Hari ini aku datang ke kampus cukup pagi. Tujuanku adalah
bercengkerama laptopku untuk melanjutkan penyelesaian risetku. Ada satu gedung
yang sangat nyaman untuk mahasiswa berlama-lama belajar. Nama gedung tersebut
adalah Hub Central. Sebenarnya bukan hanya Hub central yang nyaman untuk tempat
belajar. Barr Smith Library, Nexus Building, dan berbagai gedung lain pun
memiliki vibe yang mendukung untuk focus belajar. Namun gedung Hub Central ini
memang special. Terasa nyaman banget berlama-lama berada di gedung ini. Bukan semata
karena fasilitasnya yang lengkap, melainkan juga vibe belajarnya dapet. Ada tempatnya
sangat bersih. Ruangannya penuh dengan fasilitas computer canggih dengan
koneksi internet yang super cepat. Ada café yang menyediakan aneka ragam menu
minuman dan makanan. Sirkulasi udara sangat bagus. Semua orang mendukung
kondusivitas ruangan utuk belajar, sehingga tidak ada yang bersuara berisik. Ada
bilik-bilik cute yang bisa menampung 7 orang, dengan setting kedap suara,
sehingga pas dipakai untuk rapat kecil. Ada teknisi yang stand by all time
untuk melayani segala masalah yang berkaitan dengan IT. Persis, Hub Central
benar-benar menjadi my second home selama tinggal di Adelaide ini.
Ruang faforitku di Hub Central adalah ruang lantai
bawah, let’s say ruang underground. Saat aku turun tangga menuju ruang favoritku,
aku melewati sebuah ruang berukuran sekitar 4x3 meter yang dilengkapi dengan
Play Station 4, lengkap dengan joystick dan TV ya. Semuanya bisa dipakai secara
free. Jujur, aku kaget. Ini kali ke sekian aku berkunjung ke gedung Hub
Central, namun kenapa aku baru tau ada ruang khusus untuk para Gamer Play
Station. Berbunga-bunga hatiku dong, karena aku adalah PS gamer. Kebetulan ada
satu mahasiswa yang sedang memainkan PS4 tersebut. Sempat lah kami ngobrol-ngobrol.
Ternyata dia sedang mai PS karena ingin refreshing mind sejenak, setelah sekian
jam berjibaku dengan aktivitas belajar dan kencan dengan computer.
Seketika, aku teringat tentang satu mata kuliah yang
akan aku ambil di semester ini, yaitu The Introduction to Wellbeing in Education.
Aku belum menjalani perkuliahan untuk mata kuliah tersebut, karena kegiatan
akademik kampus baru akan dimulai pada bulan februari akhir. Namun, aku sudah
sedikit banyak mendapatkan clue tentang apa yang biasanya dipelajari di mata
kuliah tersebut. Wellbeing, dalam bahasa Indonesia, sepertinya tidak memiliki
padanan kata yang pas. Adapun kosakata yang paling dekat artinya dengan
wellbeing adalah “kesejahteraan”. Namun, dalam konteks bahasa Indonesia, kata “kesejahteraan”
biasanya lekat dengan segala hal yang berhubungan dengan ekonomi dan finansial.
Sedangkan wellbeing yang dimaksud di sini berkaitan dengan kesejahteraan
berbagai aspek, termasuk mental.
Berbicara tentang wellbeing, ada satu pertanyaan
menarik untuk menjadi bahan diskusi. Mengapa banyak siswa di Indonesia yang
kurang memiliki motivasi untuk hadir di sekolah? mengapa banyak siswa yang
malas untuk ke perpustakaan? Atau mengapa banyak anak yang enggan untuk belajar,
bukan hanya di sekolah, namun juga di rumah. Jawaban dari pertanyaan tersebut
tentu beragam, karena factor yang berpengaruh terhadap motivasi seorang
individu untuk belajar, membaca, pergi ke perpustakaan, atau sekedar hadir disekolah,
begitu beragam. Namun salah satu factor yang terbukti cukup signifikan
pengaruhnya terhadap motivasi siswa adalah wellbeing.
Mengapa siswa enggan pergi ke perpustakaan saat mereka
mempunyai waktu luang. Jawabannya bisa berupa refleksi dan evaluasi tentang
kondisi perpustakaan di sekolah. Seberapa maksimalkah perpustakaan ditata dan
di desain untuk kenyamanan siswa? Seberapa maksimalkah sekolah ditata dan
didesain untuk membuat siswa senang berada di sekolah? Seberapa maksimalkah
orang tua menyediakan dukungan untuk anak mereka belajar di rumah? Jika sekolah
masih hanya berupa gedung-gedung segi empat atau persegi panjang yang kurang
ditunjang dengan fasilitas yang mengakomodir kebutuhan dan interest anak,
jangan harap mereka betah berada di sekolah. Jika pendekatan pembelajaran yang
didesain oleh guru masih monoton dan tidak bisa menarik minat siswa, maka
jangan berharap siswa mau secara sadar dan penuh gairah untuk menghadirkan diri
sepenuhnya dalam proses pembelajaran. Jika perpustakaan masih kurang tertata
secara nyaman, hanya menjadi tempat peminjaman buku paket, kurang bersih, serta
layanan para librarian yang kurang ramah dan friendly terhadap siswa, jangan
harap perpustakaan akan berfungsi sebagaimana mestinya.
Motivasi intrinsic siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan
positif di sekolah memang sangat penting. Namun kita tidak bisa berharap bahwa
mereka secara otomatis hadir ke sekolah dengan motivasi intrinsic tersebut. Motivasi
sering kali perlu dirangsang. Gol A Gong tidak menghimbau warga dengan kalimat
ajakan seperti “ayo mari kita rajin membaca”, atau “silakan datang ke RUmah
Baca untuk membaca”, atau kalimat ajakan sejenisnya. Gol A Gong menyediakan
fasilitas Rumah Baca dengan desain se-nyaman mungkin bagi warga untuk singgah. Pada
awalnya, warga yang singgah di rumah baca mungkin hanya sekedar ingin
duduk-duduk di sofa lantai yang empuk, sembari menikmati segarnya suasana Rumah
Baca. Namun lambat laun mereka tergerak untuk mengambil satu buku untuk dibaca,
kemudian akhirnya terbentuklah kebiasaan membaca.
Begitu pula prinsip dalam mendorong siswa untuk betah
beraktivitas belajar di sekolah. Ciptakan sekolah yang nyaman, yang memberikan
dukungan psikologis dan fasilitas fisik untuk sepenuhnya kebaikan para siswa. Cara
berkomunikasi guru haru mendukung adanya psychological intimacy dengan siswa. Dengan
psychological intimacy, siswa yang tadinya kurang minat dengan suatu mata
pelajaran menjadi minat dengan mata pelajaran tersebut. Itulah alasan mengapa
mahasiswa calon guru biasanya diharuskan mengambil matakuliah psikologi belajar
dan psikologi perkembangan sebagai mata kuliah wajib. Hal tersebut dikarenakan
pentingnya pemahaman psikologis anak oleh guru, dan cara membangun hubungan
psikologis dengan anak. Ilmu psikologi berkembang begitu pesat, mengikuti
dinamika perkembangan kehidupan dan cara hidup manusia. Jika guru hanya
mengandalkan apa yang pernah mereka pelajari selama kuliah dulu, maka tidak lah
cukup. Guru dituntut untuk terus belajar tentang psikologi, demi terwujudnya
wellbeing siswa dalam beraktivitas belajar di sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar