapati kesulitan dan tantangan.

 

1 komentar:

  1. Iya, memang perlu bagi para dosen Indonesia melakukan pendekatan humanis untuk mencapai tujuan yang baik bukan untuk mahasiswa saja tapi untuk mereka juga vice versa.

    BalasHapus