Satu hal penting yang seringkali luput dari perhatian pendidik adalah melakukan refleksi kolektif. Minimal satu kali dalam satu tahun, guru, kepala sekolah, komite, dan karyawan lingkungan sekolah semestinya melakukan refleksi kolektif. Refleksi tersebut dilakukan dengan tujuan untuk mengevaluasi sejauh mana layanan terbaik pendidikan telah diberikan kepada para “customers’ dari pendidikan, yaitu masyarakat. Refleksi tersebut dilakukan untuk mengevaluasi sejauh mana layanan pendidikan di sekolah telah memberikan dampak positif bagi kehidupan para peserta didik. Layaknya sebuah investasi, proses pendidikan di sekolah di suatu jenjang pendidikan semestinya membuahkan hasil yang signifikan berupa perubahan perilaku dan pola pikir para peserta didik. Masyarakat adalah pihak yang seharusnya paling vocal dan kritis untuk mengevaluasi hal tersebut. Namun, meski masyarakat tidak kritis terhadap layanan pendidikan sekolah ini, sekolah semestinya secara sadar melakukan proses evaluasi diri yang berkesinambungan, agar layanan pendidikan benar-benar bedampak bagi peserta didik.
Tiga tahun sekolah,
apa yang diraih oleh peserta didik? Jika yang diraih oleh mereka hanyalah
angka-angka yang tercetak di sebuah buku laporan hasil akademik, maka hal
tersebut sangat disayangkan. Karena apa? Karena model pendidikan yang hanya
membuahkan angka-angka nilai sudah sangat tidak relevan dengan perkembangan
zaman. Paradigma pendidikan di dunia sudah berubah. Angka-angka di buku raport
memang berguna, namun tidak dalam taraf yang signifikan, bila diukur dari
pengaruhnya terhadap hidup peserta didik setelah lulus. Angka-angka nilai
mungkin bisa dipakai sebagai salah satu syarat untuk mengurus pendaftaran masuk
perguruan tinggi. Namun apakah semua peserta didik membuat pilihan untuk studi
lanjut setelahnya? Tentu tidak.
Pendidikan abad 21
menuntut dicapainya keterampilan dan karakter, yang sering disebut dengan 6C.
6C meliputi Creativity, Communication, collaboration, critical thinking,
character, and citizenship. Mengenai pentingnya pengasahan 6C tersebut, sudah
banyak literature yang membahasnya. Enam C tersebut merupakan buah renungan
dari para pemimpin dunia yang mempresentasikannya dalam World Economic Forum. Dihasilkannya rumusan 6C tersebut merupakan
hasil diskusi tentang tantangan perkembangan zaman, dan kecakapan-kecakapan
yang relevan untuk menghadapi tantangan perkembangan zaman tersebut. Kurikulum pendidikan
Indonesia mengadopsi pentingnya implementasi 6C tersebut bukan karena sikap latah
para pembuat kebijakan dan penyusun kurikulum, melainkan karena menyadari
pentingnya pencapaian 6C tersebut oleh generasi Indonesia.
Lantas, pertanyaan
yang perlu dijawab adalah, bagaimana sekolah bisa menyelenggarakan pendidikan
yang bermakna bagi para peserta didik? Bagaimana caranya agar investasi waktu,
tenaga, dana, dan pikiran selama tiga tahun benar-benar berdampak bagi
kehidupan peserta didik? Ide-ide berikut ini layak untuk dicoba, untuk
mengupayakan penyelenggaraan pendidikan yang lebih bermakna bagi para peserta
didik.
Pertama, sekolah perlu
memastikan bahwa setiap peserta didik memiliki visi yang jelas atas proses
pendidikan yang mereka jalani di sekolah. Pentingnya memiliki visi yang jelas
sering dianggap hal yang klise. Padahal kejelasan visi adalah hal yang sangat
penting yang telah terbukti menjadi pembeda antara orang yang meraih pencapaian
besar dalam hidup dengan orang yang hidupnya datar-datar saja. Jika peserta
didik masih tidak memiliki visi yang jelas, bisa dipastikan bahwa tiga tahun peserta
didik di sekolah akan sia-sia. Nyatanya, masih banyak peserta didik yang
menjelang lulus sekolah masih bingung memilih dan menentukan jalan yang harus
mereka ambil. Dalam situasi yang butuh kepastian, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya mengambil keputusan yang kurang tepat.
Sekolah perlu memastikan peserta didik memiliki visi yang jelas tentang apa
yang akan mereka lakukan dan raih paska selesai studi.
Lantas, bagaimana caranya
sekolah membantu peserta didik merumuskan visinya? Yang namanya visi tentunya
dirumuskan di awal. Maka yang perlu dilakukan oleh pihak sekolah adalah menyelenggarakan
sebuah forum untuk merumuskan visi peserta didik yang dihadiri oleh para
pemangku kebijakan sekolah (kepala sekolah, komite, guru, karyawan, pengawas),
peserta didik, dan orang tua peserta didik. Selama ini, forum-forum diskusi
yang diselenggaraka di awal masuk sekolah peserta didik biasanya dilakukan
untuk membahas hal-hal terkait pembiayaan dan program sekolah yang bersifat
umum. Diskusi tentang upaya merumuskan visi peserta didik semestinya menjadi
agenda khusus, karena hal tersebut sangat penting. Kenapa semua pihak yang
terkait harus hadir? Jawabannya adalah karena upaya mewujudkan visi itu harus
dilakukan secara kolektif. Visi peserta didik harus sejalan dengan visi orang
tua mereka. Peran sekolah adalah mengupayakan terwujudnya visi tersebut melalui
upaya pendampingan terhadap peserta didik.
Ada banyak ‘customer’
pendidikan di sekolah yang kurang memiliki wawasan. Mereka tidak memahami bahwa
ada banyak peluang, seperti peluang untuk pendidikan tinggi yang disokong oleh program
beasiswa, peluang kerja dengan gaji yang lumayan yang bisa diambil oleh anak
lulusan SMA/SMK, maupun peluang tentang kegiatan wirausaha yang bisa jadi
pilihan peserta didik. Mengetahui hal ini, yang harus dilakukan oleh pihak
sekolah adalah memberikan wawasan tentang peluang-peluang tersebut. Sebagai orang
yang relative memiliki tingkat literasi dan akses terhadap informasi yang
tinggi, pihak sekolah bisa mencari berbagai informasi relevan yang bisa
dibagikan kepada peserta didik dan orang tua.
Kedua, sekolah perlu
memberikan pendampingan maksimal terhadap peserta didik dalam upaya mewujudkan visi
mereka. Satu contoh yang bisa ditiru adalah bagaimana kepala sekolah dan guru-guru
di Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC) Gading Serpong memfasilitasi
peserta didik dalam merumuskan visi tiga tahun sekolah. Peserta didik diberi
wawasan tentang banyaknya peluang untuk studi lanjut di berbagai perguruan
tinggi dunia dengan beasiswa. Pemberian wawasan tersebut dilakukan saat awal
peserta didik masuk sekolah di tahun pertama.
Banyak peserta didik yang tertarik untuk
meraih peluang tersebut. Peserta didik yang tertarik untuk menghambil peluang
tersebut menjadikan studi lanjut di luar negeri dengan beasiswa sebagai sebuah
visi. Setelah merumuskan visi studi lanjut di luar negeri, peserta didik diberi
pemahaman tentang berbagai persyaratan yang harus mereka penuhi untuk bisa
meraih kesempatan studi lanjut berbeasiswa tersebut. Persyaratan tersebut
meliputi, kecakapan bahasa asing yang dibuktikan dengan sertifikat penguasaan
bahasa asing, nilai akademik yang memenuhi standar dalam beberapa mata
pelajaran, kemampuan komunikasi yang bagus, aktif dalam organisasi, dan berpengalaman
dalam melakukan kegiatan penelitian.
Dengan mengetahui berbagai persyaratan
tersebut, maka yang harus mereka lakukan selama tiga tahun sekolah adalah
mematangkan persiapan untuk bisa memenuhi semua syarat tersebut. Dengan dibantu
oleh guru, dan didukung oleh orang tua, maka peserta didik bisa mewujudkan visi
tersebut. Sudah terbukti bahwa setiap tahun banyak lulusan sekolah MAN IC yang
melanjutkan studi di berbagai kampus di luar negeri, baik yang melalui beasiswa
maupun pembiayaan mandiri. Kejelasan Visi adalah hal yang mendorong orang mau
melakukan proses yang tidak nyaman. Tanpa kejelasan visi, tanpa memiliki
bayangan indah tentang suatu pencapaian di masa depan, orang cenderung enggan
untuk mau melakukan proses yang tidak nyaman.
Satu contoh lain yang bisa dijadikan panutan
adalah bagaimana sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM) yang didirikan oleh Toto
Raharjo di Yogyakarta mendampingi visi peserta didik. Sekolah ini membebaskan
peserta didik untuk mendalami apa pun yang menarik minat mereka. Ada peseta
didik yang ingin menjadi pengusaha tempe. Ada yang ingin menjadi seorang
esainer. Ada yang ingin jadi musisi. Ada yang ingin menjadi penulis buku-buku best seller.Semua visi peserta didik
diakomodasi dan didampingi dalam proses pwerujudan visinya. Hasilnya, setelah
lulus sekolah, mereka menjadi individu yang sudah memiliki kematangan roadmap masa depan. Mereka tidak bingung
tentang mau menekuni bidang apa, karena mereka selama tiga tahun telah melalui
proses penyiapan diri.
Ketiga, memberi pemahaman tentang rationale
dari diberlakukannya setiap aturan di sekolah. Berapa banyak peserta didik yang
belum paham mengapa mereka harus memasukkan baju? Berapa banyak peserta didik
yang belum paham mengapa mereka harus hardir di sekolah tepat waktu? Berapa banyak
peserta didik yang belum paham mengapa mereka harus bersikap sopan terhadap sesama,
terlebih kepada yang lebih tua? Berapa banyak peserta didik yang tidak memahami
mengapa mereka tidak boleh merokok? Jawabannya adalah sangat banyak. Para pembuat
peraturan dan kebijakan di sekolah seringkali abai untuk memberikan pemahaman
tentang hal-hal tersebut. Padahal hal tersebut sangat penting. Memberikan pemahaman
tentang hakikat adanya suatu kebijakan/peraturan di sekolah adalah cara memanusiakan
manusia dalam pendidikan.
Mungkin para pembuat kebijakan sekolah perlu
diingatkan kembali bahwa jika seorang individu diharuskan melaksanakan suatu
aturan tanpa dia mengetahui kenapa aturan tersebut diberlakukna, maka yang
dirasakan oleh individu tersebut adalah perbudakan. Namun, jika mereka diberi
pemahaman tentang hakikat pentingnya melaksanakan aturan tersebut, maka mereka
akan bisa menjalaninya dengan sukarela dan penuh kesadaran. Kita tentu memahami
bahwa peserta didik bukanlah budak dari aturan. Mereka adalah subjek sentral dari
pendidikan. Maka, memberikan mereka pemahaman tentang hakikat diberlakukannya
suatu kebijakan/aturan sangatlah penting.
Masih banyak pemikiran tentang cara menjadikan
pendidikan lebih bermakna bagi peserta didik. Sebenarnya para guru dan semua
stakeholder pendidikan bisa mendapatkan pemahaman tentang cara menjadikan
pendidikan lebih bermakna, jika mereka mau melakukan proses refleksi dan
evaluasi yang berkesinambungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar