Rabu, 19 Januari 2022

Pentingnya Wellbeing dalam Penyelenggaraan Pendidikan


Hari ini aku datang ke kampus cukup pagi. Tujuanku adalah bercengkerama laptopku untuk melanjutkan penyelesaian risetku. Ada satu gedung yang sangat nyaman untuk mahasiswa berlama-lama belajar. Nama gedung tersebut adalah Hub Central. Sebenarnya bukan hanya Hub central yang nyaman untuk tempat belajar. Barr Smith Library, Nexus Building, dan berbagai gedung lain pun memiliki vibe yang mendukung untuk focus belajar. Namun gedung Hub Central ini memang special. Terasa nyaman banget berlama-lama berada di gedung ini. Bukan semata karena fasilitasnya yang lengkap, melainkan juga vibe belajarnya dapet. Ada tempatnya sangat bersih. Ruangannya penuh dengan fasilitas computer canggih dengan koneksi internet yang super cepat. Ada café yang menyediakan aneka ragam menu minuman dan makanan. Sirkulasi udara sangat bagus. Semua orang mendukung kondusivitas ruangan utuk belajar, sehingga tidak ada yang bersuara berisik. Ada bilik-bilik cute yang bisa menampung 7 orang, dengan setting kedap suara, sehingga pas dipakai untuk rapat kecil. Ada teknisi yang stand by all time untuk melayani segala masalah yang berkaitan dengan IT. Persis, Hub Central benar-benar menjadi my second home selama tinggal di Adelaide ini.

Ruang faforitku di Hub Central adalah ruang lantai bawah, let’s say ruang underground. Saat aku turun tangga menuju ruang favoritku, aku melewati sebuah ruang berukuran sekitar 4x3 meter yang dilengkapi dengan Play Station 4, lengkap dengan joystick dan TV ya. Semuanya bisa dipakai secara free. Jujur, aku kaget. Ini kali ke sekian aku berkunjung ke gedung Hub Central, namun kenapa aku baru tau ada ruang khusus untuk para Gamer Play Station. Berbunga-bunga hatiku dong, karena aku adalah PS gamer. Kebetulan ada satu mahasiswa yang sedang memainkan PS4 tersebut. Sempat lah kami ngobrol-ngobrol. Ternyata dia sedang mai PS karena ingin refreshing mind sejenak, setelah sekian jam berjibaku dengan aktivitas belajar dan kencan dengan computer.

Seketika, aku teringat tentang satu mata kuliah yang akan aku ambil di semester ini, yaitu The Introduction to Wellbeing in Education. Aku belum menjalani perkuliahan untuk mata kuliah tersebut, karena kegiatan akademik kampus baru akan dimulai pada bulan februari akhir. Namun, aku sudah sedikit banyak mendapatkan clue tentang apa yang biasanya dipelajari di mata kuliah tersebut. Wellbeing, dalam bahasa Indonesia, sepertinya tidak memiliki padanan kata yang pas. Adapun kosakata yang paling dekat artinya dengan wellbeing adalah “kesejahteraan”. Namun, dalam konteks bahasa Indonesia, kata “kesejahteraan” biasanya lekat dengan segala hal yang berhubungan dengan ekonomi dan finansial. Sedangkan wellbeing yang dimaksud di sini berkaitan dengan kesejahteraan berbagai aspek, termasuk mental.

Berbicara tentang wellbeing, ada satu pertanyaan menarik untuk menjadi bahan diskusi. Mengapa banyak siswa di Indonesia yang kurang memiliki motivasi untuk hadir di sekolah? mengapa banyak siswa yang malas untuk ke perpustakaan? Atau mengapa banyak anak yang enggan untuk belajar, bukan hanya di sekolah, namun juga di rumah. Jawaban dari pertanyaan tersebut tentu beragam, karena factor yang berpengaruh terhadap motivasi seorang individu untuk belajar, membaca, pergi ke perpustakaan, atau sekedar hadir disekolah, begitu beragam. Namun salah satu factor yang terbukti cukup signifikan pengaruhnya terhadap motivasi siswa adalah wellbeing.

Mengapa siswa enggan pergi ke perpustakaan saat mereka mempunyai waktu luang. Jawabannya bisa berupa refleksi dan evaluasi tentang kondisi perpustakaan di sekolah. Seberapa maksimalkah perpustakaan ditata dan di desain untuk kenyamanan siswa? Seberapa maksimalkah sekolah ditata dan didesain untuk membuat siswa senang berada di sekolah? Seberapa maksimalkah orang tua menyediakan dukungan untuk anak mereka belajar di rumah? Jika sekolah masih hanya berupa gedung-gedung segi empat atau persegi panjang yang kurang ditunjang dengan fasilitas yang mengakomodir kebutuhan dan interest anak, jangan harap mereka betah berada di sekolah. Jika pendekatan pembelajaran yang didesain oleh guru masih monoton dan tidak bisa menarik minat siswa, maka jangan berharap siswa mau secara sadar dan penuh gairah untuk menghadirkan diri sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Jika perpustakaan masih kurang tertata secara nyaman, hanya menjadi tempat peminjaman buku paket, kurang bersih, serta layanan para librarian yang kurang ramah dan friendly terhadap siswa, jangan harap perpustakaan akan berfungsi sebagaimana mestinya.

Motivasi intrinsic siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan positif di sekolah memang sangat penting. Namun kita tidak bisa berharap bahwa mereka secara otomatis hadir ke sekolah dengan motivasi intrinsic tersebut. Motivasi sering kali perlu dirangsang. Gol A Gong tidak menghimbau warga dengan kalimat ajakan seperti “ayo mari kita rajin membaca”, atau “silakan datang ke RUmah Baca untuk membaca”, atau kalimat ajakan sejenisnya. Gol A Gong menyediakan fasilitas Rumah Baca dengan desain se-nyaman mungkin bagi warga untuk singgah. Pada awalnya, warga yang singgah di rumah baca mungkin hanya sekedar ingin duduk-duduk di sofa lantai yang empuk, sembari menikmati segarnya suasana Rumah Baca. Namun lambat laun mereka tergerak untuk mengambil satu buku untuk dibaca, kemudian akhirnya terbentuklah kebiasaan membaca.

Begitu pula prinsip dalam mendorong siswa untuk betah beraktivitas belajar di sekolah. Ciptakan sekolah yang nyaman, yang memberikan dukungan psikologis dan fasilitas fisik untuk sepenuhnya kebaikan para siswa. Cara berkomunikasi guru haru mendukung adanya psychological intimacy dengan siswa. Dengan psychological intimacy, siswa yang tadinya kurang minat dengan suatu mata pelajaran menjadi minat dengan mata pelajaran tersebut. Itulah alasan mengapa mahasiswa calon guru biasanya diharuskan mengambil matakuliah psikologi belajar dan psikologi perkembangan sebagai mata kuliah wajib. Hal tersebut dikarenakan pentingnya pemahaman psikologis anak oleh guru, dan cara membangun hubungan psikologis dengan anak. Ilmu psikologi berkembang begitu pesat, mengikuti dinamika perkembangan kehidupan dan cara hidup manusia. Jika guru hanya mengandalkan apa yang pernah mereka pelajari selama kuliah dulu, maka tidak lah cukup. Guru dituntut untuk terus belajar tentang psikologi, demi terwujudnya wellbeing siswa dalam beraktivitas belajar di sekolah.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar